Serba Dadakan

3245 Words
“Ciye direbutin tiga terong.” Mendengar celetukan Dierja, aku menoyor kepalanya. Karena tak mau tenggelam dalam perasaan yang syahdu dan dramatis, maka kuputuskan untuk pulang bersama Dierja. Saudara kembar keparatku yang sama sekali tak ada miripnya denganku dari segi fisik—kata orang-orang, wajahku mirip Mama, sedangkan Dierja mirip Papa—sehingga tak jarang orang mengira kami pacaran tiap jalan berdua. “Kamu ngapain ke sini? Jemput Angel? Bawa aja deh dia. Kalau aku ngurusin Angel tiap hari, aku nggak nikah-nikah, Ijah!” “Bawel amat. Nyantai, kingkong jelek. Aku ke Jakarta bukan jemput Angel, tapi ada proyek. Kalau aku bawa Angel pulang ke Jogja, modar aku. Papa pasti mbedil Angel sampai mati.” “Ya kamu ngapain sih pelihara uler segala. Kayak nggak ada binatang piaraan lain aja yang lebih unyu.” “Selain Angel? Kan udah ada.” Kupandang ia. “Apaan?” “Kamu.” Ia cengengesan. Aku menoyor kepalanya lagi sampai membuatnya mengaduh kesakitan. Jeep-nya melaju perlahan di jalanan macet Jakarta yang sumpek dan bising. Aku menghidupkan radio sekadar mengusir penat. Lantas, kuingat kejadian tadi. Ingatanku memilah di antara potongan ingatan lain, yakni saat Sabda menyebutku ‘tunangannya’ di depan Iota. Mengingatnya malah membuatku menyengir. Dua jam kami baru sampai di rumah kontrakanku. Jeep Dierja diparkir di pekarangan depan. Saat aku keluar dan melayangkan pandangan menuju rumah Sabda, aku dibuat penasaran, apakah ia sudah pulang atau belum. Kalau belum, aku jadi tak enak hati. Kok cuma mikirin Sabda, sih? Pikirin Nara sama Iota, bego. Benakku mendesis kesal. Menggelengkan kepala, aku melenggang masuk ke dalam. Kubuka pintu, memberi ruang pada Dierja yang langsung nyelonong mencari keberadaan anak kesayangannya, Angel. Aku menunjukkan tempat Angel padanya. Ia berseru lantang menyebut nama Angel, membuat bola mataku berputar. “Angel, Daddy’s coming!” Biar ia mencari kamar tidur sendiri. Aku melangkah menuju kamarku, meletakkan tas dan berganti baju. Kelambu kusibak sekadar melihat rumah Sabda. Tak ada tanda-tanda keberadaan mobilnya melintasi jalanan kompleks yang sepi. Kuhela napas pendek.   *   Dierja sudah asyik dengan Angel di depan televisi. Ia meletakkan ular tersebut di atas bantal di pangkuannya, seakan-akan hewan melata tersebut memang menyatu dengan darahnya. Bahkan, saudara kembar gilaku itu tak segan-segan mengajak ngobrol Angel. Ketika duduk di sebelahnya, aku ikut merogoh pop corn yang—sepertinya—ia curi dari lemari persediaan makananku. Dierja menepuk punggung tanganku. “Aw! Ini pop corn-ku.” “Bikin sendiri sana.” Sudut bibirku terangkat kesal. Mengabaikan televisi yang menayangkan film barat, aku memandang ponsel. Jemariku menggulir layar, membuka-buka akun media sosial. Saat iseng mencari i********: dengan nama Iota Rho, aku melihat postingan terakhirnya yang dibagikan sekitar enam hari lalu. Foto sebuah buku terbuka di meja dekat secangkir kopi. Ada komentar paling mencolok di antara ribuan komentar dari fansnya. IndaraDahlia: Happy birthday buat teman sepenulis. Ke mana nih? Kok dihubungi nggak bisa? Padahal pengen videocall. Maaf ya nggak bisa rayain sama-sama. But much love from Greek! xoxo Barulah aku teringat ucapannya pagi tadi, tentang ajakannya pergi. Sebelah alisku terangkat, berusaha mengenyahkan pikiran yang sempat mampir. Iseng, aku membuka profil Indara Dahlia yang rupanya seorang penulis-aku baru tahu, loh. Dari foto-fotonya, tampaknya ia tinggal di Yunani. Ada fotonya bersama laki-laki dan balita. Sudah pasti perempuan ini sekadar teman menulis bocah tengik itu. Loh, kok aku malah peduli, sih? Aku kembali ke akun Iota. Ada pembaruan Snapgram yang diunggah. Karena kadar kekepoanku amat sangat tinggi, maka kubuka Snapgram tersebut. Lagi-lagi hanya mengunggah buku di keremangan lilin. Aku mengamati postingan tersebut selama beberapa detik. “Aku pergi dulu, ya.” “Mau ke mana?” Dierja memandangku penuh selidik. “Ada urusan kerja. Bentar. Nggak bakal pulang malam, kok.” Tanpa menunggu balasannya, aku melompat dari sofa, berlari menuju kamar untuk mengambil jaket, lantas melesat pergi. Dari belakang, Dierja berseru menawarkan tumpangan, namun aku menolak dengan mengatakan sudah telanjur dijemput taksi daring. Aku hanya tak mau mendengar cerocosannya kalau ketahuan menemui bocah yang tadi menimbulkan keributan di depan kantor. Begitu mobil datang, segera kuminta sopir mengantarku ke alamat yang kutemukan di kotak surelku.   *   Bel sudah kutekan beberapa kali. Hingga detik ini, aku belum mendapatkan sambutan dari si empunya rumah. Jangan-jangan ia pergi? Kuhela napas pendek. Ketika selenting pikiran muncul di kepala memintaku pergi, pintu dibuka. Aku menyengir melihat Iota yang menatapku bingung. “Ngapain lo ke sini?” tanyanya ketus. “A-anu....” Ia menyeret tanganku masuk ke dalam. Pintu ditutup kasar, membuatku melompat sedikit. Kupandangi keadaan rumahnya yang sudah gelap dan sepi. Hanya ada lilin di tengah-tengah meja yang membuat dahiku mengernyit. “Ah, biasa. Ritual bacaku harus dramatis. Biar merasuk ke dalam sukma,” katanya, membuatku mendesis. “Eh, lo ngapain malem-malem ke sini? Tahu alamat gue dari mana?” “Mikir dikit, kek. Lo yang ninggalin alamat rumah di CV buat penerbit.” Ia berdecak, mungkin memaki ketololannya. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas. Sebelum datang ke sini, aku sempat mampir ke toko buku untuk membeli Diary of a Wimpy Kid karangan Jeff Kinney—juga pita yang kulilitkan. Kuserahkan buku tersebut padanya. “Maaf ya sikap gue tadi kayaknya ngeselin. Nih, buat lo.” Cowok itu malah menyengir. Walau terlihat meremehkan hadiah dariku, ia masih bersedia menerimanya. “Gue mah udah punya semua serinya. Ya udah, deh. Makasih.” “Mana gue tahu lo ngoleksi buku itu juga.” Iota meletakkan buku pemberianku di meja tempatnya membaca. Tak adakah tempat lain selain meja makan? Kurasa, dengan rumah sebesar ini, ia punya tempat khusus untuk membaca. “Apa? Gue punya tempat khusus buat baca,” katanya seolah berhasil mengintip isi kepalaku. “Terus ngapain gelap-gelapan di sini?” “Buat Insta Story doang. Biar kelihatan lebih misterius.” Ia menjentikkan jari. “Lo pasti abis ngintip Insta Story gue, ya?” “Nggak....” Aku mengaitkan rambut ke belakang telinga. “Awas ya kalau gue nemu nama i********: lo di sana gue.” Aku mendesah pendek, mengakuinya melalui ekspresi jengkelku. Mengamati rumahnya yang sunyi, aku jadi merasa kasihan padanya. Baru kuingat kalau ia pernah mengatakan ibunya sudah meninggal. Lantas, di mana ayahnya? Padahal, momen seperti ini tak seharusnya dirayakan sendiri. Jika mengingat hari ulang tahunku sendiri, aku cukup bersyukur. Selalu ada teman atau keluarga yang tiba-tiba memberikan kejutan. “Lo sendirian di sini?” “Menurut lo?” sinisnya lagi. Ia duduk di kursi, membaca bukunya lagi. Tanpa diberikan izin, aku duduk di kursi terdekat. “Bokap lo ke mana?” Bahunya dikedikkan tak acuh. Aku menghela napas panjang. “Tahu gitu gue bawa kue. Kita bisa tiup lilin di sini.” “Pulang sana. Nanti dicariin tunangan lo.” Aku menautkan alis. Ia sama sekali tak memandangku. Perhatiannya terpaku pada buku di tangannya. Ekspresi wajahnya yang datar tertangkap cahaya temaram lilin. “Tadi kan lo yang minta gue nemenin sepulang kerja.” “Terus mau, gitu?” Wajahnya diangkat. “Cewek macam apaan yang udah punya tunangan mau jalan sama cowok lain? Malem-malem, lagi.” Bibirku mengerucut kesal. Padahal aku dan Sabda saja tak ada hubungan apa-apa. Kalau kukatakan yang sejujurnya, ia akan mencemoohku. “Gue kira kita bisa jadi temen di luar profesionalitas kerja.” Ia memandangku. Sangat datar. “Aku ngebatesin diri antara privasi sama kerjaan. Pergi sana.” Aku beranjak berdiri. “Nyesel gue dateng ke sini.” Kulenggangkan kaki meninggalkan meja. Baru beberapa langkah, namaku dipanggil, membuatku berhenti. “Makasih ya bukunya. Lo nggak seharusnya datang karena kasihan.” Menoleh ke belakang, ia tak lagi memandangku, malah bertekur dengan buku. Aku mengembuskan napas kasar, melangkah keluar dari rumahnya.   *   “Dasar berengsek. Gue jauh-jauh datang ke rumahnya malah diperlakuin kayak gitu,” aku menggerutu pada diri sendiri begitu keluar dari mobil. “Lo nggak seharusnya datang karena kasihan....” Mendadak ucapannya itu membuatku berhenti. Aku memejamkan mata dan memukul dahi berkali-kali, mengutuk diri sendiri. Kurasa, ia sedikit tersinggung karena pertanyaanku. Astaga, Nuansa, kapan sih lo berhenti bertindak ceroboh? Mulut tuh dijaga, jangan asal jeplak kayak ikan tombro keabisan oksigen. Benakku menyalahkan berkali-kali. Aku memukul kepala dan melangkah lesu. Saat tanganku hendak meraih kenop, pintu dibuka. Alih-alih kenop, aku malah menyentuh d**a seseorang. Kepalaku terangkat, langsung bersipandang dengan sepasang mata Sabda. Spontan, aku menurunkan tangan dan menelan ludah. Ia memberiku ruang untuk masuk ke dalam. Pintu kututup dari belakang. “Baru pulang?” tanyanya, masih dengan suara yang sopan. “Eh... iya. Aku ada urusan tadi.” Kugaruk leher belakang menutupi nada cemasku. Senyum tersungging manis di bibirnya. “Tadi aku kirim pesan banyak di hape kamu.” “Oh, ya?” Buru-buru kubuka w******p dan melihat pesan yang menumpuk. Memang, sengaja kumatikan notifikasi aplikasi ini. “Duh, maaf, ya.” “Kayaknya kamu sibuk banget.” “Eng-enggak kok. Aku memang mematikan notifikasi.” Dierja melongok dari belakang. Kulihat ia sedang memberi gestur menjijikkan dengan memeluk dirinya sendiri dan menampilkan wajah m***m. Mataku memelotot ke arahnya. Terlebih saat ia memonyongkan bibir seperti sedang mencium. Aku mengulum bibir, meremas tangan. “Yang penting kamu sudah ada di rumah.” Lagi-lagi ia tersenyum. Tangannya terulur, tampak ragu-ragu, lantas mendaratkannya di puncak kepalaku. Ia menepuk-nepuk puncak kepalaku, sangat lembut, membuat ususku tiba-tiba melilit. Kalau panik atau gugup, kadang aku jadi ingin boker. Syukurlah, Sabda menurunkan tangannya. Sehingga keinginanku untuk boker karena gugup lenyap sudah. “Maaf tadi aku bilang kamu tunanganku,” katanya. “Abis, teman kamu tadi kayaknya pemaksa banget. Aku cuma khawatir kamu kenapa-napa.” “Eh, nggak apa, kok. Dia penulisku. Aku emang bertanggung jawab atas naskah barunya.” “Aku nggak mau ganggu kamu malam-malam begini. Kapan-kapan, boleh kan aku ajak pergi?” Nadanya terkesan seperti mengajakku menikah saja. Aku menyengir. Pikiran tak warasku membayangkan yang tidak-tidak. Misalnya, membayangkan ia berlutut dan memamerkan sekotak cincin, mengajakku menikah. “Bagaimana?” Senyumku praktis lenyap mendengar pertanyaannya. Aku mengangguk cepat. “Oke! Asal nggak ngorbanin jam kerja kamu sih nggak masalah.” Kubukakan pintu. Sabda melambai padaku, masih mempertahankan senyum ramahnya. Duh, Gusti, kapan aku disenyumi seperti itu setiap hari? Sabda sudah menghilang dari pandangan. Aku menutup pintu, senyum-senyum sendiri karena gemas. Berbalik badan, kulihat Dierja sedang berakting memperagakanku. “Kamu kapan halalin aku, Mas? Aku udah ditagih kapan nikah, nih. Biar pas lebaran nggak ada lagi yang nanya kapan nikah. KUA yuk, Mas.” “Pekok!” Aku memukul kepalanya. Dierja cengengesan melihat wajah memerahku. “Tadi kita sempat ngobrol panjang berdua sambil nonton film.” “Oh, ya? Ngobrolin apa aja?” Mukaku berubah berseri-seri. Dierja mulai bercerita, memutar ulang kejadian tadi-saat aku pergi ke rumah Iota. Bisa kubayangkan bagaimana kejadiannya dalam pikiranku. Mereka berdua duduk bersebelahan, dengan Angel di pangkuan Dierja. Aku penasaran seperti apa ekspresi Sabda. Jadi, kubayangkan wajah kakunya duduk dengan seekor ular piton albino. “Enggak, kok. Mukanya biasa aja pas ketemu Angel. Dia malah sempet megang Angel, loh,” tutur Dierja, menyingkirkan imajinasi tersebut. Alhasil, aku membayangkan Sabda yang memegang Angel. Ini amat sangat jarang terjadi. Sepertinya, baru Sabda yang memberanikan diri berinteraksi dengan Angel. “Aku dukung kamu sama dokter jiwa itu,” kata Dierja sembari menepuk-nepuk pundakku. “Siapa tahu kamu berhenti ngomong sendiri. Aku suruh dia menerapi kamu, ya.” Aku menyikut tulang rusuknya, membuatnya mengaduh. Imajinasiku kembali bermain. Menurut Dierja, ia harus mengetes semua lelaki yang diketahui sedang berhubungan denganku. Walau aku tak mengatakan kalau Sabda menginginkan aku berpura-pura menjadi pacarnya, Dierja bilang ia harus melihat apakah Sabda berpotensi menjadi pendamping hidupku. “Soalnya, dia terlalu sempurna buat ukuran jodoh kamu, Kong. Kayak nggak mungkin banget gitu loh. Ganteng, mapan, pinter, sopan, masa mau sama bayi kingkong?” Ia terbahak-bahak lagi melihat wajahku yang diselimuti kemurkaan. “Terus, dia nggak tanya-tanya soal aku, gitu?” Dierja menyentuh bibir, tampak berpikir. “Aku sih cerita kalau dulu kamu berhenti ngompol waktu kelas 6 SD dan sampai sekarang kalau tidur mangap sambil ngiler.” “DIERJAH KUNING BERENGSEK!” Malam berakhir dengan tendangan dan pukulan bertubi-tubi yang kulayangkan pada saudara kembar keparatku.   *   Menepati janji, kami meluangkan waktu pergi saat akhir pekan. Kupikir, ia akan mengajakku ke tempat-tempat romantis yang sepi. Namun saat kakiku menginjak lantai gedung bertuliskan RSJ Bakti Husada, spontan saja jiwaku seolah melayang. Aku memandang dokter, perawat, dan pasien yang berlalu lalang. Sabda yang tadi berjalan di sampingku mendadak hilang. Aku celingukan mencarinya. Kujelajahi RSJ tersebut, menengok ruang demi ruang. Hingga tibalah aku di sebuah ruang yang sudah dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku berhenti sekadar mengamati kegiatan di dalam ruangan tersebut. Terlihat, seorang perempuan sedang memberikan instruksi pada segerombolan orang yang diminta untuk tenang. “Ayo, Sheila! Ikutin gerakan Kakak!” “Nggak mau! Maunya sama Pangeran! Kamu yang sopan sama aku, dong. Aku Tuan Putri, tahu!” Gadis bernama Sheila itu mengibas rambut, dikipasi dayang-dayang di sekitarnya. Seorang perawat yang berdiri di sampingku bertanya, “Kamu mahasiswi magang, ya?” Aku menggoyang-goyangkan tangan. “Saya....”Aku nyaris menjerit kaget begitu seorang pemuda menodongku dengan senapan pistol. “Angkat tangan! Kamu adalah mata-mata Rusia!” Mataku memelotot kaget. Berniat menghindar, tanganku malah ditarik, diajak masuk ke dalam. “Kakak, Kakak. Aku nemu mata-mata Rusia!” teriak pemuda tersebut pada instruktur yang tampaknya kesulitan mengatur mereka. Gadis yang dipanggil Sheila tadi sontak merangsek maju. “Kamu pasti Ratu Bulbul yang berniat menghancurkan kerajaan kami!” teriaknya. Aku melongo mendengarnya. Ia bersiul memanggil kawan-kawannya yang serentak mengerumun. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung harus bersikap bagaimana. “Duh, Sabda ke mana?” “Tuan Putri, dia menyebut nama Pangeran!” salah seorang pemuda menunjukku histeris. “Sudah kuduga, dia adalah Ratu Bulbul! Pasukan, serbu!!!” Hendak diserbu gerombolan orang di ruangan pembinaan tersebut, aku berlari kabur, memutari instruktur yang mengacak-acak rambut pusing. Instruktur tersebut berusaha menenangkan keadaan, namun lengkingan teriakan orang-orang yang mengejarku itu meredam instruksinya. Sampai akhirnya aku kesal dengan berhenti dan ikut-ikutan berteriak. “BERHENTI!” Serentak, mereka semua berhenti dan bertanya-tanya. Aku mengacak-acak rambut frustrasi. “Kalian belum pernah mendengar kutukan seorang penyihir jahat yang akan menimpa pasukan Es Beku, ya?!” Gerombolan itu saling berpandangan bingung. Sheila yang tampaknya menjadi pemimpin komplotan mengangkat dagu. “Belum, tuh.” “Nah! Kalian harus hari-hati. Jangan sampai kena kutukan penyihir cantik seperti pasukan Es Beku! Kalian tahu aku siapa?” Kupandangi mereka yang makin kebingungan. “Aku lebih jahat daripada Ratu Bulbul. Aku adalah....” Kurendahkan nadaku menjadi hiperbolis, layaknya seorang story teller yang siap mengantar cerita pada anak-anak. “Ratu Shin Minah. Seorang penyihir cantik yang akan menghukum kalian semua!!!” Mereka serempak menggumam: “Hiii....” Sambil menggigil ketakutan. “Ampun, Yang Mulia Ratu. Hamba tidak akan berbuat jahat.” Sheila mengatupkan telapak tangan seperti seorang hamba pada ratu, diikuti yang lain. Aku menahan agar tidak tertawa geli melihat tingkah lucu mereka. “Tenang saja. Aku tidak akan memberikan kutukan pada kalian. Kalian tahu caranya terbebas dari kutukan?” Mereka menggeleng. “Duduk manis, dengarkan Ratu Shin Minah bercerita. Oke?” “Baik, Yang Mulia Ratu!” “Ratu akan menceritakan sebuah kisah tragis....” Melihat pasien pembinaan itu duduk manis mendengarkan aku bercerita, aku pun bersiap memberikan dongeng lengkap dengan gestur hiperbolis. “Suatu hari di kerajaanBumi Datar... ada seorang pangeran yang sedang menempuh perjalanan panjang, di bawah terik matahari, di gurun yang gersang....” “Nama pangeran itu Pangeran Sabda bukan, Ratu? Kalau betul, dia pangeranku!” Sheila melipat tangan di depan d**a. Aku memutar bola mata. “Pangeran Sabda nggak ada di Bumi Datar. Mungkin di Bumi Kotak. Dengerin dulu. Oke?” “Oke!” “Di gurun yang gersang... Pangeran Bara-Bere berusaha mencari istana yang lama menghilang! Menurut cerita, istana tersebut mengurung seorang putri cantik yang dijaga oleh siluman.” “Putrinya namanya siapa? Putri Sheila, bukan?” “Sheila kalau banyak tanya nanti Ratu Shin Minah kutuk, mau?” Sheila memperagakan mulut terkunci dan membuang kunci imajinasinya ke muka teman di sebelahnya. “Putri Simalakama yang dikurung di istana telah menantikan seseorang yang bisa membebaskannya. Berhari-hari, Pangeran Bara-Bere berusaha mencari istana itu! Sampai akhirnya ia berhasil menemukannya di antara batu-batu raksasa dan dikelilingi jurang curam!” Aku menceritakan dongeng ngawur. Meski begitu, pasien-pasien tersebut mendengar dengan saksama. Saat aku melompat untuk menakut-nakuti, mereka berseru kaget. Instruktur yang tadinya kesusahan mengatur mereka menyerahkan jam pembinaan sepenuhnya padaku. Ia berdiri di pinggir bersama para perawat, melihatku mendongeng. Hingga waktu bergulir, tak terasa panjangnya. Saat kusudahi dongeng itu, suara tepukan riuh terdengar memenuhi ruangan pembinaan. Aku menghela napas panjang, cukup bangga karena bakat mengkhayalku akhirnya berguna. Instruktur yang memperkenalkan diri dengan nama Lila tersebut menyalamiku sembari tak henti-hentinya mengucap terima kasih. Tanpa kusadari, Sabda sudah berdiri di ambang pintu, memandangku lekat dengan senyum terpasang di wajah. Di sampingnya, aku melihat seorang lelaki yang tampak tak asing. Ah! Aku baru ingat kalau lelaki di sebelahnya itu teman Sabda yang berwajah Timur Tengah. Yang menumpahkan kopi di kepalaku. Aku ingin saja memakinya, namun situasinya sungguh tidak tepat. Aku berjalan menghampiri mereka. “Fiuh, this job isn’t easy, right?” “Terima kasih,” tukas Sabda sungguh-sungguh. Lantas, ia mengacak-acak rambutku.   *   “Tapi, mereka bener-bener amazing. Aku baru kali ini loh bisa berinteraksi sama orang-orang nggak beruntung kayak mereka. Jadi kamu pasti melelahkan banget.” Dan aku bersedia kok pijitin kamu tiap malam. Aku menyengir kuda. Sabda tersenyum miring. Kami sudah mengambil tempat duduk di restoran untuk makan siang. “Sheila satu di antara pasienku yang punya schizophrenia,” katanya menjelaskan. Baru kusadari, caranya bicara tak sekaku biasanya. “Ada satu lagi yang lebih berbahaya dan sering mencelakakan diri, Dinda. Dia yang pernah melukaiku di sini.” Ia menunjuk bagian tulang rusuknya. Aku teringat ceritanya yang itu. “Karena aku sudah menangani dia sejak awal, aku nggak bisa menyerahkan dia ke psikiater lain. Dia tanggung jawabku.” Duh, pria bertanggung jawab seperti ini memang suami idaman banget. Aku terkikik dalam hati sembari menyedot minumanku. “Uhm... kamu mau ngajak aku ngomongin apa, anyway?” Dia nggak sedang membicarakan konsultasi atau apa pun karena telanjur menganggapku sinting, kan? Sabda berdeham. “Aku... mau bicara soal....” Lagi-lagi ia berdeham, seakan ada sesuatu yang mencoba menghentikannya untuk mengeluarkan kalimat selanjutnya. “Bagaimana aku mengatakannya sama kamu?” Ia menggeleng-geleng. “Coba bilang aja.” Ia masih mencari-cari kata yang tepat, yang malah membuatku penasaran. Belum juga mengutarakan maksudnya, kudengar seseorang memanggil Sabda. Sontak aku menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan berambut panjang menggelombang. “Sabda.” Melihat ekspresi Sabda, aku jadi punya firasat buruk. “Kamu kenapa bisa di sini?” Nada Sabda berubah datar dan dingin. Perempuan itu menghela napas pendek. Ia menyingkirkan rambutnya yang mengganggu dengan telunjuk. Gerakannya sangat lemah gemulai. “Aku lagi makan siang sama temen baru. Tuh.” Perempuan itu menunjuk ke meja lain yang diisi orang-orang berjas. “Hari ini aku resmi jadi pengacara.” Lantas, matanya dilesatkan ke arahku. Tajam dan mengintimidasi. “Hai, kita belum bertemu, ya.” Ia mengulurkan tangan. “Masya.” Rupanya ini Masya yang pernah disebut dokter Tiana. Perempuan pilihannya yang ingin dijodohkan dengan Sabda. Aku praktis mengubah raut mukaku. Kulayangkan senyum hiperbolis, menyambut uluran tangannya. “Nuansa. Lulusan cumlaude Sastra Inggris UGM. Sekarang berprofesi sebagai editor dengan segudang pengalaman. Bisa juga jadi pemutilasi cewek-cewek gatel kalau lagi kepepet.” Sudut bibir Masya terangkat. “Kamu sudah selesai makan, Nuansa? Kita pergi saja dari sini.” Usai meletakkan uang di meja, Sabda berdiri, lalu menyambar jas putihnya. Aku ikut-ikutan berdiri. Kalau kulihat dari interaksi keduanya, tampaknya mereka sudah lama kenal. “Ini sambutan kamu buat aku setelah lama nggak ketemu? Aku kira sepeninggal Aquila, sikap kamu ke aku berubah. Sampai sekarang kamu tetap sama, ya. Ngeselin.” “Kalau nggak ada hal penting yang kamu omongin, aku pergi.” Sabda melengos mengabaikan Masya yang terlihat jengkel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD