Woek!
Nina memuntahkan seluruh isi perutnya. Sepotong sandwich yang sebelumnya berhasil ia telan, pada akhirnya keluar kembali dan membuat perutnya terasa kosong.
Nina membersihkan mulutnya setelah berhenti memuntahkan isi perut. Ia kemudian kembali ke kamarnya untuk beristirahat sejenak.
”Ssh … kepalaku pusing sekali,” desah Nina setelah ia duduk di tepi ranjang.
Nina berniat merebahkan diri sejenak, tapi sadar ia harus pergi bekerja, ia pun berdiri dan bersiap berangkat. Pada akhirnya ia memutuskan tetap tinggal, mengurungkan niatnya untuk kabur setelah didatangi calon mertuanya kemarin. Hatinya yang selembut kapas membuatnya tak tega melihat Rahayu dan Salim mengiba.
Nina berjalan menuju pintu depan dengan langkah seperti diseret. Ia ingin beristirahat, tapi tuntutan pekerjaannya mengharuskannya tetap berangkat.
Kriet ….
Baru saja membuka pintu, Nina dikejutkan dengan berdirinya seseorang di depannya. Orang itu tak lain adalah, Riyon.
Nina melirik arah lain tak ingin bertatap muka dengan pria itu. “Kau … apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku akan mengantarmu pergi bekerja.”
Nina sedikit melebarkan mata dan segera menatap Riyon. “Apa? Mengantarku bekerja? Tidak. Aku bisa berangkat sendiri,” tolak Nina dengan tegas. Meski ia merasa kondisinya kurang fit, ia tak mau Riyon mengantarnya.
“Ibu yang menyuruhku. Ibu juga membawakanmu ini.” Riyon memberikan kotak makan yang terbungkus furoshiki, makanan yang ibunya siapkan khusu untuk Nina.
Nina menatap benda di tangan Riyon dalam diam. Ia ingin menolak, tapi mendengar itu dari Rahayu membuatnya merasa sungkan. Pada akhirnya ia pun menerima makanan itu.
“Terima kasih.”
“Kalau begitu cepat,” ucap Riyon.
“Aku bisa–”
Tepat di saat itu, ponsel Nina berdering. Ia pun mengambil ponselnya dari tas dan mengangkat panggilan.
“Halo, Nina. Ini ibu. Apa Riyon sudah sampai?”
Nina melirik Riyon sekilas dan menjawab. “Ya … Riyon sudah di sini, Tan.”
“Ish, kenapa masih panggil Tan? Kan sudah ibu bilang, panggil ibu,” tegas Rahayu dari seberang sana. “oh, ya, ibu tadi menyuruh Riyon mengantar makanan untukmu. Jangan lupa makan, ya. Nanti siang ibu akan ke rumahmu. Ibu punya menu spesial, kau pasti menyukainya. Resep ini turun temurun dari nenekmu dan bagus untuk wanita hamil.”
Nina memijit pangkal hidungnya, kepalanya mulai berdenyut ngilu mendengar celotehan calon ibu mertuanya.
“Tapi … Bu … aku akan pergi bekerja. Jadi nanti siang aku–”
“Apa? Kerja? Kau masih kerja? Setelah kau kemarin pingsan kau mau pergi bekerja?!”
Dahi Nina sedikit berkerut. Bukankah tadi Riyon bilang ibunya yang menyuruhnya mengantarnya pergi bekerja? Tapi kenapa suara ibunya terdengar tak setuju ia pergi bekerja?
Nina melirik Riyon seolah mencari jawaban. Namun, Riyon segera membalikkan badan.
“Ya ampun, Nin. Kehamilanmu itu masih rentan, dokter juga bilang kandunganmu sedikit lemah. Kau tidak boleh bekerja terlalu lelah. Kenapa tidak istirahat dulu di rumah? Setidaknya sampai kau benar-benar fit.”
Awalnya Nina merasa tenang karena Rahayu berbeda dengan calon mertua lainnya yang garang dan jahat, tapi semakin ke sini dirinya merasa sedikit tertekan. Rahayu terlalu banyak meminta dan mengatur. Meski Nina akui semua itu Rahayu lakukan karena mengkhawatirkannya dan demi kebaikannya.
“Ta- tapi … aku tetap harus bekerja. Aku sudah beberapa kali izin kemarin jadi–”
“Hah … baik lah. Tapi jika terjadi sesuatu, sebaiknya berhenti bekerja, ya, Nin. Lagipula, nanti Riyon akan memenuhi semua kebutuhanmu. Kau tidak perlu capek-capek bekerja, kau hanya harus memperhatikan kandunganmu.”
Jika saja Nina bukan wanita berhati lembut, ia sudah membantah Rahayu. Tapi, sejak kecil ia telah dididik untuk selalu menghormati orang yang lebih tua membuatnya tak mampu membantah.
Nina dibuat terkejut saat secara tiba-tiba Riyon merebut ponsel yang masih menempel di telinga.
“Sudah dulu, Bu. Nanti dia terlambat,” tegur Riyon pada ibunya.
“Hm, iya-iya. Hati-hati saat berkendara nanti, kau membawa tiga nyawa. Kau, Nina dan calon anakmu. Nanti kalau kalian sudah menikah, sebaiknya suruh Nina tetap di rumah. Jangan biarkan dia–”
Belum selesai Rahayu bicara, Riyon telah mengakhiri panggilan dan memberikan ponsel Nina.
“Ayo,” ajak Riyon seraya membalikkan badan berniat melangkah menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah Nina.
Nina masih berdiri di tempat menatap Riyon yang telah berjalan. Ia dalam kebimbangan, apakah harus ikut dengan Riyon atau pergi menggunakan mobilnya sendiri.
Tiba-tiba alis Nina sedikit mengernyit saat mobil Riyon mulai bergerak. Ia pikir Riyon akan pergi, tapi tidak, Riyon justru meletakkan mobilnya berada tepat di depan mobilnya terparkir.
“Apa yang dia lakukan?” batin Nina terheran. Namun, saat Riyon sedikit menyembulkan kepala, Nina tahu tujuan pria itu.
“Aku tidak akan memindahkan mobilku. Kau tidak akan bisa pergi.”
Nina meremas ponsel di tangan. Dengan begitu terpaksa ia pun masuk mobil Riyon. Ia merasa Riyon tak bercanda dengan ucapannya, pria itu terlalu serius.
Jbles!
Nina menutup pintu mobil Riyon cukup keras. Ia duduk di samping Riyon sekarang dan menatap lurus ke depan dengan wajah masam.
Riyon melirik Nina sekilas, dan tanpa mengatakan apapun, ia pun memutar setir meninggalkan halaman rumah Nina.
Dalam perjalanan suasana terasa tenang dan sedikit tegang. Tak ada yang memulai pembicaraan sampai tiba-tiba suara Riyon terdengar.
“Sebulan lagi kita akan menikah.”
Nina meremas simpul furoshiki di atas pangkuannya. Ia merasa seperti boneka yang harus mengikuti semua kemauan Riyon ataupun keluarganya.
“Jika kau masih punya keluarga, katakan. Kita akan ke sana.”
“Untuk apa?” tanya Nina dengan suara pelan.
“Meski pernikahan ini terpaksa, aku tidak akan mempermainkan janji pernikahan. Jika kau begitu terpaksa, bertahanlah sampai anakku lahir. Setelah dia lahir kita bisa bercerai. Karena kutegaskan sekali lagi, semua yang kulakukan hanya demi darah dagingku.”
Air mata Nina jatuh membasahi furoshiki bercorak bunga di atas pangkuan. Ia merasa begitu tak dihargai, merasa hanya menjadi wadah yang akan dibuang nantinya setelah anaknya lahir.
Riyon melirik Nina sekilas, melihat Nina menangis, ia bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan ucapannya? Bukankah harusnya Nina merasa tenang karena ia sudah memberinya lampu hijau dari sekarang? Nina bisa bebas setelah anaknya lahir, dia bisa menikah dengan Ash.
Tak lama kemudian, mobil Riyon akhirnya berhenti di depan perusahaan. Nina pun segera turun tanpa mengatakan apapun.
Nina berjalan memasuki gedung sampai tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang memanggil.
“Nin! Nina!”
Nina menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang sampai akhirnya seseorang yang memanggilnya berdiri di sampingnya.
“Cie … yang baru aja diantar cowoknya.” Wanita itu menyikut lengan Nina berniat menggodanya. Namun, melihat wajah Nina yang seperti mendung membuatnya terkejut.
“Eh, Nin, kau habis menangis? Matamu sembab.” Sari namanya, rekan kerja Nina di satu divisi, memperhatikan Nina dengan seksama. Melihat mata Nina tampak sembab, ia yakin Nina habis menangis.
“Tidak apa, Sar. Aku … hanya sedikit tidak enak badan.”
“Sungguh? Kenapa tidak ke klinik saja istirahat? Sini id cardmu, biar aku absenkan.”
“Tidak, Sar. Tenang saja, aku akan baik-baik saja.” Nina merasa sungkan sebab sejak dinyatakan hamil, ia sudah beberapa kali istirahat di klinik bahkan absen.
“Jujur saja sebenarnya aku penasaran, kau sakit apa, Nin? Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh denganmu. Cerita lah padaku, meski tidak bisa memberimu solusi, siapa tahu bisa sedikit mengurangi beban pikiranmu,” ujar Sari. Ia khawatir Nina mengidap penyakit serius bahkan mematikan. “wajahmu tampak pucat, kau juga terlihat tidak bersemangat. Katakan padaku, kau sakit apa? Jangan bilang kau sakit kronis.”
Nina menatap Sari dengan berkedip pelan sampai akhirnya senyum kecilnya tercipta. Ia pun menggeleng dan mengatakan, “Apa yang kau katakan? Tenang saja, aku tidak akan menularimu.”
“Ish, bukan itu, Nin. Maksudku, jangan sampai terjadi apa-apa padamu dan tidak ada yang tahu. Kau menganggap aku temanmu, kan? Cepat beritahu aku.”
Nina mengangkat tangannya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Sebentar lagi jam kerja dimulai, jika terus bicara di sini, kita akan terlambat,” ucapnya seraya melanjutkan langkah yang tertunda menunjukkan gedung.
“Ish, Nina!” keluh Sari dan pada akhirnya mengikuti Nina memasuki gedung.
Sesampainya di lantai tempat Nina bekerja, Sari tak berhenti mengajak Nina bicara. Namun, kali ini tidak lagi membahas penyakit Nina.
“Kau tahu? Katanya nanti ada tamu.”
“Tamu?” tanya Nina.
Sari mengangguk. “Uum, tapi aku tidak tahu siapa. Yang kudengar dia teman pak direktur muda kita.”
“Oh ….” Mulut Nina hanya membentuk huruf O sebagai respon. Ia tidak terlalu peduli dengan kabar itu.
“Eh, Nin, sebenarnya aku penasaran, jawab yang jujur, yah.”
Nina memijit pelipisnya dan menatap Sari dengan senyuman terpaksa. Rasa hati ingin menyuruh Sari diam, tapi ia terlalu sungkan. Ia termasuk salah satu orang yang tidak bisa mengatakan tidak.
Sari tertawa kikuk sambil menggaruk pipi yang tak gatal dengan telunjuk. Ia seakan tahu arti tatapan dan senyuman Nina.
“Hehe, semua orang menggosipkanmu pacaran dengan Ash. Daripada aku ikut termakan gosip, kan lebih baik tanya langsung padamu. Jadi, benar kau pacaran dengan Ash?”
Nina terdiam, sebelumnya ia memikirkan Riyon dan mendengar nama Ash, bayangan wajah Ash Kono terlintas di kepala.
“Bukan cuma pacar, dia bahkan hamil anaknya.” Seorang wanita berdiri di depan meja Nina, mengatakan kalimat itu tanpa rasa ragu.