Hati yang mulai terusik kini menampakkan gelagatnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mengelak dari bisikan cinta setengah gila dan kini tengah merasuki jiwa Ken dan Kalila. Di mana ada desiran nyata, di sana ada nama keduanya.
Tanpa mereka sadari, Dewi Cinta telah berjuang untuk menembakkan busur panah asmara, tepat di hati keduanya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang. Semua demi satu tujuan, yaitu mematenkan jiwa agar berada pada titik dan jejak yang tepat, atas nama mereka. Perjuangan pun berbuah manis. Apalagi Ken dan Kalila sama-sama merasakan debaran yang sama, meskipun kini berada di tempat yang berbeda.
Ken menarik bagian belakang celananya. Tiba-tiba saja terasa sesak dan sempit. Kegelisahan tampak jelas di matanya, apalagi disaat dua orang temannya, terus memperhatikan gelagat tak biasa darinya.
"Ayo makan dulu, Ken! Ini sudah lewat dari waktunya," oceh Jami sekali lagi, sambil menunjuk kotak makanan milik Ken dengan tangan kanannya.
"Sejak kapan jadi cerewet sekali?" tanya Ken sembari mengernyitkan dahi. "Aneh banget," timpalnya heran.
"Gerimis," gumam yang lainnya sambil menatap keluar ruangan.
"Kalian berdua tahu, apa kira-kira alasan hujan turun ke bumi saat ini?" Jami mulai ingin mengorek isi hati Ken Arashi yang tiba-tiba saja tampak kehilangan amarahnya. Pada saat mengatakannya, Jami melihat Ken meneguk minuman di atas meja hingga tandas. "Menghembuskan rasa rindu di hati para manusia yang baru saja dimabuk cinta," sambungnya sambil menahan senyum karena tak mendapatkan jawaban dari siapa pun.
Ken terbatuk kecil secara berulang. Seketika, wajahnya memerah dan tampak semakin salah tingkah. Wajar saja, Jami yang selalu satu divisi dengan Ken, tak pernah melihat rekannya ini bersikap tak profesional dalam bekerja. Ditambah lagi dengan atmosfer sikap Ken yang mudah berubah-ubah.
"Wow, apa ini? Santai, Ken!"
"Hm." Ken menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. "Jangan memandangku seperti itu!" pintanya sambil mengulum senyum. Lalu kembali memasang wajah galak dan penuh rahasia.
Siang menjelang sore. Tanpa sengaja Kalila terpejam karena hatinya merasa begitu lega. Seumur hidup setelah Devan meninggalkan dunia, baru kali ini Kalila merasakan lapang hatinya. Senyumnya pun terus mengembang, meskipun tidak ada yang mengumbar senyum terhadap dirinya, maupun menceritakan lelucon kocak dihadapannya. Entah apa mimpi Kalila sore ini, yang jelas ia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup dan tak pernah menderita sepanjang usianya.
Sementara di dalam kamar hotel, Rania masih menunggu suaminya yang belum pulang dari bekerja. Elo seperti benar-benar tidak peduli dan tak memikirkan dirinya. Namun, sekali lagi. Rania menepis semua perasaan itu dan membesarkan hatinya agar bisa terus bersama sosok yang begitu dicintainya.
"Rania!" sapa Elo sambil membuka pintu kamar. Dengan senyuman, ia memberikan kecupan di pipi kanan istrinya. "Aku pikir, kamu akan pulang lebih dulu."
"Bagaimana mungkin, Sayang," jawab Rania yang sudah berhasil menepis perasaan sakit di dalam hatinya. "Tentu saja aku masih menunggumu."
"Kamu memang istri yang baik, Sayang." Elo mencuci tangan dan mengambil cemilan yang sudah tersedia di meja. "Tapi, sebaiknya kita segera pulang. Malam ini, mama dan papa akan tiba di rumah."
"Emh, begitu ya?" Rania terdengar kecewa. Bukan tanpa alasan, ia menginginkan malam yang penuh dengan cinta dan kecupan berharga, seperti yang pernah dijanjikan oleh suaminya, di malam sebelumnya.
"Jangan kecewa! Lagi pula, besok aku harus keluar kota," kata Elo yang terus mengikis perasaan Rania karena dia memang sudah malas sekali untuk menyentuh istrinya.
"Baiklah, kalau begitu aku bersiap terlebih dahulu," ujarnya dengan suara yang layu.
"Terima kasih," jawab Elo dengan cueknya. Alih-alih segera membantu Rania, ia malah asik sendiri dan menikmati makanannya.
Setelah merapikan barang-barang bawaan, Rania menggeser tas kerja milik suaminya. Pada saat yang bersamaan, Elo langsung berteriak dan membentak dengan mata yang terbuka lebar. Seolah ketika Rania melakukannya, wanita itu sudah melakukan kesalahan yang sangat besar.
Kedua tangan Rania bergetar dan terasa dingin. Ia tersentak dan terkejut begitu saja. Seperti terkena petir tanpa hujan, hatinya terbakar dan merasa kesakitan.
"Ma-maaf!" ujarnya terbata-bata, seraya menurunkan tangan dari sisi meja yang di atasnya terdapat tas kerja suaminya.
Elo berjalan dengan cepat, berusaha menyelamatkan rahasia besar yang berada di dalamnya. Detik ini, Rania bisa merasakan, ada yang Elo sembunyikan dari dirinya. Semua itu, berhasil memancing rasa penasaran di dalam hati Rania.
Setelah menyelamatkan tas kerjanya, Elo menatap Rania. Ketika melihat istrinya pucat, Elo langsung menetralisir hatinya. Sambil menghela napas berulang, laki-laki berkulit putih tersebut meredupkan pandangannya.
"Maaf, Sayang!" pintanya dengan nada suara yang rendah. "Aku khawatir, laptop di dalamnya bisa pecah jika tas ini terjatuh."
Mata Rania berkaca-kaca. "Yang cacat itu kakiku, bukan tanganku," jawabannya dengan tatapan memburu. Seumur pernikahan mereka, baru kali ini Rania melakukannya.
"Sayang!" Elo menahan gerakan tangan Rania yang langsung menekan tombol otomatis untuk menggerakkan kursi rodanya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi kepadamu?" tanya Rania yang tiba-tiba berani menentang mata suaminya.
"Jangan melakukannya kepadaku!" Elo memperingati istrinya karena ia tidak suka ditatap dan diperlakukan seperti itu.
Rania menahan air matanya. Ia menunduk demi menjaga hubungan keduanya agar terus saja harmonis. Padahal, hatinya kerap kali terluka karena sikap suaminya. "Maaf!" ucapnya dengan suara yang tercekat.
"Sebaiknya kita pulang sekarang!" ajak Elo yang sudah begitu malas dengan segalanya.
"Baiklah."
Elo dan Rania bergerak cepat menuju kediaman tuan Husain. Sepanjang perjalanan, keduanya tampak tidak banyak berbincang dan hanya berdiam diri saja. Rania terlihat melamun dengan memendam kekecewaannya, sementara Elo bersama rasa kesal di dalam hatinya.
Setibanya di kediaman mewah yang sudah tampak menyala puluhan lampu di dalamnya, Elo berusaha memasang wajah manis dengan tampang yang tidak berdosa di hadapan semua orang.
"Tuan, Nyonya!" sapa asisten yang mengurusi kebutuhan Rania.
"Di mana kak Kalila?"
"Ada di dalam kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang bahagia," ujar wanita yang selalu mengikat rambutnya ke belakang. "Benarkah?"
"Iya," jawab perempuan itu sekali lagi dengan wajah yang ceria.
"Antar aku ke kamarnya, Bi!"
"Iya," sahut perempuan tersebut, sembari mendorong kursi roda Rania ke tangga tanpa sekat yang dibuat khusus untuk dirinya.
Setibanya di pintu kamar kakaknya, Rania langsung mendorong secara perlahan. Saat itu, ia melihat Kalila tengah terlelap sambil tersenyum. Kedua tangan perempuan cantik itu pun tampak erat memeluk guling, seakan tengah mendekap seseorang.
Rania tersenyum simpul. Ia tampak suka melihat kakaknya ada di rumah ini. "Kakak terlihat sangat pulas, tidak seperti biasanya," kata Rania sambil mengusap rambut kakaknya.
"Benar, Nyonya. Sejak pulang tadi, Non Kalila seperti memiliki jiwa yang baru. Bibirnya terus saja tersenyum dan coba tebak?"
"Apa, Bi?"
"Non Kalila makan sangat banyak, tidak seperti biasanya."
"Mungkin dia kelaparan," terka Rania sambil menutup mulut dengan tangan kanannya. "Aku masih ingin di sini bersama Kakak, Bi."
"Baik, Nyonya muda. Kapan pun membutuhkan Bibi, panggil saja!"
"Iya." Rania yang terluka, kini terus mengembangkan bibirnya. Ia ikut bahagia, melihat Kalila sedikit tenang hidupnya.
'Kak, aku ingin Kakak terus bahagia seperti ini. Rasanya, apa pun akan aku lakukan demi senyum dan ketenangan Kakak.' Rania menunduk seolah menyesali diri. 'Seharusnya, aku ada dan terus bersama Kakak di masa-masa sulit seperti ini. Tapi nyatanya, aku sangat takut dengan tatapan dingin dari mata indah itu, Kak.' Ujar Rania tanpa suara.
Rania yang sangat menyayangi Kalila, mencoba untuk memeluk kakaknya sangat erat. Namun pada saat yang bersamaan, bantal yang tadinya terletak di ujung tempat tidur, kini tergeletak di lantai akibat tergeser oleh tangannya.
"Duh," gumam Rania sambil menatap ke lantai.
Tak lama, demi mengambil bantal kesayangan kakaknya, Rania menjauhkan tubuh dari Kalila, dan menunduk untuk menjangkau, serta mengangkat bantal tersebut.
Sambil menahan napas agar beban tubuhnya sedikit berkurang, Rania meluruskan pandangannya. Arah tatapan itu menyorot bagian bawah tempat tidur Kalila yang telah terangkat rumbai kasurnya. Seketika Rania terdiam dan terbelalak. Sebab, cahaya kecil di tengah-tengah kasur, telah membuatnya tergores dan luka.
"Itu, kan?" gumamnya seraya menahan detak jantung yang semakin bergemuruh. "Mungkinkah?"
Kelopak mata yang indah itu terangkat, bersama pundak Rania. Ia mengintip ke arah wanita yang begitu berharga baginya. Rasa tidak percaya menghampiri hati Rania, tetapi pikiran itu terus saja menunjuk kepada sebuah kesakitan.
Tanpa memperdulikan dirinya sendiri, Rania mendorong dan menjatuhkan tubuhnya di lantai. Suara tulang lutut yang beradu dengan lantai, terdengar cukup keras. Namun sayang, Kalila yang masih terlelap, tidak mendengarnya.
Rania mengeluh di dalam hati. Tetapi, ia terus saja merangkak perlahan menghampiri tujuannya. Bagian tengah, tepat di bawah ranjang Kalila, ia melihat sesuatu yang mencengangkan jiwanya. Setibanya di dalam kolong, Rania menghisap debu dan mengendusnya perlahan. Dadanya tersesak, tetapi ia sangat ingin tahu tentang kebenaran dari pikirannya sendiri.
Dengan tangan yang bergetar, Rania menjangkau mainan gelang berbentuk lonceng pipih berwarna keemasan. Benda itu merupakan bagian dari gelang tangan milik Elo dari Rania, saat ulang tahun pernikahan kedua mereka.
Mata Rania kian basah, dan getaran di tangannya semakin terlihat. Dengan cepat, sembari menyiapkan hatinya, Rania mendekatkan pernik itu ke manik matanya. Ia ingin memastikan kebenaran pikirannya sendiri. Benar saja, benda mungil ini memang milik suaminya.
'Tidak mungkin ... tidak!' Ucapnya tanpa suara, sambil menggelengkan kepala.
Wanita bermata bulat itu menangis sejadi-jadinya, tanpa suara. Tubuhnya pun ikut bergetar hebat, dan pikirannya kian kacau. Ia tidak menyangka bahwa antara suami dan kakaknya, sudah terjadi skandal. Penghianatan yang terasa begitu menyakitkan, dan ia pun seperti hampir pingsan.
'Pantas saja kakak terlihat sangat lelah dan Elo menolak menyentuhku. Rupanya, mereka sudah melakukan semuanya hingga puas.' Ratap Rania di dalam hatinya. 'Sejak kapan, Kak? Sejak kapan kalian melakukannya di belakangku?' Tanya Rania yang hampir kehilangan kesadarannya.
Setelah memikirkan perselingkuhan ini. Sontak, pikiran Rania pun terseret pada kejadian semalam. Yaitu disaat Elo menghilang bersama kakaknya. Padahal sebenarnya, Elo tengah mencari Kalila yang melarikan diri dari cengkramannya.
Bersambung.
Bagaimana hubungan Rania, Kalila, dan Elo selanjutnya? Jangan lupa untuk terus mengikuti n****+ ini ya.