Kisah Mutmainnah

1920 Words
Kutabumi, 2 juli 2008     Siang itu lantunan surat Al-Kahfi yang aku bacakan mampu menyejukkan teriknya matahari di luar kelas tempatku menjalani ujian praktikum akhir kelas 3 SMP di SMPIT Al-Ijtihad 2 yang sangat terik menusuk kulit, sejak TK, SD dan SMP aku selalu bersekolah di sekolah Islam, tiap hari disuguhkan dengan berbagai pelajaran agama, mulai dari fiqh, al-Hadist, hingga tahfidz Al-Qur’an sudah menjadi santapanku di sekolah.     Orang tuaku dulu yang mengarahkan aku untuk bisa sekolah di sekolah Islam, supaya aku bisa memiliki pondasi agama yang kuat dalam hidup, dan tidak mudah terbawa dengan pengaruh negatif pergaulan di luar sana. Maklum, aku adalah anak satu-satunya di keluargaku, Umiku hanyalah ibu rumah tangga, sedangkan Abiku bekerja di salah satu pabrik sebagai teknisi dengan gaji UMR, hidup kami Alhamdulillah serba kecukupan, tidak kaya dan tidak kekurangan.     Sekolah dengan fokus di agama sejak kecil membuatku memiliki banyak wawasan tentang keagamaan, bahkan waktu SD aku sudah mampu menghafal Al-Qur’an juz 30, baru ketika SMP aku mulai menghafal surat-surat di Al-Qur’an Alhamdulillah selama 3 tahun di SMP aku sudah hafal 10 juz Al-Qur’an. Selain itu juga diriku punya hoby bermain musik, khususnya gitar, benda yang tidak pernah terlepaskan dalam kehidupanku, karena hanya dengan bermain gitar yang mampu membuat kehidupanku sedikit terasa lebih bersuara, maklumlah aku hanya anak tunggal di rumah, Setiap aku pulang sekolah aku mainkan gitarku untuk membuat suatu instrument dan cover lagu-lagu Islami, sudah banyak instrument dan cover lagu yang aku ciptakan selama ini. Namun aku hanya bisa memainkan gitarku ketika berada di rumah, sedangkan selama di sekolah aku sama sekali tidak pernah membawa atau bahkan memainkan gitar kesayanganku, hal itu dikarenakan dalam sekolahku selama di SMP memiliki pandangan jika musik itu diharamkan dalam agama Islam dan suara wanita itu merupakan sebuah aurat, sehingga wanita tidak boleh menjadi seorang penyanyi, hal tersebutlah yang sempat membuatku berdebat hebat dengan Ustadzahku di sekolah, kala itu aku sedang berada pada pelajaran fiqh agama Islam yang kebetulan membahas tentang musik, Ustadzahku saat itu membuka pelajaran fiqh dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa.     “Dari kalian apakah ada yang suka bermain musik atau menyanyi?” Tanya Ustadzah kencang di kelas.     “Saya Ustadzah.” Sahutku cepat karena musik sudah menjadi bagian hidupku.     “Menurut kamu bagaimana Islam memandang musik? Apakah dibolehkan atau dilarang?” Tanya Ustadzah kepadaku sembari seluruh teman sekelasku memusatkan padangannya kepadaku.     “Bagi saya Islam merupakan sebuah agama yang rahmatanlil alamin, agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. Begitu juga dengan musik, Musik mampu memberikan banyak kemaslahatan bagi banyak orang, jadi menurut saya jika musik mampu membawa banyak kemaslahatan, secara tidak langsung Islam membolehkannya Ustadzah.” Jawabku menjelaskan tentang pandanganku tentang musik dengan percaya diri.     “Kamu salah, kalian semua tau bahwa Islam sangat mengharamkan musik. Bagi sebagian ulama maupun di Al-Qur’an bahkan Hadist terdapat banyak larangan tentang musik, karena musik mampu melalaikan manusia serta dahulu sejarahnya musik digunakan sebagai bahan olok-olokan untuk menjatuhkan umat Islam beserta ajarannya. Jadi kalian yang sekarang suka bermain musik atau suka bernyanyi, harus menghentikan semua aktivitas tersebut karena dalam Islam itu di Haramkan.” Ujar Ustadzah membantah argumentku.     “Ustadzah ambilkan satu contoh kutipan ayat di dalam Al-Qur’an yang terdapat larangan tentang musik yang terdapat pada surat Lukman ayat 6 “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” Tambah Ustadzah menguatkan argumentasinya.     “Mohon maaf Ustadzah, saya punya dua pertanyaan tentang argumentasi Ustadzah tentang musik, boleh saya menyampaikannya?” Tanyaku agak sedikit kesal kepada Ustadzah yang menganggap aktivitas kesukaanku dianggap haram dalam agama Islam.     “Baiklah boleh, silahkan apa yang ingin kamu tanyakan Innah?” Ucap Ustadzah sembari mempersilahkanku untuk menyampaikan argumentasiku.     “Terima kasih Ustadzah atas kesempatan serta waktunya buat saya, saya ingin menyampaikan pertanyaan pertama saya yaitu dalam buku sejarah yang pernah saya baca, saya pernah tau bahwa dahulu para sahabat Nabi yang menyambut kedatangannya Nabi ke Madinah, mereka menyambut Nabi dengan menggunakan alat musik rebana, bukankah itu sebagai bukti bahwa Nabi pun juga membolehkan untuk bermain musik? Kemudian pertanyaan saya yang kedua adalah Islam sangat mengindahkan tentang kebermanfaatan atau rahmatanlil alamin, seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih, musik semakin memberikan banyak manfaat bagi kehidupan, seperti dalam dunia kesehatan bisa juga sebagai terapi atau bahkan ada penelitian yang mengatakan bahwa musik juga baik untuk anak dalam kandungan, nah menurut saya dengan banyaknya manfaat yang didapatkan dari musik harusnya itu sejalan dengan tujuan Allah menurunkan ajaran Islam di muka bumi ini. Mohon maaf sebelumnya Ustadzah, saya memang fakir ilmu tentang studi tafsir Al-Qur’an, sehingga saya tidak punya kapasitas untuk menyangga pendasaran Ustadzah tentang surat Lukman ayat 6 tersebut, yang saya bisa lakukan adalah mencoba untuk menalar kelogisan menggunakan akal saya dengan dua pertanyaan tersebut yang menurut saya sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Ustadzah.” Jawabku panjang lebar mencoba untuk membantah argumentasi Ustadzahku kala itu.     “Ohh, kalau rebana itu musik Islami jadi ya itu dibolehkan, makanya Nabi tidak melarangnya sedangkan musik lainnya seperti POP, dangdut, dan lain sebagainya itu yang diharamkan. Dan yang kedua ini yang jadi kesalahan kamu Innah, bahwa memahami Islam itu tidak boleh menggunakan nalar atau akal, itu akan bisa menyesatkan kita. Jadi ya kita kembalikan aja kepada Al-Qur’an Allah melarang apa tidak. Jadi sudah jelas ya bahwa di Al-Qur’an Allah mengharamkan kita untuk bermusik.” Ucap Ustadzah sembari agak sedikit marah dengan sanggahanku.     “Kenapa harus dibagi musik Islami dan Musik yang tidak Islami? Bukannya jika yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah musik, maka harusnya seluruh hal yang berbau musik harus dilarang tanpa terkecuali.” Jawabku ketus kepada Ustadzah.     “Innah cukup, astaugfirullahal adzim. Istighfar Innah, kamu sudah melampaui batas.” Bentakan Ustadzah atas argumentasiku. Hari itu merupakan hari yang sangat tidak mengenakan bagiku, pertanyaanku belum dijawab secara memuaskan oleh Ustadzahku, hingga sampai sepulangku ke rumah fikiranku masih berkelana mempertanyakan tentang apa yang sebelumnya kita bahas dalam kelas fiqh tentang musik yang merupakan hal yang sangat aku sukai, sempat terbesit dalam fikiranku.     “Apa benar ya Islam melarang kita bermusik? Lantas bagaimana dengan hobiku? Kenapa Allah memberikan kelebihan kepadaku dalam bidang musik? Jika toh Allah sendiri melarang kita bermain musik?” Pertanyyan yang terus berputar-putar dalam fikiranku tanpa tau jawabannya.     Hari-hariku berlalu begitu sulit kala itu, pertanyaan tersebut selalu muncul dalam fikiranku selama SMP, sampai yang awalnya aku produktif dalam bermusik menjadi berhenti total karena khawatir jika benar musik diharamkan dalam agama Islam ketika aku menjalankan atau bermain musik maka aku sedang mendapatkan sebuah kedosaan yang besar. Musik yang awalnya menjadi teman dikala kesepianku saat itu enggan menemaniku, hidupku serasa hampa tanpa musik dan karya hanya menjalankan rutinitas biasa seperti remaja pada umumnya.     Tanpa terasa saat ini sudah 3 tahun sekolah SMP aku jalani, kini aku sudah berhasil lulus dari SMP dengan hasil dan bekal yang memuaskan. Aku senang dan nyaman bisa bersekolah di sekolah Islam, karena saya bisa terjaga dalam ketaatan berperilaku serta bertutur kata, namun tetap kesenanganku selama di SMP menghadirkan sisa luka atas pertanyaan mengenai musik yang belum terjawab dalam fikiranku. Karena kenyamananku dalam menjalani kehidupan serta interaksiku dalam sekolah Islam oleh karenanya setelah lulus SMP aku punya keinginan masuk pesantren guna melanjutkan fokus pendidikan agamaku. Keinginan ini aku coba untuk mengkomunikasikannya kepada Abi dan Umiku, saat itu hari Minggu pagi Umi dan Abi sedang duduk-duduk di meja tamu, sembari Abi membaca koran dan Umi lagi asyik dengan HP di tangannya, aku beranikan diri untuk menyampaikan keinginanku kepada Abi dan Umi. Kuarahkan langkah kakiku menuju ruang tamu tempat Abi dan Umi berada, sesampainya di ruang tamu aku duduk di sebelah Umi.     “Abi…Umi…Inah kan sudah selesai sekolah di SMP, Inah mau lanjut ke pesantren ya?” Ucapku sembari tangan sebelah kananku memegang pundak Umi dan sebelah kiri memegang tangannya Abi.     “Mau lanjut ke pesantren mana? Masuk pesantren biayanya mahal nak.” Sahut Abi yang dibalas anggukan kepala Umi.     “Impian Inah pingin masuk Gontor atau Langitan Abi, Umi, di sana pesantrennya bagus.” Ucapku sembari berharap Abi dan Umi mau menerima keinginanku.     “Inah, keinginan kamu untuk bisa terus belajar agama sangat bagus, Abi dan Umi bangga kepadamu, cuman Abi dan Umi sekarang sedang sulit secara ekonomi karena kita habis renovasi rumah, jadi untuk saat ini Abi dan Umi tidak sanggup untuk biayai kamu kalau masuk pesantren, kamu sekolah di sekolah negeri deket sini aja ya Inah yang masih terjangkau.” Ucap Umi sembari meletakkan HP dari tangannya ke meja dan mengelus kerudungku.     “Tapi…Abi…Umi…Inah kan selama ini belum pernah sekolah umum atau negeri, nanti kalau Inah kesulitan adaptasinya bagaimana? Sedangkan Inah sudah nyaman sekolah dengan fokus agama.” Jawabku lirih memelas sembari sesekali membenarkan kacamataku yang agak miring.     “Insaya Allah kamu nanti akan bisa terbiasa, mungkin di awal akan sangat sulit bagimu, namun Abi dan Umi percaya kamu bisa melewatinya.” Ucap Abi sembari melipat koran bacaannya sembari memajukan mukannya menatapku dalam-dalam.     “Baiklah Abi, Umi, kalau memang begitu Inah akan mencobanya.” Jawabku dengan setengah yakin.     Aku bisa memahami kenapa orang tuaku tidak menyanggupi keinginanku masuk pesantren karena saat itu memang keluarga kita sedang ada banyak pengeluaran besar terutama habis renovasi rumah, karena rumah yang sebelumnya kami tinggali sudah rapuh atapnya. Lusa aku sama Umi berangkat menuju SMK LANTERA, sekolah paling dekat dengan rumahku secara jarak tempuhnya, aku bonceng Umi naik motor mio warna merah kesayanganku. Sesampainya di sekolah langkah kakiku agak berat melangkah, karena ini pertamakalinya aku sekolah di sekolah umum, membuatku dipenuhi kekhawatiran akan pengaruh lingkungan pertemananku nantinya. Pelan langkah kakiku mengamati sekitar sekolah, berkeliling stand jurusan yang sedang berjejer rapi dilapangan sekolah, aku dan Umi mendengarkan setiap penjelasan dari beberapa guru yang mendemonstrasikan masing-masing jurusan, dari kelima jurusan yang ada di SMK LANTERA aku tertarik dengan jurusan keperawatan, karena bagiku menjadi perawat bisa menolong orang sakit, sesuai dengan anjuran agama supaya kita bisa tolong-menolong dan bermanfaat bagi banyak orang. Saat itu juga aku mendaftarkan diri di jurusan keperawatan, aku sama Umi kala itu datang ke SMK LANTERA di hari terakhir masa pendaftaran sekolah, karena sebelumnya sedang mengumpulkan niat serta masih ada perdebatan antara pilihan masuk pesantren atau sekolah umum, untungnya saat itu aku sudah membawa semua berkas yang disyaratkan untuk pendaftaran sekolah, akhirnya setelah aku menentukan jurusan yang akan aku pilih, buru-buru aku langsung serahkan berkas pendaftaran yang sedang aku bawa saat itu. Besoknya aku harus langsung menjalankan tes selesksi penerimaannya, karena aku masih setengah hati dan masih dipenuhi kekhawatiran memasuki sekolah umum, aku mempersiapkan tes masuknya pun dengan seadanya. Keesokan harinya tibalah waktunya memulai rentetan tes masuk yang harus aku jalani seperti tes kesehatan hingga tes potensi akademik, walaupun aku menjalani rentetan tes tersebut dengan lancar, akan tetapi hatiku terasa masih sangat berat, entah aku pun juga tidak mengetahui kenapa aku masih bisa merasa seperti itu.     Malam harinya pun selepas aku menjalani tes masuk, aku masih membayangkan tentang konsekuensi apa saja yang nantinya akan aku jalani ketika untuk pertamakalinya aku bersekolah di sekolah umum. Hingga sempat dalam hati berharap supaya agar tidak keterima di sekolah SMK LANTERA, agar aku masih memiliki kesempatan untuk masuk pesantren atau setidaknya bisa masuk sekolah Islam seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi ternyata Allah berkata lain, seminggu selepas menjalani tes masuk, pengumuman penerimaan siswa baru SMK LANTERA sudah keluar, aku pergi ke SMKN LANTERA ditemani Umi untuk melihat hasil pengumuman penerimaan siswa baru, sesampainya di sekolah aku dan Umi langsung menuju ke papan putih yang berada di tengah lapangan untuk melihat hasil penerimaannya, aku amati satu persatu kertas yang menempel di papan dan aku melihat namaku tercantum di papan pengumuman penerimaan siswa baru pada jurusan Keperawatan. Antara senang dan khawatir perasaanku saat itu bercampur aduk, aku masih khawatir ketika aku masuk sekolah umum akan terbawa dengan pergaulan yang negatif.                 “Mudah-mudahan kekhawatiranku ini tidak terjadi nantinya.” Bisikku dalam hati berharap yang terbaik kedepannya ketika aku bersekolah di sini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD