Mahesa menahan napas selama beberapa detik. Pandangannya terkunci oleh raut wajah yang masih melekat dalam ingatannya selama enam bulan terakhir. Wajah itu pula yang mengganggu siang dan malamnya lantaran rasa bersalah yang menjerat erat. Tiba-tiba saja mulut Mahesa mengatup rapat. Saraf-sarafnya yang menegang membuat lidahnya kelu. Untuk beberapa saat hanya kesunyian dan suara debur ombak yang menyelimuti keadaan di sana.
“Maaf mengganggu, Kak. Bapak-bapak ini dari Jakarta. Mereka ingin bertemu dengan Kakak.” Ucapan karyawan homestay dengan aksen khasnya memecah kesunyian.
Mahesa mengerjapkan mata. Ia berusaha keras melepas ketegangan yang menyergap seluruh tubuh secepat yang ia bisa. Mencoba bersikap profesional, Mahesa akhirnya memperkenalkan diri.
“Aku Mahesa Manggala, kakaknya Rafa.”
Wanita yang berdiri di hadapan Mahesa masih tampak syok. Tatapan beningnya yang berkabut masih terkunci pada mata abu-abu Mahesa.
“Siapa yang datang, Zi?” Suara bass yang terdengar dari dalam kamar membuyarkan konsentrasi wanita itu hingga ia dengan cepat menoleh ke belakang.
“Ta-tamu dari Jakarta, Bang,” ucap wanita itu dengan gugup dan suara yang terdengar sedikit serak.
Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dan sedikit kurus yang mengenakan kaus putih longgar dan celana katun hitam membuka pintu lebih lebar. Ia berdiri di samping wanita itu. Ia mengamati penampilan Mahesa dan Bima dari atas ke bawah sebelum bertanya. “Anda siapa?”
“Aku Mahesa Manggala. Aku kakaknya Rafandra.” Mahesa mengulurkan tangan.
Pria itu menjabat tangan Mahesa sambil memperkenalkan dirinya. “Damar, kakaknya Ziya.”
Dahi Mahesa berkerut dan matanya menyipit secara bersamaan. Nama yang diucapkan Damar tadi membuat Mahesa menduga bahwa Ziya adalah wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Ia bertanya untuk meyakinkan diri. “Ziya?”
“Aku Ziya. Gaziya Qirany,” ucap wanita itu memperkenalkan diri dengan suara pelan.
“Kamu?”
“Aku tunangannya Rafa.”
Mahesa sudah menduga sebelumnya, tetapi perasaan kaget sekaligus kecewa diam-diam menggores hatinya saat kalimat itu terlontar dari bibir Ziya. Wanita yang ia yakini sebagai one night stand partner-nya enam bulan lalu itu ternyata tunangan adiknya. Mahesa menelan ludah dengan susah payah. Mendadak, isi kepalanya menguap oleh frustrasi yang membakar hati. Beruntung, Bima menginterupsi percakapan dengan memperkenalkan diri beberapa saat kemudian.
“Perkenalkan, aku Bima. Aku dan Mahesa bekerja di firma hukum yang sama.” Bima mengulurkan tangan yang kemudian di sambut oleh jabat tangan Ziya dan Damar. “Boleh kami bicara dengan kalian?” lanjut Bima.
Damar merespons dengan cepat. “Tentu saja, silakan masuk.”
“Bagaimana, Zi?” Damar menyikut lengan Ziya pelan.
Ketegangan masih tampak jelas di wajah tirus Ziya. Pancaran matanya meredup oleh kenyataan yang datang tidak terduga. Malam panas itu masih terpatri dalam ingatan dan meninggalkan jejak rindu yang menggebu. Ziya hanya mampu mengangguk menanggapi permintaan Damar dan kedua tamunya.
“Kalau begitu saya permisi. Jika butuh sesuatu, Bapak bisa menghubungi atau langsung menemui kami di lobi homestay.” Si karyawan homestay yang masih setia menanti berpamitan.
“Terima kasih,” ucap Bima melepas kepergian karyawan itu.
Damar mempersilakan Mahesa dan Bima masuk. Ruangan di dalam bungalow tampak sangat alami dan jauh dari kata mewah, tetapi memiliki nilai seni yang tinggi. Bagi mereka yang mencintai suasana alam, bungalow itu sangat sempurna. Sebuah tempat tidur berukuran double yang dikelilingi kelambu, hammock atau tempat tidur gantung yang membentang dari dinding satu ke tiang kelambu, dan satu set kursi rotan di sudut ruangan bisa membuat penghuninya menciptakan imajinasi baru tentang sebuah tempat tinggal khas pesisir pantai.
“Kita duduk di bawah tidak apa-apa, ‘kan?” saran Damar hati-hati.
Tidak punya pilihan, Mahesa menyetujui saran Damar. Mahesa duduk bersila di samping Bima. Berjarak kurang dari satu meter di depan mereka, Damar duduk dengan posisi yang sama, sedangkan Ziya mengambil posisi di samping Damar dengan duduk bersimpuh ala praktisi yoga.
Mahesa berjuang keras untuk tidak terpengaruh oleh peristiwa malam panas itu ketika ia mulai menyelidik. Posisi duduknya yang berhadapan langsung dengan Ziya membuat pandangannya tidak bisa berpaling dari wanita itu. Walaupun begitu, ia bertekad mendapatkan keterangan sedetail mungkin tentang kematian Rafandra dan membuang rasa canggungnya. Ada hal aneh yang ia pikir tidak masuk akal.
“Sudah berapa lama kalian bertunangan?” Mahesa memulai interogasi. Iris abu-abunya secara otomatis tertuju ke wajah Ziya yang pucat dan menegang.
“Beberapa minggu yang lalu.” Ziya menjawab dengan suara pelan seolah-olah tidak ingin menjawab pertanyaan yang membuat mereka dalam situasi serba kaku.
“Sudah lama pacaran dengan Rafa?”
Ziya menelan ludah lalu menghela napas. Jantungnya berdebar lebih kencang dari saat ia diinterogasi polisi siang tadi. “Tiga bulan yang lalu kami bertemu di Trade Expo di Jakarta.”
“Kamu pengusaha?” sela Mahesa.
“Bukan. Aku hanya pengunjung. Itu pun karena temanku yang mengajak ke sana.” Ziya menghela napas sebelum melanjutkan jawabannya dengan nada sedikit malu-malu. “Aku hanya seorang SPG di sebuah showroom mobil.”
“Di Jakarta?”
Ziya mengangguk mengiakan. “Iya, di Jakarta.”
“Lalu, bagaimana cara kalian bertemu? Mm, maksudku, selama ini kan Rafa tinggal di Surabaya dan kamu di Jakarta.”
Ziya melekatkan tatapannya ke mata Mahesa menembus rasa penasaran pria itu. Meskipun merasa sedang diselidiki, tetapi hatinya masih ingin mengatakan sesuatu yang lain selain menjawab pertanyaan yang dilemparkan Mahesa sekarang. Sesuatu yang ia pendam sejak lama.
Tidak. Ziya kembali mengingatkan dirinya sendiri jika kini ia berada dalam lingkup yang berbeda. Ia dan Mahesa sedang berada dalam suasana duka. Bayangan wajah Rafandra yang melintas dan meremas hatinya menjadi bahan pertimbangan lain untuk tetap bungkam akan peristiwa malam itu.
“Setiap akhir pekan Mas Rafa selalu datang ke Jakarta untuk menemuiku. Kami melewati masa pacaran yang singkat hingga Mas Rafa memutuskan untuk bertunangan denganku sekitar tiga minggu yang lalu.” Ziya menghentikan sejenak pemaparannya lalu menghela napas dalam. Matanya mulai diselimuti kabut bening yang mengaburkan pandangan. “Rencananya bulan depan aku dan Mas Rafa akan menikah. Kami sudah membuat daftar tamu undangan. Semua nama anggota keluarga pun sudah dicatat, termasuk nama Mas Mahes ....” Suara Ziya menghilang di ujung. Sampai butiran bening menggelincir ke pipinya, matanya yang berair masih menatap Mahesa.
“Ini.” Damar yang duduk di samping Ziya memberikan kotak tisu yang ia ambil dari atas meja kepada wanita itu.
Ziya meraihnya kemudian menyapu air mata yang meleleh ke pipinya dengan sehelai tisu.
Damar kemudian mengambil segelas air untuk menenangkan adiknya. “Diminum dulu, Zi.”
Ziya meraih gelas panjang berisi jus jeruk lalu meneguknya pelan-pelan. Satu tegukan hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering.
Bima akhirnya membuka suara. Ia tidak sabar mengetahui peristiwa yang menimpa Rafandra. “Boleh kami tahu kejadian saat Rafa tenggelam seperti apa?”
Ziya kembali menyapu air matanya. Kesedihan tampak kental di matanya dan membuat hati Mahesa trenyuh. Mahesa mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menguapkan perasaan aneh yang tengah berkecamuk di dalam diri. Sementara itu, Ziya berusaha menjelaskan kejadian yang menimpa Rafandra pada Bima dengan dibarengi isak tangis.
“Siang itu aku dan Mas Rafa berniat untuk mengunjungi Pasir Timbul, tapi Mas Rafa berubah pikiran. Ia ingin kami melakukan snorkeling. Kami ditemani seorang pemandu pergi ke spot snorkeling yang agak jauh dari dermaga,” papar Ziya.
“Kalian tidak ikut tur snorkeling bersama pengunjung pulau yang lain?” selidik Bima.
“Tidak. Mas Rafa tidak suka pergi dengan banyak orang. Dia memilih menyewa boat pribadi.”
Bima mengangguk. “Baiklah. Silakan dilanjutkan.”
Ziya melirik Mahesa sekilas dan tanpa mereka sadari tatap mereka saling menemukan hingga membuat jantung Ziya berdebar kencang. Usaha keras dilakukan Ziya untuk mengembalikan konsentrasinya.
“Setibanya di sana, kami segera mengenakan perlengkapan snorkeling karena tidak sabar ingin melihat keindahan terumbu karang di bawah sana. Aku dan Mas Rafa ditemani pemandu terjun ke air. Karena arus di bawah sana cukup kencang, aku tidak kuat berlama-lama menikmati keindahan pemandang bawah laut. Aku meminta pemandu kami untuk mengantarku kembali ke boat.
“Kupikir Mas Rafa sedang menikmati pemandangan di bawah sana selama aku beristirahat di atas boat. Namun, Mas Rafa tidak muncul-muncul ke permukaan setelah hampir dua puluh menit. Pemandu yang menemani kami pun tak menemukan Mas Rafa setelah mencarinya selama satu jam lebih. Kami kembali ke dermaga lalu pemandu kami meminta bantuan tim pemandunya untuk ikut mencari Mas Rafa. Sampai sore tiba ....” Ziya terisak-isak lagi lalu menyapu air mata dengan tisu sebelum melanjutkan. “Mas Rafa tidak ketemu juga. Akhirnya aku dan pemilik homestay lapor polisi. Sampai saat ini pihak kepolisian masih menduga bahwa Mas Rafa terbawa arus. Mereka bahkan meminta bantuan tim SAR untuk mencari Mas Rafa. Meskipun sudah dua hari mereka mencarinya, tapi sampai saat ini Mas Rafa masih belum ditemukan.”
“Oke. Kurasa sudah cukup untuk malam ini.” Mahesa memangkas tanya-jawab mereka. “Sebaiknya kamu istirahat dulu. Besok pagi setelah menemui aparat kepolisian, aku ingin kamu menunjukkan tempat di mana kamu dan Rafa ber-snorkeling. Bisa, ‘kan?”
Ziya mengangguk. “Bang Damar boleh ikut?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja boleh.”
“Aku baru tiba di sini kemarin malam. Setelah Ziya menelepon dan menceritakan kejadian yang menimpa Rafa, aku langsung berangkat ke sini. Aku tidak mau Ziya melewati ini sendirian. Kami sudah tidak punya orangtua. Hanya Ziya saudara yang aku miliki,” jelas Damar.
“Abang tentunya boleh ikut bersama kami besok.” Mahesa meyakinkan pria itu.
○○○
Mahesa melempar jaket denim birunya ke atas kasur dan hanya menyisakan kaus oblong putih yang membalut tubuh atletisnya. Ia tidak punya pilihan untuk menginap di tempat lain lantaran malam sudah larut dan Bima pikir mereka lebih baik tinggal di homestay yang sama dengan Ziya agar memudahkan mereka dalam berkomunikasi. Sialnya, semua bungalow di homestay tersebut hanya punya satu tempat tidur. Mahesa harus berbagi kasur dengan Bima dan itu mengingatkan mereka ketika mereka sama-sama kuliah di University of California, Berkeley, untuk meraih gelar LLM, Legum Magister atau Magister Hukum.
“Kalau kayak gini, gue jadi inget waktu kita patungan sewa apartemen tipe studio di Berkeley.” Mahesa melempar tubuhnya ke atas kasur, berbaring. Ia melipat kedua tangan dan meletakkan di belakang kepala sambil memandang kelambu yang mengelilingi.
Bima naik ke hammock dan berbaring di sana. Tangannya ia letakkan di atas perut lalu berbicara dengan mata terpejam. “Elu tuh aneh. Bokap lu sudah ngasih apartemen mewah di sana, tapi elu milih patungan sama gue sewa apartemen sempit.”
“Gue enggak kepengen pake duit Bokap terus. Gue udah cukup di kasih hidup enak sampai gue lulus sarjana. Masa mau minta terus. Lagi pula, gue kan waktu itu sudah kerja. Biarpun sedikit, gue punya penghasilan.”
Bima menoleh ke arah Mahesa lalu tersenyum bangga. “Itu yang gue suka dari elu. Elu itu down to earth, Bro.”
“Ngomong apa sih lu?” Mahesa beranjak duduk. Pria berusia 32 tahun itu merasa harus berdiskusi dengan Bima sebelum mereka pergi ke tempat kejadian menghilangnya Rafandra besok. “Rafa itu jago berenang dan menyelam. Snorkeling dan berselancar adalah olahraga favoritnya. Jika polisi menduga Rafa terseret arus di bawah sana, rasanya sulit dipercaya,” lanjut Mahesa.
Bima membuka mata lalu menoleh ke arah Mahesa.“Bagaimana kalau besok kita snorkeling di sana supaya kita tahu seberapa deras arusnya?”
“Gue setuju, Bim.”
Pagi datang dengan cepat menjemput malam. Mahesa dan Bima bahkan tak menghabiskan sarapan mereka lantaran janji yang terlanjur dibuat dengan pihak kepolisian setempat mengharuskan mereka datang lebih cepat. Setelah melakukan perjalanan dengan boat menuju ke ibukota kabupaten Raja Ampat, Waisai, dan berjam-jam bertukar pendapat dan memberi informasi tentang Rafandra kepada pihak penyidik di kantor polisi, Mahesa dan Bima akhirnya bisa kembali ke homestay menjemput Ziya dan Damar untuk melanjutkan rencana mereka setelah jam makan siang.
Mahesa mempersiapkan benteng pertahanan yang lebih tinggi dan lebih kuat untuk berhadapan dengan Ziya. Ia tidak bisa memprediksi seperti apa hati dan dirinya akan bereaksi ketika mereka bertemu lagi. Ia memberanikan diri dan mencoba bersikap tenang tak tergoyahkan ketika mengetuk pintu bungalow yang ditempati Ziya.
Dengan wajah polos tanpa make up dan kaus longgar cokelat serta celana jeans biru pucat 7/8, Ziya menyambut dingin kedatangan Mahesa dan Bima. Wanita itu sama kakunya dengan Mahesa mengahadapi situasi yang serba tidak mengenakkan di antara mereka. Kesedihan yang sedang menyelimuti jiwanya harus terpencar oleh rasa was-was yang tiba-tiba datang menghadang.
“Siap untuk pergi?” tanya Mahesa. Selama beberapa detik pria itu menunggu respons Ziya dengan was-was.
Ziya mengangguk. “Iya.”
Mahesa mengembus napas lega. Ia sempat meragukan reaksi Ziya yang terkesan dingin tadi. “Kita pergi sekarang.”
“Baik. Aku panggil Bang Damar dulu.” Ziya masuk ke bungalownya dan keluar bersama Damar beberapa saat kemudian.
Sesaat setelah Bima menerima kabar dari pemandu bahwa boat yang akan membawa mereka ke spot snorkeling sudah tiba, mereka berempat berjalan kaki ke arah dermaga yang berjarak kurang dari lima puluh meter dari bungalow yang ditempati Ziya sambil membawa perlengkapan snorkeling yang telah mereka sewa sebelumnya dari Diving Shop.
Kaki Ziya mendadak mati rasa ketika langkahnya semakin dekat dengan boat yang bersandar. Trauma itu masih ia rasakan. Ketakutan itu masih melilitnya. Ia hanya berdiri mematung menatap speedboat dengan tatapan kosong.
Bima lebih dulu meaiki boat disusul oleh Mahesa lalu Damar. Ketika semua orang sudah berada di atas boat, Ziya masih terpaku di tempatnya berdiri. Damar yang ikut merasakan keresahan adiknya berusaha membujuk.
Damar mengulurkan tangan pada Ziya. “Zi, ayo pegang tangan Abang!”
Ziya menggeleng. Iris cokelatnya mulai menggelap dan berkabut. “Ziya tidak mau ke sana lagi, Bang.”
Mahesa memandangi Ziya dari boat. Hatinya mencelus melihat kesedihan yang terpancar di mata wanita itu. Kehilangan orang yang sangat dicintai itu sakitnya sampai ke jantung. Mahesa mengerti apa yang dirasakan Ziya karena ia pun pernah ditinggalkan, saat istrinya meninggal dunia dan saat wanita yang didambakannya menikah kembali dengan mantan suaminya.
Mahesa beringsut mendekati Damar. Ia berusaha membujuk Ziya. “Ziya, aku minta bantuan kamu. Aku tahu kamu kehilangan Rafa. Aku juga. Kita lakukan demi Rafa. Please!”
Beberapa saat terdiam, akhirnya Ziya memutuskan untuk naik ke boat.