6. Berniat Kabur

1371 Words
Riyon menatap Nina dengan raut wajah yang dingin dan sorot mata setajam elang, seakan Nina adalah ular kecil yang menjadi calon santapannya. Nina menelan ludah susah payah kemudian menunduk mengalihkan pandangan. Ia seakan tak mampu menatap mata tajam Riyon lama-lama. “Aku … mau pulang,” ucap Nina dengan suara pelan. “Tidak punya sopan santun.” Tubuh Nina menegang, ulu hatinya seolah dicubit mendengar ucapan Ruyon. “Kau datang ke sini baik-baik, dan ingin pergi dengan cara seperti ini?” Nina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu caranya mungkin salah, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin kabur dari masalah ini. Tiba-tiba Nina mengangkat kepala menatap Riyon dengan keberanian. “Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini sekarang? Aku akan pergi, kita tidak perlu menikah, dan aku tidak akan menikah dengan Ash,” ucap Nina dengan tegas. Ia sudah memikirkannya dan itu lah keputusan yang diambilnya. Riyon menatap Nina dalam diam, ia kemudian meraih tangan Nina dan menariknya. “A- apa yang kau lakukan? Le- lepaskan!” Nina berusaha melepaskan cengkraman tangan Riyon, tapi ia tak bisa. Sementara, ia tak mau membuat keributan dengan berteriak meminta pertolongan. Jika seperti itu, pasti ia akan lebih sulit kabur dari rumah itu. Riyon menarik paksa Nina membawanya keluar dari rumah. Ia lalu memaksa Nina masuk mobilnya diikuti dirinya sendiri lalu mengendarai mobilnya itu meninggalkan kediaman. “Kau mau membawaku ke mana?!” sentak Nina. “Bukankah kau ingin pergi dari rumahku? Dan aku sudah membawamu keluar dari sana sekarang,” kata Riyon tanpa mengurangi fokusnya mengemudi. Ia hanya melirik Nina sekilas. Nina menatap Riyon dengan jantung berdebar, bukan karena terpesona akan ketampanannya, tapi melihat Riyon membuatnya teringat kejadian malam itu. Ia masih tak mengerti kenapa malam itu dirinya bisa begitu gila, seperti ada yang tidak beres dengannya. Ia berusaha melupakan kenangan buruk itu, tapi pertemuannya dengan Riyon menghancurkan segalanya. “Tunjukkan alamat rumahmu.” Nina yang baru saja mengalihkan pandangan dari Riyon, terpaksa kembali menatapnya mendengar ucapan pria itu. “Turunkan saja aku di depan,” kata Nina. Ia tak mau Riyon mengetahui alamat rumahnya meski ia akan kabur nantinya. Riyon melirik Nina sekilas dan mengatakan, “Jangan pikir kau bisa kabur.” Nina sedikit terkejut. Apa Riyon tahu ia berniat kabur? “Aku tak akan membiarkanmu menikah dengan adikku, atau membiarkanmu kabur.” “Apa maksudmu? Jika kau tak ingin aku menikah dengan Ash, aku akan melakukannya. Bukankah sudah kukatakan?” “Dan seperti yang kukatakan, kau akan menikah denganku.” “Apa? Kenapa aku harus melakukannya? Jika karena aku hamil, aku tidak akan menuntut tanggung jawab darimu. Aku akan mengurus anak ini sampai dia lahir dan dewasa. Aku tak akan melibatkanmu!” Nina tak mengerti kenapa Riyon seperti begitu bersikeras untuk menikahinya. Bukankah harusnya pria itu tenang karena ia tak menuntut apapun darinya? “Jika bukan denganku, Ash akan tetap bersikeras menikahimu. Aku tidak mau adikku menikah denganmu. Dia pantas mendapatkan wanita yang lebih baik.” Ucapan Riyon membuat Nina tertohok. Sehina itu kah dirinya hingga Riyon berkata seperti itu? Padahal ia dalam keadaan seperti ini juga karena Riyon sendiri. Nina menunduk dan meremas roknya hingga kusut. Ia juga menggigit bibir bawahnya meluapkan perasaan campur aduk di d**a. “Aku tidak peduli setuju atau tidak, kita harus tetap menikah. Jangan berpikir aku melakukannya karena dirimu. Aku melakukannya hanya karena darah dagingku juga adikku.” Hati Nina semakin terasa sesak. Kenapa setiap kata yang terucap dari Riyon terdengar amat menyakitkan? Di sisi lain, Rahayu berjalan keluar kamar dengan panik. Tak menemukan Nina saat ia membuka mata membuatnya begitu cemas. “Ibu, ada apa?” Ash berjalan dari arah kamarnya menghampiri sang ibu yang memanggil Nina. “Nina, Ash, Nina. Apa kau melihatnya? Saat ibu bangun, Nina sudah tidak ada,” ujar Rahayu. “Apa?” Ash segera ke kamar ibunya dan mencari Nina ke kamar mandi. Namun, nihil. Ia pun kembali keluar kamar dan berniat mencari Nina, tapi tiba-tiba saja ia teringat kakaknya yang membuatnya bergegas menuju kamarnya. “Nina!” Ash memanggil Nina sambil membuka kasar pintu kamar kakaknya yang tidak terkunci dan melihat kamar kakaknya kosong, ia segera berlari keluar rumah. “Ash! Ash!” panggil Rahayu melihat Ash berlari terburu-buru. “Ada apa, Bu?” tanya Salim yang sepertinya baru bangun. Mendengar keributan di luar membuatnya segera melihat apa yang terjadi. “Nina hilang, Yah,” ujar Rahayu memberitahu. “Apa? Ke mana?” “Entah, ibu tidak tahu. Saat ibu bangun, Nina sudah tidak ada.” “Lalu, ke mana Ash?” “Tadi Ash berlari keluar.” Salim mengarah pandangan ke arah pintu utama dan menghela napas berat sampai ia tiba-tiba ia teringat Riyon. “Bagaimana dengan Riyon?” Rahayu menggeleng. Ia lalu memberitahu suaminya itu bahwa sebelumnya Ash ke kamar Riyon dan pergi begitu saja setelahnya. “Apa mungkin … Nina pergi dengan Riyon?” monolog Rahayu sambil mengarah pandangan ke arah pintu. Sementara itu, Ash menendang udara melihat mobil kakaknya telah menghilang dari garasi. Ia menduga kakaknya ada hubungannya dengan hilangnya Nina. Ash pun segera kembali ke dalam rumah dan menuju kamarnya untuk mengambil ponsel. Namun, berkali-kali ia mencoba menghubungi kakaknya, sama sekali tak ada jawaban. Mencoba menghubungi Nina juga sia-sia. Ash meremas ponselnya dan mengeram, “Di mana kalian?” *** Riyon memperhatikan rumah Nina dalam diam. Saat ini ia berdiri di depan rumah Nina, di depan teras. Pada akhirnya Nina terpaksa membawa Riyon ke rumahnya karena pria itu bersikeras memaksa. “Aku tidak akan mengucapkan terima kasih atau menyuruhmu singgah meski hanya basa-basi,” ucap Nina yang berdiri bersedekap d**a di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba perhatian Riyon teralihkan, menatap Nina dengan pandangan tak terbaca lalu mengatakan, “Kau benar-benar tak punya sopan santun.” “Kau tahu itu, jadi jangan paksa wanita yang tidak punya sopan santun ini menikah denganmu.” Riyon tak mengalihkan pandangan. Ia merasa Nina lebih berani dari sebelumnya, padahal semalam wanita itu tak berani menatapnya. Tiba-tiba saja Riyon membalikkan badan kemudian mengambil langkah meninggalkan rumah Nina. Entah apa yang ada di kepala pria itu dan Nina tidak peduli. Nina segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu lalu menguncinya. Ia pun pergi ke kamarnya mencharger ponselnya yang mati, telah kehabisan baterai sejak ia meninggalkan rumah Riyon. Setelah menghidupkan ponselnya, ia terkejut mendapati banyak pesan dari Ash yang menanyakan keberadaannya. Nina mulai gusar. Ash benar-benar tak melepaskannya, tapi ia sudah membulatkan tekad, ia akan meninggalkan Ash demi kebaikan semuanya. Nina mencopot SIM cardnya kemudian meletakkan ponselnya untuk memberesi pakaian-pakaiannya. Ia benar-benar berniat kabur. Sementara itu di luar, Riyon masih berada dalam mobilnya, memperhatikan rumah Nina sampai tiba-tiba dering ponsel terdengar membuatnya mengangkat panggilan. “Riyon, kau di mana? Apa kau bersama Nina?” “Ya. Aku di rumahnya.” “Oh, ya ampun, syukurlah kalau begitu. Ibu sudah cemas saat tak menemukan Nina. Kau juga baru mengangkat panggilan. Jadi, kalian sudah bicara?” Riyon hanya diam. Ia terpikirkan jawaban Nina yang mana ia mengatakan tak membutuhkan tanggung jawabnya. Menurutnya Nina terlalu sombong. Namun, di sisi lain, ia merasa menemukan sesuatu yang berbeda darinya, sesuatu yang menarik perhatiannya. Riyon mengakhiri panggilan sepihak tanpa mengatakan apapun pada ibunya. Ia kemudian menghubungi Ash yang memenuhi riwayat panggilan tak terjawab di ponselnya. “Halo, ke mana kakak membawa Nina pergi?!” Bahkan Riyon belum membuka suara, tapi suara Ash lebih dulu mengudara. “Sudah kukatakan aku yang akan menikahi Nina.” “Aku tak peduli! Kenapa kakak begitu egois? Aku yang membawanya sebagai calon istriku!” “Dan dia mengandung anakku. Bayi di perut Nina membutuhkanku, ayah biologisnya. Kau harus menerima kenyataan, hanya aku yang berhak menikahinya.” Riyon mengakhiri panggilan setelah mengatakan itu. Menurunkan ponsel dari telinga, ditatapnya layar sekilas kemudian memutuskan meninggalkan rumah Nina. Di tempat Ash, ia masih meremas ponsel di tangan. Sebagian hatinya membenarkan ucapan kakaknya, tapi sisi egoisnya yang mencintai Nina masih tak terima. Beberapa waktu setelahnya, saat matahari telah berada di atas kepala, Nina telah bersiap meninggalkan rumah. Satu koper berisi barang-barang dan pakaian telah siap ia bawa. Mobilnya pun sudah ia panasi, ia juga sudah menemukan kontrakan sementara yang akan ia datangi. Nina kembali mengecek barang-barang yang akan ia bawa dan memastikan tak ada yang tertinggal, ia pun menarik kopernya bersiap meninggalkan rumah. Namun, tepat saat ia membuka pintu, ia dikejutkan dengan berdirinya seseorang di di hadapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD