Boat melaju meninggalkan dermaga. Posisi duduk yang saling berhadapan di atas boat tidak memberi Mahesa pilihan selain menghindar sedikit lebih menjauh dari Ziya. Mahesa memalingkan pandangan ke samping ke arah pulau yang mereka tinggalkan untuk sementara waktu. Hamparan pasir putih, bungalow-bungalow beratap daun nipah di tepi pantai, dan dermaga kayu yang sangat panjang menjorok ke pantai telah mengambil alih keresahan dan rasa canggung Mahesa untuk sementara waktu. Keindahan pulau Mansuar mematri pandangannya untuk sejenak melupakan masalah hati yang tengah bergejolak tidak pasti.
Laju kapal semakin lambat dan akhirnya berhenti beberapa menit kemudian. Mahesa mengedarkan pandangan. Berpuluh-puluh meter di hadapan kapal mereka yang terombang-ambing ombak tampak spot wisata lain yaitu Pasir Timbul, hamparan pasir yang muncul menyerupai padang pasir mini di saat air laut surut.
“Apakah itu Pasir Timbul?” Mahesa bertanya langsung kepada pemandu mereka sambil menunjuk ke arah hamparan pasir yang sangat indah.
“Betul, Pak. Apakah Bapak mau ke sana?”
“Tidak. Cukup di sini saja.” Mahesa kemudian mengarahkan pandangannya kepada Ziya dan bertanya untuk memastikan. “Apakah di sini tempat kamu dan Rafa ber-snokeling?”
“Iya. Di sekitar sini,” ucap Ziya dari tempat duduknya.
“Kenapa kalian harus ber-snorkeling ke tempat yang jauh seperti ini, padahal di bawah dermaga pemandangan bawah lautnya tidak kalah indah dan airnya juga sangat jernih?” celetukkan bernada selidik terlontar dari mulut Bima.
Ziya menunduk. Pertanyaan Bima seolah-olah sedang menyudutkannya. “Aku tidak tahu. Mas Rafa yang menginginkannya.”
“Baiklah. Kamu dan Bang Damar tunggu di sini.” Bima mengembus napas. “Rafa pasti ketemu. Doakan saja.”
Ziya mengangguk. Usaha Bima untuk menenangkannya sama sekali tidak memberi efek tenang. Ia tahu Rafandra tidak akan mudah ditemukan. Andaikan seseorang atau polisi atau tim SAR yang berhasil menemukannya, kemungkinan besar Rafandra masih hidup sangat kecil. Ziya menyadari itu. Air matanya kembali meluruh. Seluruh harapan yang telah ia bangun bersama Rafandra telah tenggelam bersama pria itu.
“Bapak-bapak jangan lupa memakai fin ya. Arus di bawah cukup kencang.” Si pemandu memperingatkan Mahesa dan Bima yang tengah bersiap untuk terjun ke dalam air.
Mahesa dan Bima mengenakan fin, kaki katak, mereka. Setelah mendapat komando dari pemandu, Mahesa dan Bima terjun satu per satu. Mahesa berusaha merasakan arus di bawah sana dengan berdiam diri. Dengan cepat ia terseret menjauh dari boat. Setengah jam sudah cukup bagi Mahesa untuk mengetahui hasil yang ia inginkan dan kembali ke dermaga.
Mahesa mempersilakan Ziya dan Bima ke bungalow mereka, sementara ia dan Bima berusaha berbaur dengan penduduk di sana. Mereka menghampiri para bapak yang sedang mengobrol sambil mengunyah sirih di bale-bale dekat dermaga. Sambutan ramah dari warga desa itu membuat Mahesa tidak merasa canggung untuk mengobrol. Salah satu warga desa bahkan berbicara dalam bahasa Inggris pada Mahesa lantaran melihat penampilan Mahesa yang tampak seperti turis asing meskipun berambut gelap. Faktor warna kulit dan mata sepertinya membawa pengaruh pada penilaian fisik seseorang. Usaha mengumpulkan informasi tentang Rafandra tidak hanya Mahesa dan Bima lakukan di bale-bale. Sesaat setelah mendapatkan sedikit pencerahan dari obrolan singkat dengan para bapak, ia dan Bima lanjut nongkrong di warung kopi.
Matahari hampir tenggelam saat Mahesa kembali ke bungalow. Ia meninggalkan Bima yang sedang asyik bercengkerama dengan anak-anak asli Yenbuba di warung kopi. Mahesa berjalan dengan langkah pelan memasuki bungalow. Ia tidak menduga harus kehilangan Rafandra dengan cara seperti ini. Meskipun ia tidak bisa menutupi rasa benci yang terlanjur terpatri di hatinya pada Rafandra, tetapi hubungan darah tidak bisa dipungkiri.
Mahesa duduk bersandar di kursi rotan. Ia mendongakkan wajah menatap langit-langit sambil memijat dahi. Kenapa kamu tidak pernah mau menganggapku sebagai kakak, Rafa? Bodoh, kamu pikir bisa melewati semuanya sendirian?
Deburan ombak yang menghantam kaki-kaki kayu bungalow menyentak kesadaran Mahesa. Ia menarik punggung dari kursi lalu bangkit dan berjalan keluar. Senja tengah menghadang. Gerakan matahari yang tidak sabar menjemput malam menyisakan warna jingga di langit Yenbuba. Burung-burung camar yang terbang berkelompok untuk kembali ke sarang mereka menambah indah suasana sore. Mahesa berdiri di balkon bungalow sambil menatap ombak yang kian bergemuruh dan lebih tinggi dari tadi siang. Lukisan indah Sang Pencipta tertumpah di atas bumi Papua yang mengagumkan. Mahesa bersyukur dalam hati masih bisa menyaksikan keindahan alam negerinya meskipun dalam suasana duka.
Ketenangan Mahesa menikmati pemandangan perlahan terkikis saat pandangannya menemukan Ziya yang sedang duduk di tepi balkon bungalownya dengan kaki menjuntai. Wanita itu membiarkan kaki mulusnya diterpa ombak, sementara pandangannya memandang matahari yang perlahan tenggelam. Letak balkon yang sejajar memudahkan Mahesa untuk memperhatikan Ziya tanpa Ziya sadari. Sejumput rasa aneh yang menggetarkan hati menjalar ke seluruh saraf Mahesa. Meskipun logikanya menginginkan ia beranjak dari sana, namun mata dan seluruh tubuhnya terpaku dan terarah pada Ziya. Sungguh pengkhianatan yang sangat menakjubkan yang dilakukan anggota tubuhnya.
Dering suara ponsel dari saku celana menginterupsi aktivitas diam Mahesa. Ia mengerjapkan mata untuk kembali memakai semua logika yang ia punya. Nama AKP Umar tampak di layar ponsel sesaat setelah ia mengambil ponsel tersebut dari saku celana.
Umar: “Selamat sore, Pak Mahesa.”
Mahesa: “Selamat sore, Pak Umar. Ada kabar apa nih, Pak?”
Umar: “Permintaan tunangan saudara Rafandra untuk kembali ke Jakarta sudah mendapatkan izin dari Polres setempat. Mungkin, sebentar lagi mereka akan menghubungi Bapak dan tunangannya saudara Rafandra.”
Mahesa: “Perjalanan kasusnya sendiri bagaimana, Pak Umar?”
Umar: “Pihak kepolisian sana nanti yang akan menjelaskan pada Bapak.”
Mahesa: “Baik, Pak. Terima kasih.”
Mahesa menutup telepon dari Umar. Tidak menunggu Bima, ia pergi ke bungalow Ziya. Ketukan pintu yang tidak mendapat respons memaksa Mahesa masuk tanpa izin. Damar tidak tampak di dalam bungalow. Mahesa berharap Ziya masih ada di balkon dan memang benar. Ketika ia membuka pintu belakang bungalow, ia melihat Ziya masih duduk termenung. Ia mengembus napas mengumpul keberanian untuk bicara pada wanita itu secara profesional.
“Ziya.” Jantung Mahesa berdetak kencang ketika panggilan untuk wanita yang telah mengaduk-aduk emosinya terlontar.
Ziya menoleh. Pancaran rasa kaget terlukis di raut wajahnya. Mata wanita itu terlihat melebar. Ia kemudian mendorong tubuhnya ke belakang lalu berdiri.
“Maaf, aku masuk tanpa izin,” tutur Mahesa sambil berjalan mendekat. “Kita harus bicara. Sebelumnya aku minta maaf karena aku lancang sudah meminta izin kepada pihak kepolisian atas namamu agar kamu bisa pulang ke Jakarta. Pihak kepolisian akan segera menghubungimu.”
Alis Ziya yang melengkung seperti bulat sabit menyatu dan matanya menyipit. “Apa?”
“Kamu bisa pulang ke Jakarta dan menunggu hasil penyelidikkan di sana.”
“Aku tidak mau pulang ke Jakarta samapai Mas Rafa ditemukan.”
“Jangan konyol kamu. Kamu tahu—“
“Tahu apa, Mas?!” potong Ziya, “kalau aku konyol masih berharap Mas Rafa ditemukan?!” kilat marah tampak di matanya.
Mahesa berusaha meraih lengan Ziya, tapi dengan cepat Ziya menepisnya.
“Bukan begitu maksudku, Ziya. Rafa itu adikku. Aku juga ingin dia ditemukan segera. Namun, jika harus menunggu, sampai kapan?”
“Aku tidak peduli sampai kapan. Aku akan tatap menunggu Mas Rafa di sini.”
“Untuk apa? Untuk memastikan apa?” tandas Mahesa, “Rafa punya masalah serius dalam bisnisnya. Kamu tahu itu, ‘kan?”
Mata Ziya kembali menyipit. “Masalah serius apa? Aku tidak tahu.”
Mahesa mengembus napas. Tatapan skeptisnya menyeruak pada Ziya. “Kamu tunangannya. Sangat aneh kalau kamu tidak mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu Mas Rafa punya masalah dalam bisnisnya.” Ziya menunduk. Gerakan di pundak dan isaknya menyiratkan penyesalan yang terlambat ia sadari.
“Suka atau tidak, kita semua besok akan kembali ke Jakarta setelah urusan dengan kepolisian di sini selesai.” Mahesa mengembus napas . “Aku minta kerja sama kamu, Ziya. Semua ini untuk Rafa. Permisi.”
Mahesa berbalik lalu pergi meninggalkan Ziya. Ia masih belum mengetahui karakter Ziya yang sebenarnya. Oleh karena itu, Mahesa meminimalisir hal-hal yang bisa menyebabkan perdebatan di antara mereka, termasuk berbicara panjang lebar dengan wanita tersebut.
○○○
Suasana sedikit berisik di dalam kabin pesawat setelah take off. Mahesa duduk di dekat jendela di samping Bima. Ia terpaksa menulikan pendengaran saat telinganya menangkap obrolan-obrolan dari penumpang lain yang duduk di deret depan dan belakang. Pandangannya masih mengamati awan-awan putih yang menghampar di luar sana. Terperangkap dalam situasi serba salah telah menciptakan dilema tersendiri. Peristiwa malam panas di bukit itu seperti terbiaskan oleh keadaan.
Mahesa semakin resah ketika samar-samar bayangan Ziya yang duduk di kursi di seberang lorong bersama Damar tertangkap oleh kaca jendela. Wanita itu sudah menyiksa batinnya selama enam bulan dan sekarang, saat Mahesa menemukannya, Ziya hampir membunuh Mahesa dengan rasa bersalah yang tidak bisa Mahesa ungkapkan. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 4 jam 30 menit dari Sorong menuju Jakarta terasa sangat panjang.
“Kenapa sih lu diam aja, Hes?” Bima penasaran dengan sikap Mahesa yang seolah-olah membekukan diri.
Mahesa menoleh lalu menggelengkan kepalanya sambil berucap,” Gue cuma pusing sedikit. Mungkin efek kurang tidur kali.”
“Perlu kantung muntah?” ledek Bima.
“Si*lan lu!” Mahesa mencebik. “Pakai tuh sepatu,” titah Mahesa sambil pandangannya menunjuk ke sepatu Bima yang tergeletak di bawah tempat duduk mereka, di antara kedua kaki Bima. Sudah menjadi kebiasaan buruk Bima yang selalu melepas sepatu saat berada dalam pesawat. Pria berkepala plontos itu paling hobi ber-barefoot ria saat terbang.
“Mendingan elu tidur deh daripada cemberut terus.”
“Nanggung. Bentar lagi landing.”
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, suara merdu sang pramugari mengumandangkan pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat. Sesuai arahan sang pramugari, semua penumpang bersiap-siap termasuk Mahesa. Mahesa memasang sabuk pengaman, sementara itu Bima mencondongkan tubuhnya ke depan tergesa-gesa memakai sepatu. Space yang tercipta lantaran Bima masih sedikit membungkuk membuat pandangan Mahesa secara tidak sengaja menemukan pandangan Ziya yang sedang terarah tepat kepadanya dari seberang sana. Pandangan mereka saling mengunci untuk beberapa saat. Pancaran rasa terpendam dan rasa lain saling berkejaran mencapai titik temu di dalam hati masing-masing. Sayangnya, Bima memutus kontak rasa itu tiba-tiba lantaran ia kembali duduk tegak dan merapat ke sandaran kursi untuk memasang sabuk pengaman. Mahesa mengembus napas pendek meluapkan rasa tegang yang mendadak menyelimuti. Ia mengembalikan pandangannya ke luar jendela. Perjalanan panjang yang menyiksa, pikirnya.
Setelah tiba di bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dan mengambil barang-barang bawaannya dari baggage claim, Mahesa segera menyusul Ziya dan Damar yang lebih dulu keluar dari tempat penitipan bagasi tersebut.
“Ziya, tunggu!”
Peringatan Mahesa menghentikan langkah Ziya. Ia menoleh ke belakang dan tertegun. Separuh dirinya ingin segera angkat kaki dan menjauh dari Mahesa, tetapi setengahnya lagi diliputi kuriositas yang tinggi. Ziya sudah menyepakati semua aturan yang diminta pihak kepolisian Raja Ampat untuk tetap kooperatif dan terus menginformasikan jika sesuatu yang berkaitan dengan hilangnya Rafandra ia temukan, begitupun sebaliknya. Untuk apa lagi Mahesa menghentikannya? Ziya bertanya-tanya dalam hati.
Mahesa berjalan dengan cepat ke hadapan Ziya. Ia memandangi wajah wanita itu sesaat sebelum menginformasikan pesan singkat yang diterimanya melalui ponsel. “Mamanya Rafa ingin bertemu denganmu sekarang.”
Ziya terperangah. Ia membuka mulutnya, tapi tak satu pun kata terucap. Wanita itu hanya berdiri mematung dengan raut wajah muram.
“Kenapa? Kamu tidak mau bertemu orangtua Rafa?” tuding Mahesa yang kesal melihat respons Ziya.
“Tidak. Bukan begitu.” Tatapan Ziya meredup. “Mas Rafa bilang mamanya sudah meninggal dunia.”