Bab 8. Tidak Dapat Protes

1143 Words
"Kita ke restoran dulu sebelum kembali ke kantor," ucap Narendra saat Dinara akan menyalakan mesin mobil. "Untuk apa kembali lagi ke kantor sih, Pak? Sekarang aja udah jam 4, otomatis semua yang ada di sana sudah pada pulang begitu kita sampai di sana." Kali ini Dinara tidak dapat menahan diri untuk melancarkan protesnya. Lagi pula, tidakkah Narendra mengerti jika lalu lintas pada saat jam pulang kerja seperti ini sangat padat merayap dan dapat membuat emosi siapapun orangnya. "Cepat kita ke restoran, karena ada seseorang yang gizinya harus saya perbaiki," sahut marendra dengan ketus yang membuat wajah Dinara merah seperti tomat matang. Mulut tajam Narendra membuat telinga Dinara memanas. Baru dua hari pria itu menjadi atasannya, tapi batin Dinara sudah merasa tersiksa. Tak dapat dia bayangkan bagaimana nantinya Narendra akan semakin menyiksa dirinya, baik secara batin dan raga dengan menjadikan dirinya sebagai objek pemuas napsunya. "Jangan lagi kamu menunjukkan wajah menyedihkan seperti itu di depanku," ujar Narendra yang melihat wajah Dinara melalui spion yang ada di depannya. Dinara hanya dapat menggerutu di dalam hati, tentunya sembari mengumpati Narendra yang kini menampilkan raut wajah tanpa ekspresinya. Wajah yang tampan bak malaikat namun memiliki kelakuan seperti iblis. "Tapi Bapak belum mengatakan kepada saya restoran mana yang mau Bapak datangi," ucap Dinara dengan agak ketus saat menyadari jika dia belum mengetahui tempat tujuan Narendra. "Ke restoran Korea saja, di dekat sini juga ada kamu tinggal lurus terus belok kanan dan kiri. Kelihatan nanti plang nama restorannya," kata Narendra yang tidak melepaskan pandangannya dari layar ponselnya. Dinara hanya menghela napas kasar dan segera melajukan mobil menuju restoran yang memang tidak terlalu jauh lagi. Narendra ternyata memesan 2 porsi sup ayam gingseng dan sup rumput laut khas Korea. Dinara yang belum pernah melihat makanan itu tentu saja mengernyit serta meringis. Dari dulu dia tidak pernah menyukai makanan yang memiliki bentuk yang aneh karena membuat perutnya bergolak seketika. Tapi sekarang dia tidak bisa menolaknya karena Narendra menatapnya dengan tajam. Seakan memberi peringatan jika pria itu akan menghukumnya jika tidak memakan makanan yang telah dia pesan. "Sebenarnya apa sedang yang Bapak rencanakan?" tanya Dinara yang masih tampak enggak untuk menyentuh makanannya. Sedikit berdehem membuat Dinara terkesiap dan akhirnya mencoba untuk menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Bahkan dia memejamkan mata karena tak mau melihat penampilan makanan yang sangat aneh dalam pandangan mata Dinara. Setelah kuah sup ayam itu mulai menyentuh tenggorokannya Dinara tersentak karena rasanya sangat lezat dan menghangatkan tubuh. Tanpa banyak bicara wanita itu segera menghabiskannya dan beralih ke rumput laut yang tak kalah enaknya. "Kamu suka?" tanya Narendra. Dinara hanya mengangguk karena terlalu malu untuk mengakui kesalahannya yang menganggap remeh sebuah makanan dari bentuknya saja. "Baguslah kalau kamu menyukainya karena saya akan memberikan kamu bahan-bahan untuk membuat makanan ini setidaknya seminggu sekali," ucap Narendra dengan nada dingin. "Bapak pelit sampai menyuruh saya untuk membuat makanan sendiri," ujar Dinara yang akhirnya menepuk mulutnya sendiri karena telah kelepasan berbicara. Narendra hanya tersenyum sinis saat mendengar perkataan dari Dinara, tak dia duga jika sang sekretaris memiliki sifat yang sangat jujur tanpa wanita itu sadari. "Bukankah sudah saya katakan jika tubuh ini adalah milik saya? Jadi kamu harus merawatnya baik-baik, karena belum tentu saya akan berada di samping kamu 24 jam sehari," ujar Narendra dengan sorot mata menggelap dan membuat Dinara merinding. Saat keduanya akan meninggalkan restoran Korea itu seseorang berteriak memanggil Narendra. Keduanya sontak menoleh dan melihat jika Bonita sedang berdiri dengan raut wajah penuh kemarahan yang mengarah kepada Dinara. Belum sempat Dinara memproses apa yang sedang terjadi, Bonita berlari ke arah tempatnya dan bersiap untuk menerjang dirinya. Andai saja Narendra tidak menarik Dinara dengan cepa, sudah pasti wanita itu akan menjadi sasaran amuk dari tunangan Narendra. "Sayang, apa yang kamu lakukan di sini dengan wanita rendahan seperti itu?" tanya Bonita dengan telunjuk mengarah kepada Dinara. Namun Narendra hanya terdiam melihat sang tunangan yang mulai mengamuk tidak jelas, padahal pengunjung yang ada di restoran ini sudah mulai berkasak kusuk dan menggunjingkan Dinara sebagai pelakor. Cibiran dan makian pun tak telak menyerang Dinara yang hanya dapat tertunduk. Dia sadar jika membuka suara akan semakin menambah kemarahan para pengunjung yang sebagian besar adalah kaum wanita itu. "Bonita, bukankah sudah kubilang jika urusanku adalah urusanku sendiri. Jadi jangan ikut campur tapi apa kenyataannya? Sekarang kamu selalu ingin tahu apa yang aku lakukan meskipun itu berhubungan dengan pekerjaan yang tidak kamu mengerti sama sekali." Perkataan Narendra yang cukup keras itu membuat Bonita terdiam dan tak lama menunduk malu. Sekarang sasaran dari para biang gosip itu adalah dirinya, wanita dianggap sebagai kekasih yang selalu mengekang. Dengan sebagian besar pengunjung yang adalah ibu-ibu membuat telinga Bonita semakin panas. Ucapan yang dikatakan oleh ibu-ibu itu sangat pedas dan terdengar seperti memakan mie pedas dengan level 100. Tapi jangan panggil dia Bonita jika tidak dapat membalikan keadaan dengan memanfaatkan ucapan tajam yang dikeluarkan oleh Narendra, wanita itu mulai berakting sedih layaknya seorang kekasih yang dikhianati karena sang pria sudah menemukan tambatan hati yang baru. Tak lama ajr matanya mengalir lancar seperti memiliki cadangan di balik netra hitamnya itu. Ditambah dengan suara rengekan yang pastinya banyak disukai oleh kaum Adam yang lebih memilih sifat wanita lemah lembut. "Aku ... aku nggak nggak nyangka kamu lebih perduli wanita itu daripada aku yang adalah tunangan kamu sendiri. Kamu anggap apa hubungan kita selama ini?" tanya Bonita dengan nada lirih dan air mata yang semakin deras mengalir. Narendra hanya dapat menghembuskan napas kasar saat melihatnya, tidak tahu kah Bonita kalau mereka sedang berada di tempat umum saat ini? Tindakan Bonita malah membuatnya terlihat tidak punya harga diri di mata orang banyak. "Ayo cepat kita pergi saya ingin segera sampai di rumah." Titah Narenda sambil memberikan kode agar Dinara mengikutinya. "Rendra!" Bonita berteriak memanggil sang tunangan, berharap pria itu mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat ini. Tak terbayangkan betapa malunya dia jika Narendra pergi bersama dengan wanita lain. Tapi Narendra tetap meneruskan langkahnya tanpa memedulikan rengekan dan tangisan yang dikeluarkan oleh Bonita. Tak kurang akal Bonita segera berlari dan menerjang Narendra, wanita itu memeluk perut sang tunangan dan memohon agar pria itu mau pulang bersama dengan dirinya. "Sayang, aku padahal kangen sama kamu loh. Kita baru ketemu dua hari ini karena kamu baru pulang dari luar negeri. Tapi sepertinya hanya aku yang memendam rasa rindu ini sendirian saja." Tak tanggung-tanggung Bonita mengeraskan tangisannya dan memainkan peran sebagai seorang wanita yang merindukan pangerannya. Semua pengunjung restoran yang melihat adegan bak drama itu tak sedikit yang meneteskan air matanya. Tapi berbeda dengan Dinara yang hanya terpaku melihatnya, rasa marah dan sakit hati pun menghimpit dadanya. Pria yang menginginkan tubuhnya nampak menikmati sentuhan yang diberikan oleh Bonita. Menyadari jika keberadaannya tak lagi dibutuhkan saat ini membuat Dinara diam-diam keluar dari tempat itu setelah menitipkan kunci mobil Narendra kepada kasir yang bertugas. "Dinara, jangan sedih saat melihatnya. Seperti yang dia katakan, lebih baik melayaninya daripada harus melayani banyak pria," gumam Dinara sembari berjalan menyusuri jalanan yang mulai mendekati senja itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD