PART. 5

952 Words
Dokter sudah memeriksa Cantika. "Hanya demam biasa, sepertinya dia terlalu lelah, dan ada sesuatu yang membebani pikirannya" ujar dokter. "Membebani pikirannya, apa yang Cantika pikirkan?" "Sebaiknya ajak dia bicara Tari, dari hati ke hati. Agar apa yang jadi beban pikirannya bisa berkurang" saran dokter Diah. Dokter yang bertugas di Puskesmas kampung mereka. "Terimakasih dokter" sahut Tari. Setelah dokter pergi. "Menurut Abba, apa yang Cantika pikirkan?" Tanya Tari, mereka sedang menatap Cantika yang tertidur. "Aku tidak tahu Tari, kamu tahukan, tai cicakmu ini agak lambat dalam memikirkan hal-hal seperti ini" "Hhh Aa, apa jangan-jangan dia merasa tertekan karena harus memilih, pria mana yang akan jadi suaminya?" "Bisa jadi hal itu penyebabnya Tari. Mungkin Cantika merasa takut salah pilih" "Jadi bagaimana Aa, apa harus kita yang memilihkan suami untuk Cantika?" "Dia yang akan menjalani hidup berumah tangga Tari. Dia yang harus memilih sendiri, pria mana yang menurutnya paling pantas untuknya. Kita sebagai orang tua cukup hanya memberi pandangan saja. Selebihnya keputusan adalah milik Cantika" "Hhh ... kalau dia sakit begini, rasanya hatiku resah sekali Aa, dia yang selalu ceriwis, tiba-tiba diam seperti ini." Raka memeluk bahu Tari. "Dia sudah dewasa Sayang, sebentar lagi akan jadi milik orang. Waktu kita bersamanya tentu akan jadi lebih sedikit. Apa dia tidak terlalu cepat dewasa ya, rasanya baru kemarin melihatnya berlari mengejar Soleh, karena ingin ikut naik motor" gumam Raka. "Waktu terlalu cepat berputar Aa, rasanya belum cukup waktu bagi kita untuk terus bersamanya" "Dia perempuan Tari, harus mengikuti suaminya, seperti kamu yang mengikuti aku di sini" "Aa" "Hmmm" "Kandidat orang kampung sini ada berapa orang?" "Kenapa?" "Kalau kita tidak ingin berpisah dengan Cantika, artinya dia harus menikah dengan pria orang kampung ini atau setidaknya masih di daerah ini" "Aku lupa ada berapa dan siapa saja, tapi ada diantara mereka, tapi jangan lupa, harus kita lihat juga akhlak dan budi pekertinya Tari" "Itu sudah pasti Aa" "Nanti kita cari tahu sama-sama, siapa saja mereka ya" "Iya Aa" Tari berlutut di sisi ranjang Cantika. Diusapnya kepala Cantika dengan lembut. "Cantika cantik, cepat sembuh ya sayang" Tari mengecup kening Cantika yang tertutup kompres tempelnya. Ada air mata yang jatuh membasahi pipi Tari. -- Soleh duduk di atas sajadahnya. Ia baru saja selesai sholat subuh. Jemarinya sedang menjentik tasbih. Sejak tadi malam perasaannya yang sedang resah terasa semakin resah. Ia tidak bisa memejamkan matanya barang sekejap. Ingatan akan wajah Cantika yang berurai air mata terasa menyesakan dadanya. Bayangan itu tidak mau pergi dari pelupuk matanya, membuatnya tidak bisa memejamkan matanya. Soleh menundukkan kepala, perlahan diangkat wajahnya, ditadahkan kedua tangannya. "Ya Allah Aku tidak tahu kenapa hatiku resah begini, aku tidak tahu kenapa pikiranku bisa kalut seperti ini. Aku tidak tahu kenapa wajahnya mengganggu pikiranku. Air matanya menyesakan dadaku. Ya Allah Hanya ENGKAU yang bisa membolak balikan hati. Hanya ENGKAU yang bisa mengerti apa arti keresahan ini. Aku serahkan semua kepada MU. Aku pasrahkan semua pada takdir yang sudah KAU gariskan untukku. Ya Allah Aku mohon, berikan kebahagiaan untuk Cantika. Bahagiakan dia. Berikan suami yang terbaik untuknya. Jangan biarkan kesedihan mengusik perasaannya. Jangan biarkan air mata jatuh membasahi pipinya. Aku mohon pada MU ya Allah, kabulkan doaku, aamiin, aamiin, aamiin, ya rabbal alaamiin" Soleh mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Sembari dihapusnya air mata yang hampir jatuh di sudut matanya. "Soleh" terdengar ibunya memanggil. "Ya Bu" Juleha duduk di tepi ranjang kecil yang ada di dalam kamar itu. "Hari ini hari pernikahan saudara sepupumu" "Ya Bu" Soleh duduk di sebelah ibunya, setelah melipat sajadahnya. "Lalu kapan kamu akan menikah?" "Aku belum ingin menikah Bu?" "Kenapa Soleh? Apa kamu patah hati karena Wirda menikah dengan orang lain?" "Bukan karena itu Bu" Soleh menundukkan wajahnya. "Lalu karena apa? Kedua adikmu sudah menikah, apa lagi yang kamu tunggu Soleh. Usiamu sudah 35 tahun, itu usia yang sudah sangat matang Soleh" "Aku tahu Bu" "Buka hatimu Soleh, banyak wanita menaruh hati padamu, bahkan banyak orang tua yang memintamu jadi suami anak gadisnya, tapi kamu selalu menolak, kenapa Soleh?" "Tidak apa-apa Bu" "Tidak apa-apa bagaimana? Jangan katakan kalau kamu mencintai wanita yang tidak seharusnya kamu cintai Soleh!" "Apa maksud ibu?" Soleh menolehkan kepalanya, agar bisa menatap wajah ibunya. "Ibu tahu Soleh, kamu sangat menyayangi Cantika, kamu tidak bisa pergi jauh darinya, kamu seperti terikat bersamanya. Tapi ingatlah Nak, siapa kita ini. Kita ini hanya orang kecil yang beruntung bisa mengenal mereka, mereka yang sudah mengangkat derajat kita. Jangan buat mereka membenci kita Soleh" Soleh menundukkan wajahnya dalam, matanya berkaca-kaca. Sedang air mata sudah membasahi pipi Juleha. "Sebesar apapun rasa sayang Nak Raka dan Tari kepadamu, tetap saja kamu tidak boleh berharap jadi menantu mereka Soleh. Mereka orang baik, orang hebat, mereka pantas mendapatkan menantu yang sempurna. Karena Cantika sangat istimewa bagi mereka" "Aku tahu Bu, aku tahu, aku tidak pernah berharap lebih dari sekedar menjadi Paman bagi Cantika. Aku cukup tahu diri Bu, ibu jangan khawatir. Aku pasti akan menikah dengan wanita manapun yang ibu inginkan. Jika Cantika sudah menikah. Aku ingin tetap menjaganya, sampai dia memilih suami yang akan menggantikan aku menjaganya Bu, ibu bisa pegang janjiku" Soleh menggenggam jemari ibunya dengan erat. "Ibu pegang janjimu Soleh, semoga kamu bisa menepati janjimu ini" "Insya Allah Bu" Soleh menganggukkan kepalanya. "Ibu ke luar dulu ya, kamu juga bantu-bantu di depan, oh ya, jam berapa kamu berangkat ke Jakarta?" "Insya Allah setelah ashar nanti Bu" "Tidak bareng Soleha perginya?" "Tidak Bu, Soleha kan besok baru pulang ke Jakarta" "Jadi kamu menginap di mana?" "Di penginapan saja Bu, tidak enak menginap di rumah Soleha, kalau dia tidak ada" "Ehm ibu tahu, semoga lancar besok wawancaranya ya" "Aamiin, terimakasih Bu" "Ibu ke luar dulu ya" "Ya Bu" Setelah ibunya ke luar, Soleh kembali duduk di tepi ranjang. Di ambil ponselnya, ia timang-timang sejenak. Keraguan menyergap perasaannya. Akhirnya ponsel ia masukan ke dalam saku celananya. 'Latihan dulu Soleh, latihan untuk membiasakan diri tanpa Cantika di dalam hidupmu' Batin Soleh. ***BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD