Chapter 15

1004 Words
Callista memberikan senyuman terbaiknya ketika Lucia datang. Ia akan berusaha sebaik mungkin hari ini untuk membuat gadis itu terkesan. "Maaf merepotkanmu," ucap Callista. "Tidak masalah. Ayo." Sebenarnya Callista tidak meminta gadis itu menjemputnya. Akan tetapi Lucia berusaha keras agar ia saja yang menjemput Callista. Alhasil gadis itu tiba di depan gedung apartemen Callista pagi ini. Callista memasuki mobil dan disusul Lucia. Mobil lantas berjalan meninggalkan pekarangan gedung apartemen. "Kau tinggal cukup jauh juga ya dari penthouse Dave." "Tidak terlalu jauh." "Tapi itu termasuk lumayan untuk ukuran pulang pergi ke penthouse Dave." Callista pun hanya bisa tersenyum. "Dave bilang kau pintar memasak. Aku jadi penasaran. Kapan-kapan kau harus memasak untukku. Aku ingin mencicipinya." "Bagaimana jika nanti setelah dari mall? Aku bisa jika kau ingin hari ini juga." Lucia pun menatapnya dengan terkejut. "Benarkah?" "Ya." "Baiklah. Hari ini sepertinya akan menyenangkan." "Jadi kau mau mencoba masakanku hari ini?" tanya Callista memastikan." "Ya, sesuai tawaranmu." Lucia lantas memeriksa ponselnya. Ia nampak serius menatap layar ponselnya. Jarinya kemudian tergerak karena mengetikkan sesuatu. "Kita akan shopping terlebih dahulu, lalu ke salon. Setelah selesai kita makan siang lalu menonton dan pulang." Setelah selesai dengan ponselnya, Lucia menatap ke arah Callista kemudian tersenyum. "Akan sangat panjang dan menyenangkan," ujarnya. Callista sebenarnya sangat tidak suka berbelanja karena ia tidak memiliki banyak uang. Jadi nanti ia hanya akan melihat-lihat saja. Dirinya tidak akan menghamburkan uang supaya membuat Lucia terkesan. Masih ada cara lain untuk membuat gadis itu nyaman bersamanya selain menghabiskan uang. Lucia pun kembali menatap ponselnya. "Call. Kau nanti memasak di mansionku saja, ya?" "Apa?" tanya Callista. "Mommy juga ingin mencoba masakanmu. Ayolah." Callista tidak paham bagaimana bisa tiba-tiba wanita itu ingin mencoba masakannya. Seolah Lucia melapor pada Amanda sehingga tahu apa yang akan dilakukan oleh Lucia bersama Callista. "Aku memberi kabar pada Mommy bahwa akan pulang sore karena setelah dari mall akan menghabiskan waktu mencoba masakanmu. Mommy bilang ia ingin juga. Jadi kau memasak di mansionku saja, ya?" Callista terdiam sejenak untuk berpikir. "Ayolah, Call. Mommy sangat ingin. Beliau pasti akan sangat senang bila kau menurutinya." Callista kemudian menatap Lucia. Ia lantas menganggukkan kepalanya. "Nice. Terima kasih, Call." ------- "Ini menyenangkan! Sekarang kita pesan makanan dahulu." Mereka telah selesai dari salon. Sebenarnya Callista merasa tidak enak karena Lucia membayar begitu banyak untuk menraktir dirinya. Akan tetapi sejauh ini ia dan Lucia sama-sama menikmati waktu yang mereka habiskan berdua. Keduanya lantas menatap buku tamu dan lantas memesan makanan yang ada dengan menggunakan tablet yang tersedia di meja. Begitu mereka selesai memesan, keduanya pun saling menatap. "Aku lupa menanyakan sesuatu. Apa kau memiliki pacar?" Callista merasa cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan yang terlalu privasi untuk ditanyakan sebagai bahasan sekadar basa-basi. "Aku merasa nyaman padahal kita baru bersama selama beberapa jam. Maksudku, aku mungkin akan sering mengajakmu pergi begini saat weekend. Jadi. mungkin akan ada pihak yang tersakiti karena aku menyita waktumu." Callista pun kemudian merasa paham. Dirinya kemudian tersenyum. Secara tidak langsung ia berhasil membuat adik Lucas itu terkesan. Bila sudah begitu maka Callista akan terus bisa bertemu Lucia dan ia akan terus bersinggungan dengan Lucas. Betapa beruntungnya dia. "Jadi bagaimana?" "Aku tidak memiliki pacar, tenang saja. Aku juga tidak keberatan untuk pergi bersamamu. Ku rasa kita bisa menjadi teman yang menyenangkan. Akan tetapi aku pasti perlu izin dari Dave atau aku bisa pergi setelah pekerjaan disana selesai." "Baguslah, aku senang bila kau nyaman. Tadinya aku pikir aku sangat merepotkan." "Tidak sama sekali." Callista sungguh berterima kasih karena ia dapat merasakan bagaimana shopping seharian hingga menghabiskan waktu untuk merawat diri di salon. Itu adalah kesempatan mahal dan dia bisa merasakan semua itu berkat Lucia. Meski sebenarnya Callista merasa tidak enak karena gadis itu membayar semuanya. "Tapi kau benar tidak memiliki pacar? Atau mungkin dekat dengan seseorang? Atau kau sudah punya namun dia adalah orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap apapun yang kau lakukan?" Callista mengerutkan keningnya. "Tidak sama sekali." Lucia pun kemudian tersenyum lebar. "Bagus lah." Ia terdiam sejenak untuk berpikir sebelum kemudian menatap Callista. "Aku baru kembali dari Eropa setelah tiga tahun. Jadi aku tidak memiliki teman. Teman-temanku dulu entah dimana, kami sudah kehilangan kontak." Callista cukup merasa takjub karena gadis sekelas Lucia tidak memiliki teman. Padahal jika gadis itu mau setidaknya ia dapat dengan mudah mencari teman karena segalanya yang ia miliki. Dia adalah keluarga Dixie! "Tapi aku sekarang merasa senang karena memiliki teman yaitu dirimu. Kita akan berteman terus, kan? Aku benar-benar minta maaf atas perlakuanku saat pertama kali kita bertemu." Callista pun hanya bisa tersenyum. "Kau tidak masalah berteman denganku?" tanya Callista. Ia hanya khawatir gadis itu merasa tidak nyaman karena Callista hanyalah seorang pelayan sementara Lucia adalah seorang anak konglomerat yang hidupnya bergelimang harta. Ayolah, gadis itu bisa mendapatkan banyak teman jika ia mau. "Maksudmu?" tanya Lucia tidak paham. "Begini. Aku hanya seorang pelayan." Lucia terdiam menatap Callista. "Lalu?" "Yah, kita cukup berbeda. Maksudku terlalu berbeda untuk ukuran latar belakang" Lucia pun mengernyitkan keningnya. "Lalu?" "Aku hanya khawatir kau merasa tidak nyaman karena perbedaan latar belakang." Suasana pun menjadi hening. Callista dan Lucia saling menatap. Seolah keduanya tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing. Detik kemudian tawa Lucia terdengar menggelengar. Hal itu membuat Callista menjadi bingung. "Astaga, Call. Kau pikir aku tipe orang yang seperti itu? Ayolah. Aku memang cukup pemilih dalam berteman, tapi aku memilih teman berdasarkan karakternya. Mengenai latar belakang, bagiku tidak masalah. Lagi pula kau sangat menyenangkan dan aku merasa cepat cocok." Lucia pun kembali terkekeh. "Jangan pernah merasa seperti itu ya, Call?" Callista kemudian tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lucia pun dalam hati menjadi merasa ketar-ketir. Ia menjadi cemas bahwa ada kemungkinan Callista menolak pernikahan ini karena merasa rendah diri. Padahal Lucia sendiri dan ibunya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat tatapan mata Callista yang terlihat cukup percaya diri, Lucia yakin bahwa gadis itu adalah orang yang cocok untuk mengimbangi sikap dingin Lucas. Sangat cocok. Lucia yakin Callista dapat meluluhkan dinginnya Lucas. Lucia sangat rindu kakaknya yang dulu. Pesanan mereka tiba. "Yeay, kita makan." Callista pun tersenyum melihat antusias Lucia. Gadis itu menjadi sangat bersemangat bila sudah mengenai makanan. "Ayo, Call. Kita makan sepuasnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD