Bab 20. Batasi Perasaanmu

1170 Words
Selamat membaca! Sorot mata Dania berubah sendu. Sakit, rasanya seperti tercubit–perih. Namun, ia coba menguatkan diri meski harus berbohong. "Ya, tapi gimana kalau cinta itu datang tiba-tiba, padahal aku udah batasin perasaanku?" Mendengar ucapan Dania, Nathan seketika menghentikan langkahnya, begitu pun dengan Dania yang ikut diam tak beranjak. Pria itu segera menangkup kedua sisi wajah Dania dan matanya menatap penuh selidik. "Apa sekarang kamu benar-benar sudah jatuh cinta sama aku?" Suara Nathan terdengar berat. Dania tahu jika suara itu menunjukkan ketidaksukaan atas pertanyaannya tadi. Namun, wanita itu tak langsung menjawab. Dania diam sejenak, lalu menghela napas kasar. "Aku sendiri nggak tahu, Than. Aku bingung, apa ini cinta atau bukan? Tapi ...." "Tapi apa?" Ada keraguan di wajah Dania sebelum menjawab. Namun, akhirnya Dania kembali melanjutkan ucapannya, "Aku mulai takut kehilanganmu. Saat bersamamu ... jujur, aku ngerasa nyaman, Than." Tak ada senyuman. Wajah cantik itu tampak datar saat mengatakannya. Masih terlihat ada kesedihan karena Dania tahu perasaannya salah. Nathan pun segera menurunkan tangannya, kemudian bersedekap. "Itu bukan cinta, Dan. Memang seharusnya kamu nggak boleh jatuh cinta dalam hubungan kita ini, begitu pun aku. Pokoknya, kita jangan sampai melibatkan hati dalam hubungan ini!" Dania mengangguk patuh setelah beberapa detik mencerna apa yang Nathan katakan. "Aku akan ingat itu baik-baik. Kamu tenang aja! Tadi itu aku hanya berandai-andai." Setelah melontarkan jawaban yang terdengar ketus, Dania pun berlalu lebih dulu meninggalkan Nathan sambil menutupi perasaan yang sesungguhnya bahwa ia telah jatuh cinta. Cinta yang tak boleh ia rasakan. Cinta yang mesti ia lupakan sebelum perasaan itu kian membesar. *** Setibanya di lobi, selain Toni, Erik juga tampak menunggu di sana. Nathan pun mengajak Dania untuk masuk ke dalam mobil di mana sopir pribadi Nathan yang bernama Toni mulai membukakan pintu untuk majikannya itu. Setelah keduanya duduk dengan nyaman di kursi belakang, mobil pun melaju menuju rumah sakit tempat di mana Vano dirawat. Selama dalam perjalanan, keduanya saling diam membisu tak membuka suara sedikit pun. Dania maupun Nathan masih bergelut dengan perasaannya sendiri. Keduanya sama-sama tidak mengerti akan perasaan yang mereka rasakan di hati masing-masing. "Bodoh, kenapa aku harus bilang kaya gitu? Sekarang aku harus bisa menyingkirkan perasaan apa pun untuk Nathan karena benar apa yang dia katakan tadi kalau aku nggak boleh gunain hati dalam hubungan ini," batin Dania coba meyakinkan diri bahwa ia bisa menghilangkan perasaan untuk Nathan yang tiba-tiba muncul karena sering bersama. Bukan hanya Dania, raut wajah Nathan pun menampilkan perasaan yang sama. Namun, pria itu pintar menyembunyikan dari Dania. *** Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya mobil yang dikendarai Toni berhenti tepat di lobi rumah sakit. Sang pengemudi pun bergegas keluar, membukakan pintu dengan senyum ramah. "Silakan Tuan, Nona!" Sepanjang perjalanan tadi Nathan hanya diam. Terpaku nyaman menatap ke luar jendela meski pikirannya terus didesak untuk membatasi perasaan yang seakan sulit dibantah. "Sudah sampai, ya?" Nathan mengedarkan pandangan. Melihat sekitar mobil di mana Dania sudah tak lagi ada di sana. "Iya, Tuan, silakan!" Nathan keluar dari mobil. Menemukan keberadaan Dania yang ternyata sudah menunggunya di depan lobi. "Than, kamu temeni aku ketemu Vano, 'kan?" tanya Dania saat Nathan tiba didekatnya. Wanita yang tengah gelisah memikirkan pertemuannya dengan Vano itu pun menggenggam erat lengan Nathan. "Kamu duluan aja! Nanti Erik akan mengantar kamu sampai ke depan ruangan Vano dirawat." Dania kesal. Tak terima dengan keputusan Nathan. "Jadi, kamu bohong! Kamu bilang mau temani aku ketemu Vano, tapi kenapa kamu malah nyuruh Erik?" tanya Dania sembari menunjuk seorang pria yang berdiri tidak jauh di belakang Nathan. "Dengarkan aku dulu! Kita harus jalan terpisah karena ini rumah sakit milik keluargaku, Dan. Aku nggak mau ketemu keluargaku saat lagi sama kamu. Apa kata mereka nanti? Yang ada mereka akan mengira kamu adalah calon istriku. Lagian juga, nantinya aku bingung jelasin ke Oma kalau sampai ada yang laporan ke dia." Perkataan Nathan membuat Dania tertunduk lesu. Rasa kecewa yang begitu menyakitkan seketika memenuhi hatinya. Sakit mendengar perkataan itu. Namun, Dania tahu diri jika Nathan memang hanya menganggapnya sebatas teman tidur saja. "Aku jalan sendiri aja, nggak perlu ditemani dia. Oh ya, kamu tunggu aja di mobil, aku akan cepat kembali setelah berhasil minta maaf ke Vano!" ucap Dania terdengar ketus. Kesal karena Nathan tak menepati janji untuk pergi bersama. Pria itu juga tidak memberitahukan bahwa rumah sakit tempat Vano dirawat adalah rumah sakit milik keluarganya. Saat Dania akan melangkah masuk, Nathan menahan tangannya dengan cepat. "Dengarkan aku, Dan! Erik akan tetap mengawalmu sampai ke depan ruangan Vano. Setelah itu, tunggu aku datang baru kita masuk sama-sama!" Dania tak merespon dengan baik. Wanita itu sudah kadung kecewa karena ucapan Nathan. Dengan kasar, Dania menghempaskan tangan Nathan, lalu berkata ketus, "Nggak perlu, Than. Aku nggak mau kamu jadi malu karena jalan sama aku kalau ada keluargamu yang lihat. Lagi pula aku emang nggak pantas ada di dekatmu!" Dania penuh penekanan saat mengatakan itu. Menekan rasa sakit kuat-kuat. Menyembunyikan kesedihan dari raut wajahnya agar tak terbaca oleh Nathan. "Nurut sama aku, Dan!" Nathan kembali mencengkram tangan Dania hingga membuat wanita itu tampak kesakitan karena genggamannya terlampau kuat. "Argh ... sakit, Than! Lepasin tangan aku! Kalau kamu malu jalan sama aku, lebih baik kamu pulang dan nggak perlu nganterin aku buat ketemu Vano di sini. Aku bisa sendiri, aku bisa melakukannya, walaupun tanpa kamu!" Dania mengecam Nathan kesal. Mengusir pria itu karena merasa sakit hati atas perkataannya tadi. Di tengah perdebatan mereka, seorang penanggung jawab di rumah sakit yang memang mengenal Nathan pun menyapa, "Selamat sore, Tuan Nathan. Apa ada yang bisa saya bantu sampai Tuan datang ke sini?" tanya seorang pria yang usia sekitar 50 tahun. Pria itu merasa bingung karena jarang sekali Nathan datang ke rumah sakit milik keluarganya. Nathan pun mengalihkan pandangannya. Membiarkan Dania pergi. Namun, lewat sebuah kode dari matanya, pria itu memberi perintah pada Erik untuk mengikuti Dania. "Dasar, Nathan! Ternyata dia sama aja kaya Vano, dia hanya menganggapku rendah. w************n yang memalukan dan nggak pantas berdampingan sama dia," gerutu Dania sambil melangkah cepat masuk lift yang kebetulan terbuka saat dirinya baru saja tiba di depannya. Namun, tiba-tiba Dania teringat jika ia lupa menanyakan di kamar mana Vano dirawat. "Aduh, Vano dirawat di mana, ya? Bodoh ... kenapa lupa nanya sih?" batin Dania seketika bingung harus menekan lantai berapa untuk menjadi tujuannya. Tiba-tiba seorang pria menekan angka tiga. "Lantai 3, kamar nomor 105, Nona." Dania dengan cepat menoleh ke belakang, kedua matanya mulai mengenali pemilik suara yang tak lain adalah Erik. "Ih, ngapain kamu? Aku nggak butuh ditemani!" "Tapi saya hanya menjalankan perintah Tuan Nathan saja, Nona. Maaf kalau saya lancang." Erik berkata dengan ramah. Dania pun akhirnya diam. Mengacuhkan pandangan dari Erik setelah menjaga jarak dari posisi di mana pria itu berdiri. "Nona, saya ada pesan dari Nyonya." Dania pun seketika menatap Erik penuh pertanyaan. Rasa penasaran langsung membuncah memenuhi isi kepalanya. "Sebaiknya Nona batasi perasaan Nona ke Tuan Nathan kalau Nona nggak mau dihancurkan sama Nyonya Gina." Mendengarnya, Dania sampai tersedak salivanya sendiri. "Nyonya Gina? Siapa dia?" Dania begitu penasaran dengan nama yang disebut Erik. Nama yang memang tidak pernah ia dengar dari Nathan. Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD