Pertemuan 5 arah Part-3

1514 Words
    Momen KISWAH inilah yang menjadi momen yang paling menyenangkan bagi mereka, karena mereka bisa mendapatkan banyak ilmu serta pandangan tentang keagamaan yang lebih menarik serta kekinian, cara penyampaiannya pun juga dengan gaya penyampaian diskusi dua arah, sehingga siswa atau peserta juga dilibatkan secara aktif dalam forum, inilah yang menjadikan forum KISWAH menjadi berbeda dengan ceramah-ceramah pada umumnya, melalui diskusi dua arah inilah yang menjadikan suasana forum menjadi jauh lebih cair, sehingga mereka bisa aktif bertanya kepada pemateri tanpa ada rasa takut maupun malu. Hal inilah yang dijadikan kesempatan buat Mutmainnah untuk menjawab pertanyaan yang selama ini mengganggu serta menghantui fikirannya, dalam suatu momen forum KISWAH yang saat itu sedang membahas tentang cita-cita, ia mencoba untuk memberanikan diri menyampaikan pertanyaan yang selama ini belum terjawabkan kepada Awan.     “Kak, kata Kakak tadi kan seorang muslim itu harus memiliki cita-cita serta harus bisa mengejar dan mewujudkan cita-cita tersebut, tapi bagaimana kalau cita-cita kita itu adalah cita-cita yang di haramkan oleh agama kita Kak?” Tanya Mutmainnah kepada Awan dalam forum KISWAH yang seketika mengagetkan Awan beserta selainnya.     “Sebentar Innah, Kakak mau tanya. Cita-cita yang di haramkan agama itu yang seperti apa?” Tanya balik Awan kepada Mutmainnah untuk mengetahui kejelasan maksud pertanyaannya.     “Jadi begini Kak, sewaktu saya SMP saya pernah berdiskusi dengan guru agama saya di sekolah, waktu itu kita sedang membahas tentang fiqh. Guru saya menyampaikan bahwa dalam fiqh musik itu diharamkan dalam agama Islam, saya kan langsung kaget Kak. Karena saya sejak kecil punya hobi bermain musik dan saya selalu membuat cover-cover music gitu Kak, waktu itu saya sampaikan kepada guru saya, jika ajaran Islam mengharamkan kita bermain musik lantas kenapa Allah menciptakan bakat bermusik dalam diri saya? Bukannya itu sia-sia belaka? Menciptakan sesuatu yang ujung-ujungnya dilarang. Terus saya di marahi guru saya Kak, karena kebanyakan menyanggah argumentasinya, saya kan masih bertanya karena merasa belum mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai hokum fiqh tentang musik. Akhirnya semenjak saat itu saya berhenti bermain musik Kak, karena khawatir jika memang benar dilarang dan saya tetap bermain musik maka saya melakukan sebuah kedosaan, saya bingung kak sampai sekarang belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.” Ucap Mutmainnah menjelaskan kepada Awan tentang maksud pertanyaannya sebelumnya.     “Ohh, jadi begitu maksudnya. Baiklah Kakak coba bantu jawab ya? Bakalan agak panjang nih forum kita, hehehehe. Apakah teman-teman yang selainnya tidak apa-apa kalau Kakak menjawab pertanyaan Mutmainnah agak panjangan?” Tanya Awan kepada peserta yang ada kala itu.     “Tidak apa-apa Kak, Saya juga penasaran dengan jawabannya. Lagian kita besok juga libur sekolah kok Kak, jadi santai saja tidak mengapa.” Ujar Dayat menjawab pertanyaan Awan yang diiringi dengan anggukan teman-teman selainnya.     “Baiklah, terima kasih buat waktunya ya. Sebelum Kakak jauh menjawab pertanyaan Innah, kita harus bisa memahami serta mendudukkan dulu yang di maksud dengan cita-cita itu apa dahulu. Tadi kan kita sudah membahas bahwa yang dimaksud dengan cita-cita adalah tujuan atau visi yang berada di akhir perjalanan kehidupan seseorang, sehingga cita-cita itu merupakan titik akhir atau muara dari perjalanan kehidupan seseorang. Nah titik akhir itu apa? Titik akhir itu adalah alam pembalasan yaitu surga atau neraka, jadi seseorang dalam hidupnya itu hanya memiliki dua pilihan cita-cita. Ia mau mencita-citakan surga atau neraka, jika ia mau mencita-citakan surga maka konsekuensinya kehidupannya harus diarahkan agar bisa memenuhi syarat-syarat bisa masuk surga, begitu juga sebaliknya.” Ujar Awan menjelaskan dengan pelan-pelan serta jelas kepada muridnya.     “Lantas kenapa Kak kok banyak orang sering menyebut cita-cita itu bukan pilihan surga atau neraka? Melainkan cita-cita jadi dokter, polisi, dan selainnya? Kalau kalian ada pertanyaan seperti itu jawaban Kakak adalah karena mereka ada kesalahan dalam mendudukkan tentang cita-cita, mereka menggambarkan bahwa ujung perjalana n kehidupan seseorang itu selesai hanya di dunia dan mengesampingkan kehidupan akherat. Sehingga wajar bagi mereka jika isi cita-citanya bersifat duniawi atau yang sering kakak sebut sebenarnya itu bukan cita-cita, melainkan profesi atau karir. Pandangan seperti itu ada konsekuensinya seperti yang kakak jelaskan sebelumnya, bahwa cita-cita itu merupakan akhir atau muara dari perjalanan kehidupan seseorang, sehingga ketika seseorang mencita-citakan yang sifatnya keduniawian seperti ingin jadi dokter, maka ketika sudah mencapai cita-cita itu kehidupan dia akan berakhir, hidupnya sudah tidak memiliki gairah untuk memberikan kontribusi, karya serta amalan ibadah lagi setelahnya. Beda jika ia menjadikan cita-cita surga, karena konsekuensi dari mencita-citakan surga adalah seluruh aktivitas kehidupan dengan apapun profesinya atau karirnya ia akan terus menghasilkan karya, kontribusi serta amalan ibadah hingga akhir kehidupan mereka sebagai bekal untuk kehidupan akherat nantinya.” Lanjut Awan.     “Namun bukan berarti kita tidak boleh mengejar kehidupan dunia dan hanya fokus mengejar kehidupan akherat saja ya! Melainkan harus seimbang, maknanya adalah kita manfaatkan kehidupan dunia ini untuk bisa terus menghasilkan karya, keluasan manfaat serta amalan ibadah yang banyak sebagai bekal kita di akherat. Seorang dokter dengan karirnya ia bisa menolong banyak orang, seorang guru dengan totalitas mengajarnya ia bisa menghasilkan manfaat serta karya dengan ikut mencerdaskan anak bangsa, begitupun juga dengan seorang musikus dengan keahlian seninya ia bisa menginspirasi bahkan menolong banyak orang. Itulah yang nantinya bisa menjadi bekal amalan kehidupan akherat, karena kehidupan akherat atau surga itu menjadi muara atau tujuan akhir perjalanan kehidupan sesorang. Sampai di sini apa bisa di fahami? Apakah ada yang ditanyakan?” Ujar Awan kepada muridnya.     “Ohh, oke Kak. Berarti selama ini kita salah dalam meletakkan istilah cita-cita, lanjutkan saja Kak.” Ujar Danila yang diiringi anggukan teman-temannya.     “Baiklah kalau enggak ada yang ditanyakan, akan Kakak lanjutkan ya?” Tanya Awan yang bersiap melanjutkan penjelasannya.     “Kali ini Kakak akan masuk ke point utama pertanyaan Innah tentang hukum Islam tentang musik, apakah diperbolehkan ataukah diharamkan? Mereka yang menyatakan bahwa ajaran Islam itu mengharamkan musik mereka berdasarkan kepada Al-Qur’an surat Lukman ayat 6 yang terjemahannya berbunyi “Dan ada di antara manusia yang membeli ucapan yang melengahkan untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itulah yang buat mereka siksa yang menghinakan; dan dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling sambil menyombongkan diri bagaikan dia belum mendengarnya. Seakan-akan di kedua telinganya ada sumbatan maka gembirakanlah tentang siksa yang pedih.” Ayat ini yang dijadikan salah satu pijakan segolongan umat Islam untuk mengharamkan musik dengan dasar bahwa musik mampu membuat seseorang berpaling dari Al-Qur’an dan bisa sebagai bahan olok-olokan Al-Qur’an, bagi mereka yang punya pemahaman seperti itu konsekuensinya adalah mereka akan menjauhi musik bahkan tak jarang ekstreamnya ada beberapa orang yang awalnya suka bermain alat musik, ia akan langsung membakar alat musik tersebut.” Ucap Awan menjelaskan dengan pelan dan jelas kepada murid-muridnya.     “Perlu diketahui ya teman-teman sekalian, dalam memahami Al-Qur’an kita tidak bisa hanya berpijak pada apa yang ada dalam teks ayat tersebut saja, melainkan kita butuh pendekatan ilmu pengetahuan terkait lainnya, seperti azbabun nuzul maupun riwayat-riwayat selainnya. Nah dalam konteks ayat tersebut jika kita berpijak pada azbabun nuzulnya ayat di atas turun berkaitan dengan tokoh kaum musyirikin, yaitu an-Nadhr Ibn al-Harits, yang sengaja membeli buku-buku cerita dan dongeng ketika melakukan perjalanan perdagangan di Persia. Dia berbangga dengan kandungan buku itu dan mengundang orang mendengarnya agar mereka beralih dari Alquran. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat di atas turun menyangkut seorang dari suku Quraisy bernama Ibn Khathal yang membeli seorang b***k wanita yang pandai menyanyi sehingga sekian banyak orang terbuai dengan nyanyian dan lengah terhadap Alquran. Dari sini kita bisa melihat jika ayat tersebut kita dekati dengan konteks azbabun nuzulnya kita mengetahui bahwa ayat tersebut turunya terikat oleh konteks ada orang di luar orang muslim (tokoh kaum musyirikin dan orang dari suku Quiraisy) yang menggunakan buku dan nyanyian untuk melalaikan orang pada Al-Qur’an, point pertama yang bisa kita ambil dari pendekatan konteks azbabun nuzul di sini ialah ada usaha menggunakan buku dan nanyian sebagai alat untuk melalaikan seseorang pada Al-Qur’an, bisa difahami teman-teman? Apakah dari sini ada yang ingin ditanyakan atau yang belum difahami?” Ujar Awan kepada murid-murinya yang diiringi ekspresi serius dari murid-muridnya mendengar setiap penjelasan Awan.     “Berarti benar ya Kak, kalau berdasarkan pada pendekatan konteks azbabun nuzulnya musik atau nyanyian di haramkan dalam Islam karena mampu melalaikan seseorang dari belajar Islam?” Tanya Mutmainnah dengan antusias sembari wajahnya gusar karena khawatir impiannya sebagai pemusik benar-benar akan musnah.     “Ohh baiklah, jadi begini Innah. Mungkin teman-teman harus bisa membedakan antara alat dan perilaku dalam konteks di azbabun nuzul tersebut. Jika merujuk pada kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi alat merupakan benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Nah karena alat itu merupakan sebuah benda mati, alamiahnya benda mati itu sifatnya netral tidak bernilai, ia akan bisa bernilai ketika ia digunakan untuk melakukan sesuatu. Seperti pisau, jika pisau tidak digunakan maka ia tidak akan bernilai, sebaliknya ketika pisau itu digunakan maka pisau itu akan bisa bernilai baik maupun buruk. Semisal pisau itu digunakan Ibu kita untuk memasak makanan, maka pisau itu akan bernilai positif karena mampu menghasilkan karya serta manfaat positif, sebaliknya jika pisau itu digunakan oleh pembunuh maka pisau itu akan bernilai buruk. Jadi jika di kontekskan dengan musik di atas, musik merupakan sebuah alat yang harusnya ia tidak bernilai, sedangkan bernyanyi dan membaca kandungan buku dalam konteks diatas itu merupakan sebuah perilaku yang bisa dikenakan nilai karena dia menggunakan alat sebuah buku dan musik untuk menggapai suatu tujuan. Sehingga dari penjelasan Kakak di sini dari konteks di atas kira-kira yang diharamkan atau dilarang itu musiknya atau perilakunya?” Jelas Awan kepada murid-muridnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD