Malu-Malu

1833 Words
'Perempuan ini, apakah dia akan menjerit saat sadar nanti dan membentakku bersama tuduhan kotor?' Tanya Ken pada dirinya sendiri, sesaat setelah mengintip kelopak mata Kalila yang masih saja melekat sempurna. Sepertinya, wanita ini menolak untuk bangun. Mungkin karena pelukan Ken yang terasa begitu hangat dan mampu membuatnya merasa nyaman. Saat ini, matahari mulai menyinari bumi. Ken yang sadar bahwa tak mungkin bisa ke kantor tepat waktu, langsung menghubungi rekan kerjanya untuk menukar jadwal sementara waktu. Tampaknya bukan hanya Kalila saja yang tidak ingin melepaskan dekapan ini, tetapi begitu juga dengan pria tampan pemilik mata tajam tersebut. Detik ini, Kalila masih menutup kedua matanya. Setelah bumi mulai terasa panas, sekitar pukul 08.15 WIB. Telinga Kalila ditiup angin yang cukup kencang. Ia pun tersentak dan terkejut, kemudian menoleh ke arah Ken secara cepat. Spontan, Kalila langsung terduduk dan melihat dirinya sendiri. Sementara Ken yang sudah kembali memejamkan mata sejak tadi, tampak terlelap tanpa sengaja. "Ah," gumam Kalila sambil merapikan wajah dan memperhatikan tubuhnya. Saat mata wanita itu terarah pada pakaiannya yang robek, memori Kalila kembali pada kejadian semalam yang sangat mengerikan. Memang, Kalila tidak melihat apa dan bagaimana wajah orang-orang yang berniat buruk kepadanya. Tetapi, kejadian demi kejadian, masih terekam baik diingatannya. Satu-satunya orang yang ia percaya dan kenali adalah pria tampan yang kini berada di sampingnya. Melihat kondisi Ken yang masih terlelap, Kalila pun memutuskan untuk menyelidiki pria yang menatap ke arah kanan (Bukan dirinya). Ia memperhatikan seragam yang Ken kenakan dan membaca namanya di dalam hati. 'Ken Arashi, nama yang indah. Pantas saja jika wajahnya bercahaya, dia adalah laki-laki yang baik.' Puji Kalila Husain, tanpa suara, pada pertemuan kedua mereka yang tak disangka. Setelah menyebut nama Ken di dalam hatinya, Kalila memperhatikan sekitar. Ini adalah kali pertama ia ketempat asing tersebut. Namun, semua rasa penasarannya pada tempat ini masih kalah dengan keinginannya untuk memperhatikan pria yang kini tengah bersamanya. Merasa benar-benar ingin menghafal wajah Ken, Kalila memperhatikannya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Alis mata pria ini terlihat menukik tajam dan Kalila sangat suka melihat polanya. Tanpa sadar, wajahnya terus saja mendekati wajah Ken, hingga keduanya sangat dekat. Pada saat yang bersamaan, tanpa sengaja Ken memutar wajahnya ke arah Kalila. Sekali lagi, sentuhan dan gesekan bibir terjadi dan semua terasa manis. "Emh," gumam Kalila ketika bibir Ken berhenti tepat di bibirnya. Bukan hanya itu saja, bahkan ujung hidung Kalila juga menyentuh hidung Ken. Tidak ingin pria tampan ini terbangun dan melihat bibir mereka saling menyapu, Kalila langsung mengangkat wajahnya dan menjauhi Ken. Perlahan, ia turun dan berharap bahwa gerakannya tidak akan mengganggu pria tampan yang tengah terlelap itu. Lalu Kalila berjalan menuju ke tapi gedung untuk melihat apa yang ada di bawah sana. Sebelumnya, Kalila cukup sering melihat gedung berkaca seribu ini. Tetapi, tak pernah terbayangkan olehnya, jika tempat ini merupakan lokasi yang apik untuk menikmati pemandangan kota. Dari sini, wanita berlesung pipi dalam ini bisa melihat susunan kota dengan sempurna. Bibir Kalila yang ranum tampak tersenyum. Ken berhasil membawanya pada keinginan pertama yang ia sebutkan di dalam ketidaksadarannya. Walau begitu, Kalila masih bisa mengingat apa yang ia ucapkan dan minta kepada Ken semalam. Yaitu, ia tidak mau pulang dan hanya ingin melihat dunia dengan cara, serta suasana yang indah. "Jangan terlalu ke tepi! Kondisimu belum sepenuhnya membaik," kata Ken sambil menahan pundak Kalila yang tampak condong ke depan. Tak lupa, ia kembali memasangkan jaket ke punggung perempuan yang telah ia cari beberapa hari ini. Kalila terkejut dan langsung menatap kedua manik mata Ken yang tajam. Darahnya berdesir, dan jantungnya memompa lebih cepat dari pada sebelumnya. "Ka-kamu?" Ken tersenyum simpul. "Masih ingat aku?" Kalila mengangguk dalam satu kali anggukan, lalu ia melupakan pemandangan indah kota dan fokus terhadap Ken Arashi. Entah mengapa, tampilan kota yang indah sebelumnya, seperti kalah memesona jika dibandingkan dengan pria tampan yang satu ini. "Emmmh ... makasih karena sudah menyelamatkanku," kata Kalila sambil menghela napas panjang. "Aku, entahlah," timpalnya tampak bingung. "Tidak masalah, jangan sungkan!" Setelah menjawab kata-kata yang keluar dari bibir Kalila, tanpa sengaja Ken menatap lengan perempuan cantik tersebut. Di sana, terlihat bekas injeksi dan hal itu mengingatkannya kepada sesuatu. Yaitu sikap agresif perempuan cantik ini, semalam. "Kalau boleh tahu, apa yang terjadi semalam?" Dahi Kalila melipat, ia tampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Eeem, aku merasa sangat pusing sekali dan dunia menjadi gelap. Lalu, disambung dengan rasa berputar-putar di sekelilingku. Iya, begitulah, maksudku." Kalila tampak masih bingung dan belum bisa mengingat kejadian sebelum bertemu dengan Ken secara gamblang. "Sttt!" keluhnya seraya memegang kepala. "Oke-oke, cukup dulu!" saran Ken sambil memegang kedua sisi pundak Kalila. "Ayo duduk!" pintanya sambil mengiringi langkah Kalila ke kursi kayu panjang, di mana mereka menghabiskan malam dengan berciuman. Ken membantu Kalila untuk duduk. "Aku cari sarapan dulu, oke?" Lalu ia bergegas untuk berdiri. "Tidak, jangan!" mohon Kalila yang sepertinya tidak bersedia untuk ditinggalkan. Ken kembali mengambil posisi duduk di bawah, dengan tatapan yang terus saja menyoroti wajah wanita favoritnya. "Iya?" "Aku belum ingin makan. Maksudku, kamu di sini saja dulu, bersamaku." Ken melengkungkan bibirnya dan menganggukkan kepala. "Iya, baiklah." Pandangan Kalila teralihkan pada bibir Ken yang terluka di bagian depan. Goresan tipis, namun mampu mengelupaskan kulit ari tersebut, tampak jelas. Sebab, luka itu telah mengering dan menjadi koreng. "Ini ... ." Kalila tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Karena pada saat yang bersamaan, ia mengingat bagaimana dirinya melumat dan menggigit bibir Ken hingga puas, dalam waktu yang lama. "Aku ... ." "Hahahaha." Ken menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, lalu menunduk karena merasa malu secara tiba-tiba. Kalila menutupi wajah cantik miliknya dengan kedua tangan. Di balik itu, bibirnya tersenyum lebar dan hatinya semakin berdebar. Ia benar-benar malu, dan sama sekali tidak menyangka bahwa hal semacam ini bisa terjadi. Kalila kembali mengangkat bibirnya. "Maafkan aku!" pintanya dengan wajah yang masih disembunyikan di balik telapak tangan. "Bagaimana ya?" Ken menggoda, seolah dia adalah korbannya. Padahal, di dalam hati. Ia juga merasa bahagia dan sangat bersyukur. 'Kalila, sebenarnya apa yang terjadi kepadamu? Suntikan itu, siapa yang ingin mengacaukan kamu?' Tanya Ken tanpa suara, dan ia menyadari ada yang tidak beres dengan kehidupan wanita yang berada di hadapannya ini. "Ayolah, lupakan saja!" mohon Kalila yang terus saja menahan rasa malu di dalam hatinya. Sampai-sampai, kedua pipinya memerah. Apalagi, bayangan tentang kecupan panjang itu masih saja bermain di mata dan ingatannya. "Mana bisa seperti itu," gumam Ken yang masih saja mengintip Kalila dari celah jari-jari tangan yang lentik itu. 'Syukurlah dia tidak mengamuk dan salah paham. Ya ampun.' Ken terus berkutat pada dirinya sendiri. "Iiih, jangan menggangguku!" pinta Kalila yang baru pertama kali merasakan debar-debar cinta, setelah kematian Devan. "Hahaha, ternyata kamu sangat lucu." Ken melanjutkan tawanya. "Hei, aku Ken. Kita belum berkenalan, bukan?" "Aku Kalila," sahut wanita berlesung pipi dalam itu, dan ia masih saja menutup wajah dengan kedua tangannya. "Apa yang kamu lakukan? Coba tatap mataku ketika memperkenalkan diri!" "Ah, kamu ini. Nanti saja kalau begitu." "Dengar! Soal ini, hanya kita berdua saja yang tahu. Kamu dan aku, jadi jangan terlalu dipikirkan!" Kalila memiringkan tubuhnya, ia terlihat semakin malu hati. "Ya ampun. Baiklah, begini saja. Bagaimana kalau kita mencari pakaian ganti untukmu?" tanya Ken yang melihat bahwa pakaian Kalila sudah sangat berantakan. "Tidak sekarang," jawab Kalila yang masih menyembunyikan wajahnya. "Aku masih ingin seperti ini." "Ya ampun." Ken menghela napas panjang. "Bukan tidak suka atau bagaimana. Hanya saja, bagian yang terbuka itu sangat menggoda. Aku bisa gila, Nona," goda Ken yang terus berusaha untuk menyusup masuk ke dalam hati Kalila. Mendengar perkataan dari Ken, Kalila langsung menurunkan kedua tangannya dan mengancing baju jaket yang dipinjamkan kepadanya. Ia menarik sleting sangat tinggi, hingga menutupi robekan pada pakaian hingga lehernya. Sambil mengulum senyum, Kalila berusaha mengalihkan pandangannya dari pria tampan yang berada di hadapannya. Satu-satunya laki-laki dewasa yang bisa membuatnya terkesima hanya dalam hitungan menit saja. "Oh iya, apa yang telah terjadi pada kita semalam, jangan sampai mengusikmu!" Kalila berkata tanpa sanggup menatap bola mata Ken. "Hm, baiklah," jawab Ken yang terus mengincar sudut manik mata Kalila yang kini terlihat membesar dan berkilau. Tak tahan akan pandangan penuh makna dari Ken, Kalila langsung berdiri dan meninggalkan pria ini begitu saja. "Hei!" panggil pria tampan itu sambil berdiri dan mengejar. "Setidaknya, tinggalkan nomor ponselmu!" "Bukankah sudah aku katakan tadi, lupakan semuanya! Aku tidak sedang main-main." "Aku mengerti itu. Lagi pula, ini bukan tentang aku ataupun kamu. Tetapi berandal jalanan yang berniat buruk terhadapmu." "Biarkan saja dia!" Kalila berusaha untuk melupakan semuanya. Sebab, ia malas berhubungan dengan orang lain. "Apa kamu tidak khawatir pada perempuan lain di luar sana yang harus melewati malam karena bekerja ekstra? Laki-laki semacam itu, akan mengancam keamanan mereka." Kalila menghentikan langkahnya. Hatinya terpanggil dengan ucapan Ken tersebut. Kemudian, ia berputar dan rupanya Ken yang semula mengejar dengan cepat, telah berada tepat di belakang Kalila. Tubuh keduanya pun kembali menempel sempurna, dan mereka sama-sama bisa mendengar degup jantung yang tidak biasa dari lawan bicara keduanya. Ken mundur dengan cepat, begitu juga Kalila. Kali ini, keduanya sama-sama menunduk dan menyembunyikan wajah mereka yang memerah. "Aku ... ." Kalila memperhatikan dirinya. "Di mana ponsel dan tasku?" "Kita akan mencarinya," kata Ken tampak serius kali ini. "Mungkin ada di mobil penjahat itu." "Tapi, rasanya aku tidak membawa apa pun," ujar Kalila sambil melipat dahi. "Saat itu aku bertemu dengan Rania di hotel. Lalu kami tertidur bersama. Setelah itu ... apa yang terjadi?" Kalila kembali kehilangan memorinya. Ia tampak berusaha keras, bahkan sampai memukul kepalanya sendiri, secara berulang. "Nggak gitu caranya." Ken menahan pukulan tangan Kalila. "Ini hanya akan menyakiti dirimu." "Kenapa aku bisa melupakan beberapa penggal kejadian semalam?" tanya Kalila yang terlihat sangat bingung. "Siapa Rania?" tanya Ken yang memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Kalila. "Dia adik kesayanganku," ucap Kalila dengan tatapan hangat. "Kami bertemu di hotel karena sesuatu, tapi apa?" 'Tidak! Aku tidak boleh mengatakan apa pun tentang dugaanku. Jika Kalila begitu menyayangi Rania, Bisa-bisa dia menjauhiku, jika aku salah bicara.' Ken berkata tanpa suara, sembari mewanti-wanti dirinya agar tidak salah langkah. 'Aku yakin, ada yang tidak beres dengan hidup Kalila. Aku sangat ingin tahu, agar bisa membantunya.' "Bisakah urusan ini ditunda?" tanya Kalila seraya memegang kepalanya. "Aku ingin istirahat sebentar. Tiba-tiba saja, rasanya pusing sekali." "Baiklah, aku antar pulang sekarang ya?" "Iya, tapi ... ." "Tenang saja! Aku tidak akan mampir," ujar Ken yang cukup mengerti jalan pikiran Kalila. Semalam wanita cantik ini tidak pulang. Bisa saja, orang-orang berpikir bahwa dirinya sudah menghabiskan malam dengan tingkah kotor di luar sana dan Kalila tidak ingin hal semacam itu terjadi. "Kalau begitu, berikan saja nomor ponselmu!" "Baiklah, ini kartu namaku." Ken menyerahkan kertas segi empat ukuran kecil yang terasa licin dan cukup tebal. "Hubungi aku kapan pun kamu mau, dan di manapun kamu mengalami kesulitan!" "Em, makasih ya." "Ayo aku antar pulang!" "Iya, baiklah. Ken dan Kalila memutuskan untuk meninggalkan gedung, agar wanita yang satu ini dapat memulihkan perasaan dan staminanya. Ia berharap, pertemuan selanjutnya akan terjadi dalam keadaan yang lebih baik lagi. Bersambung. Apakah Kalila akan mengingat situasi mendesak tadi malam? Atau ia hanya akan melupakan segalanya, demi menghindar dari masalah? Lanjut bacanya ya dan jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, serta follow aku. Makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD