“Nin, kau … mau ke mana?”
Dengan raut wajah penuh tanya, Ash menatap Nina menunggunya menjawab sambil sesekali melirik koper di balik kaki Nina.
Nina mulai sedikit gugup setelah dibuat begitu terkejut dengan keberadaan Ash.
“Ah, ini ….” Nina berusaha mencari jawaban, tapi ia tak bisa menemukannya dengan segera.
Ash mendorong Nina pelan dan masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.
“Jangan bilang kau mau kabur?” tanya Ash menuduh seraya menahan koper Nina.
Nina tak menjawab, mau berbohong rasanya percuma sebab, Ash pasti tak akan percaya.
Ash mendongak saat ia mengembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia lalu menggenggam tangan Nina yang memegang troli koper dan melepaskannya.
“Kenapa, Nin? Kenapa kau mencoba kabur?”
Tangan Nina gemetar, merasakan tangan Ash yang gemetar.
“Apa karena kakakku? Ah, atau … bagaimana kalau kita kabur bersama-sama? Kita bisa pindah jauh dari sini, menikah, dan memulai kehidupan yang baru.”
Nina segera mengangkat kepala menatap Ash. Padahal ia berniat kabur sendirian, tapi kenapa Ash punya pikiran kabur bersamanya.
Nina menarik tangannya dalam genggam tangan Ash. ”Tidak, Ash, tidak. Aku … akan pergi sendiri dan memulai kehidupan baruku sendiri. Aku tidak mau melibatkanmu.” Pada akhirnya Nina mengatakannya, menyampaikan apa yang menjadi tujuan. Ia tidak mau Ash kembali berharap dengan rencana pernikahan yang tak akan mungkin terjadi.
“Apa? Tapi kenapa, Nin? Bukankah kau sudah bersedia menikah denganku? Kita bisa–”
Nina menggeleng dan menyela sebelum Ash selesai bicara. “Tidak, Ash. Kakakmu pasti tidak akan membiarkannya. Dia tidak akan membiarkanmu bersama wanita sepertiku. Selain itu, aku tidak ingin merusak hubungan kalian, hubungan keluarga kalian.”
Ash berusaha memahami apa yang Nina sampaikan sampai tiba-tiba sebuah suara membuat Ash tersentak.
“Kau sudah mendengarnya, bukan?”
Riyon berdiri di depan pintu dengan pandangan lurus menatap Ash. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan meletakkan sekantong plastik besar berisi s**u, vitamin dan buah.
Nina terkejut melihat Riyon, terlebih dengan bawaan yang ia bawa. Apa yang sebenarnya pria itu inginkan? pikirnya.
Riyon membalikkan badan setelah meletakkan belanjaannya. Menghadap Nina dan Ash, perhatiannya tertuju pada Ash.
Sementara, Nina menatap Ash dan Riyon bergantian sampai tiba-tiba kepalanya terasa berat dan di detik berikutnya, ia jatuh pingsan.
“Nina!”
***
“A … maaf, siapa suaminya?”
Seorang wanita yang baru keluar dari sebuah ruangan, bertanya pada Riyon dan Ash. Wanita itu merupakan asisten dokter di klinik tersebut.
Saat ini Riyon dan Ash berada di sebuah klinik, membawa Nina yang sebelumnya pingsan. Ash yang terlalu khawatir dengan keadaan Nina, meminta kakaknya membawa ke klinik terdekat daripada ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh.
“Aku.”
“Aku!”
Asisten dokter itu menatap Riyon dan Ash bergantian saat keduanya berseru bersamaan. Sementara, keduanya segera saling melempar pandangan.
“A … begini saja. Anda berdua bisa masuk ke dalam.” Pada akhirnya asisten dokter itu mempersilakan Riyon dan Ash memasuki ruangan. Entah kenapa, ia seperti bisa membaca situasinya. Ia pikir Riyon adalah mantan suami pasiennya dan Ash adalah pacar barunya.
Mendengar keputusan asisten dokter tersebut, Riyon dan Ash segera memasuki ruangan.
“Um … dok, ini keluarga pasien,” ujar asisten dokter setelah berdiri di samping kursi yang dokter duduki.
Dokter laki-laki itu menatap Riyon dan Ash yang duduk di depan mejanya secara bergantian, dan seperti mengerti situasinya, ia tak mempertanyakan siapa dari keduanya yang berhak diberitahunya mengenai kondisi Nina.
Dokter itu membenarkan letak kacamatanya sebelum akhirnya memberi penjelasan.
“Apa pasien sedang stres?”
Riyon dan Ash hanya diam. Keduanya tidak tahu apakah Nina merasakan itu atau tidak.
Dokter itu menghela napas samar kemudian membuka kacamatanya dan bertanya, “Anda berdua tahu jika pasien sedang hamil?”
Riyon dan Ash sama-sama mengangguk sebagai jawaban.
“Saya tidak tahu hubungan anda berdua dengan pasien, tapi sebaiknya, jaga kesehatan mental dan emosionalnya. Di usia kehamilannya yang masih muda, janin masih begitu rentan. Banyak pikiran dan stres dapat mempengaruhi perkembangan janin bahkan bisa menyebabkan keguguran.”
Jantung Riyon mencelos mendengar kata keguguran. Ada rasa sesak yang tak dapat dijelaskan dengan kata bahkan diungkap.
“stres berlebihan pada ibu hamil bukan hanya membahayakan janin, tapi juga ibu itu sendiri.”
Jantung Ash berdebar mendengar penjelasan lanjutan dari dokter. Meski dokter itu bukan dokter obgyn melainkan dokter umum, tapi ia percaya semua yang dikatakan pasti benar.
”Apa terjadi sesuatu dengan kandungannya?”
“Bagaimana dengan keadaannya?”
Lagi-lagi Riyon dan Ash bicara bersamaan membuat keduanya saling menoleh. Riyon menanyakan jabang bayi di perut Nina dan Ash, menanyakan Nina.
Dokter itu tak segera menjawab. Sementara asistennya memperhatikan Riyon dan Ash bergantian. Ia seperti melihat persaingan dari keduanya. “Apa mantan suami belum move on? Tapi pacar baru pasien itu sudah mau menikahinya,” batinnya.
“Pasien baik-baik saja, tapi kembali lagi, pasien tidak boleh terlalu stres atau banyak pikiran demi kesehatannya juga janin yang dikandungnya. Dan mengenai kondisi janin, kondisinya cukup lemah, tapi masih ada harapan. Saya akan memberikan beberapa resep obat yang harus pasien minum. Tapi saya tekankan sekali lagi, obat saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah kesehatan pasien terutama pengelolaan stres.”
Beberapa saat setelahnya, Riyon, Ash dan Nina telah meninggalkan ruangan. Sebenarnya Nina sudah bangun saat diperiksa membuatnya juga mendengar semua penjelasan dokter pada Riyon dan Ash.
“Menurut dokter, siapa ayah bayi yang dikandung pasien tadi?”
Dokter yang mendapat pertanyaan dari asistennya hanya menggeleng pelan.
“Biarkan saja jadi urusan mereka,” jawab dokter itu yang tak mau terlalu mencampuri urusan orang lain. Yang penting ia sudah menyampaikan apa yang ia tahu dan temukan dari hasil pemeriksaan dan berharap dengan begitu dapat menyelamatkan bayi juga ibunya.
“Hm, kalau aku pikir, yang satu tadi mantan suaminya dan yang satu pacarnya. Mantan suaminya belum move on, tapi pacarnya sudah mau serius,” monolog asisten dokter yang sepertinya sangat tertarik dengan hubungan Nina.
Dokter itu hanya diam bahkan memilih mengabaikan ucapan sang asisten.
Di lain sisi, Riyon, Ash dan Nina telah memasuki mobil di mana Riyon yang duduk di depan kemudi sementara Nina dan Ash di kursi penumpang.
“Bagaimana perasaanmu, Nin? Sudah lebih baik?” tanya Ash seraya menggenggam tangan Nina dan mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. Sorot matanya menunjukkan perhatian yang begitu besar.
Nina mengangguk pelan. “Terima kasih sudah membawaku ke klinik,” ucapnya kemudian melirik Riyon yang tak juga menyalakan start.
“Kau tadi mendengar penjelasan dokter?”
Nina kembali mengangguk. Ia pun tahu stres tidak baik bagi kesehatannya apalagi janin di perutnya, tapi bagaimana ia tidak stres atau banyak pikiran jika dihadapkan pada kenyataan dan pilihan yang sulit? Menerima kehamilannya saja sudah sulit, apalagi harus memilih ayah bayi yang dikandungnya atau pria yang mencintainya terlebih mereka adalah kakak beradik.
Wajah Riyon tampak dingin mendengar pembicaraan Nina dan Ash di belakangnya. Ia sudah seperti seorang sopir dan keduanya adalah majikan.
“Aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu pada darah dagingku.”
Tubuh Nina menegang mendengar peringatan Riyon. Sementara Ash segera menyela kakaknya itu.
“Jangan menekan Nina, Kak. Kakak dengar sendiri Nina tidak boleh banyak pikiran dan stres, kan?!”
Riyon melirik Ash lewat spion tengah. Tiba-tiba pikiran buruk pun terbesit dalam kepala. Ia berpikir Ash pasti senang jika Nina keguguran, dengan begitu tak ada alasan yang mencegahnya menikahi Nina.
“Bukankah kau senang? Jika dia keguguran, tak ada alasan yang bisa mencegahmu menikahinya. Anakku sudah tidak ada.”
Ash terkejut dengan ucapan kakaknya yang terkesan menuduh. Meski yang kakaknya katakan terdengar masuk akal. Akan tetapi, ia tidak mau membahayakan Nina, mendengar keguguran pun bisa membahayakan ibunya juga.
“Apa maksud kakak? Apa kakak pikir aku mau membahayakan nyawa Nina?!”
Tiba-tiba Nina memegangi kepala sambil mendesis pelan saat merasakan kepalanya berdenyut ngilu. Ia pun menyandarkan kepala pada jok seakan tak mampu menahan beban yang begitu berat.
“Nina, ada apa? Kau baik-baik saja?” Ash menyandarkan kepala Nina di bahunya dan menatapnya penuh kekhawatiran juga mendekapnya.
Nina berusaha menyunggingkan senyuman walau begitu tipis. “Ya, tapi sepertinya aku butuh istirahat. Bisakah aku tidur sebentar?”
Ash mengangguk pelan dan membiarkan Nina memejamkan mata, tertidur dalam dekapannya.
Ash menatap Nina, memperhatikan wajahnya yang tampak begitu lelah dan memantik rasa bersalahnya. Ia merasa keadaan Nina seperti ini karena pertengkarannya dengan kakaknya.
Riyon memperhatikan Ash dan Nina lewat spion tengah tanpa mengurangi fokusnya mengemudi. Ada sedikit rasa bersalah melihat bagaimana cara Ash menatap Nina. Dirinya seakan menjadi pemeran jahat di cerita ini, menjadi penghalang bersatunya dua manusia itu yang saling mencintai. Akan tetap, ia tetap tak ingin Ash menggantikan posisinya menjadi ayah dari darah dagingnya. Mungkin kelak jika anak itu lahir, ia akan membawanya dan menyerahkan Nina pada Ash. Tapi, layak kah mendapat wanita yang sudah menjadi bekasnya? Harusnya Ash bisa mendapatkan wanita yang lebih baik. Sayangnya, hanya Nina lah yang Ash cintai.
Riyon meremas setir saat pikirannya bergejolak. Rasanya ia lebih memilih mendirikan beberapa usaha sekaligus meski harus memeras otaknya daripada memikirkan masalah yang dihadapinya sekarang. Rasanya, masalah ini jauh lebih berat.
Tak lama kemudian, mobil Riyon akhirnya berhenti di depan rumah Nina. Mereka telah sampai, tapi sepertinya Nina terlelap karena tak juga membuka mata meski mobil telah berhenti.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan dalam mobil. Riyon tak berniat segera turun begitu juga Ash. Ash tak ingin membangunkan Nina.
“Kak.”
Baru saja Riyon hendak membuka mulut ingin bicara dengan Ash, suara Ash lebih dulu terdengar. Ia pun melirik Ash lewat spion tengah menunggunya mengatakan sesuatu.
Ash terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara seraya meremas lengan Nina yang didekapnya. Ia sudah berpikir dan akan mengambil satu keputusan. Masalah ini tidak akan selesai jika tidak ada salah satu yang mengalah dan akan membuat Nina semakin memikul beban pikiran.
“Menikah lah dengan Nina.”