Chapter 14

1463 Words
"Hai, Sean!" Callista melambaikan tangannya saat melihat lelaki itu memasuki kafe. Sebenarnya Callista merasa tidak kepada lelaki itu karena terakhir kali pertemuan mereka, Callista justru meninggalkannya begitu saja. "Hai,"  ujar lelaki itu seraya tersenyum dan duduk di hadapan Callista. "Kau sudah menunggu sejak tadi?" tanya Sean. "Tidak juga. Aku baru saja tiba." Sean pun tersenyum. Callista lantas memberikan buku menu kepada lelaki itu. "Ini, pesanlah. Kali ini aku yang traktir." "Wah. Sepertinya baru ada yang gajian." Callista terkekeh. "Bukan begitu. Aku ingin meminta maaf karena terakhir kali meninggalkanmu begitu saja. Sean kemudian yang terkekeh. "Ya, benar. Kau harus ganti rugi," ucapnya bermaksud bercanda. Kali ini Callista yang mengajak lelaki itu bertemu. Selama ini Sean terus saja kembali mengajaknya bertemu namun Callista belum menyempatkan diri untuk hal tersebut. "Kau sekarang sangat sibuk yaa," ujar Sean. Callista hanya bisa tersenyum. "Kau juga." "Tidak. Aku hanya sedang banyak shift saja." Callista terkekeh. Ia kemudian memanggil seorang pelayan untuk dapat memesan makanan. Setelah keduanya selesai memesan. Sean pun menatap Callista dengan serius. "Call." Lelaki itu tampak berpikir terlebih dahulu. "Ada apa? Kau ada masalah?" Mereka cukup dekat selama bekerja di restoran itu. Hanya saja keduanya tidak sedekat itu sampai saling menceritakan masalah pribadi. Kecuali dengan Audi, maka Callisa akan menceritakan beberapa masalah hidupnya kepada gadis itu. Sean juga terlihat selalu ceria dan membercandai Callista. Seolah lelaki itu memang dilahirkan untuk menghibur orang lain dan terlihat tidak masalah. "Kembalilah bekerja di restoran." Callista terdiam menatap lelaki itu. "Sean, aku tahu kau rindu. Tapi aku sudah nyaman bekerja disana." Callista kemudian memajukan tubuhnya untuk berbisik. "Gajinya besar," ucap Callista dengan nada rendah. Gadis itu kemudian terkekeh. Sean hanya diam saja. Lelaki itu benar-benar terlihat serius dan seperti tidak ingin bercanda saat ini.  Callista lantas menghentikan tawanya. "Baiklah. Kenapa kau terlihat sangat serius?" "Apa kau tidak merasa curiga? Ini terasa aneh." Callista pun tersenyum. "Tidak apa, Sean. Aku bisa menjaga diri. Seperti yang selalu kau ajarkan. Lelaki memiliki titik lemah yang bisa aku pukul." Callista pun kembali terkekeh. "Callista." Sean lantas menggenggam kedua tangan gadis itu. Terlihat sangat serius. "Aku tidak tahu bos kita itu seperti apa. Lalu tiba-tiba dia memintamu menjadi pelayan di penthousenya. Apakah itu tidak aneh? Aku sudah memikirkan ini sejak kau memberitahu akan pindah. Aku merasa tidak tenang." Callista menatap tangan Sean yang menggenggam tangannya. "Tidak apa, Sean. Aku baik-baik saja selama ini. Lagi pula aku merasa wajar saja. Dave sudah bilang bahwa ia mengawasi beberapa orang di restoran termasuk aku. Dia mencari yang kompeten dan terpercaya. Jadi ia memilihku." "Dia mengawasi semua orang?" tanya Sean terkejut. Callista menganggukkan kepalanya. "Lihatlah. Dia bahkan sampai melakukan semua itu. Apa itu tidak terlalu berlebihan untuk mencari seorang pelayan?" "Sean. Aku paham kau khawatir dan ingin yang terbaik untukku. Tapi aku sungguh tidak masalah bekerja di Dave selama ini. Dia sangat baik dan-" Callista pun terpaksa harus menghentikan mulutnya yang hampir saja membocorkan semua itu.  Salah satu alasan Callista merasa senang bekerja di penthouse Dave adalah karena ia bisa bertemu Lucas. Dave berteman baik dengan Lucas jadi Callista yakin akan ada kesempatan lainnya dimana ia bisa bertemu dengan Lucas lagi. "Dan apa, Callista?" Callista kemudian berdehem. "Gajinya besar," sambung Callista. Sean pun menghela napasnya. Callista juga sebenarnya sama seperti Sean yang merasa curiga akan semua ini. Akan tetapi ia tetap menjalaninya dengan baik dan berusaha berhati-hati. Wajah lelaki itu terlihat kesal dan serius. Callista justru menjadi bingung dengan Sean yang seperti ini. "Semuanya akan baik-baik saja, Sean. Kalau ada apa-apa, kau pasti orang pertama yang aku telepon." "Benarkah?" tanya Sean. Callista menganggukkan kepalanya. "Kalau sesuatu terjadi saat aku menjadi pelayan di penthouse Dave, aku akan langsung menelponmu." ------- "Mommy! Kita harus bergerak cepat." Lucia datang memasuki mansion dengan terburu-buru. Amanda yang sedang menghabiskan waktu dengan melihat majalah pun mendongak. "Ada apa, Lucia." Lucia yang langsung duduk di sebelah ibunya itu pun langsung berusaha mengatur napasnya. Ia harus berhati-hati dalam memberikan informasi ini. Ibunya memiliki penyakit riwayat jantung jadi tidak boleh terlalu terkejut. Amanda meletakkan majalah di atas meja. "Mom." Lucia memegang kedua tangan ibunya. "Mom, kumohon jangan terkejut." Amanda menganggukkan kepalanya. "Aku melihat Callista bersama seorang lelaki sore ini." Amanda membulatkan matanya. "Mom. Ku mohon jangan terkejut. Kita harus segera menikahkan mereka. Aku khawatir Callista ada dekat dengan lelaki lain." Amanda memegang dadanya. Lucia pun menjadi terkejut. "Mom, ada apa?" Lucia menjadi panik dan merasa menyesal melihat ibunya yang kini kesulitan bernapas. "Tidak apa. Bisa saja lelaki itu temannya, kan?" "Aku tidak tahu pasti. Mereka berpegangan tangan dan terlihat berbicara serius. Aku khawatir bila Callista diam-diam menjalin hubungan dengan seorang lelaki. "Tapi Dave mengatakan Callista lajang." "Bisa saja sekarang sedang dekat. Aku akan terus mengawasi. Jadi, Mom. Kapan kita akan menjalankan rencana ini?" Amanda terdiam sejenak dan menatap Lucia. "Kau temui Callista dahulu," ucapnya kemudian. ------- Dave terdiam menatap Callista yang saat ini tengah menyajikan beberapa hidangan di atas meja. "Kau sudah makan, Call?" tanya Dave. "Belum." "Kalau begitu mari makan bersama." Callista mendongakkan kepalanya dan kemudian menatap Dave. "Ah, terima kasih banyak. Tapi aku belum merasa lapar." "Ayolah, Call. Tidak apa-apa. Mumpung kau disini, tolong temani aku makan sebentar." Callista merasa tidak enak bila ia makan satu meja dengan majikannya itu. Apalagi mereka hanya berdua. Meski niat Dave memang baik dan wajar, Callista hanya merasa tidak nyaman saja. "Aku harus membereskan dapur dahulu." "Itu bisa nanti. Ayo makan dahulu." Callista pun terdiam. "Ayolah, Call. Kita makan bersama. Tidak apa-apa. Silahkan duduk." Callista memutuskan untuk tidak menolak permintaan Dave kali ini. Ia duduk di kursi meja makan dan duduk di hadapan Dave. "Bagus, terima kasih. Ayo kita makan." Mereka pun mulai menikmati makan malam dalam diam. Dave seolah tengah memikirkan suatu hal yang cukup serius. Callista pun memilh untuk menatap makannya dengan serius. Ia yakin Dave sedang memiliki sesuatu untuk dipikirkan sehingga lelaki itu nampak berpikir. Callista cukup tahu diri untuk tidak mengajaknya berbincang. Selain mereka sedang makan, Callista meras tidak memiliki suatu hal yang dapat diperbincangkan. "Oh ya, Call. Apa aku boleh meminta tolong?" tanya Dave. Callista mendongak dan menatap Dave. "Apa?" "Aku memiliki beberapa kesibukan. Lucia perlu teman untuk menemaninya jalan-jalan. Dia juga cukup sibuk dan ingin refreshing. Aku tidak bisa menemaninya dan dia bilang tidak masalah. Lucia merasa penasaran untuk menghabiskan waktu denganmu. Apalagi kalian cukup akrab setelah makan malam di mansion, katanya." "Lucia adik Lucas?" tanya Callista. Dave menganggukkan kepalanya. Sebenarnya pertemuan pertama Callista dengan gadis itu masih cukup berkesan hingga sekarang. Akan tetapi karena Lucia seolah ingin berteman baik saat makan malam, Callista berusaha bersikap biasa saja. Lalu sekarang gadis itu ingin pergi bersamanya. Hal itu membuat Callista berpikir seolah Lucia tidak memiliki teman. "Dia gadis yang baik dan teman yang seru untuk berjalan-jalan." "Apa dia ingin berlibur ke luar kota atau ke luar negeri?" Dave kemudian terkekeh. "Tidak seperti itu. Dia ingin menghabiskan waktu seharian di mall." Callista tidak terlalu suka pergi ke mall. Hal itu karena beberapa barang terasa begitu mahal dan dirinya tidak memiliki banyak uang. Jadi sebisa mungkin Callista sangat jarang mendatangi tempat itu. "Aku harap kau bisa. Aku tidak ingin membuatnya kecewa. Kau bebas melakukan pekerjaanmu kapan saja di hari itu. Tidak masalah bahkan bila kau izin." "Kapan Lucia ingin melakukannya?" "Lusa." Callista terdiam sejenak. Lucia adalah adik dari Lucas. Lalu gadis itu ingin menghabiskan waktu bersamanya sekarang. Memang terasa aneh namun Callista kali ini akan memanfaatkan momen itu untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai Lucas. Bahkan meski tidak ada harapan bagi Callista untuk bisa mendapatkan lelaki itu, setidaknya menghabiskan waktu bersama adiknya adalah hal yang langka. Callista yakin jarang ada perempuan yang mendapatkan kesempatan emas ini. Anggap saja Callista akan menghabiskan waktu dengan calon adik iparnya. Ia akan menganggap Lucia seperti itu. Meski kenyataannya memang tidak mungkin. Akan tetapi halusinasi dirinya bisa menikah dengan Lucas suatu hari nanti, perlahan-lahan akan terasa menjadi kenyatan.  Sejak Callista bertemu langsung dengan lelaki itu, diundang ke mansionnya, dan sekarang diminta untuk menemani Lucia, rasanya sangat membahagiakan. Seolah secara tidak langsung keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama keluarga Lucas terpenuhi.  "Baiklah," ucap Callista seraya tersenyum. Bila ia bisa berteman baik dengan Lucia, bukankah itu sebuah kesempatan emas dimana ia bisa lebih sering bersinggungan dengan Lucas melalui Lucia. Untuk itu, Callista akan berusaha sebaik mungkin membuat Lucia merasa terkesan dan nyaman bersamanya. "Terima kasih, Call." "Terima kasih juga. Aku akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik lusa. Mungkin tergantung nanti jam berapa aku harus menemani Lucia." "Tidak masalah. Terima kasih banyak. Dia pasti sangat senang." Callista pun tersenyum. Akan tetapi sebuah pemikiran lain menganggu Callista. Lucas mengatakan bahwa Dave dan Lucia tidak berpacaran. Akan tetapi yang Callista melihat, mereka layaknya seorang pasangan. Bagaimana mungkin Dave menemani Lucia pergi tanpa ada sesuatu yang spesial di antara mereka. Bukankah itu sebuah kencan? Bila memang hanya sekadar teman, Callista merasa mereka lebih dari itu. Ia sungguh menjadi penasaran. Akan tetapi ucapan Lucas yang lainya kembali muncul di kepalanya. 'Bukan urusanmu.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD