Debar-Debar Nyata

2364 Words
Setibanya di muka pagar berwarna putih dan menjulang tinggi, mobil Ken berhenti sejenak. Sebab, Kalila masih merasa sangat malas untuk turun. Rasanya, ada secercah cahaya kebahagiaan ketika bersama Ken dan itu membuatnya enggan menjauh. Ken menoleh ke kiri, menyelidiki arti sikap Kalila kali ini. "Ada masalah?" Wanita cantik itu menggenggam tangannya, mencoba untuk menahan diri. "Tidak. Hanya saja ... ." "Ya?" tanya Ken semakin penasaran. Kalila menatap Ken tanpa senyuman. Wajahnya tiba-tiba tegang dan memerah. "See you!" ucapnya dan langsung membuka pintu mobil, kemudian meninggalkan Ken yang sebenarnya tidak ingin berpisah. Setelah Kalila masuk ke dalam pagar yang tidak dikunci karena telah siang, Ken masih saja terdiam di dalam mobilnya. Baginya, ini benar-benar pertemuan yang mendebarkan. Sehingga ia lupa akan tujuan utamanya dalam mencari Kalila, yaitu mengembalikan bros milik wanita berlesung pipi dalam tersebut. Setelah sepuluh menit tanpa gerakan mobil seinci pun, Ken memutuskan untuk meninggalkan kediaman Kalila. Sudah mengetahui bahwa wanitanya dalam keadaan aman saja, ia telah tampak lega. Meskipun merasa diabaikan, namun siapa sangka. Ternyata Kalila juga mengintip Ken dari jendela lantai dua, tidak jauh dari kamar Rania. Sesaat setelah Ken meninggalkan tempat ini, Kalila menunduk dan menghela napas panjang. Tak ingin orang-orang melihat dan menanyakan tentang keadaannya, Kalila bergegas pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian. Seperti biasanya, bathtub adalah tempat favorit bagi Kalila untuk menyegarkan diri. Di dalam air hangat yang sudah dipenuhi dengan busa melimpah, ia memejamkan kedua mata, seraya menikmati sensasi menggigit pada kulitnya yang mulus. Semua itu tercipta dari suhu air yang ia gunakan. Ketika tengah memejamkan kedua matanya, wajah Ken yang tengah tersenyum, langsung terlihat nyata di hadapannya. Kalila terkejut, dan langsung membuka mata. Lalu ia memperhatikan sekitar karena tiba-tiba saja, merasa berada bersama Ken di atap gedung dan tengah saling menatap. "Ha!" Kelopak mata Kalila terbuka lebar, sembari mengatur napasnya yang tersesak. Tanpa di duga, pria tampan itu sudah merasuki jiwanya yang malang. Kalila terduduk di dalam bak seukuran tubuhnya, sambil mengurut dadaa. Setelah sekian lama, akhirnya ada juga seseorang yang hadir di dalam memorinya. Biasanya, selama ini. Hanya Devan saja yang kerap kali muncul dan memudarkan senyumnya. Yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika darah, berserakan di tubuh laki-laki kurus, tinggi, yang hampir menjadi suaminya itu. "Apa ... ini ... ?" gumam Kalila dalam tanya. "Hah ... benarkah dia bisa membilas Devan dari dalam ingatanku?" Sekitar sepuluh menit berada di dalam genangan air, Kalila merasa cukup segar. Ia pun memutuskan untuk segera keluar dari dalam kamarnya. Bukan tanpa sebab, perutnya terasa sangat kosong. Hal semacam ini juga baru pertama kali terjadi, sebab biasanya ia makan dua hari sekali karena memang tidak ingin hidup lagi. Detik ini, Kalila sama sekali tidak mengetahui bahwa di rumahnya sudah kembali berkumpul para asisten rumah tangga, kecuali pak Adi. Sebab, Rania meminta beliau untuk mengambil mobil milik Kalila di hotel. Wanita manis ini juga sempat bingung dengan keadaan. Pasalnya, sang kakak meninggalkan hotel tanpa pamit. Yang lebih membingungkan lagi adalah ketika Rania melihat tas, ponsel, serta mobil milik Kalila masih berada di tempat yang sama. "Non Rania masih mau di sini?" tanya pak Adi karena Elo sudah pergi pagi-pagi sekali untuk meninggalkan Rania seorang diri. Wanita yang mengharapkan, dan memimpikan hubungan manis, serta romantis dari suaminya, malah memendam rasa kecewa mendalam. Semua karena ia sama sekali tidak merasakan sentuhan dari Elo. Bahkan, pagi-pagi sekali, laki-laki itu sudah beranjak pergi dengan hanya mengatakan bahwa akan ada meeting dadakan di kantor. "Tidak, Pak. Aku akan menunggu suamiku di sini. Biar dia saja yang menjemputku," kata Rania dengan wajah yang sudah dipenuhi dengan awan kepiluan. "Ya sudah kalau begitu, Non. Bapak pulang duluan ya?" kata pak Adi dengan penuh senyuman. "Soalnya, di rumah nggak ada siapa-siapa. Kasihan jadinya kalau Non Kalila pulang. Nanti dia bingung." "Kak Kalila tidak ada di rumah?" "Tidak, Non. Terus, para asisten kan juga disuruh pulang sama tuan Elo sejak tiga hari yang lalu," jelas pak Adi dan rupanya Rania juga tidak menyadari hal itu. "Cuma Bapak sendiri yang menjaga rumah. Makanya khawatir kalau Non Kalila tiba di rumah dan tidak ada orang." "Apa?" Rania tampak kaget dan bingung. "Kenapa Elo melakukannya?" "Maaf, Non!" pinta pak Adi. "Kalau soal itu, Bapak tidak tahu. Yang jelas, setelah tuan dan nyonya berangkat ke luar negeri, semua orang diperintahkan untuk pulang, kecuali Bapak. Makanya ini jadi bingung sendiri, rumah kan tidak pernah ditinggal dalam keadaan kosong." Rania menunduk, memikirkan banyak hal. "Ya sudah, kalau begitu Bapak pergi sekarang saja! Khawatir kak Kalila bingung juga, kan? Apalagi ponsel dan tasnya juga tinggal di sini. Ini Pak, bawa sekalian!" perintah Rania dengan suara yang lembut. "Non yakin, nggak mau pulang bareng Bapak?" "Rania nunggu Elo aja deh, Pak. Lagipula, ada yang ingin aku tanyakan kepadanya." "Kan bisa di rumah, Non. Bapak juga cemas loh ini, untuk ninggalin Non Rania sendiri di sini." Rania melengkungkan bibirnya, kali ini ia tersenyum tanpa rasa sakit. "Ternyata, Bapak peduli juga ya sama Rania. Kirain, cuma pada kak Kalila saja." "Astaga, Non. Non Rania sama non Kalila itu sama saja. Sama-sama putri yang baik, cantik, pintar, berprestasi, kuat, dan juga sabar, meskipun banyak cobaan yang datang. Kalian berdua itu pantas untuk disayangi, dicintai, serta dilindungi. Bapak sayang pada kalian berdua. Hanya saja, masa kecil dan remaja Non Rania banyak sama tuan dan nyonya besar. Sedangkan Non Kalila sama Bapak." Pak Adi berbicara sambil membungkukkan tubuhnya. Rania menggigit bibir bawah, berusaha menahan air mata karena rasa haru. "Makasih ya, Pak. Rania pikir, Bapak lebih sayang kakak." "Mana mungkin seperti itu, Non. Apalagi Non Kalila juga sayaaang sekali sama Non Rania. Apa-apa buat Non Rania, makan apa aja, juga dibelikan buat adiknya. Semua yang dia punya, rela berbagi. Lah, lalu bagaimana Bapak bisa nggak sayang Nonnya? Coba dipikir dan diingat lagi!" Rania mengangguk kecil, dan hatinya terasa lega. "Makasih ya, Pak. Dan bilang sama kak Kalila. Pegang saja ponselnya! Jadi, kalau Elo tidak datang juga sampai sore. Aku akan memintanya untuk menjemputku." "Baik, Non." Setelah percakapan tersebut, pak Adi pulang ke kediaman mewah milik tuan Husain. Setibanya di pintu utama, beliau cukup terkejut karena melihat aktivitas di rumah ini sudah kembali normal, setelah beberapa hari hampa. Aroma masakan pun mulai memenuhi ruangan, dan suara kesibukan terasa kental. "Kalian sudah kembali?" tanya pak Adi dengan wajah heran. "Iya, Pak. Pagi tadi, tuan Elo menelepon dan mengatakan bahwa waktu istirahat sudah berakhir. Ya, lumayan banget. Jadi bisa pijat tradisional, Pak." "Begitu ya?" "Apa ada yang salah, Pak?" tanya bibi yang mengurus dapur saat menatap ekspresi wajah tak biasa dari satpam senior tersebut. "Tidak, mungkin hanya kebetulan saja," timpalnya sambil berpikir keras. "Hari ini, tuan dan nyonya besar akan kembali, bukan?" "Iya, benar sekali. Katanya, sekitar pukul 19.30 WIB. Makanya kita masak menu yang tuan dan nyonya sukai." "Bagaimana dengan satpam yang lainnya?" tanya pak Adi semakin ingin tahu. Sebab, di depan belum ada yang berjaga. "Kalau mereka, sepertinya sore nanti baru tiba. Bapak sudah sangat lelah sepertinya," terka asisten lainnya yang terus saja memperhatikan pak Adi sejak tadi. "Iya," jawabnya ringkas. "Ya sudah kalau begitu. Em, apa Non Kalila sudah pulang?" "Iya, sudah. Tadi minta antarkan makanan ke dalam kamarnya." Pak Adi melihat ke arah lantai dua. "Baiklah," sahutnya dalam satu anggukan, kemudian ia langsung bergerak ke arah kamar Kalila untuk memberikan tas serta isinya yang semula Rania titipkan. Setibanya di muka pintu kamar Kalila, pak Adi mengetuk. Tak lama, terdengar suara perempuan cantik yang menyuruhnya masuk. Pak Adi pun bergerak cepat ke arah Kalila, seraya memberikan tas berikut isinya. Kalila menghentikan suapannya. "Loh, ketemu tas ini di mana, Pak?" tanyanya karena heran. "Dari Non Rania, Non." "Oh, begitu. Coba lihat!" Kalila menghentikan aktivitasnya dan melihat isi tas tersebut. "Masih lengkap semuanya. Berarti memang tinggal di hotel saat aku menemani Rania," gumamnya dan semua rasa bingung serta curiga terhadap situasi, seketika menghilang. "Oh iya, Non. Semalam ada pria tinggi dan sangat tampan datang mencari Non Kalila. Tapi, Bapak nggak tahu alasannya. Cuma nanya aja, namanya Ken." Kalila menghentikan gerakan tangan yang masih merogoh tas mahal miliknya. Ia sangat terkejut dan merasa tidak percaya. "Dia ke sini?" "Iya, Non. Tapi tidak meninggalkan pesan lainnya." Pak Adi tersenyum simpul, ia tampak turut bahagia karena merasa Ken bisa menyelamatkan senyum Kalila. Kemudian, ia menyampaikan pesan yang dititipkan Rania sebelumnya. "Emh, baiklah. Makasih ya, Pak." "Permisi, Non." "Silakan." Kalila yang sempat melupakan Ken, langsung kembali tersadarkan. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan makanannya yang baru habis sebagian. Lalu mencari kartu nama milik Ken untuk menghubunginya. Setelah menyalin kontak Ken, Kalila memutuskan untuk mengirimkan satu kata saja. Ia merasa gengsi jika harus mengatakan banyak hal untuk pertama kalinya. 'Kalila.' Ujarnya tanpa suara, seraya mengirimkan pesan singkat kepada Ken Arashi. Setelah itu, Kalila kembali duduk sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya. Tanpa disadari, ia begitu berharap kalau Ken akan segera merespon pesan singkat tersebut. Sayangnya, setelah 35 menit dan makanannya habis pun, Ken masih saja tidak tampak online. Mungkin laki-laki itu menang sangat sibuk dengan segudang aktivitasnya. Lewat tengah hari, Kalila mulai resah dan gelisah. Entah bagaimana, yang jelas ia merasa ada yang hilang ataupun kurang di dalam hidupnya. Ia seperti seorang gadis muda yang kini mati penasaran, gara-gara sikap cuek Ken. Padahal sebelumnya, pria itu terkesan hangat dan penuh perhatian. "Aaagh!" pekik Kalila yang tiba-tiba merasa bosan dan kesal. Bagi sebagian orang yang bekerja di rumah ini, teriakan seperti itu wajar saja terdengar. Sebab, selama ini Kalila jarang sekali berdiam diri di dalam kamarnya. Tetapi hari ini, ia malah tidak kemana-mana dan hanya menghabiskan waktu dengan berbaring di dalam kamarnya. Di sisi lain, Ken tengah melakukan penyelidikan terhadap sopir yang belakangan diketahui bernama Dedi. Setiap keterangan yang keluar dari mulutnya, memancing rasa penasaran yang lebih tinggi di dalam hati Ken. Berdasarkan semua itu, kekhawatirannya terhadap Kalila pun bertambah, dan ia ingin membantu wanita yang sama sekali belum pernah tersenyum lebar saat di hadapannya. "Ken!" panggil rekan kerjanya. "Ya?" "Sebaiknya kamu istirahat dulu!" sarannya karena melihat Ken sangat emosional dengan laki-laki yang berniat untuk menjamah Kalila. "Tidak! Aku harus segera menyelesaikan ini," tolak Ken karena merasa bahwa setiap detiknya, Kalila berada di dalam bahaya. "Kamu bisa membunuhnya." Jami memperingatkan rekan seprofesinya itu karena Ken bisa mendapatkan hukuman tegas, jika sampai hal buruk menimpa Dedi. "Dan bisa dipastikan, dia bukan orang yang kamu cari. Kehadiran pria ini hanya kebetulan saja, pikirkan itu!" Jami mengetuk dahinya dengan ujung jari tangan yang telah ditekuk. "Ahg!" erang Ken terdengar berang, sambil meninju tembok di sampingnya. "Kurung dia kembali!" titah Jami pada juniornya. Dua orang masuk ke ruangan khusus yang hanya disediakan sebuah meja dan tiga kursi, serta dihiasi sebuah lampu gantung berwarna putih. Kemudian mereka membantu Dedi untuk berdiri dan kembali ke balik jeruji besi. Sedang lelah dan kesal, Ken memutuskan untuk duduk di ruangannya. Saat ini, ia baru mulai merasa lapar. Wajar saja, sejak kemarin pagi, Ken sama sekali belum mengisi perutnya dengan apa pun. Pencariannya terhadap Kalila, sudah membuatnya lupa akan dunia dan kebutuhan tubuhnya. "Makan dulu, Ken! Kamu terlihat sangat kusut," kata Jami sambil memberikan sekotak nasi, lengkap dengan lauk pauknya. "Apa dia yang menyebabkan bibir itu terluka?" tanya rekan yang lainnya karena seumur mereka bekerja, baru kali ini ia melihat Ken sangat marah dan sulit untuk mengontrol emosinya. "Hah, jangan meledekku! Itu tidak lucu," gerutu Ken yang terpaksa mengambil nasi kotak, untuk menutupi gelagat tubuhnya yang mulai salah tingkah. Sebab, ia langsung terbayang wajah Kalila dan kecupannya yang brutal. Jami mengintip di sela suapannya. Ia semakin penasaran karena Ken malah senyum-senyum sendiri, sesaat setelah marah. Perubahan ekspresi wajah Ken yang sangat cepat ini, mengundang rasa ingin tahu, dari dua orang teman satu ruangan kerja Ken. Sedang berusaha untuk menyembunyikan perasaannya, tiba-tiba saja ponsel Ken berbunyi. Ia pun langsung merogoh tas kulit berwarna hitam untuk melihat siapa yang menghubunginya. Rupanya, Kalila yang juga tidak tahan berlama-lama menunggu kabar dari Ken, kembali mengirimkan pesan kedua. Isinya sangat tidak terduga dan membuat pria tampan ini gelagapan. "Kenapa, Ken?" tanya Jami yang masih saja menilai rekan kerjanya. "Em, tidak. Sebentar ya!" Ken memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan semuanya. Sebab, pertanyaan dari Kalila, sudah membuatnya kembali terseret pada malam di mana, keduanya menghabiskan waktu dengan sapuan bibir yang memukau. 'Maaf! Tadi sedang bertugas.' Kata Ken tanpa suara, seraya mengetik balasan pesan pertama untuk Kalila. Lalu ia melanjutkan dengan menjawab pertanyaan selanjutnya. 'Aku minta maaf untuk bibir itu, Ken. Rasanya sangat memalukan.' Ucap Ken dengan suara yang pelan, sembari membaca isi pesan dari Kalila. 'Apa itu masih sakit, apa yang kamu rasakan sekarang? Aku hanya ingin tahu.' "Kamu ingin sesuatu yang jujur?" "Hm." Ken sangat mengerti arti dari dua huruf yang tersusun sejajar tersebut. Ia pun mengulum senyum dan merasa bahwa perasaannya tersampaikan kepada Kalila. "Boleh aku telepon sebentar? Hanya telepon biasa." "Iya, baiklah." Setelah mendapatkan persetujuan dari Kalila, Ken langsung menekan tombol telepon di layar ponselnya, lalu mulai menyapa. "Hai!" "Ya," jawab Kalila sambil menggigit ujung jari telunjuknya. "Bisa ulangi pertanyaan tadi?" "Yang mana?" "Ayolah!" "Aku tidak mengerti," jawab Kalila terdengar tersenyum di kejauhan. "Pertanyaan terakhir!" Ken memberi petunjuk. "Apa itu masih sakit, apa yang kamu rasakan sekarang?" kata Kalila sambil menahan senyumnya. "Ah ... ada-ada aja deh," gerutunya terdengar manja. "Tidak," jawab Ken simpel. "Emg, hanya begitu saja?" Suara Kalila terdengar kecewa. Ken pun tahu bahwa wanita ini ingin mendengarkan isi hatinya yang paling dalam. "Lila!" "Ya?" "Dengar!" Ken terdiam sejenak. "Saat ini, aku masih bisa merasakan tubuhmu menekan tubuhku. Saat kamu mulai berdebar-debar, aku merasa senang sekali karena bisa merasakan kamu berdenyut." "Apa?" Wajah Kalila langsung memerah dan jantungnya kembali berdebar. "A-aku ... ." "Hahaha, bagaimana ya? Maafkan aku jika salah, aku hanya sedang jujur saja," kata Ken yang langsung menyandarkan punggungnya di tembok, sambil tersenyum seorang diri. "Selamat bekerja, Ken!" Kalila tidak sanggup menahan perasaannya dan ia tidak ingin Ken mengetahuinya. "Hei tunggu!" "Iya?" "Apa nanti kita bisa berkomunikasi seperti ini lagi?" "Emh, iya." "Oke, see you!" "By." Kalila memutus saluran teleponnya, lalu membenamkan wajah di bantal bulu angsa yang paling empuk. Bibirnya terus tersenyum dan jantungnya tetap berdesir hebat. Sementara di sisi Ken, laki-laki yang satu ini juga tampak salah tingkah ketika miliknya menyesakkan celana boxer ketat yang ia kenakan. Otot dewasa itu, kini telah mengembangkan sempurna karena Kalila. Bersambung. Apakah Kalila dan Ken merasakan cinta yang sebenarnya? Atau semua ini hanya kebetulan semata? Lanjut bacanya ya dan jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, serta follow aku. Makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD