Shaka menjatuhkan dirinya di kursi, langsung menyenderkan punggungnya seraya menghela napas berat.
"Selamat pagi," salam Lia-sekretaris Shaka di sekolah kepribadian miliknya, dari ambang pintu wanita dengan tiga orang anak itu melihat Shaka dengan kening menyernyit karena tidak biasanya boss sekaligus sahabat suaminya ini bersikap seperti ini.
"Selamat pagi juga," balas Shaka tanpa berniat merubah posisi duduknya.
Lia mendekat dan menyerahkan beberapa dokumen yang harus Shaka periksa dan bubuhi tandatangannya.
"Cuma sedikit," ucap Lia ketika Shaka menatap dokumen di atas meja dengan wajah malas.
Lia duduk di kursi yang ada di depan Shaka dengan tangan menumpuk di atas meja layaknya anak sekolah yang sedang memperhatikan gurunya.
Shaka yang baru saja membuka dokumen pemberian Lia seketika berhenti dan membalas tatapan sahabat sekaligus sekretarisnya itu dengan sorot mata lurus.
"Tumben," cicit Lia ketika Shaka membalas tatapannya.
"Tumben kenapa?" balas Shaka di sertai helaan napas.
"Ya ini, begini." Tangan Lia menengadah menunjuk pada sang atasan yang sedang tidak semangat padahal hari masih terbilang pagi. "Biasanya kamu semangat, tapi sekarang kok loyo?" goda Lia.
"Entahlah!" sahut Shaka, dia juga bingung dengan perasaannya saat ini.
"Apa yang terjadi? Cerita dong!" bujuk Lia.
Shaka kembali menghela napas, entah sudah berapa kali dia menghela napas seperti ini.
"Aku ketemu seorang wanita dan rasanya sudah klik sama dia ...." Shaka menjeda kalimatnya.
"So?" sahut Lia.
"Heum, aku juga sudah cerita sama Fasya kalau sudah menemukan calon ibu sambungnya." Shaka kembali menjeda kalimatnya dengan mengusap kasar wajahnya. Sementara Lia ditambah penasaran dengan kelanjutan cerita sahabatnya itu.
"Dia mahasiswi akhir yang baru pindah kuliah di tempatku mengajar."
"Terus? Apa salahnya? Gasss dong!" desak Lia semangat karena dia tidak mau sahabatnya terus saja berstatus duda.
"Itu dia salahnya aku! Aku sudah sat set tancap gas. Tapi tadi, baru saja aku menemukan sebuah foto, foto dia sama pria lain di laci dasboard mobilnya."
Lia masih mencerna cerita Shaka. Melihat raut wajah ibu tiga anak itu akhirnya Shaka menceritakan dari ulang bagaimana dia bisa mengenal Zivaa.
Beberapa saat kemudian Lia malah terbahak di akhir Shaka menceritakan kronologis yang membuatnya galau seperti sekarang ini.
"Jadi kamu nemuin foto dia dan pria lain dan kamu cemburu seperti ini?" tuding Lia.
"Pria itu bisa aja saudara laki-lakinya?" sambung sang sekretaris.
Cemburu? Benarkah Shaka cemburu hanya dengan melihat foto Zivaa dengan pria lain yang dia belum tahu siapa pria itu sebenarnya.
Shaka mengangguk membenarkan ucapan Lia.
"Kamu gak bisa langsung berasumsi sendiri, Mas! Kamu harus tanya sama Ziva siapa pria di foto itu," tambah Lia dalam satu tarikan napas.
'Zivaa Brianna, kamu sudah memporakporandakan hati Arshaka Mahawirya,' monolog Shaka dalam hati.
***
Pekerjaan kantor pun selesai, waktunya melanjutkan kegiatan perkuliahan. Zivaa harus melahap ilmu Public Relation yang dia ambil agar menunjang karier. Sedangkan Shaka harus ke kampus untuk membagi ilmunya Yang dia punya seputar Public Speaking. Keduanya sama-sama berangkat dari kantor masing-masing menuju satu tempat yang sama.
Shaka dengan mobilnya sedangkan Zivaa dengan taxi online.
Awalnya Shaka ingin kembali menjemput Zivaa dari kantor sore hari tapi saat dia melihat foto mahasiswinya itu dengan pria lain dia jadi malas, mood-nya sudah hilang. Tapi setelah berdiskusi dengan sahabat sekaligus sekretarisnya itu perasaan Shaka menjadi sedikit lebih tenang dan dia berniat menanyakan perihal foto itu pada Zivaa nanti di kampus.
Zivaa baru sampai di kampus setelah magrib karena terjebak macet, beruntung hari ini hanya satu mata kuliah dan itu di mulai jam 19.30. Masih banyak waktunya.
Turun dari taxi online gadis berhidung mancung itu langsung melihat mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya turun taxi. Senyumnya merekah karena kondisi mobilnya sudah bagus, ban mobil sudah tidak kempes itu berarti Shaka sudah membetulkannya. Entah kapan pria itu mengerjakannya tapi yang pasti Zivaa harus berterima kasih pada Shaka bukan? Apalagi kunci mobilnya juga sama pria itu.
Mahasiswi tahap akhir itu melanjutkan langkah kakinya menuju gedung rektorat dimana ruang dosen juga berada di sana.
Perkuliahan malam membuat gedung itu tidak seramai pagi. Setelah bertanya pada petugas keamanan sekaligus meminta ijin untuk bertemu dengan dosennya, Zivaa masuk ke dalam lift menuju ruang khusus para dosen.
Sangat mudah mengetahui di ruang mana Shaka berada selain dari nama yang tertera di depan pintu, awalnya Zivaa melihat ruang yang lampunya menyala itu tandanya sang dosen masih mengajar sedangkan ruang yang lampunya sudah mati menunjukan dosen tesebut sudah pulang atau tidak ada lagi mata kuliah yang dia ajarkan.
"Oh di sini ruangannya," gumam Zivaa.
Gadis itu menemukan ruang kerja Shaka sebagai dosen. Pintu ruangan itu sedikit terbuka dan ketika Zivaa hendak mengetuk pintu dia mendengar suara decak penyatuan disertai erangan-erangan kecil seorang wanita dari dalam. Zivaa sempat ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tiba-tiba ...
"Cari pak Shaka? Masuk saja, dia pasti ada di dalam." Suara bariton seorang dosen lain mengejutkan Zivaa.
"I-iya, Pak. Tapi sepertinya pak Shaka masih ada tamu," kelit Ziva.
"Kalau begitu tunggu saja, duduk di sana. Pak Shaka kalau terima tamu suka lama."
Zivaa tersenyum kecut dengan kepala mengangguk.
Bersamaan saat Zivaa mau duduk, seorang mahasiswi keluar dari ruang kerja Shaka sambil sesekali mengusap sudut bibirnya. Wanita itu tidak melihat Zivaa atau pura-pura tidak melihat dia langsung ngeloyor begitu saja melewati Zivaa yang ada di dekat pintu itu.
"Zivaa," panggil Shaka dengan tangan melambai memanggilnya masuk kedalam.
Perlahan langkah kaki Ziva masuk ke dalan ruang kerja dosennya, ini pertama kalinya dia masuk. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan di sana.
"Silahkan duduk." Shaka mempersilahkan mahasiswinya duduk di sofa.
Zivaa sedikit tersentak karena dia sedang tidak fokus pada pria itu, fokusnya pada ruang kerja yang cozy, nyaman dan tertata begitu rapih, serta aroma maskulin khas parfum dosen hot itu mendominasi satu ruangan.
"Terima kasih," ucap Zivaa pelan sambil menjatuhkan bokongnya di sofa singel.
"Heum, Pak. Saya ke sini mau ambil kunci mobil saya," sambungnya.
Shaka beranjak dari duduknya, ya untuk apa lagi wanita itu menemuinya kalau bukan untuk kunci mobil. Shaka mengambilnya dari salam tas tangannya. Kunci mobil Zivaa dia satukan dengan kunci mobil miliknya.
"Ini kunci mobil kamu, saya sudah —"
"Terima kasih, Pak. Saya sudah lihat tadi mobil saya bannya sudah terganti." Potong Zivaa buru-buru.
"Kalau begitu saya permisi karena ada kelas sebentar lagi," lanjutnya berpamitan.
Shaka mengangguk tanpa kata-kata karena tidak ada alasan dia untuk menahan Zivaa lebih lama di sana.
Setelah Zivaa keluar ruangannya, Shaka merasa ingin buang air kecil. Pergilah dia masuk ke dalam kamar mandi yang ada di ruang kerjanya. Saat melewati washtafel dengan kaca di dindingnya Shaka terkejut karena di bibirnya ada bekas lipstick. Keningnya menyernyit dan dia mengambil kesimpulan kalau Zivaa pasti melihatnya hanya saja wanita itu diam.
Shaka langsung mengambil tisu dan mengusap sisa lipstick di bibirnya dan menyusul Zivaa. Dia merasa harus menjelaskan pada mahasiswinya itu apa yang sebenarnya terjadi agar tidak ada salah paham.