Bab 19. Tidak Boleh Jatuh Cinta

1208 Words
Selamat membaca! Suasana kamar saat itu terasa sangat panas. Dua insan yang tengah dimabuk gairah itu baru selesai melakukan pelepasan masing-masing. Mereka tampak berbaring di atas ranjang dengan tubuh yang lengket dengan peluh. "Apa kamu menikmatinya, Than?" Dania meletakkan kepalanya pada d**a bidang Nathan yang sedikit berbulu. Menatap wajah dari teman tidurnya yang sejak pertama ia temui memang benar-benar tampan. "Tentu saja, mungkin kalau aku nggak ingat ada meeting sore ini, aku nggak akan berhenti melakukannya." Nathan yang masih sibuk mengatur napas pun coba menjawab. Tiba-tiba suara dering ponsel miliknya berbunyi. Nathan pun memaksa tubuhnya yang lemah untuk bangkit. Duduk di tepi ranjang dan mulai melihat benda pipih miliknya yang terus berdering. Tepat pada dering terakhir, Nathan menjawab panggilan telepon yang ternyata berasal dari Bima. "Kenapa?" Dengan napas yang masih tak beraturan, Nathan bicara. Membuat Bima sangat jengkel setelah apa yang dialaminya di rumah sakit. Ya, tugas mendadak dari Nathan benar-benar membuat pria itu sangat kesal. Sedang sibuk dengan beberapa file dan berkas yang belum selesai dipelajarinya, Nathan malah menambah tugas baru untuk menemui Vano guna mengajaknya berdamai agar mencabut laporan soal penyerangan yang dilakukan Dania. "Than, Than, kau senang-senang di sana sama Dania sementara aku kena semprot Vano di sini." "Maksudnya?" "Vano menolak damai dan tetap akan memperkarakan kasus Dania." Nathan tidak terlalu kaget dengan apa yang disampaikan Bima. Pria itu memang sudah menduga jika Vano pasti akan menolak tawaran darinya dan mau tidak mau, ia harus memaksa Dania menemui Vano seperti yang sempat disampaikan dua polisi tadi. "Baiklah, kau kembali saja ke kantor. Urusan Vano biar aku yang selesaikan." "Kenapa nggak dari awal aja, Than? Dasar kau ini, selalu merepotkan saja!" "Merepotkan? Tarik ucapanmu atau aku akan memotong setengah gajimu bulan ini!" Mendengar ancaman Nathan, suara Bima pun seketika melembut, "Eh, maksudku bukan begitu. Kenapa harus kau yang repot-repot ngurusin masalah ini, udah biar aku aja yang nemenin Dania ketemu Vano. Jadi, kau tetap bisa datang untuk meeting sore ini." "Baiklah," jawab Nathan singkat. Seketika suara Bima terdengar semringah di seberang sana. Tentu saja ia tidak menyangka jika Nathan akan memberikan jawaban seperti itu. Mengiyakan saran darinya di mana ia bisa dekat dengan Dania. Mau bagaimanapun, di satu sisi, Bima masih menyimpan rasa kagum pada Dania. Sayangnya, wanita itu sudah lebih dulu mengenal Nathan. "Kau serius, Than? Kalau begitu sekarang aku akan ke apartemen Dania dan menjemputnya." "Iya datanglah, tapi ...." Nathan terdengar menjeda kalimat setelah memberi perintah. "Aku pastikan gaji yang akan kau terima bulan ini hanya seperempatnya saja, bukan lagi setengah." Mendengar itu, Bima sampai tersedak salivanya sendiri. Beralasan sinyal, sang asisten langsung memutus sambungan teleponnya. "Kenapa, Than? Ada apa dengan Vano? Apa dia meninggal?" Dania melontarkan beberapa pertanyaan setelah sempat mendengar Nathan menyebut nama Vano dalam pembicaraan di telepon. "Bukan begitu. Jadi, Vano menolak tawaran damai yang aku ajukan lewat Bima, padahal uang yang aku tawarkan jumlahnya sudah cukup besar." "Jadi, aku akan di penjara?" Dengan raut yang penuh ketakutan, Dania mengatakan itu. "Tenang, Dan! Kamu nggak akan di penjara." Nathan menangkup kedua sisi wajah Dania. Coba menenangkan wanita itu agar tak perlu takut dengan apa yang terjadi ke depannya. "Tapi bagaimana caranya? Vano saja menolak tawaran damai darimu." "Sekarang kamu harus temui Vano dulu. Cobalah minta maaf dan minta untuk mencabut laporannya." "Terus bagaimana kalau dia tetap menolak permintaan maafku dan nggak mau mencabut laporannya?" "Tenang saja, percaya sama aku! Aku sudah memikirkan semuanya." Mendengar perkataan itu, Dania sedikit merasa tenang. Wanita itu pun coba mempercayai Nathan meski masih ada rasa takut yang mengusik. "Sekarang lebih baik kita mandi dulu sebelum ke rumah sakit!" Tiba-tiba Nathan menggendong tubuh Dania, membawanya menuju kamar mandi yang ada di sebelah walking closet. "Ih, Nathan lepasin ah, ngapain pakai digendong segala sih," protes Dania minta dilepaskan. Namun, Nathan tetap membawa tubuh wanita itu hingga tiba di depan pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Nathan terus menggoda Dania dengan mendekap tubuh wanita itu dari belakang. "Than, lepasin aku dong! Aku kan mau mandi." "Iya, ini aku juga mau mandi," jawab Nathan yang mulai merasakan rangsangan hebat saat permukaan kulitnya menempel erat pada kulit Dania yang halus. Dania pun mulai merasakan sesuatu yang menempel pada pangkal pahanya mengeras. "Than, itumu sepertinya mulai bangkit lagi dari tidurnya. Apa dia belum puas dengan permainan kita saat di ranjang tadi?" Nathan memilih untuk tak menjawab. Pria itu langsung memutar tubuh Dania dan mulai menyerang bibir merah wanita yang terlihat begitu seksi di matanya. Keduanya kini saling memagut mesra dan berbagi kenikmatan satu sama lain. Dania sengaja menggiring tubuh Dania sampai tepat berdiri di bawah pancuran shower yang telah ia nyalakan. Aktivitas mandi yang biasanya hanya sebatas membersihkan tubuh, kini berubah haluan menjadi aktivitas panjang yang dipenuhi desahan demi desahan dari Dania juga Nathan yang saling memburu nafsu untuk mencapai puncaknya. Setelah menyelesaikan berbagai aktivitas di kamar mandi, kini Dania dan Nathan tengah berpakaian di walking closet, mereka tampak mengenakan warna pakaian yang senada sesuai dengan permintaan Dania. Selesai berpakaian, kini Dania mulai merias wajahnya di depan sebuah meja rias yang berada di sudut ruang kamar. Hanya memerlukan waktu yang singkat, wanita itu telah selesai merias wajahnya yang memang sudah cantik, walau tak mengenakan make up sekali pun. Dania lebih menyukai make up flawless saat hendak bepergian keluar. "Than, aku sudah cantik belum, sih?" tanya Dania sembari melangkah menghampiri Nathan yang tengah berdiri di depan cermin yang lainnya. Wanita itu sengaja memeluk tubuh Nathan agar jarak mereka dekat lalu ia mengedipkan matanya berulang kali di hadapan wajah pria itu. Namun, Nathan hanya menaikkan kedua alis sebagai jawaban dari pertanyaan Dania. "Ih, jawab dong, kamu punya mulut, 'kan?" protes Dania sembari menggigit dagu pria itu. "Au, sakit! Lagian kamu nggak perlu nanya karena wajah kamu tuh udah cantik sekalipun nggak pakai make up!" Akhirnya Nathan pun menjawab dengan jujur. "Nah gitu dong, kalau ditanya tuh jawab. Btw, makasih ya pujiannya, aku senang deh dipuji sama kamu." Dania mengulas senyum bahagia. Raut wajahnya tampak bersemu merah. Pujian yang sebenarnya Nathan anggap biasa. Namun, pujian itu sukses membuat hati Dania bagai bunga yang merekah. "Ya sudah yuk, kita berangkat sekarang!" perintah Nathan sembari melepaskan tangan Dania yang masih melingkar pada tubuhnya. Pria itu pun berjalan lebih dulu keluar dari kamar meninggalkan Dania yang masih tersenyum bahagia. "Ah, kenapa pujian dari Nathan membuat hatiku jadi berbunga-bunga, ya? Apa dia memujiku karena punya perasaan lain? Jangan-jangan ... dia udah jatuh cinta sama aku," batin wanita itu terus bertanya-tanya sambil memandangi langkah Nathan yang semakin jauh meninggalkannya. Dania pun menepikan rasa bahagianya. Menyusul cepat langkah Nathan yang tak melambat di sana. "Hai, Than, tunggu aku!" teriak Dania membuat pria yang sudah setengah menuruni anak tangga segera berhenti melangkah. Setelah Dania berhasil menyusul Nathan, mereka pun melangkah bersamaan menuruni anak tangga. "Than, aku mau tanya deh." Nathan pun menoleh. Menatap wajah Dania yang penuh keraguan. "Tanya apa?" Dania memilin jemarinya. Ia merasa takut untuk mengajukan pertanyaan mengenai perasaannya. "Nggak jadi deh ...." "Tanyakan saja, Dan! Kenapa kamu kelihatan ragu?" "Hmm ... kalau selama kita menjalani hubungan ini, terus nantinya aku jatuh cinta sama kamu, bagaimana?" Nathan tersentak kaget. Menatap lekat wajah Dania seolah menginterupsi pertanyaannya tadi. "Jangan! Kamu nggak boleh jatuh cinta sama aku, Dan!" Tatapan yang lembut itu berubah tajam. Dania pun merasa kecewa. Jawaban yang terucap dari mulut Nathan seolah mematahkan hatinya. Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD