Selamat membaca!
Nathan kini sudah berdiri di depan pintu dengan santai. Ia tak gentar sedikit pun menghadapi petugas polisi yang akan ditemuinya. Saat pintu apartemen terbuka, kedua matanya langsung menatap ke arah dua polisi yang sudah berdiri sigap di hadapannya.
"Permisi, Tuan. Kami dari pihak kepolisian ingin menemui seorang wanita bernama Dania Salsabila. Menurut informasi yang kami dapat, dia tinggal di sini?"
"Iya memang benar. Ayo silakan masuk!" Nathan menjawab ramah, lalu meminta kedua polisi itu untuk masuk ke apartemennya. Nathan pun mulai bicara. Menjelaskan duduk perkara yang terjadi pada dua polisi itu setelah mengakui Dania sebagai istrinya.
"Baiklah, Tuan Nathan, kalau begitu kami undur diri dulu. Mohon secepatnya istri Anda temui saudara Vano agar pihak pelapor mencabut laporannya."
"Tentu saja. Siang ini saya akan menemaninya. Sekali lagi terima kasih atas pengertiannya." Nathan tampak menjabat tangan kedua polisi itu secara bergantian sebelum mereka pergi.
Tak kuat menunggu karena penasaran, Dania terlihat menuruni anak tangga dengan perlahan. Wanita itu tampak mengendap-endap sambil mengedarkan kedua matanya guna mencari keberadaan Nathan. Dania melangkah begitu hati-hati, ia tak ingin keberadaannya sampai diketahui dua polisi yang datang ke apartemennya.
"Nathan ke mana, ya? Kok dia nggak ada sih. Apa dia ada di luar sama polisi-polisi itu?" gumamnya dengan pelan.
Saat Dania sedang mengintip ke arah luar, tiba-tiba saja Nathan berdiri di sampingnya dengan berdehem keras. Dania pun dibuat terkejut karena panggilan itu begitu tak diduganya. "Nathan! Sejak kapan kamu berdiri di belakangku? Di mana polisi-polisi itu? Kenapa aku nggak melihat mereka?" tanya Dania tanpa menoleh ke belakang.
"Maafkan aku ...."
"Maaf kenapa?" Perasaan Dania semakin tidak enak saat melihat ekspresi wajah Nathan yang murung.
"Maaf karena aku gagal bernegosiasi dengan kedua polisi yang tadi datang. Mereka sudah menunggumu di depan, sana temui mereka!"
"Apa? Aku nggak mau nemuin mereka. Kamu bilang aja aku pergi!"
"Mereka tahu kamu ada di sini, Dan. Mereka melihat CCTV di apartemen ini."
Merasa tak ada jalan keluar, Dania memilih untuk kembali ke kamar. Namun, baru satu langkah pergi, Nathan menarik tangan wanita itu.
"Ayo dong, kamu jangan takut, kamu harus berani!" Nathan terlihat begitu santai. Menahan rapat-rapat mulutnya karena menahan tawa yang sebenarnya begitu menggelitik perutnya sejak tadi, terlebih melihat raut ketakutan Dania yang baru sekali ini dilihatnya.
"Kamu kenapa kayanya seneng banget aku mau ditangkep?" Dania dapat menebak saat tawa kecil spontan keluar dari mulut Nathan meski sesaat.
"Mana mungkin aku senang, justru aku sedih karena akan kehilangan kamu." Layaknya seorang artis, Nathan memainkan perannya dengan sangat baik. Raut wajah pria itu kini berubah sendiri dalam sekejap. Membuat Dania sampai percaya.
"Kalau kamu sedih, harusnya kamu menolongku. Aku nggak mau ditangkap, Than! Aku mohon ...."
"Temui saja dulu dua polisi itu, apa kamu mau mereka menyeretmu dari apartemen ini dengan paksa dan nanti semua penghuni di apartemen ini akan tahu masalahmu?"
Dania sejenak berpikir. Mengurungkan niat untuk pergi sambil terus melihat Nathan penuh selidik.
"Apa dia benar-benar rela menyerahkanku pada polisi itu begitu saja?" batin Dania yang meski takut, ia tetap mengangkat kedua kaki untuk melangkah ke arah sebaliknya.
"Jangan takut, temui saja mereka dulu!" Nathan kembali berucap. Masih nyaman melakoni sandiwara yang padahal sudah membuat Dania kalang kabut.
"Maafin aku, ya. Aku nggak bisa menjalani kesepakatan kita lagi, aku akan hidup di penjara. Jadi, bagaimana bisa aku melayanimu di ranjang? Di sana pasti nggak disediakan."
Perkataan Dania kali ini benar-benar meluluhlantakkan keterbungkaman Nathan yang sejak tadi ditahannya. Namun, begitu akan tertawa, Nathan langsung memutar tubuh kekarnya seolah acuh, sementara Dania mulai melangkah menuju depan pintu.
"Kenapa jadi begini nasibku? Aku pikir ... aku akan bahagia setelah bertemu Nathan." Kedua mata Dania terpejam erat saat akan membuka pintu apartemen. Debaran jantungnya tak berirama. Napasnya terasa sesak seperti kehabisan oksigen. "Ya Tuhan, aku nggak bisa hidup di penjara." Dania pun memejamkan kedua matanya saat menggerakkan pintu agar terbuka.
"Tolong jangan tangkap saya, Pak! Saya rela melakukan apa pun agar nggak di penjara. Saya mohon, Pak." Masih dengan mata tertutup Dania mengatakan itu. Menanti jawaban dari polisi yang kata Nathan sudah menunggunya di depan pintu.
Saat tak mendapatkan jawaban apa pun, akhirnya Dania membuka mata dengan perlahan. Dan, alangkah terkejutnya ia saat tak melihat siapa pun di sana.
"Lho, di mana polisi-polisi itu? Apa mereka sudah pergi? Tapi kata Nathan mereka nungguin aku." Dania merasa heran. Menggaruk kepalanya beberapa kali meski tidak gatal sama sekali.
Di tengah keheranannya, suara tawa Nathan kembali terdengar. Mengingatkan Dania akan ekspresi tak biasa yang tadi ditunjukkan Nathan.
"Dasar kamu! Ih, nggak lucy banget sih bercandanya."
Nathan mengerutkan dahi. Tawanya sejenak redam mendengar ucapan Dania yang tak ia mengerti. "Kok lucy sih?"
"Lucu maksudku. Itu bahasa anak-anak di bar, ah kamu masa nggak gaul, Than. Jadi, kamu becandain aku, ya?"
Nathan masih mengangguk. Kembali tertawa karena merasa Dania begitu menggemaskan di matanya. "Iya, aku sengaja biar kamu spot jantung dulu."
"Terus, polisi itu beneran pergi. Aku nggak jadi ditangkap kan, Than?"
"Iya, tenang aja. Aku sudah menghubungi Bima dan mengurus masalah Vano dan wanita yang menjadi pihak pelapor itu. Jadi, kamu tenang aja!"
Masih terus berjalan kecil ke arah Nathan, mendengar itu, Dania langsung berlari kegirangan. Tanpa malu-malu ia melompat hingga langsung memeluk tubuh Nathan dengan erat.
"Makasih ya, Than. Aku bahagia banget. Aku janji, aku nggak akan melakukan itu lagi. Aku bakal lebih kontrol emosiku kalau-kalau ketemu mereka."
Nathan hanya diam. Bukan tak mendengar apa yang dikatakan Dania. Entah kenapa, detak jantung seperti tak beraturan. Perasaannya berubah nyaman hingga sulit ia artikan. Situasi yang seketika langsung mengingatkannya akan masa lalu. Masa di mana ia cinta setengah mati pada Vina. Wanita yang ingin dinikahinya. Namun, rencana hanya tinggal rencana karena Vina justru hilang tanpa kabar.
"Ya sudah karena masalah kamu sudah selesai. Aku pergi dulu!" Nathan melepas begitu saja pelukan Dania tanpa membalasnya. Membuat Dania merasa heran.
"Than, jangan pergi! Biar aku melayanimu dulu." Dania menarik tangan Nathan. Menahan langkah pria itu yang baru saja mengambil jas yang terlampir di sandaran sofa.
"Aku lupa kalau aku ada meeting siang ini. Jadi, aku harus cepat pergi ke kantor." Nathan beralasan, padahal yang sebenarnya ia hanya tidak ingin perasaan nyaman saat di dekat Dania dapat berubah jadi cinta yang tumbuh di hatinya.
Dania pun melepas genggaman tangannya. Membiarkan Nathan kembali melangkah.
"Oh ya, aku juga belum tahu kapan bisa datang ke sini lagi? Beberapa hari ini sepertinya aku akan sibuk dengan pekerjaanku." Tanpa melihat Dania, Nathan mengatakannya sambil terus berjalan.
"Tunggu, Nathan! Apa sekarang kamu bisa menolaknya?"
Suara Dania begitu tak biasa di telinga Nathan. Wanita itu sengaja memainkan irama suaranya agar terdengar lebih sensual hingga membuat naluri kelaki-lakian Nathan seolah terangsang dan tubuh pria itu pun spontan berbalik.
"Persetan dengan cinta!" Nathan yang tak kuasa menahan hasratnya yang mulai membuncah pun melangkah cepat mendekati Dania. Wanita itu terlihat sedang berpose begitu liar tanpa mengenakan sehelai pakaian yang tampak berserakan di lantai.
Bersambung✍️