Kebohongan apa lagi yang kamu buat, Rafa? “Orangtua Rafa masih hidup dan sekarang ada di rumahku,” jelas Mahesa.
Ziya menelan ludah menatap ragu, tetapi kemudian ia mengalihkan pandangan ke arah Damar yang berdiri tidak jauh darinya. “Gimana, Bang?”
“Sebaiknya kamu menemui mamanya Rafa dulu, Zi.” Damar menyarankan.
Ziya melemparkan lagi pandangannya ke arah Mahesa. Raut wajahnya tampak lesu seakan saran Damar begitu berat untuk dilakukannya. Namun, beberapa saat kemudian ia berkata dengan suara pelan. “Baiklah. Aku akan ikut dengan Mas untuk bertemu mamanya Mas Rafa.”
Mahesa mengembus napas lega. “Oke.” Pria itu lalu menoleh pada Bima yang ia minta untuk menghubungi supirnya. “Gimana, Bim, Pak Didi sudah datang?”
“Sudah. Dia nunggu di pintu keluar.”
“Baiklah, kita pulang sekarang. Elu ikut ke rumah dulu ya, Bim. Papa dan Mama ada di rumah.”
Bima sedikit tercengang. “Bokap dan nyokap lu sudah tiba di Jakarta? Dapat kabar dari mana mereka?”
“Pak Umar. Pak Umar kan deket juga sama Papa. Dia kirim email ke Papa. Kemarin waktu Pak Umar menghubungi gue, dia bilang sudah menghubungi Papa.”
Bima mengangguk-angguk. “Oh.”
Setelah melakukan obrolan selama beberapa menit di baggage claim, Mahesa, Bima, Ziya, dan Damar keluar dari bandara dengan mobil yang dikendarai supir Mahesa. Posisi duduk Mahesa yang berada di samping supir mempermudah netranya menemukan Ziya yang duduk di bangku penumpang tengah dari kaca spion dalam. Keinginannya untuk tetap memandang lurus ke depan harus terkhianati oleh gerak otomatis matanya yang sesekali melirik bayangan Ziya di kaca spion. Hal yang sama terjadi pada Ziya. Meskipun wanita itu mati-matian berusaha mengelakkan pandangan dari kaca spion, iris cokelatnya tetap mencari mata abu-abu milik Mahesa.
Terjebak dalam situasi yang mengharuskan adanya benteng pembatas menimbulkan rasa canggung yang tidak berujung. Hingga laju mobil berhenti di carport beralas batu alam di pelataran rumah Mahesa, aktivitas diam dan hanya saling mengamati melalui kaca spion masih berlangsung. Kemunculan seorang wanita berwajah ayu berambut hitam berombak melebihi bahu dengan setelan blus putih dan rok merah muda bercorak bunga di beranda rumah menghentikan aksi tersebut.
Mahesa keluar dari mobil lalu berjalan mendekat pada wanita itu. Air muka Mahesa yang tampak semringah ketika ia melihat wanita itu telah meremas-remas hati Ziya tanpa ia sadari. Sejumput rasa sakit yang menerobos hati membuatnya tertunduk. Ia bahkan merasakan tubuhnya melayang saat ia turun dari mobil.
“Mari kita masuk, Ziya, Bang Damar.” Bima memecah kesunyian dengan mempersilakan masuk kedua tamu baru di rumah Mahesa layaknya tuan rumah.
Bima dan Mahesa sudah berteman baik sejak mereka sama-sama duduk di bangku kuliah di salah salah satu universitas negeri di Jakarta untuk meraih gelar sarjana hukum. Pertemanan mereka berlanjut dan semakin akrab hingga mereka terjun ke dunia advokat dan sama-sama mengambil gelar LLM di Amerika Serikat. Bima sudah seperti saudara bagi Mahesa. Ayah dan ibu tiri Mahesa pun sudah sangat mengenal Bima. Oleh karena itu, Bima tidak canggung lagi berada di antara mereka.
Damar meletakkan tangannya di pundak Ziya dan meminta wanita itu masuk bersamanya. Walaupun langkahnya terasa sangat berat, Ziya memaksakan diri untuk tidak terlihat gugup. Ia mengangkat wajah dan mencoba untuk tidak terpengaruh oleh kemesraan Mahesa dan wanita berblus putih itu.
Namun, sekali lagi hati Ziya harus meradang ketika wanita itu memberi pelukan pada Mahesa. Sesaat kemudian seorang anak perempuan cantik berusia sekitar enam tahun berlari keluar dan menghambur ke dalam dekapan Mahesa. Mereka tampak seperti keluarga kecil yang sempurna. Jantung Ziya terasa berayun-ayun menyaksikan pemandangan itu. Perasaan aneh tiba-tiba saja hadir dan menghancurkan Ziya dalam sesaat. Ziya belum pernah mengenal Mahesa sebelumnya kecuali malam itu di atas bukit. Namun, rasa sakit hati yang mendalam saat ia mendapati kemesraan Mahesa bersama wanita itu membuatnya melupakan Rafandra untuk sesaat. Jahat, Ziya berpikir jika ia memang jahat. Di saat seharusnya ia menangisi Rafandra, ia justru ingin menangis karena sebab lain.
Maafkan Ziya, Mas Rafa. Sesal Ziya dalam hati.
“Halo,” sapa wanita berblus putih dengan ramah ketika langkah Ziya semakin dekat dengannya.
Ziya mengangkat pandangan dan menebarkan senyuman kaku. “Halo.”
“Kamu pasti tunangan adiknya Mas Mahesa ya?” tanya wanita itu lalu melontarkan senyuman hangatnya pada Ziya.
Ziya hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan wanita itu.
Wanita itu kemudian memeluk Ziya sambil berucap, “Kamu yang sabar ya. Semoga tunanganmu segera ditemukan. Aku Deandra. Kamu bisa memanggilku Andra.”
Aroma orange blossom dan bergamot yang menyeruak dari tubuh wanita itu menebar kesegaran di hati Ziya yang sedikit memanas. Sinting, kenapa ia harus merasa tersakiti oleh kemesraan wanita itu dengan Mahesa? Ziya masih tidak habis pikir. Apa yang merasuki dirinya hingga fokusnya tidak lagi tertuju pada Rafandra?
Mahesa hanya pria yang pernah mampir sesaat dalam hidupnya dan meninggalkan jejak rindu yang terlalu, namun Rafandra adalah tunangannya. Pria yang memiliki separuh hatinya. Ziya terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa semua yang memenuhi benaknya adalah salah.
“Amin. Terima kasih, Mbak. Aku Gaziya. Mbak bisa memnggilku Ziya,” tutur Ziya setelah wanita itu mengurai pelukannya.
Tanpa rasa canggung wanita bernama Deandra itu meminta Ziya dan yang lainnya memasuki ruang tamu. “Mari masuk.”
Tangan Ziya terasa semakin dingin ketika ia memasuki ruang tamu yang luas dengan desain interior yang menakjubkan. Pindaian matanya nyaris menyuarakan decak kagum akan kecantikan ruangan tersebut, namun tertahan oleh keberadaan kedua orang tua berwajah muram dan sedih yang sedang duduk di sofa. Jantungnya kembali berayun, terombang-ambing oleh resah dan rasa takut.
“Silakan duduk.” Mahesa mempersilakan Ziya dan Damar untuk duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki ayah dan ibu tirinya. Sementara itu, ia masih berdiri di depan bufet jati berwarna putih yang mempartisi ruang tamu tersebut menjadi dua bagian. Essa, putri semata wayangnya masih menggeledot manja padanya. Di sisi lain bufet, Bima dan Deandra masih berdiri mematung mengamati situasi.
Ziya dan Damar duduk di hadapan kedua orang tua yang menatapnya penuh tanda tanya. Ziya berusaha untuk tetap sopan dengan melemparkan senyuman. Ia kemudian memperkenalkan dirinya.
“Saya Ziya, Gaziya Qirany. Tunangannya Mas Rafa.” Ziya mengucapkan kalimat perkenalannya dengan sedikit gugup tanpa berjabat tangan.
“Saya Damar, kakaknya Ziya.” Damar ikut memperkenalkan diri.
Sandra, ibu tiri Mahesa, hanya memandangi Ziya dengan mata berkaca-kaca. Kesedihan tampak jelas di mata sembapnya.
“Kami mama-papanya Rafa dan Mahesa,” tutur Adiyaksa, ayah Mahesa, “kamu bilang kamu tunangan Rafa, sejak kapan kalian bertunangan?”
Ziya menelan ludah sesaat sebelum menjawab. “Beberapa minggu yang lalu, Om.”
“Rafa bahkan tidak memberitahu kita, Pa.” Sandra terisak.
Adiyaksa merangkul pundak istrinya untuk menenangkan. “Tenang dulu, Ma.”
Deandra menginterupsi tanya jawab orangtua Mahesa dengan Ziya. Ia mendekati Essa dan membujuk anak itu. “Essa, kita main di atas yuk sama Mommy.”
“Iya, Mommy.” Essa meraih tangan Deandra yang kemudian membawanya ke lantai dua rumah itu.
Mommy? Ziya menahan napas selama beberapa detik. Ucapan Deandra yang menyapa telinga Ziya sukses memecah konsentrasi dan hatinya menjadi berkeping-keping. Deandra itu istrinya Mahesa, pikir Ziya.
Berhentilah memikirkan tentang Mahesa. Ziya mengingatkan dirinya sendiri. Ia menghela napas dalam lalu membuangnya perlahan untuk menenangkan diri.
Mahesa dan Bima akhirnya ikut bergabung dalam sesi tanya-jawab setelah Deandra dan Essa pergi. Mereka duduk di kursi ottoman di depan bufet.
“Saya ingin tahu kejadiannya seperti apa sampai Rafa bisa tenggelam.” Adiyaksa memulai kembali interogasinya.
Ziya menceritakan kejadian siang nahas itu dan diakhiri dengan tangisan sama seperti ketika ia menceritakannya pada Mahesa dan Bima.
“Aku dan Bima sudah melakukan investigasi semampu kami di sana, Pa. Polisi dan tim SAR pun turut membantu mencari Rafa sebelumnya, tapi hasilnya nihil,” jelas Mahesa.
“Apa kamu melihat tanda-tanda yang aneh dari Rafa sebelum kejadian itu?” tanya Adiyaksa pada Ziya.
Ziya menggeleng. “Tidak ada, Om. Mas Rafa tetap bersikap seperti biasanya.”
“Adik saya sudah menceritakan semua yang dia tahu pada pihak kepolisian, Om,” imbuh Damar.
“Menurut keterangan dari warga sekitar saat aku mencari informasi kemarin setelah kita pergi ke spot snorkeling, ada dua orang yang memergoki Rafa sedang memarahi seseorang di telepon di belakang restoran. Kamu tahu ia sedang bermasalah dengan siapa?” selidik Mahesa sesaat kemudian.
Ziya menyatukan kedua alisnya menatap Mahesa dengan tatapan tidak percaya. “Ziya tidak tahu, Mas. Mas Rafa tidak pernah berkata apa-apa pada Ziya tentang hal yang lainnya selain tentang hubungan kami.”
“Kamu itu tunangan Rafa, tapi kamu tidak tahu apa-apa. Bahkan, kenyataan mamanya Rafa masih hidup pun kamu tidak tahu.” Senyum sinis Mahesa terukir di bibirnya.
Ucapan Mahesa menusuk jantung Ziya dan menyisakan pedih luar biasa. Ia terlalu memercayai Rafandra sehingga ia tidak sempat memikirkan hal lainnya.
“Apa kamu bilang, Mahes? Rafa tidak mengatakan pada Ziya kalau Mama masih ada, masih hidup?” Kali ini Sandra yang tampak syok. Mata berair wanita itu melebar.
“Mas Rafa bilang mamanya sudah meninggal dunia.” Ziya menurunkan pandangan. Kini, pandangannya tertuju pada meja kayu cokelat yang berada di antara sofa.
Kecewa dan kesal terpancar dari mata Sandra. Wanita itu membenamkan wajah ke pundak suaminya sambil menangis pilu. “Ya, Tuhan! Rafa, kamu keterlaluan sekali sama Mama!”
Adiyaksa mencoba menenangkan Sandra dengan menggenggam tangan wanita itu erat. “Sabar, Ma. Rafa mengatakan itu pasti punya alasan sendiri.”
“Tidak, Pa. Kali ini Rafa sudah sangat keterlaluan. Ia bertunangan tanpa memberi tahu Mama dan Papa. Ia juga mengatakan pada tunangannya kalau Mama sudah meninggal. Rafa ....”
Sesi tanya-jawab yang berlangsung hampir dua jam itu membuat semua orang yang terlibat di dalamnya nyaris kehabisan energi. Problematik kehilangan Rafandra tidak bisa selesai hanya dengan satu hari pembahasan. Kehilangannya menyisakan banyak tanya dan masalah yang masih bergulung.
Ziya dan Damar pulang ke rumah mereka diantar supir Mahesa. Awalnya mereka menolak, tapi Mahesa memaksa mereka menerima tawarannya. Bukan tanpa alasan Mahesa melakukan hal itu. Ia hanya ingin mengetahui tempat tinggal kedua kakak-beradik tersebut melalui supirnya. Meskipun Damar dan Ziya sudah memberikan nomer ponsel dan alamat mereka, perasaan sangsi masih tertanam di kepala dan belum sepenuhnya hilang. Selama masa penyelidikan dan belum ada kesimpulan dari pihak kepolisian, Mahesa masih harus terus berhubungan dengan Ziya.
○○○
Malam itu Mahesa ikut merayakan keberhasilan Bima memenangkan kasus besar yang ditanganinya. Beberapa hari bergelut dengan masalah Rafandra, Mahesa butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Meskipun tempat yang dikunjunginya bersama Bima dan rekan-rekannya yang lain tidak layak disebut sebagai tempat untuk menenangkan diri, tetapi Mahesa sedikit terhibur lantaran ia bisa melepaskan tawa yang selama ini tertahan oleh duka dan lara. Di sebuah kelab malam bernuansa futuristik di pusat kota, Mahesa berusaha untuk melepas semua penat dengan obrolan hangat dan akrab khas pria bersama rekan-rekannya. Fasilitas VIP dari keanggotaan Elite Class yang dimiliki mereka membuat mereka mendapat pelayanan khusus yang jelas berbeda dengan pengunjung lain.
Ketika Bima dan rekan lainnya tenggelam dalam dentaman suara musik yang diputar Disc Jockey cantik dan bertalenta seusai bertukar cerita, Mahesa justru memilih duduk menikmati wine yang tersaji di atas meja. Tawanya meledak melihat gerakan dansa Bima yang tidak beraturan seperti cacing kepanasan. Pria botak yang selalu bergaya ala bintang Hollywood favoritnya, Vin Diesel, selalu berhasil menciptakan sesuatu yang jenaka saat “melantai”. Namun, bayangan seseorang yang melintas di ujung sana, di antara meja pengunjung di seberang lantai dansa, menghentikan keceriaan pria itu dengan tiba-tiba.
Mahesa bangkit berdiri lalu berjalan mengikuti seseorang yang ia yakini adalah Ziya. Pandangannya terus mengawasi gerak-gerik wanita yang mengenakan kaus putih ketat dan rok mini berwarna biru khas waitress kelab malam tersebut. Mahesa berdiri di antara pengunjung di samping pilar beton di sudut kelab sambil matanya tidak sedetik pun terlepas dari wanita itu. Ia mengeraskan rahang tegasnya dan menatap geram ke arah Ziya yang sedang menuangkan minuman ke sloki-sloki di atas meja pengunjung. Bibir Ziya terus melengkungkan senyuman manis dan ia tampak menikmati pekerjaannya. Wanita itu pun tidak tampak marah saat salah satu pengunjung mencoba menggoda dan melecehkannya dengan menepuk bokongnya yang padat.
Dasar penipu! Mahesa menggeram dalam hati.