Dinara menghela napas lega saat Narendra kembali ke kantor seorang diri saja, rasanya dia tak akan sanggup jika harus menghadapi Bonita yang sama gilanya dengan sang tunangan.
Untungnya juga Dinara sudah hampir mengerjakan sebagian tugasnya untuk hari ini, tidak dapat dia bayangkan jika harus bekerja lembur dengan pria yang menatapnya dengan tajam itu.
"Melihat kamu yang lemah seperti ini membuat saya harus menunda keinginan untuk bermain di ranjang. Bereskan pekerjaan kamu dan ikut saya."
Suara Narendra yang terdengar tiba-tiba membuat Dinara terkejut dan melempar pulpen yang sedang dia gigit hingga terpental di lantai. Narendra hanya dapat menghela napas kasar saat melihatnya.
"Jadi selain lemah kamu ini gampang terkejut rupanya," ucap Narendra dengan nada sinis yang membuat Dinara tak dapat berkutik.
"Itu sepenuhnya bukan kesalahan saya, Bapak yang tiba-tiba bicara dengan suara keras sampai membuat saya terkejut," elak Dinara yang tidak ingin terlihat lemah di hadapan Narendra.
"Cepat bereskan barang kamu, kita akan keluar sekarang." Titah Narendra sembari mengendurkan ikatan dasinya dan menyugar rambut.
Sebenarnya Dinara ingin bertanya kepada Narendra ke mana pria itu akan membawanya, akan tetapi saat melihat raut wajah pria yang tanpa ekspresi itu membuatnya mengurungkan niat. Lagi-lagi yang dapat dilakukan oleh Dinara adalah diam dan memasrahkan diri.
"Bisa mengemudikan mobil?" tanya Narendra saat keduanya tiba di parkiran.
"Dulu sempat belajar dengan ayah saya, hanya belum sampai lancar beliau sudah meninggal," jawab Dinara dengan jujur.
"Oke, mulai saat ini jika kita sedang pergi keluar kantor kamu yang membawa mobil saya," ucap Narendra yang segera melempar kunci mobilnya kepada Dinara.
Hampir saja Dinara gagal menangkapnya jika kurang konsentrasi. Lagi pula kenapa sih pria itu melemparnya tanpa aba-aba terlebih dahulu. Sunggutnya di dalam hati.
"Ternyata yang bagus dari kamu hanya reflek yang cepat," komentar Narendra yang Dinara tidak tahu apa itu sindiran atau pujian.
"Kita mau ke mana, Pak," tanya Dinara saat memanaskan mesin mobil milik Narendra.
"Itu sudah saya masukkan alamatnya, tinggal kamu lihat di maps aja," jawab Narendra tepat di belakang Dinara.
"Jangan lupa putar musik biar nggak kayak kuburan di mobil ini," ucap Narendra dengan nada dingin.
Meskipun kesal dengan kelakuan Narendra yang seperti raja, Dinara akhirnya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh pria itu. Tangannya meraba-raba apa yang harus dia lakukan pada mobil Narendra.
Setelah yakin, Dinara menyalakan mesin mobil dan menunggu sebentar sebelum mengemudikan mobil Narendra menembus panasnya jalanan di pinggiran kota Jakarta menjelang sore.
Harus Dinara akui kalau Narendra itu orang yang nekat, bisa-bisanya dia mempercayakan orang yang tidak mahir mengemudi untuk membawa mobil mahal ini. Apa Narendra tak takut jika Dinara akan membawanya tidak sesuai dengan tempat tujuan?
"Paling tidak, saya tidak akan celaka sendiri karena ada kamu yang akan menemani saya," ucap Narendra yang lagi-lagi membuat Dinara terkejut. Untung saja dia dapat mengendalikan kemudi sehingga tidak menabrak pembatas jalan.
"Bisa kah Bapak tidak bicara secara tiba-tiba? Itu sangat mengejutkan, untung saja kita tidak celaka karena ulah Bapak," sahut Dinara dengan sinis, dia tidak peduli Narendra akan marah atau tidak.
Lagi pula kenapa Narendra bisa bersikap seperti cenayang saja, mengetahui apa yang sedang dia pikirkan. Sungguh orang yang sangat mengerikan. Gerutu Dinara di dalam hatinya.
"Kamunya saja yang gampang terkejut tapi menyalahkan orang lain." Mata Dinara terbelalak saat mendengar ucapan dari Narendra yang terdengar seperti ibu-ibu julid. Rupanya selain kejam, atasan barunya ini bermulut tajam yang dapat membuat orang sakit hati.
Baru saja Dinara akan menyahuti pria itu, suara pengumuman dari aplikasi maps yang dipasang di mobil Narendra memberitahu jika mereka hampir tiba di tempat tujuan.
Mata Dnara memindai sekeliling tempat untuk melihat ke mana Narendra akan membawanya, tapi sejauh mata memandang dia hanya melihat barisan ruko-ruko yang dipenuhi oleh restoran, salon, asuransi dan klinik.
"Tidak mungkin juga pria gila itu akan memeriksa kesehatan aku." Pikir Dinara dalam hati
"Cepat turun."
Ternyata dugaan Dinara tepat saat kaki Narendra melangkah memasuki klinik yang sepertinya cukup mahal.
"Ingat tubuh ini mulai sekarang adalah milikku, jadi aku akan merawatnya hingga siap aku pakai," bisik Narendra tepat di telinga Dinara.
Dinara tersenyum kecut saat mengetahui jika apa yang dilakukan Narendra itu terkait dengan kepentingan pribadi pria itu.
Rasa-rasanya Dinara mulai bertranformasi sebagai objek pemuas napsu yang tidak diperkenankan memiliki hati dan kebebasan untuk mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.
Kakinya memang menjejak lantai tapi jiwanya melanglang buana entah ke mana. Bayangan kedua orang tuanya yang telah lama meninggalkan dirinya semakin jelas terlihat dalam benaknya.
Dinara semakin merasa putus asa akan kejadian yang menimpanya saat ini. Bolehkah saat ini dia ikut menyusul mereka agar tidak merasakan kejamnya dunia?
Sentuhan yang agak keras pada pundaknya mengembalikan kesadaran Dinara, tampak Narendra memandangnya dengan tajam. Seorang wanita memakai jas dokter yang diapit oleh dua orang suster berdiri di dekat pria itu.
"Mbak Dinara, ayo masuk biar saya periksa Mbaknya sehingga dapat mengetahui vitamin dan obat-obatan apa yang harus saya berikan," ajak wanita itu dengan menyunggingkan senyum ramah.
Dengan agak takut-takut Dinara menyusul ketiga wanita itu, sementara Narendra mengekor di belakangnya. Pria itu jelas ingin tahu hasil pemeriksaan dari Dinara.
30 menit waktu yang diperlukan oleh sang dokter untuk memeriksa keseluruhan tubuh Dinara dan 1 jam untuk mengetahui hasil laboratorium wanita itu.
"Mbak Dinara HB-nya kurang sekali hanya 7. Apa selama ini Mbak Dinara nggak merasa pusing?" tanya sang dokter.
Dinara hanya terdiam dan baru menyadari jika itulah penyebab dirinya sering merasa lemas tak bertenaga jika tamu bulanannya menyapa.
"Kalau begitu saya berikan vitamin penambah darah, obat lambung juga karena perut Mbak Dinara juga sepertinya kembung. Jangan lupa banyak makan agar HB-nya cepat naik." Saran sang dokter sembari menuliskan beberapa resep obat.
Narendra yang mendengarnya hanya terdiam tanpa menunjukkannya reaksi apapun. Hal itu membuat keempat wanita yang ada di dalam ruangan berdebar menantikan yang dikatakan oleh pria itu.
"Jadi saya harus memperhatikan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Bukan begitu maksudnya, Dok?" Dengan cepat sang dokter mengangguk agar tidak menimbulkan kemarahan dari Narendra.
Sedikit banyak dokter itu tahu mengenai tabiat Narendra yang tempramen karena pria itu adalah adik kelasnya semasa kuliah meskipun berbeda jurusan.
"Baiklah kalau begitu mulai sekarang saya akan menyiapkan yang terbaik untuk Putri ... Dinara," ucap Narendra dengan menyunggingkan senyum sinis yang hanya dapat dimengerti oleh Dinara.
"Kalau begitu silakan ditebus resepnya, Pak dan semoga cepat sembuh Mbak Dinara," kata sang dokter yang baru bisa bernapas lega melihat jika Narendra tidak banyak melakukan protes.
Sementara Dinara hanya dapat tertunduk lemas saat mengetahui jika awal dari penderitaannya akan dimulai sebentar lagi. Narendra benar-benar memperlakukannya seperti hewan ternak, dirawat hingga membesar lalu disembelih setelah waktunya tiba.