“Aku ingin membantumu, Shoera. Tapi, uang sebanyak itu aku tidak punya. Satu juta dolar itu cukup banyak. Sekalipun aku menjual apartemen, mobil dan beberapa aset atas namaku. Hasil penjualannya tidak akan sampai sebanyak itu.” Terbesit rasa sesal di hati Elang lantaran tidak dapat menolong Shoera dari masalah yang membelenggunya.
“Aaah …aku sungguh-sungguh tidak berharap bantuanmu Elang, ini masalahku dengan Rigel. Kau tidak perlu menyusahkan dirimu demi aku,” ujar Shoera demikian. Menolak niat baik Elang.
“Begini saja, aku akan coba mencari pinjaman dar___”
“Jangan, jangan, Elang.” Shoera menyela ucapan pria itu. Ia sama sekali tidak ingin melibatkan Elang dalam masalahnya.
“Shoera, kita harus mengambil Sky darinya. Dia tidak oleh seenaknya mengklaim Sky anaknya."
“Dengan cara apa? Menjual semua yang kau punya? Dan memintamu mencari pinjaman kesana-kemari. Memangnya aku siapamu Elang sampai kau melakukan itu? Satu juta dolar dalam satu minggu. Jangan lakukan itu, tolong.” Shoera menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia sangat frustasi. Niat baik Elang bukan sebuah jalan untuk menyelesaikan masalahnya, baginya itu hanya akan memperburuk keadaan. Terutama dalam hubungan rumah tangga Elang.
“Shoera jangan tanya siapa kau bagiku? Kau dan Sky sangat berarti.” ujar Elang, hatinya sedikit terluka mendengar ucapan Shoera.
Shoera menekan gigi pada bibir bawahnya. Menatap nanar Elang dari biji matanya yang sudah berembun. “Terima kasih masih begitu peduli denganku dan Sky.” gumamnya menahan isak yang hampir lolos dari bibirnya.
“Jangan menangis.” Elang mengulurkan tangan menyeka sudut mata Shoera. “Selanjutnya apa rencanamu?” tanya Elang.
“Entahlah, Lang. Aku belum bisa berpikir apapun.” katanya lirih, menundukkan kepalanya. Ponsel Shoera berdering di atas meja, ia meraihnya. Melihat nama Azura memanggil.
“Azura menelpon,” katanya, melihat Elang.
“Jangan katakan aku ada disini, dia akan mengomel satu tahun.” ujar Elang, membawa punggungnya bersandar pada sandaran sofa.
Shoera berdehem sebelum menerima panggilan Azura.
“Halo Zura,”
“Shoera, apa yang terjadi? Aku tidak sengaja mendengar dokter yang menangani pengobatan Sky bicara dengan seseorang. Data kesehatan Sky diambil. Apa itu atas persetujuan darimu?” tanya Azura setengah berbisik pada telepon genggamnya, ia terus mengikuti langkah Aro, pria yang Azura yakini lawan bicara dokter sebelum keluar dari ruangan itu.
Terdengar Shoera menghela nafas berat. "Sky diambil ayahnya, Zura."lirih Shoera dari ujung telepon.
“Apa? Ayahnya yang mana? Elang?" Spontan Azura mengeraskan nada bicaranya, menarik perhatian pria di depannya. Aro menolehkan kepala ke belakang dan Azura berpura-pura tidak memperhatikan pria itu.
Shoera melirik Elang di depannya. Pria itu menipiskan bibir, suara Azura cukup keras hingga terdengar olehnya. “bukan Elang tapi, Rigel. Ayah kandungnya.” ujarnya Shoera.
“Astaga. Kenapa aku tidak mengetahui apapun.” Marah Azura, tiba-tiba ia berhenti ketika pria di depannya menyadari diikuti seseorang.
“Sorry, Zura. Aku tidak ingin mengganggumu saat bekerja.”
“Kapan semua ini terjadi?”
“Saat aku membawa Sky kontrol.”
"Lalu kau tidak apa-apa, kan?" tanya Azura, ia mengernyit bingung, Aro tidak terlihat lagi.
"Cukup kuat untuk bertahan Zura,"
“Ck, ah menyebalkan. Baiklah, kita bicarakan ini nanti. Ceritakan kenapa Rigel mengetahui Sky putranya. Aku kehilangan seseorang disini. Sudah dulu ya.” kata Azura, ia kehilangan jejak Aro. Azura memutus panggilan itu, mengedarkan pandangannya mencari sosok Aro.
“Kemana dia?” Azura melangkah lebar mencari Aro.
“Mencariku, Nona?” Entah dari mana datangnya Aro. Pria itu tiba-tiba muncul di depannya, Azura terkesiap dan hampir terjatuh.
“Hei kau, kenapa mengejutkanku?” tanya Azura kesal setelah berhasil menegakkan dirinya yang hampir terjatuh.
Sebelah alis pria itu terangkat tinggi kemudian berkata. “Aku tidak melakukan apapun,”
Azura memindai penampilan Aro dengan mata menyipit tajam. “sepertinya kita pernah bertemu,”
“Benarkah?Aku tidak mengingat pernah bertemu dengan anda,” bohong Aro, menempatkan tangan di dalam saku celana. Hatinya berdebar, melihat gadis di depannya ini.
Azura masih mencoba mengingat, wajah pria ini seolah tidak asing baginya. “kau yakin?” tanyanya, terdengar menelisik. “Ah, itu tidak penting. Mungkin kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya.” sambungnya.
“Aku kristen Nona, hidup dan mati hanya sekali. Tidak ada kehidupan sebelumnya."
Azura berdecak kesal, "Ah, terserah." Debatnya dengan tatapan penuh permusuhan.
Aro menahan senyum di bibirnya, melihat kemarahan gadis ini cukup menyenangkan baginya. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan dokter yang menangani pasien bernama Sky. Kalian mengambil data pasien seenaknya tanpa persetujuan walinya." tukas Azura menatap sinis Aro. "Kau pasti anjingnya Rigel, patuh melakukan apapun untuk tuanmu yang tidak waras itu. Benarkan, kan?"
"Yak Nona, mulut anda terlalu kasar." Aro melempar tatapan tajam pada gadis itu. "Siapa kau hingga mencampuri yang bukan masalahmu?" Tanya Aro menekan suaranya di setiap kata yang ia lontarkan.
"Aku? Tidak ada hubungan darah dengan anak yang kalian ambil paksa dari tangan ibunya. Tapi, aku saksi kehidupan Shoera dan anaknya. Aku teman yang selalu ada saat wanita yang kalian sakiti itu terpuruk. Bagiku dia keluarga. Kau mengerti?"jelas Azura.
"Aku yakin kau ada untuknya hanya sebagai penonton." tukas Aro, masih menatap kesal Azura.
"Apa? Penonton"
"Melihat reaksimu yang begitu emosional, sepertinya ucapanku benar."
"Yak! Kau!"
"Bicara denganmu tidak ada gunanya. Kau hanya pamer peduli pada kehidupan dua orang itu tanpa melakukan apapun."
"Yak!! Dengar baik-baik—"
"Kau yang harus mendengarkanku, Nona!" Aro menyela ucapan Azura. Ia teramat kesal saat gadis ini menyebutnya anjing, padahal sebelumnya dia cukup tertarik dengan Azura. Itu sebabnya dia sengaja membuang waktunya yang berharga untuk bicara dengan Azura.
"Anak itu berada di tangan yang tepat. Ayahnya."
"Maksudmu apa ibunya bukan orang yang te— "
"Apa yang bisa dilakukan Ibunya untuk menolong anak itu dari penderitaannya. Menju—, Aro menelan ucapannya dalam hati. Ia hampir mengungkap aib Shoera yang menjual tubuhnya pada Rigel. Aro jengkel pada dirinya sendiri. Lalu mengacungkan jari telunjuknya di dekat wajah Azura.
"Apa?"Teriak Azura kesal, menantang pria itu.
Rahang kokoh Aro mengetat, wajahnya yang putih berubah merah menahan kemarahannya. Ia menuding Azura. "Kau benar-benar
wanita yang tidak paham attitude. Kau beruntung aku bisa menahan diri untuk tidak merobek mulut kurang ajarmu itu."Ucapnya penuh penekanan lalu beranjak dari tempat itu.
Azura mengejar, "Yak! Katakan, ke rumah sakit mana kalian pindahkan Sky?" tanya Azura mengikuti langkah Aro di lorong rumah sakit menuju lift. Ia tidak peduli dengan kemarahan pria itu.
Aro mengabaikannya dan terus melangkah pada tujuannya.
"Setidaknya beritahu tempat anak itu dirawat. Sky butuh ibunya. Pengobatan apapun kalian berikan jika suasana hati anak itu tidak baik, semuanya akan sia-sia." ujar Azura terus mengejar langkah Aro.
Pria itu menunggu lift terbuka, "Hei, kau!" Azura menghela nafas panjang. "tolong pikirkan perasaan Shoera. Dia pasti sangat menderita saat ini. Dia hidup hanya untuk putranya," ujar Azura melembutkan suaranya. Aro masuk ke dalam lift tanpa memperdulikan perkataan Azura.
Azura menghentakkan kakinya di lantai, kesal. "Ck, untuk apa bicara dengannya. Dasar sombong." ucapnya, berbalik setelah pintu lift menutup membawa Aro ke lantai bawah.
***
Shoera berdiri di depan pintu apartemen Rigel. Mengumpulkan keberanian untuk menyentuh tombol pada kunci pintu digital apartemen. Jika ia memohon, mungkin Rigel akan melembutkan hatinya untuk mengizinkannya bertemu dengan Sky. Ia menarik nafas dalam-dalam berusaha mengatur detak jantungnya yang berdebar tak karuan, lalu menekan tombol kunci pintu. Satu menit, dua menit sampai menit-menit berikutnya Shoera menunggu tapi, tidak ada hasil.
Shoera merogoh tasnya karena ponselnya bergetar, Elang menghubunginya. “Iya Lang?” jawabnya setelah menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.
“Sho kau ada dimana?” tanya Elang. Ia berkunjung ke kost Azura, Namun, tidak menemukan wanita itu disana.
“A-aku sedang di luar Lang,” Shoera menekan ulang tombol pada gagang pintu apartemen. Berharap kali ini ada yang membukakan pintu untuknya.“Ada apa menelpon di jam segini?” tanya Shoera setelah melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Delapan malam.
“Aku mencemaskanmu. Jadi mampir di kost-an. “ Elang menggantungkan paper bag pada gagang pintu. Makan malam untuk Shoera.
Shoera menghela nafas berat, kecewa. Kedatangannya tidak menghasilkan apapun. “Ada Azura, kan?” tanya Shoera, ia memutuskan meninggalkan tempat itu.
“Sepertinya Zura belum pulang, kau ada dimana?” Elang masih sangat penasaran kemana perginya wanita itu.
“Apartemen Rigel, tapi dia tidak ada disini. Kira-kira Sky dibawa pergi kemana ya, Lang?” ujar Shoera jujur sekaligus bertanya.
Elang menelan saliva rasanya sepahit empedu, sangat sakit mengetahui Shoera pergi ke hunian Rigel. “Kau tahu tempat tinggal pria itu?” tanya Elang.
“Aku pernah kemari, Lang.”
Sekelebat ucapan Rigel terngiang di telinganya. ‘Kau tahu apa yang dilakukan istrimu dibelakangmu? Kau akan terkejut jika mengetahuinya.’ Lagi-lagi Elang merasakan sesuatu mencubit hatinya. Rasanya sangat menyiksa dan menyesakkan pernafasannya.
“Aku jemput ya, Sho?” ucapnya kemudian, ia meninggalkan depan kost-an.
“Tidak perlu, Lang. Aku naik taksi online saja. Kau pulang ya, ini sudah malam.” kata Shoera, kini ia sudah berada dalam lift.
“Baiklah, besok aku akan kemari lagi.”
“Umm, baiklah.”
“Shoera,” Hampir saja Shoera menurunkan ponsel dari telinganya.
“Yah,”
“Lain kali, jika mau kesana pergilah bersamaku.” ucapnya, kemudian. Lalu panggilan itu terputus.
Shoera bernafas panjang, Lift berhenti kemudian pintunya terbuka lebar. Ia melihat seorang wanita mengenakan kacamata hitam berdiri di luar pintu lift. Wanita itu Elsa, yang dikabarkan dekat dengan Rigel.