05 - Pertemuan Navisha dan Afnan.

2440 Words
Hari ini adalah hari yang bisa dikatakan hari yang sangat spesial bagi Abraham, karena hari ini, Abraham akan secara resmi mengumumkan siapa penggantinya. Navisha tentu saja menghadiri acara tersebut meskipun sebenarnya Navisha tidak mau menghadirinya. Saat ini Navisha sudah duduk di kursi yang sudah tersedia khusus untuknya. Begitu juga dengan para tamu undangan yang hadir. Mereka semua memiliki tempat duduk masing-masing. Acara belum dimulai, tapi Navisha sudah merasa jenuh dan bosan. Terlebih saat ini Navisha hanya sendiri, tidak memiliki teman mengobrol. Navisha belum terlalu dekat dengan para pegawai di kantor tempatnya bekerja, karena itulah Navisha tak memiliki banyak teman. Malam ini Sela, dan Belia berhalang hadir membuat Navisha semakin merasa sumpek dan jenuh. Sebelumnya, Navisha memang jarang menghadiri acara pesta, atau apapun itu yang banyak di hadiri oleh banyak orang, karena Navisha tidak terlalu suka keramaian. "Navisha!" Navisha sontak menoleh ke arah samping kanan begitu merasa namanya di panggil oleh orang yang sangat ia kenal. "Saiton," lirih Navisha tanpa sadar. Navisha tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat siapa orang yang baru saja memangilnya. Anton melambaikan tangan kanannya, melangkah menghampiri Navisha saat sudah merasa yakin kalau wanita yang sedang duduk tersebut adalah Navisha, sahabatnya. "Lo, ngapain ada di sini?" tanya Anton sesaat setelah berada di hadapan Navisha. Anton duduk di samping kanan Navisha, lalu meneliti penampilan Navisha yang terbilang berbeda dari biasanya. Anton akui jika malam ini Navisha tampil memukau, terlihat jauh lebih cantik dari hari-hari biasanya. Anton tahu jika Navisha memang jarang sekali memakai riasan wajah, jadi saat Navisha memakai riasan wajah walaupun itu hanya sedikit, tapi mampu membuat aura kecantikan Navisha semakin terlihat dan terpancar dengan sempurna. "Menurut lo?" Navisha balik bertanya dengan nada ketus. Kehadiran Anton cukup membuat Navisha merasa senang, pasalnya sahabat gesreknya ini selalu membuat moodnya jungkir balik. "Jangan bilang sama gue kalau lo kerja di perusahaannya Om Abraham?" Anton menunjuk wajah Navisha, menatap Navisha dengan mata melotot. Navisha diam, memilih tidak menjawab pertanyaan Anton dan diamnya Navisha membuat Anton semakin yakin kalau tebakannya memang benar. "Jadi lo beneran kerja di perusahaannya Om Abraham?" Diamnya Navisha sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya barusan. Anton tahu kalau Navisha memang sudah bekerja dan info itu ia dapatkan dari Sein, tapi Anton tidak tahu kalau Navisha akan memilih bekerja di perusahaan Abraham. "Iya," jawab Navisha lesu dengan kening yang kini menempel di meja. "Wah-wah, lo benar-benar penuh kejutan," ujar Anton takjub di selingi tawa mengejek pada Navisha. "Gue sama sekali enggak tahu kalau Pak Abraham itu orang tua Afnan," erang Navisha frustasi. Navisha tentu saja merasa frustasi, karena sudah pasti ia akan kembali bertemu dengan Afnan. Dulu ia memilih pergi ke luar negeri demi menghidari pria bernama Afnan, tapi sekarang ia malah akan kembali di pertemukan dengan orang yang paling ia hindari. Terlebih lagi, pertemuan mereka nantinya akan berlangsung sangat intens, 5 hari dalam 1 minggu, bisa lebih dan bisa kurang. Saat Navisha melamar bekerja di perusahaan Abraham, Navisha sama sekali tidak tahu kalau Abraham adalah orang tua Afnan, karena meskipun dulu mereka berteman atau lebih tepatnya mereka bersahabat, Navisha tidak pernah bertemu dengan kedua orang tua Afnan, karena saat itu kedua orang tua Afnan sibuk dengan urusan bisnisnya di luar negeri. "Jadi sekarang apa yang bakalan lo lakuin, Sha?" Anton menatap Navisha dengan salah satu alis terangkat, penasaran dengan langkah apa yang akan Navisha ambil. Anton tahu betapa sulitnya ini untuk Navisha, karena ia tahu bagaimana perasaan Navisha pada Afnan, sahabatnya. "Gue enggak tahu, An, gue bingung." Navisha menjawab dengan jujur apa adanya. "Ya lo keluar aja Sha, atau pindah kerja di perusahaan gue aja," usul Anton pada akhirnya. Anton serius menawarkan pekerjaan untuk Navisha. Meskipun Navisha anak konglomerat tapi Anton tahu, skill dan kemampuan Navisha dalam dunia bisnis tidak perlu di ragukan lagi, karena kedua orangtua Navisha mendidik Navisha dengan sangat sangat baik. Darah pembisnis sudah mendarah daging dalam tubuh Navisha. "Enggak mungkin, An. Gue udah tanda tangani kontrak untuk masa kerja selama hampir 3 tahun dan gue baru kerja kurang lebih 4 bulan, kalau gue batalin kontrak yang udah disepakati, yang ada gue harus bayar denda yang pastiny enggak sedikit," jelas Navisha frustasi. "Ya kan lo tinggal minta sama Papah lo, Sha, Papah lo pasti setuju." Anton tahu betapa kedua orang tua Navisha sangat menyayangi putri semata wayangnya ini, termasuk Sein. Pasti segala kemauan dan permintaan Navisha akan langsung dikabulkan selama itu memang yang terbaik untuk Navisha. Dengan cepat, Navisha menggeleng, sambil bergumam. "Itu enggak mungkin." Niat Navisha bekerja adalah untuk membuktikan pada Papahnya kalau dirinya bisa hidup secara mandiri, lalu sukses dengan caranya sendiri, tapi kalau dirinya harus meminta uang pada Papahnya, sama saja bohong. Terlebih, Navisha juga tahu jika Bambang tidak akan begitu saja mau membantunya. Bambang pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan, salah satunya adalah, alasan kenapa ia tiba-tiba ingin berhenti dari perusahaan yang saat ini menjadi tempatnya mencari pundi-pundi uang. "Coba dari awal gue dengerin ucapan Papah sama Mamah, pasti enggak bakalan kaya gini deh jadinya." Sekarang Navisha menyesali keputusannya untuk memilih bekerja di perusahaan orang lain di banding perusahaan milik Papahnya sendiri. "Makanya kalau di kasih tahu atau dikasih nasehat sama orang tua itu didengerin," ujar Anton sok bijak. "Pe'a lo, emangnya lo suka nurut kalau di kasih tahu orang tua lo." Dengus Navisha kesal dengan mata mendelik menatap Anton. "Iya juga ya." Cengir Anton. Kini Anton merubah posisi duduknya, menghadap Navisha dan menatap Navisha dengan raut wajah serius. "Terus apa yang bakalan lo lakuin sekarang, Sha?" Anton masih belum puas dengan jawaban yang tadi Navisha berikan. Navisha menarik dalamnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan, seraya merubah posisi duduknya menjadi tegak. "Ya mau gimana lagi, An, mau gak mau, suka gak suka gue harus tetap ngejalanin itu semua." "Lo yakin, Sha?" tanya Anton memastikan. Anton hanya khawatir kalau Navisha tidak akan bisa mengontrol dirinya sendiri. Navisha mengangguk, menatap Anton dengan senyum mengembang yang kini menghiasi wajahnya, mencoba meyakinkan Anton kalau dirinya pasti baik-baik saja. "Iya, An, lo tenang aja, gue bukan tipe orang yang mencampur adukan masalah pribadi sama masalah pekerjaan." Navisha sendiri sebenarnya tidak yakin kalau dirinya bisa bersikap profesional, tapi Navisha akan mencoba untuk bersikap profesional selama nanti bekerja dengan Afnan. Anton menarik nafas sebanyak-banyaknya, sebelum akhirnya menghembuskannya secara perlahan. Kalau Navisha sudah berbicara seperti itu tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Sekarang Anton hanya bisa berdoa, semoga pilihan Navisha kali ini tidak salah. "Oh iya, Sein enggak ikut?" Navisha baru sadar kalau ia tidak melihat Sein bersama Anton, biasanya Sein akan selalu ikut ke mana pun Anton pergi. "Enggak, dia lagi marah sama gue." Sebisa mungkin, Anton menjawab dengan santai pertanyaan Navisha. Karena pertanyaan yang baru saja Navisha ajukan adalah pertanyaan yang paling ia hindari. "Marah karena apa?" Navisha penasaran dan memandang Anton dengan tatapan menuntut penjelasan. "Ya marah," jawab Anton lirih, nyaris tak terdengar. Anton mengalihkan perhatiannya pada para tamu undangan yang mulai memenuhi gedung, sama sekali tidak berani memandang Navisha. "Iya gue tahu Sein marah, tapi Sein marahnya kenapa pe'a?" Navisha mulai tersulut emosi, Anton benar-benar berhasil membuat moodnya jungkir balik. "Dia mergokin gue, pas gue lagi ngerokok," jawab Anton lirih di barengi dengan helaan nafas kasar. Mendengar jawaban Anton tak ayal membuat Navisha kesal, Navisha mengayunkan kaki kanannya, menendang tulang kering Anton. "Aw Sshh!" Anton meringis kesakitan, Navisha benar-benar menendang kaki kanannya dengan sangat kuat. "Sakit, Sha," ringis Anton sambil memegangi kakinya yang baru saja di tendang heals Navisha. Padahal tapi pagi Sein sudah menendang kaki kirinya dan sekarang Navisha menendang kaki kanannya, lengkap sudah penderitaan yang Anton rasakan. "Syukurin, masih untung kaki lo yang gue tendang dan bukan aset berharga lo." Navisha menjawab ketus dengan mata mendelik. Sementara Anton langsung merapatkan kedua kakinya dan menatap horor Navisha. "Janganlah Sha, nanti Sein gak bisa main tembak-tembakan lagi dong." Anton meringis, membayangkan kalau burungnya benar-benar hilang. Sein pasti akan kabur kalau ia tak lagi memelihara burung dan memilih untuk mencari burung baru. "Sembarangan aja kalau ngomong." Kali ini Navisha memukul punggung Anton dengan tas tangannya, membuat Anton kembali meringis kesakitan. Baru saja Anton akan membalas perkataan Navisha, tapi dengan cepat Navisha kembali menyelanya. "Lo kalau mau mati jangan perlahan-lahan, An, sekalian aja lo minum racun biar matinya langsung," ujar Navisha berapi-api. "Tega lo sama gue," ujar Anton dramatis, tangan Anton terus mengusap usap kakinya yang tadi baru saja di tendang Navisha. Astaga! Rasanya benar-benar sakit. "Selamat malam, asik banget ngobrolnya." Sapaan dari Abraham yang di tunjukan pada Anton dan Navisha membuat perhatian keduanya langsung tertuju pada orang yang baru saja menyapa mereka berdua. Navisha bangkit dari duduknya, menundukkan sedikit kepalanya tanda hormat pada Abraham dan juga Aneth yang berdiri berdampingan dengan Abraham. Keduanya tampak serasi, begitupun dengan pakaian yang dikenakannya. "Selamat malam juga, Pak, Bu." Navisha balas menyapa Abraham dan Aneth. Setelah itu, tubuh Navisha sedikit terhuyung ke belakang saat ada yang menubruk kedua kaki jenjangnya. Saat Navisha menunduk untuk melihat siapa orang yang baru saja memeluk kedua kakinya, saat itu pula orang yang baru saja memeluk kedua kakinya mendongak. "Celamat malam, Mommy," sapa Aqila dengan senyum menawan yang menghiasi wajah cantiknya. "Selamat malam juga Aqila." Tentu saja Navisha membalas sapaan Aqila dengan tak kalah ramahnya. Navisha berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Aqila, mengecup sekilas kening Aqila lalu turun menuju kedua pipi Aqila yang tampak chuby. "Aqila cantik." Pujian yang baru saja Navisha ucapkan mampu membuat Aqila tersenyum manis, menampilkan deretan gigi putihnya yang terlihat dengan sangat jelas. "Ndong, Mom," pinta Aqila masih dengan senyum manis menghiasi wajahnya. Navisha tersenyum lalu membawa Aqila ke dalam gendongannya. Semua itu tak lepas dari pengamatan Abraham dan juga Aneth, membuat senyum di wajah kedua orang itu mengembang dengan sempurna, mereka senang karena Aqila dekat dengan Navisha. Tapi hal berbeda justru langsung ditunjukan oleh Anton. Anton mengalihkan pandangan matanya pada Navisha, menatap Navisha dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa Aqila memanggil Navisha dengan sebutan Mommy?" Itulah pertanyaan yang ingin Anton tanyakan pada Navisha. Tapi sepertinya situasi dan kondisi saat ini sangat tidak mendukung dan terpaksa Anton harus menunggu waktu yang tepat untuk bertanya pada Navisha. "Selamat malam, Anton." Abraham mengulurkan tangannya yang langsung di balas oleh Anton. Anton lupa kalau kedua orang tua Afnan masih ada di hadapannya. "Selamat malam, Om, Tante. Selamat atas hari ulang tahun perusahaannya yang ke 50, Om, Tante." "Terima kasih, An." Abraham dan Aneth menyahut kompak ucapan Anton. "Sein enggak ikut, An?" Kali ini gilir Aneth yang bertanya, karena biasanya ke mana pun Anton pergi, pasti ada Sein yang setia menemaninya. Anton menggelengkan kepalanya lalu menatap Aneth. "Lagi berhalangan hadir, Tante." Sementara Navisha dan Aqila malah asik bercanda dan tertawa bersama, mengabaikan keberadan orang-orang di sekitarnya. "Aqila enggak kasihan sama Mommy Sha? Turun ya Sayang, kamu berat loh." Aneth mulai membujuk Aqila agar mau turun dari gendongan Navisha. "Ndak mau tulun." Aqila menggeleng gelengkan kepalanya, menolak permintaan Aneth. Aqila malah menyandarkan kepalanya di bahu Navisha, lalu mengalungkan kedua tangannya, memeluk erat leher Navisha. "Enggak apa-apa kok, Bu." Tentu saja Navisha merasa senang karena kini ada Aqila dalam gendongannya, jadi ia tidak akan kesepian lagi. Apalagi Aqila sangat lucu dan juga menggemaskan, membuatnya betah berlama-lama bersama Aqila. "Selamat malam semuanya." Abraham, Aneth, Anton, dengan kompak mengalihkan pandangannya pada asal suara, termasuk Navisha juga Aqila. Tanpa sadar, Navisha menahan nafasnya saat melihat orang yang paling ia hindari sudah ada di hadapannya. Navisha kembali bernafas ketika sadar jika tadi ia menahan nafasnya. Sejak awal memasuki tempat acara, Navisha sudah tahu jika cepat atau lambat, dirinya pasti akan bertemu dengan Afnan, karena itulah, sejak tahu jika Afnan adalah orang yang akan menjadi atasannya, Navisha sudah mewanti dirinya sendiri agar santai dan tidak terlihat tegang ketika berhadapan langsung dengan Afnan. Tapi ternyata, semuanya tidak semudah apa yang Navisha bayangkan. Ketika berhadapan langsung dengan Afnan, Navisha bisa merasakan jantungnya yang berdebar hebat, lalu di saat yang sama, ia juga merasa takut sekaligus gugup. Dalam hati Navisha terus berdoa, semoga saja tidak akan ada yang menyadari kegugupannya, dan semoga saja, dirinya tidak melakukan hal-hal yang akan membuat dirinya sendiri malu. "Pah, Mah," sapa Afnan pada kedua orang tuanya. "Papah pikir kamu bakalan datang terlambat," ujar Abraham dengan nada ketus. Afnan hanya tertawa mendengar ucapan Abraham barusan, sementara Aneth hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Abraham pada Afnan. "Hai, An." Afnan mengulurkan tangan kanannya yang langsung di sambut hangat oleh Anton. Anton membalas uluran tangan Afnan, tak lupa membalas sapaan sang sahabat. Keduanya bukan hanya saling berjabat tangan, tapi keduanya juga saling berpelukan "Apa kabar, An?" Afnan melerai pelukannya begitu pun dengan Anton, Afnan mulai meneliti penampilan Anton, mulai dari atas sampai bawah. Lama tidak bertemu Anton tapi penampilan Anton semakin gagah dan menawan saja. Padahal Afnan berharap kalau Anton akan berkeriput seperti kakek-kakek. "Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja, Nan," jawab Anton sambil tertawa kecil. Afnan mengangguk, tersenyum pada Anton. "Sepertinya lo juga baik-baik aja deh," ujar Anton sesaat setelah meneliti penampilan Afnan, mulI dari ujung kaki sampai ujung kepala. Afnan sontak mengangguk di barengi dengan tawa renyahnya. "Gue emang baik-baik aja, An." Kini Afnan mengalihkan perhatiannya pada seorang wanita yang sedang menggendong putri semata wayangnya. "Hai, Sha." Afnan menyapa wanita yang kini berdiri di hadapannya. Meskipun sudah lama mereka tidak pernah bertemu, tapi Afnan yakin kalau wanita yang ada di hadapannya ini adalah Navisha. Itu terlihat jelas dari manik matanya yang sangat indah sekaligus menawan. Afnan mengulurkan tangan kanannya, dan mau tidak mau Navisha membalas uluran tangan Afnan, hanya sebagai bentuk sopan santun karena sebenarnya ia sangat malas membalas uluran tangan Afnan. "Hai." Navisha membalas sapaan Afnan dengan canggung. Hampir 4 tahun mereka tidak pernah bertemu, dan itu membuat Navisha merasa tidak nyaman. Susah payah Navisha menghindari Afnan, tapi sekarang mereka malah akan lebih sering bertemu mengingat Afnan akan menjadi pengganti Abraham, itu artinya Afnan adalah bosnya. "Apa kabar, Sha?" Sebenarnya Afnan enggan melepaskan jabatan tangannya dengan Navisha. Entah mengapa, Afnan merasa kalau Navisha selalu berusaha menghindarinya sejak terakhir kali mereka bertemu, dan sepertinya Navisha tidak tahu kalau anak dalam gendongannya adalah anak dirinya. "Baik," jawab Navisha secara singkat. Afnan merasa sikap Navisha banyak berubah terhadap dirinya, bahkan Navisha selalu menjawab pertanyaannya dengan nada dingin. "Sayang, sini gendong sama Daddy." Afnan merentangkan kedua tangannya pada Aqila yang kini sedang bermanja-manja dalam gendongan Navisha. Tapi Aqila menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Afnan. Aqila malah membalikan badannya membelakangi Afnan membuat Afnan terkejut karena Aqila yang baru saja menolaknya. Padahal hampir 3 bulan mereka tidak bertemu karena dirinya yang sibuk menyelesaikan urusannya di luar negeri, tapi sekarang Aqila malah menolak di gendongan olehnya? Benar-benar luar biasa. Sementara Navisha tertegun saat mendengar Afnan menyebut dirinya sendiri Daddy, apa itu artinya kalau Aqila adalah anak dari Afnan? Kini banyak sekali pertanyaan yang bercokol di otak Navisha. Navisha harap kalau ada orang yang bisa menjawab semua pertanyaannya. Navisha mengalihkan perhatiannya pada Anton, menatap Anton dengan intens, Anton langsung menganggukan kepalanya, seolah tahu apa yang kini sedang Navisha pikirkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD