8. Semakin Bimbang

1160 Words
Riyon terkejut. Namun, Ash tak dapat melihatnya. Perhatian Ash sepenuhnya jatuh pada Nina, memandangi wajah ayu Nina yang terlelap. “Meski aku mencintai Nina, tapi aku tak bisa melihatnya tidak baik-baik saja. Jika sampai terjadi sesuatu pada calon bayinya atau Nina sendiri, aku tak akan memaafkan diriku. Daripada Nina memikul beban dengan memilih aku atau kakak, lebih baik aku mengalah karena kakak juga tidak akan mungkin melakukannya.” Riyon meremas setir hingga tangannya memerah. Gemeretak giginya pun samar terdengar. Mendengar ucapan Ash semakin membuatnya merasa bahwa dirinya adalah pemeran antagonis di sini, bahwa dirinya adalah penjahatnya. Mungkin memang benar, tapi dirinya pun tak ingin menjadi penjahat. Ia juga tak ingin membuat Ash menanggung kesalahannya. Perlahan remasan tangan Riyon pada setir mengendur. Ia memejamkan mata sejenak kemudian mengembuskan napas dari mulut. “Sampai anak itu lahir.” Ash yang sedari tadi menunduk menatap wajah Nina, seketika mengangkat kepala mengarah pandangan pada kakaknya yang tetap menatap ke depan. Ia tidak tahu maksud ucapan sang kakak dan menunggunya kembali bicara. “Setelah anak itu lahir, aku akan membawanya dan kau, bisa bersama Nina.” Mata Ash melebar. Apa ia tak salah dengar? “Maksud … maksud kakak?” tanya Ash memastikan jikalau ia salah dengar, jikalau yang didengarnya hanyalah ilusi semata. Tanpa menoleh ke belakang, Ash mengulangi ucapannya setelah menghela napas pelan. “Setelah anakku lahir, aku akan menceraikannya dan kalian bisa bersama. Aku akan membawa anakku bersamaku meninggalkan negara ini.” Riyon tak tahu apakah keputusan yang diambilnya ini benar atau salah. Ia pikir dengan keputusannya itu, semua akan berakhir tanpa ada yang terluka. Ia telah melaksanakan kewajibannya tanpa menjadikan Ash tumbal. Dan setelah anaknya lahir, Ash bisa memiliki Nina seperti keinginannya. Tes …. Setetes air mata Ash mengalir dan jatuh di pipi Nina. Ia tak mengira kakaknya akan memberinya keputusan itu. Keputusan kakaknya itu menunjukkan bahwa ia ingin menikahi Nina semata untuk anaknya. Tiba-tiba kerutan di dahi Nina mulai tampak diikuti matanya yang terbuka. Ia pun berusaha meraih kesadaran kemudian menegakkan kepala. “Maaf, aku … ketiduran.” Ash segera mengusap air matanya tak ingin Nina melihatnya. “Tidak apa. Kita sudah sampai,” ucapnya kemudian turun dari mobil dan membukakan pintu mobil di sebelah Nina. Ash masih diam dalam posisi, dan saat Ash membantu Nina turun dari mobil, ia hanya memperhatikannya lewat spion tengah. “Hati-hati. Apa aku harus menggendongmu?” tanya Ash ketika membantu Nina turun. “Tidak perlu, Ash. Aku baik-baik saja,” tolak Nina dengan halus. “Baik lah. Aku akan mengantarmu sampai dalam rumah.” Dengan penuh perhatian Ash berjalan mendampingi Nina masuk ke dalam rumah. Sementara, Riyon tetap duduk di tempat di mana ia tengah memikirkan keputusannya. Riyon pikir keputusannya akan berakhir baik bagi semua orang. Namun, ia tak berpikir bagaimana perasaan Nina. Jika Nina tahu, apa yang akan dia lakukan? Di dalam rumah, Ash membantu memindahkan barang-barang yang sebelumnya kakaknya bawa menuju dapur. Meletakkan buah ke dalam kulkas dan obat serta vitamin ke atas meja makan. Ia lalu kembali menyusul Nina yang duduk di ruang tamu. “Aku sudah meletakkan semuanya di dapur, Nin,” ujar Ash setelah ia kembali. “Ya, terima kasih, Ash. Maaf sudah merepotkanmu.” “Tidak apa-apa. Kau … mau istirahat ke kamar?” tanya Ash. Ia dengan siap akan membantu Nina berjalan ke kamarnya. Namun, Nina menolak. Nina tak ingin membiarkan seorang pria masuk ke kamarnya. Mendapat jawaban itu, Ash pun duduk di kursi di depan Nina. Ia kemudian melirik koper Nina yang masih berada di dekat pintu. “Nin, kau … tidak berniat benar-benar kabur, kan?” Sebenarnya Ash tidak ingin membicarakan ini mengingat kondisi Nina, tapi ia tak mau ambil resiko Nina benar-benar pergi setelah ia pergi dari sana. Nina tampak sedikit gugup. Ia mengalihkan pandangan dari Ash dengan tangan kanan meremas lengan kirinya. Dengan suara pelan, ia mengatakan, “Aku … tidak tahu.” “Nin, aku … sudah memutuskan, menikah lah dengan kakak.” Nina terkejut dan seketika menatap Ash dengan mata melebar. Kenapa Ash tiba-tiba …. “Dokter bilang, kau tidak boleh stres atau banyak pikiran karena itu bisa mempengaruhi kehamilanmu juga kesehatanmu. Karena itu, jika kau bersedia, menikah lah dengan kak Riyon. Jujur saja, meski begitu berat, tapi lebih berat melihat sesuatu terjadi padamu. Aku yakin kakak akan memperlakukanmu dengan baik, dia kakak yang baik meski tidak terlalu banyak bicara. Daripada membiarkanmu pergi, lebih baik melihatmu bersama kakak. Setidaknya, aku merasa tenang masih bisa melihatmu, dan merasa tenang karena yang menjagamu adalah kakakku. Jika kita berjodoh, aku yakin suatu saat, seperti apapun caranya, kita akan bersama.” Nina terpaku, pandangannya terkunci pada Ash yang mencoba tersenyum. Namun, sorot mata dan air matanya yang menggenang tak dapat menutupi perasaannya yang sebenarnya. Tes …. Air mata Nina jatuh begitu saja. Ia seolah dapat merasakan seperti apa perasaan Ash. Meski ia belum begitu yakin bahwa ia mencintai Ash, tetap saja ia punya nurani memahami perasaan pria yang mencintainya itu. Nina menunduk dan mengusap pelan perutnya. Andai saja tidak ada janin di rahimnya, pasti semua tak akan seperti ini. Akan tetapi, ia tak mau menyalahkan jabang bayi dalam perutnya itu, yang ia salahkan adalah, dirinya di malam itu. *** Nina termenung menatap segelas s**u yang baru saja dibuatnya. Ia masih memikirkan apa yang terjadi tadi siang, memikirkan ucapan Ash yang memintanya menikah dengan Riyon. Saat ini waktu menjelang sore dan ia tetap di rumah. Ia kembali berpikir dua kali untuk kabur dan memulai kehidupan yang baru di tempat lain setelah melihat Ash mengiba, memintanya tidak kabur. Tok! Tok! Nina tersentak mendengar ketukan pintu cukup keras di luar. Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan. Sesampainya di sana dan membuka pintu, ia dibuat terkejut melihat kedua orang tua Ash. Dan lebih terkejut saat Rahayu segera memeluknya. “Nina, ibu mohon jangan pergi.” Nina tak tahu apa maksud Rahayu, dan saat wanita paruh baya itu melepas pelukan, ia melihat dia meneteskan air mata. “Ibu tidak sengaja mendengar pembicaraan Ash dan Riyon, kau mau pergi? Kau mau membawa calon cucu ibu pergi bersamamu?” Nina tak berhenti dibuat terkejut. Bagaimana bisa rencana yang bahkan belum sempat terealisasi telah sampai di telinga orang tua Ash? “Sebagai calon kakek dari anak yang kau kandung, aku melarangmu pergi. Kau mau menjauhkan orang tua ini dari calon cucu pertamanya?” Tengkuk Nina terasa tebal mendengar bariton tegas Salim. Ia pun hanya bisa menundukkan kepala sambil meremas lengan. Ia merasa dirinya seperti seekor semut sendirian yang menghadapi satu keluarga burung yang siap memakannya. “Benar, Nin. Ibu mohon, jangan pergi. Ibu tidak mau kehilangan masa-masa penting dengan calon cucu ibu apalagi ini cucu pertama. Ibu menyerahkan keputusan di tanganmu, Nin. Ibu tidak peduli kau memilih siapa bahkan tidak memilih antara Riyon dan Ash, tapi asal kau memberi orang tua ini kesempatan melihat tumbuh kembang cucu pertama kami,” pinta Rahayu penuh harap dengan pipi basah oleh air mata. Nina dibuat semakin gusar. Keputusan apa yang harus diambilnya? Melihat Rahayu membuatnya merasa menjadi orang jahat jika tak memenuhi harapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD