Selamat membaca!
"Nyonya Gina adalah Oma Tuan Nathan."
Mendengar jawaban Erik, Dania pun seketika teringat akan perkataan Nathan tentang wanita paruh baya itu.
"Hancur ... memangnya apa yang akan dia lakukan?"
Belum sempat Erik menjawab, pintu lift pun terbuka. Saat itu, memang hanya ada Erik dan Dania di sana hingga keduanya bisa leluasa bicara.
"Maaf, Nona, tapi saya sendiri nggak tahu apa yang akan Nyonya Gina lakukan jika Anda sampai menentangnya. Saya hanya ditugaskan menyampaikan hal itu saja."
Dania seketika membatu. Ancaman itu terdengar bukan main-main hingga membuatnya sampai kesulitan menelan saliva sendiri.
"Mari, Nona! Kamar rawatnya ada di sebelah kanan, nomor 105."
Dania pun tersadar dari lamunannya. Mengulas senyum, lalu melangkah pergi ke luar lift. "Sekarang kendalikan perasaanmu, Dan! Bersenang-senang sajalah! Ingat! Nathan adalah laki-laki yang bisa memberikanmu kemewahan hidup. Jadi, jangan bermimpi bisa menjadi ratunya kalau kamu nggak mau kehilangan segalanya." Dania terus merutuki dirinya sendiri. Menguatkan hati bahwa perasaannya pada Nathan masih bisa dihilangkan, meski ia tidak tahu apa itu mudah untuk dilakukan.
Langkah Dania terhenti di depan ruang rawat dengan nomor 105 seperti yang Erik katakan. Namun, ia tak langsung masuk. Masih termangu tak beranjak.
"Ada apa, Nona?" Erik yang memang mengikuti Dania coba bertanya saat melihat Dania seperti ragu untuk masuk.
"Nggak apa-apa. Kamu di sini aja, nggak perlu temani saya masuk!" Dania memang masih kesal pada Erik. Bisa-bisanya pria itu memata-matai, padahal ia bekerja untuk Nathan.
"Tapi, Nona, Tuan Nathan minta Anda menunggunya, paling sebentar lagi dia datang. Tunggulah, Nona!"
"Nggak perlu, biar saya sendiri saja!" jawab Dania yang kembali mempersiapkan diri sebelum masuk. "Aku nggak boleh bergantung sama Nathan. Masalah ini harus aku selesaikan sendiri." Di dalam hati, Dania coba meyakinkan diri. Mengusir rasa takut yang sempat membuatnya ragu.
Dania mulai mengetuk pintu itu berulang kali. Namun tiba-tiba, rasa takut kembali terbesit dalam pikirannya. "Tapi kalau Vano nggak mau maafin aku, gimana? Berarti aku akan di penjara?" Pergolakan itu masih terjadi. Keraguan lagi-lagi membuatnya seperti patung. Diam tak bergerak, mengundang rasa penasaran Erik. Namun, meski Dania tak mengatakannya, pria itu sudah dapat menebak jika Dania tengah menutupi rasa takutnya dengan berpura-pura berani menghadapinya sendiri.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Pandangan mata Dania seketika langsung tertuju pada sosok Dian yang kini berdiri di hadapannya.
"Untuk apa kamu datang ke sini, Dan? Bukannya kamu udah di penjara, kenapa kamu masih bebas?" Dian terhenyak. Merasa terkejut akan kedatangan Dania. Tentu saja wanita itu tak menyambut baik setelah apa yang dilakukannya pada Vano.
"Gue nggak ada urusan sama lo! Minggir lo!" Tanpa menghiraukan keberadaan Dian di depannya, Dania menerobos masuk. Melewati wanita itu dengan menabrak tubuhnya hingga Dian mengaduh kesakitan.
"Dania, kamu mau ngapain ke sini? Apa kamu mau nyakitin Vano lagi?" Dian seketika berlari dan kembali menghalangi langkah wanita itu. Ia takut jika Dania akan berbuat nekat seperti yang dilakukannya saat di bar.
Vano yang baru terjaga pun begitu terkejut saat melihat kedatangan Dania. "Untuk apa kamu ke sini?"Vano mengatakan dengan penuh penekanan. Pria itu terlihat sangat geram hingga terdengar suara gemeletuk dari giginya.
"Aku datang ke sini bukan mau cari masalah, aku hanya ingin minta maaf sama kamu Vano karena aku udah nyakitin kamu. Aku sungguh-sungguh menyesalinya."
Tak hanya Dian yang terkejut, Vano yang mendengar ucapan Dania langsung tertawa. Baginya, permintaan maaf mantan kekasihnya itu seperti sebuah lelucon. Bagaimana bisa dengan segampang itu minta maaf setelah hampir membuatnya kehilangan nyawa.
"Jangan berharap kalau aku akan maafin kamu, Wanita Jalang! Aku akan tetap menuntutmu agar kamu masuk penjara!" bentak Vano dengan suaranya yang lantang.
Sesuai dugaan Dania sebelumnya. Jawaban Vano sudah membuktikan bahwa kedatangan adalah hal yang percuma.
"Harusnya aku nggak perlu datang ke sini! Aku bodoh jika berpikir kamu bisa menyadari kesalahanmu dan mau mengerti kenapa aku sampai bisa melakukan itu sama kamu? Ternyata aku salah–"
Vano berhasil meraih tangan Dania setelah beranjak dari posisi tidurnya. Pria itu tak ragu-ragu mencengkram hingga Dania kesakitan.
"Van, lepas! Tanganku sakit! Tolong lepasin aku!" Dania berulang kali meminta. Namun, tak digubris sama sekali oleh Vano yang seolah puas melihat wanita yang telah melukainya kesakitan.
"Lebih baik kamu masuk penjara daripada aku membalasmu dengan cara lain. Kamu harus ingat satu hal! Sampai kapan pun juga, aku nggak rela kalau kamu baik-baik saja, sementara aku harus menderita karena rasa sakit ini!"
"Vano ... sakit! Lepasin aku!" Dania sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar sampai ke luar ruangan yang pintunya sudah tertutup. Namun, Dania merasa heran karena Erik yang ia tahu ada di depan di ruangan seolah tak mendengar untuk masuk menolongnya.
"Ke mana bodyguard sialan itu? Apa dia sengaja nggak mau nolongin, padahal aku yakin dia denger teriakanku?" batin Dania masih meringis. Merasakan sakit pada tangannya.
Melihat keduanya bertengkar, Dian pun coba melerai. Usahanya itu tampak sia-sia. Pertengkaran kian membesar. "Sayang, lepasin dia! Jangan sampai nantinya kamu malah dituntut balik karena menganiayanya." Dian berusaha meredam kemarahan Vano yang begitu memuncak saat melihat kedatangan Dania.
"Nggak, Di! Aku nggak rela kalau dia bebas gitu aja, lebih baik dia mati di tanganku!" Mendengar ucapan Vano, Dian pun sampai kehabisan cara dan semakin takut dengan apa yang akan dilakukan kekasihnya itu setelah ini.
Di saat Vano, akan menyakiti Dania, pintu ruangan terbuka. Sosok Nathan merangsek masuk, lalu menendang tubuh Vano hingga pria itu terpental ke belakang hingga ke atas ranjang.
"Vano, kamu nggak apa-apa?" Dian menghampiri pria itu yang tengah menahan sakit pada bagian dadanya akibat tendangan Nathan.
"Jangan pernah berani melukai wanitaku atau aku akan buat hidupmu sengsara!"
Vano yang masih mengerang kesakitan mulai menatap Nathan dengan berang. Namun, seketika kedua alisnya saling bertaut seperti teringat akan siapa sosok pria yang ada di hadapannya saat ini.
"Kau, Na-than ...."
Nathan hanya berdecih. Seringainya mulai terbentuk bersama dengan sorot matanya yang menajam. "Sepertinya kau mengenalku! Jadi, aku nggak perlu repot-repot memperkenalkan diri."
"Jadi, dia pacarmu?" Vano masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Dania yang kini berlindung di belakang tubuh Nathan seketika menatap pria itu dengan seksama. Penasaran akan jawaban apa yang akan diberikan.
"Ya, dia pacarku. Calon istriku!"
Tentu saja Dania terkejut. Jawaban itu sangat bertolak belakang dengan yang sempat dikatakan Nathan sebelumnya. Namun, saat senyum Dania hampir merekah, wanita itu sadar bahwa ia tak boleh bahagia meski Nathan mengatakan itu sambil menggenggam tangannya.
Bersambung✍️