"Sha, sarapan dulu Sayang!" Dengan teriakan yang memekakan telinga, Vina memanggil sang putri Navisha yang belum juga terlihat batang hidungnya. Padahal jam di dinding ruang makan hampir menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit, dan biasanya Navisha sudah turun sejak 5 menit yang lalu.
"Iya Mah, enggak usah teriak-teriak kali," sahut Navisha yang kini sedang menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa.
Penampilan Navisha sudah rapih, ia mengenakan setelan kantornya, dan tak lupa menenteng tas kesukaannya.
"Selamat pagi, Pah, selamat pagi Mah." Navisha menyapa kedua orang tuanya secara bergantian.
"Selamat pagi juga, Sayang." Bambang dan Vina membalas dengan kompak sapaan Navisha.
Navisha bukan hanya menyapa kedua orang tuanya, tapi juga melabuhkan kecupan di pipi Bambang dan secara bergantian. Setelahnya, Navisha duduk tepat di samping kanan Bambang.
Saat ini, Bambang sedang membaca koran, di temani secangkir kopi dan juga beraneka ragam cemilan ringan yang tersaji di meja.
Bambang tersenyum lebar, senang begitu mendapat kecupan dari sang putri. Pria paruh baya tersebut lantas melipat koran yang belum selesai ia baca, kemudian menaruh koran tersebut ke dalam tas kerjanya.
"Wah sarapan hari ini nasi uduk." Navisha berucap riang saat melihat menu sarapan yang tertata rapih di hadapannya.
Nasi uduk buatan Vina memang enak sekaligus nikmat, dan termasuk ke dalam list makanan kesukaan Navisha.
Vina tersenyum simpul, sudah menduga kalau putrinya akan sangat menyukai menu sarapan hari ini.
"Di makan, Sha, jangan cuma dilihatin doang." Vina langsung menyajikan nasi uduk untuk suaminya dan untuk dirinya sendiri.
Sedangkan Navisha mulai menyendok sendiri sarapannya. Navisha selalu menolak ketika Vina akan melayaninya.
Penolakan yang Navisha berikan sama sekali tak Vina ambil pusing. Vina membiarkan Navisha melakukannya sendiri.
Hanya butuh waktu tak kurang dari 20 menit bagi Bambang, Vina, serta Navisha untuk menyelesaikan sarapan mereka.
Saat ini ketiganya sedang menikmati hidangan penutup spesial buatan Vina.
"Bagaimana, Sha? Enak gak kerja jadi sekertaris?" Pertanyaan Bambang memecah keheningan yang sejak tadi tercipta.
"Ya enak gak enak dinikmatin aja, Pah, namanya juga kerja, pasti ada enak dan enggak enaknya." Navisha menjawab dengan santai pertanyaan Bambang.
"Syukurlah kalau begitu, dan kamu tahu kan kalau perusahaan Papah akan selalu siap untuk menampung kamu, kalau kamu memang sudah tidak betah bekerja di sana."
"Iya, Pah, Navisha tahu." Navisha mengalihkan atensinya pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Pah, Mah, Navisha berangkat duluan ya takut telat nih."
"Iya, Sayang." Lagi-lagi Bambang dan Vina menyahut dengan kompak ucapan Navisha.
Navisha beranjak bangun dari duduknya diri, lalu menghampiri kedua orang tuanya. Navisha mencium pipi Bambang dan Vina secara bergantian, setelah itu ia berlari menuju tempat di mana mobilnya terparkir.
"Hati-hati, Sha!" Vina berteriak saat melihat Navisha berlari terburu-buru menuju pintu utama.
"Iya Mah!" Navisha balas berteriak, karena jika ia membalas dengan nada pelan, maka Vina pasti tidak akan bisa mendengarnya.
"Kenapa, Pah?" Vina mengusap lembut punggung tangan suaminya saat Bambang terus memperhatikan Navisha, yang kini sudah hilang dari pandangan mereka berdua.
"Papah mengkhawatirkan, Navisha?" Vina kembali bertanya karena Bambang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Iya, Mah, Papah mengkhawatirkan Navisha." Bambang menyahut lirih, mengutarakan kegelisahan yang terus ia rasakan.
Jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya Bambang merasa tidak ikhlas kalau Navisha harus bekerja sebagai sekertaris, terlebih Navisha bekerja di perusahaan orang lain.
Padalah sebelumnya Bambang sudah menawarkan 2 pilihan pada putrinya tersebut. Pilihan pertama adalah menggantikan posisinya sebagai pemimpin di perusahaan yang nantinya akan ia wariskan pada Navisha, lalu pilihan kedua adalah bekerja seperti karyawan tapi tetap di perusahaan yang saat ini masih ia pimpin. Tapi dengan tegas, Navisha menolak semua usulannya, alasannya karena semua karyawan di perusaahnya pasti akan merasa segan dan hormat berlebih pada Navisha, karena mereka tahu jika Navisha adalah anak pemilik perusahaan. Bambang akui pasti hal seperti itu akan terjadi, karena semua orang di perusahaannya juga tahu kalau Navisha adalah putri semata wayangnya. Putri yang teramat sangat ia cinta juga kasihi, dan apapun akan Bambang lakukan untuk membuat Navisha bahagia.
Lamunan Bambang buyar saat Vina semakin erat menggengam kedua telapak tangannya, mengusap punggung tangannya dengan lembut.
"Pah, Navisha sudah dewasa," tutur Vina lembut.
Vina akui, sebagai seorang Ibu, ia juga selalu merasa khawatir pada Navisha, tapi Navisha sudah dewasa, dia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih pekerjaannya sendiri.
Ya, alih-alih bekerja di kantor Bambang, Navisha malah memilih bekerja di perusahaan orang lain, dan kini mendapatkan jabatan sebagai seorang sekertaris.
Pada awalnya, Bambang menolak mentah-mentah permintaan Navisha yang ingin bekerja sebagai sekertaris, namun pada akhirnya Vina dan Navisha berhasil membujuknya sampai pada akhirnya, Bambang mengijinkan Navisha bekerja sebagai sekertaris di perusahaan orang lain.
"Kita sebagai orang tua hanya perlu mengawasinya dari jauh, Pah." Lagi-lagi Vina bersuara karena sang suami yang tak kunjung berbicara.
Bambang menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Bambang lantas mengangguk, sebagai pertanda jika ia setuju dengan apa yang baru saja Vina katakan.
"Ya sudah, Papah berangkat dulu, nanti jalanannya keburu macet." Bambang beranjak dari duduknya tak lupa membawa serta tasnya di susul Vina yang juga berdiri untuk mengantar Bambang sampai ke teras depan.
***
Setelah menempuh perjalanan selama hampir 10 menit lamanya, Navisha akhirnya sampai di kantor tempat di mana ia bekerja.
Pagi ini, jalanan tidak terlalu ramai, jadi mobil yang Navisha kemudikan bisa melaju dengan lancar tanpa mengalami kendala berarti.
Saat ini Navisha sudah berada di meja kerjanya. Perempuan tersebut sedang memeriksa ulang beberapa jadwal sang atasan untuk hari ini.
"Selamat pagi, Sha," sapaan ramah Abraham, membuat Navisha replexs berdiri dan sedikit membungkukan kepalanya sebagai bentuk tanda hormat.
"Selamat pagi, Pak." Navisha membalas sapaan Abraham dengan tak kalah ramahnya. Dalam hati, tak henti-hentinya Navisha merutuki kebodohannya, karena ia sama sekali tidak sadar ketika atasannya itu keluar dari lift. Sepertinya ia terlalu fokus pada kegiatannya sampai tidak sadar kalau atasannya datang, dan malah menyapanya terlebih dahulu. Padahal biasanya, ialah yang menyapanya terlebih dulu.
Setelah menyapa Navisha, Abraham lalu memasuki ruangannya di ikuti oleh Navisha yang berjalan tepat di belakangnya.
"Ini beberapa dokumen yang harus Bapak periksa untuk meeting nanti siang, Pak." Navisha meletak setumpuk dokumen di meja kerja Abraham.
"Banyak banget, Sha," ucap Abraham saat melihat banyaknya dokumen yang harus dia periksa.
"Iya Pak, jadwal Bapak hari ini sangat padat."
Abraham mengangguk dan duduk di kursinya. "Sha, nanti siang ada istri sama cucu Bapak, tolong nanti pesankan makanan untuk makan siang ya, sekalian sama es cream rasa vanila."
"Baik, Pak. Menu makan siangnya apa saja, Pak?" Ini kali pertama istri sang atasan akan datang berkujung, jadi Navisha belum tahu makanan apa yang disukainya dan tidak disukainya.
"Bebas Sha, yang terpenting jangan makanan cepat saji dan jangan makanan pedas." Abraham mulai memeriksa satu persatu dokumen yang tadi Navisha berikan.
"Baik Pak, kalau begitu saya permisi dulu," ucap Navisha undur diri.
"Iya, Sha, terima kasih ya."
"Sama-sama, Pak." Setelah itu, Navisha ke luar dari ruangan kerja Abraham, kembali menuju meja untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tak terasa waktu mulai beranjak siang dan Navisha masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya, enggan untuk pergi makan siang, meskipun sudah waktunya untuk istirahat.
"Selamat siang." Sapaan bernada teguran dari seorang wanita paruh baya dengan suara yang mengalun merdu membuat Navisha terkejut.
Navisha yang sedang berkutat dengan setumpuk dokumen langsung mendongak, sontak berdiri saat melihat wanita paruh baya menggendong balita yang tengah tertidur, kini tersenyum manis padanya.
"Selamat siang, Bu," sapa ramah Navisha seraya menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat.
Navisha yakin jika wanita paruh baya di hadapannya ini adalah istri dari atasannya.
"Apa Bapak ada di dalam?" Wanita tersebut menunjuk pada ruangan Abraham yang tertutup.
"Bapak masih meeting, Bu. Kata Bapak, Ibu tunggu saja di dalam."
Aneth mengangguk, tanda mengerti dan sedikit menundukkan wajahnya untuk melihat siapa nama sekertaris cantik yang ada di hadapannya ini.
"Na-vi-sha." Aneth mengeja saat membaca nama yang tertera di meja Navisha.
"Iya, Bu, nama saya Navisha."
"Namanya cantik, seperti orangnya."
Wajah Navisha sontak merona tat kala mendengar pujian dari wanita paruh baya di hadapannya. "Terima kasih Bu atas pujiannya," ucapnya malu-malu.
"Sama-sama, Sha, dan boleh Ibu minta tolong?"
"Boleh, Ibu mau minta tolong apa?"
"Tolong bukain pintunya ya, tangan Ibu penuh semua nih."
"Mari, Bu." Navisha berjalan terlebih dahulu dan membukakan pintu ruangan Abraham untuk Aneth.
"Saya tinggal ya, Bu," pamit Navisha pada Aneth yang kini sedang membaringkan balita yang tadi dalam gendongannya di atas sofa.
"Iya silakan, terima kasih ya, Sha," ucap Aneth sambil menatap Navisha dengan senyuman manisnya.
"Sama-sama Ibu, permisi," pamit Navisha undur diri.
Navisha kembali duduk di kursi kerjanya, kemudian meraih gagang telepon untuk menghubungi Desi.
"Des, makan siangnya tolong anterin sekarang ya," ujar Navisha sesaat setelah sambungan telpon terhubung.
"Ok," jawab Desi dari seberang sana.
"Sama es cream vanilanya ya. Awas jangan lupa!" Peringat tegas Navisha.
"Siap, enggak akan lupa kok."
Navisha menutup sambungan telepon, kembali berkutat dengan dokumen yang masih menumpuk.
1 jam sudah berlalu, dan beberapa menit setelah Navisha menghubungi Desi, Desi sudah mengantar makanan yang di pesan oleh atasannya.
Kegiatan Navisha terhenti, ia menoleh ke samping kanan, tersenyum saat melihat balita yang tadi di gendong oleh istri sang atasan kini tengah menarik-narik ujung kemejanya.
"Endong." Balita tersebut merentangkan kedua tangannya, menatap Navisha dengan mata berbinar.
Kening Navisha berkerut, tidak terlalu mengerti dengan apa yang di ucapkan balita tersebut.
"Endong," ulang sang balita sambil menjulurkan kedua tangannya dan jangan lupakan senyum manisnya yang berhasil membuat Navisha terpesona.
"Gendong?" Ulang Navisha memastikan.
Balita tersebut mengangguk dan semakin mendekati Navisha, mengikis jarak yang tercipta.
Navisha lantas berdiri dari duduknya, lalu membawa tubuh gempal balita tersebut ke dalam gendongannya.
"Kamu cantik banget sih," puji Navisha gemas sambil mencubit pipi anak perempuan dalam gendongannya yang berlumuran es cream.
"Antik."
Navisha tertawa saat tangan mungil balita dalam gendongannya itu terulur, membelai wajahnya, terlebih tangannya penuh dengan lelehan es cream. Sekarang Navisha yakin jika wajahnya pasti belepotan oleh es cream.
"Siapa namanya, hm?" Navisha bertanya dengan nada lemah lembut.
Navisha mengambil beberapa tisu, lalu mulai membersihkan wajah dan kedua tangan balita cantik dalam dalam gendongannya. Tak lupa, Navisha juga membersihkan wajahnya.
"Ila," jawab balita tersebut sambil tersenyum malu-malu.
"Ila?" Ulang Navisha memastikan yang langsung di jawab anggukan oleh sang balita.
Navisha dan balita tersebut terlalu asyik bercanda sampai tidak sadar dengan kedatangan Abraham.
"Loh, kok Aqila di luar sih? Eyang Utinya mana?" tanya Abraham saat melihat Aqila duduk manis dalam pangkuan Navisha.
"Eh maaf, Pak. Tadi Aqilanya ke luar sendiri dari ruangan, Bapak." Navisha menyahut panik, ia takut kalau atasannya tersebut berpikir kalau ialah yang membawa balita tersebut ke luar dari dalam ruang kerja sang atasan.
"Santai Sha, enggak usah panik begitu." Abraham tertawa saat melihat mimik wajah Navisha yang tampak panik sekaligus tegang.
"Sini gendong sama Eyang." Abraham mengulurkan kedua tangannya pada Aqila.
"Ndak mau." Aqila menggeleng, menolak tegas ajakan Abraham.
"Kok enggak mau?" tanya Abraham dengan kening berkerut, menampilkan wajah pura-pura sedih karena Aqila menolaknya mentah-mentah.
"Ndak mau." Aqila tetap menolak kekeh seraya menggerakan kedua tangannya, seolah mengusir Abraham.
Sementara Navisha hanya bisa diam, atau lebih tepatnya bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
"Gendong ya sama Eyang."
Lagi-lagi Aqila menggeleng, menolak ketika Navisha akan memberikannya pada Abraham.
"Ya sudah kalau enggak mau." Abraham tidak mau memaksa Aqila, karena Abraham takut jika Aqila malah akan menangis. "Bapak titip Aqila ya, kalau mulai rewel masuk saja ke ruangan Bapak."
Navisha menggangguk. "Baik, Pak."
"Aqila enggak boleh ganggu Tante Sha kerja ya!" Peringat Abraham lembut.
Aqila yang masih berada dalam gendongan Navisha lantas mengangguk sebagai tanda mengerti di barengi senyum manis mengembang menghiasi wajah cantiknya.
Abraham berlalu menuju ruangannya, dan begitu ia berada dalam ruangannya, netranya berpendar ke segala penjuru ruangan, mencari di mana istrinya berada. "Bu, Ibu!" Teriaknya menggelegar.
"Ibu di dalam toilet, Pak!"
Abraham menghela nafas lega begitu mendengar teriakan Aneth, ia lalu berjalan menuju sofa dan mulai menyantap makanan yang sudah tersaji di meja.
Tak berselang lama kemudian, Aneth keluar dari kamar mandi, dan matanya sukses membola saat tidak melihat cucunya.
"Aqilanya mana, Pak?" Aneth panik saat tidak melihat Aqila di atas sofa, padahal tadi saat dirinya pergi ke kamar mandi, Aqila masih duduk manis di sofa sambil menikmati es cream kesukaannya.
"Aqila di luar, Bu, sama Navisha," jawab Abraham sambil menunjuk pintu keluar dengan dagunya.
"Tumben tuh anak mau sama orang lain?" Aneth tentu saja bingung, karena selama dirinya mengasuh Aqila, Aqila sangat pemalu sampai-sampai tidak mau dekat dengan orang lain kecuali keluarganya. Bahkan tidak semua anggota keluarganya bisa dengan leluasa menggendong Aqila atau bermain dengan cucunya itu, karena Aqila sangat pemilih.
Aneth berjalan menghampiri Abraham, duduk tepat di samping kanan Abraham. "Kenapa enggak Bapak gendong? Kasihan kan Navisha, jadi terganggu."
"Mau di gendong sama Bapak aja gak mau, Bu," jawab Abraham sambil berdecak. Abraham kesal karena Aqila menolaknya. Ini pertama kalinya Aqila menolak di gendong olehnya.
"Oh ya?" tanya Aneth tidak percaya, menatap Abraham dengan kening berkerut.
"Iya, Bu. Aqila nolak saat mau Bapak gendong."
Aneth yang merasa tidak percaya dengan ucapan Abraham lantas beranjak dari duduknya, berjalan menuju jendela untuk melihat apa yang sedang Aqila lakukan.
Aneth tersenyum saat melihat Aqila yang biasanya tidak bisa diam kalau di rumah, kini tampak terlihat malu-malu di pangkuan Navisha. Aqila hanya diam dan terus memperhatikan Navisha yang sedang sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Syukurlah kalau Aqila tidak mengganggu pekerjaan Navisha, karena jika Aqila mengganggu Navisha, maka ia akan mengambil cucunya tersebut.