Kisah Danila

1506 Words
Desa Grendeng, 2 Juli 2008     Pagi itu di Madrasah Tsanawiyah Daarul Qalam sedang tidak ada guru yang mengajar dikarenakan Bu Rahma sedang sakit. Suasana kelas menjadi gaduh, teman-teman kelasku sibuk dengan kegiatannya masing-masing, ada yang tidur di kelas, ada yang bercanda, dan kacaunya ada segerombolan anak laki-laki merokok di belakang kelas, aku kaget melihatnya. Aku langsung bergegas keluar kelas dan menyampaikannya kepada Pak Budi guru BK tentang perilaku teman laki-laki yang merokok di kelas, tak lama setelah itu mereka dipanggil oleh Pak Budi dan dihukum dengan dipanggil orang tuanya. Dari situlah mulai bertambah kisah kelam perjalanaan kehidupan remajaku.     Sepulang sekolah sepedaku ditendang dan dirobohkan oleh Adi, salah satu teman laki-laki yang aku laporkan tadi.     “Ehh, lu yang laporin gue ke pak Budi ya?” Ucapnya sambil menendang sepedaku yang sudah terjatuh di tanah. Aku tidak menjawabnya, aku hanya bisa menangis sambil mencoba berdirikan sepedaku.                “Lu tuh tukang ngadu ya?” Ucapnya sembari menarik kerudungku hingga tersingkap ke atas. Aku tidak menjawab, hanya bisa menangis tersedu-sedu, kemudian pergilah Adi dari hadapanku. Aku coba merapikan kerudungku dan mencoba memberdirikan sepedaku, kukayuh sepedaku cepat-cepat sembari terus-menerus menangis sepanjang jalan pulang ke rumah.     Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam kamarku tanpa mengeluarkan sepata kata pun. Aku menangis tersedu-sedu di sana. Hal itu membuat mamaku terheran melihatku pulang tanpa sepata kata pun sembari menangis langsung memasuki kamar, tak lama setelah aku memasuki kamar ada suara ketukan pintu kamarku terdengar memecah tangisku hari itu.     “Ila, kamu kenapa?” Ucap Mama di balik pintu kamarku. Aku buka pintu kamar dan mempersilahkan Mama masuk kamarku.     “Aku tadi habis disiksa sama temenku Ma, sepedaku ditendang dan kerudungku ditarik, karena aku melaporkannya ke guru BK akibat dia merokok di kelas.” Jawabku sembari terengah-engah menahan tangis.     “Sudah, kamu enggak perlu menangis, apa yang kamu lakukan sudah benar, memang orang benar banyak musuhnya.” Ucap Mama sembari memeluk dan mengusap air mataku.     Kisah kelam masa SMPku tidak berhenti sampai di situ, keesokan harinya di sekolah, Adi berteriak di depan kelas.     “Ehh, jauhi Ila, dia tukang ngadu ke guru! enggak asyik anaknya!” Teriak Adi membelah keramaian kelas waktu itu. Aku sedih dan menangis saat itu, banyak temanku yang percaya dengan omongan Adi, dan mereka perlahan-lahan menjauiku mereka enggak mau berteman denganku. Selepas itu semakin banyak hal buruk aku alami, mulai dari tasku dimasukan tong sampah, tasku diisi pasir dan batu bata sampai bolong. Hampir setiap hari aku pulang sekolah sembari menangis, dan itu aku alami selama tiga tahun di SMP. Beruntungnya aku masih memiliki tiga orang sahabat dekatku selama SMP, mereka adalah Ani, Lala, dan Fita. Mereka bertigalah yang selalu membela serta menguatkanku menghadapi banyaknya ujian pertemananku selama SMP.     Pengalaman pahit kisah hidupku tersebut bukan pertama kalinya terjadi, sewaktu SD aku punya teman bernama Rahayu, dia lahir di keluarga broken home, orang tuanya semenjak ia kecil sudah bercerai, ia sekarang tinggal bersama Papanya. Kami sudah saling dekat seperti sahabat, ia sering kuajak main dan menginap ke rumah, hingga suatu saat ia iri melihat keharmonisan keluargaku. Saat itu dia mulai menyiksaku secara fisik dan psikis, hampir setiap kita main aku sekalu dipukuli olehnya. Aku enggak berani cerita ataupu mengadu ke orang tuaku atas apa yang dia lakukan kepadaku, hingga suatu saat ketika aku lelah dengan perlakuannya, aku coba tanyakan apa alasan dia melakukan itu semua kepadaku.     “Ayu, kamu kenapa kayak gini ke aku? Aku salah apa?” Tanyaku sembari merasa kebingungan ke Ayu.     “Aku iri dengan keluargamu, aku ingin menghilangkanmu dan menggantikan dengan diriku, Aku ingin punya keluarga kayak keluargamu.” Jawab Ayu sembari mengarahkan jari telunjuknya ke mukaku.     Aku tidak percaya orang yang aku anggap sahabat dan sangat aku pedulikan pada saat itu berbuat demikian terhadapku. Saat itu aku memutuskan untuk menjauhi Rahayu, aku merasa kecewa, stress, kalut dan hampir tiap malam tidurku tidak tenang, karena memikirkan itu, sampai-sampai dalam fikiranku berbicara sendiri dan muncul suara-suara yang terus menyalahkanku.     “Dasar enggak berguna! tidak ada yang mau berteman denganmu!”  Begitu kalimat yang muncul mengganggu dalam fikiranku. Membuatku pusing hingga aku pernah membenturkan kepalaku ke tembok kamarku untuk sekedar menghilangkan rasa sakit di kepalaku yang sangat menyiksa. Akhirnya selepas mengalami peristiwa tersebut, aku menjadi hati-hati dalam memilih teman atau sahabat, yang akhirnya membuatku saat itu sangat jarang memiliki seorang teman. Begitu juga semasa SMP aku mengalami hal yang sama buruknya, aku juga enggak memiliki banyak teman, dijauhi, dimusuhi, dan hampir tiap hari pulang sekolah aku menangis, sampai suatu ketika di tengah malam aku terbangun dari tidurku karena kepalaku merasa pusing, seakan dalam fikiranku penuh dengan bisikan-bisikan yang membisikkan kepadaku.     “Kamu gak berguna! mending mati saja!” Kata bisikan yang muncul dalam fikiranku tersebut berbentuk gambaran ungkapan dari sosok temanku Rahayu dan teman SMPku Adi.     Saat itu aku tanpa sadar beranjak dari tempat tidurku, melangkahkan kaki ke luar kamar dan ke dapur mengambil pisau, untuk aku goreskan ke tanganku. Sudah sempat pisau itu menempel dan sedikit menggores lenganku hingga berdarah, dari belakang aku merasakan ada tepukan tangan di pundakku, sembari terdengar suara.     “Ila, kamu sedang apa?” Ucap Mama keheranan melihatku tengah malam terbangun di dapur. Suara dari Mama ibarat malaikat yang sedang menamparku untuk sadar, dan alhamdulillahnya saat itu juga aku tersadar sebelum pisau lebih dalam melukai tanganku. Cepat-cepat kusembunyikan luka di tanganku dari Mama agar Mama tidak melihat luka di tanganku sembari aku bilang.     “Ehh, Mama…anu...enggak Ila hanya haus mau bikin minum.” Jawabku sembari terbata-bata kebingungan serta buru-buru menyembunyikan luka goresan di lenganku.     Orang tuaku tidak pernah tau kondisiku yang sering membenturkan kepalaku ke tembok atau melukai tangan dengan pisau, aku tidak pernah menceritakan semua itu kepada mereka, karena aku khawatir mereka stres karenaku. Keluargaku sudah banyak masalah, kita bukan keluarga yang kaya, Bapakku kerja serabutan di percetakan dengan gaji harian, Mamaku hanya jualan jajanan sekolah di depan rumah yang penghasilannya tidak menentu. Aku enggak mau menambah beban fikiran mereka dengan kondisiku.     Tiga tahun aku jalani masa SMPku dengan segala dinamikanya, tak terasa aku sudah berada di masa kelulusan sekolah, nilai ijazahku tidak buruk, aku berhasil masuk 10 besar di angkatanku. Hal itu membuatku percaya diri bisa masuk ke sekolah pilihanku yaitu SMK NESTA, sekolah SMK favorit di kota. Aku sampaikan saat itu keinginanku kepada Mama, kuhampiri Mama yang sedang duduk menonton TV, aku duduk di sebelah beliau.     “Ma, aku ingin masuk SMK NESTA ambil jurusan multimedia, aku daftar sekolah di sana ya?” Ucapku sembari sandarkan kepalaku di pundak Mama.     “Jauh amat sekolahnya? Mending cari yang deket rumah aja, kamu kalau sekolah di sana mau naik apa? Naik angkot juga mahal, mending di SMK LANTERA saja deket?” Jawab Mama sembari memegang remot TV.     “Kalau di SMK LANTERA jurusannya enggak aku sukai Ma dan enggak cocok denganku.” Sahutku pelan memelas ke Mama.     “Kamu kan belum menjalaninya, coba kamu jalani aja dulu sekolah di SMK LANTERA, lama-kelamaan nanti kamu akan suka.” Ucap Mama sembari membetulkan sandaran kepalaku yang mulai menurun.     Aku bisa memahami kondisi orang tuaku yang melarangku sekolah di SMK NESTA, sekolah pilihanku. Masalah mereka adalah dikarenakan kesulitan biaya untuk transport keseharianku ke sekolah karena jaraknya jauh dari rumahku, sehingga mahal di transport, selain itu juga orang tuaku juga khawatir jika aku sekolah jauh dari rumah. Aku bisa memahami kondisi tersebut karena bagaimanapun aku enggak mau membebankan atau merepotkan orang tua yang sedang kesulitan, akhirnya aku menuruti keinginan mereka untuk daftar sekolah di SMK LANTERA.     Keesokan harinya sembari berjalan kaki, karena memang jarak rumahku dengan sekolah hanya 10 menit jika jalan kaki, aku dan Mama pergi melihat-lihat SMK LANTERA, sekolah yang hendak aku tuju, dengan raut wajah terpaksa dan semangat apa-adanya aku langkahkan kaki beriringan dengan Mama menuju SMK LANTERA. Sesampainya di sana aku dan Mama berkeliling melihat semua fasilitas yang ada dan juga melihat satu persatu stand jurusan yang dipamerkan di sekolah, mata dan langkah kakiku terus berkeliling dari satu stand ke stand yang lain melihat-lihat mana jurusan yang cocok denganku nantinya. Setelah agak lama berkeliling stand langkahku terhenti di stand jurusan farmasi klinis dan komunitas, di sana mataku tertarik melihat penjelasan jurusan yang disampaikan dengan baik oleh salah seorang penjaga stand tersebut, akhirnya aku putuskan untuk memilih jurusan farmasi klinis dan komunitas, dan saat itu Mamaku juga menyetujuinya, akhirnya setelah itu kami kembali ke rumah untuk mempersiapkan berkas pendaftarannya yang akan di kumpulkan keesokan harinya.     Keesokan harinya aku yang masih ditemani oleh Mama langsung bergegas pergi ke SMK LANTERA untuk mendaftarkan diri. Aku mendaftar di jurusan Farmasi klinis dan komunitas, aku jalani setiap tes masuk sekolahnya mulai dari tes kesehatan hingga tes potensi akademik dengan lancar, walaupun setengah hati. Seminggu kemudian keluarlah hasil pengumuman penerimaan siswa baru di SMK LANTERA, aku bergegas jalan kaki pergi ke sekolah, kali ini aku pergi sendirian karena Mama sedang jualan, sesampainya di SMK LANTERA aku melihat papan pengumuman yang diletakkan di tengah lapangan, aku amati satu persatu kertas yang menempel pada papan pengumuman, aku mencari namaku ternyata ada di sana di barisan ke sepuluh paling bawah jurusan Farmasi klinis dan komunitas, tandanya aku diterima sekolah di sana.     “Alhamdulillah…” Hanya kalimat singkat itu yang muncul dari mulutku tanpa ditambahi ekspresi bahagia, karena itu bukan sekolah pilihanku, kataku dalam batinku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD