Setelah melihat reaksi Sabda yang pucat pasi melihat piton itu, aku benar-benar mengutuk hidupku. Aku mengetukkan ponsel ke dahi berkali-kali mengingat kejadian semalam. Sabda pasti menganggapku sinting. Sejak kejadian semalam, ia belum menghubungiku. Mungkin ia menyesal sudah memilihku di depan orang tuanya.
“Ah, berengsek! Gara-gara Dierja, nih!” rutukku, berhenti mondar-mandir di toilet perempuan, lalu mematut diri di cermin.
Faktor kegagalanku menjalin hubungan dengan pria adalah 80% disebabkanoleh Angel, 20% lagi karena mereka freak. Menurut Dierja, Angel menjadi peyeleksi calon pendamping hidupku. Katanya:
“Barang siapa yang bersedia menerima Angel dalam hidupnya, maka dialah jodoh Nuansa.”
Sebab, pria yang mempertaruhkan nyawa dan nasib pada seekor ular piton albino demi diriku adalah yang mencintaiku tulus. Tulus apanya?! Kagak kawin-kawin gue!
Alih-alih menelepon Sabda, aku menelepon si k*****t Dierja. Dering ketiga, ia membalas.
“Yo. Kenapa?”
“Eh, Dierjah Kuning. Bawa Angel, aku nggak mau ngerawat dia lagi,” sungutku.
“Lah, kenapa?”
“Gara-gara Angel, nasib percintaanku ngenes lagi!”
“Kan udah aku bilang, kalau ada cowok yang berani deket-deket Angel, artinya dia sayang kamu.”
“Nggak gini juga, kali!”
Suara tawa menggelegak di seberang. Dasar berengsek, berani ia menertawaiku. “Nih anak malah ketawa. Awas ya, aku sumpahin nasib percintaanmu juga ngenes!”
Mengacuhkan balasannya, aku memutus sambungan. Kulenggang kaki keluar toilet, kembali lagi ke ruang redaksi. Begitu tanganku membuka pintu, ruangan sudah riuh. Aku memandang kerumunan tim redaksi yang berceloteh di tengah-tengah makan kudapan. Di tengah mereka, kulihat Iota turut dalam obrolan. Di tangannya ada kardus kotak besar. Menyadari keberadaanku, ia melambai.
“Sini!” tegurnya.
Sebelah alisku menukik ke atas. Aku mendekatinya, melihat cupcake berjejeran di dalam kardus kotak itu. Ia menyodorkan padaku.
“Ada apaan?”
“Dia lagi ultah, terus bagi-bagi cupcake ke karyawan sini,” jawab Jani.
Bibirku mencebik. Aku memungut satu potong, menggumam, “Makasih. Happy birthday.” Lalu, duduk di kursiku.
Iota meletakkan kardus itu ke meja Jani, kemudian menghampiri mejaku. Aku memandangnya skeptis. Nih anak kenapa, sih?
“Pulang kerja nggak ada acara, kan? Gue mau traktir. Jangan salah paham dulu. Ini cuma karena lo editor calon naskah best seller gue.” Senyumnya terkembang hiperbolis.
“Hm... nggak tahu, nih. Gue sibuk banget soalnya. Kayaknya mau lembur.” Aku melarikan jemari ke keyboard, mengetik sesuatu agar tampak seperti sedang fokus bekerja.
Iota melongok mengamati layar komputerku yang kuketik asal-asalan seperti: ajdhhasfdgasfegadahdfsfsj.
“Mana?” Ia menunjuk layar.
Aku menghela napas pendek. Bocah tengil ini benar-benar bikin emosi. Kupandang ia malas. “Gue nggak bisa janji, ya.”
Helaan napasnya seperti radar negatif bagiku. Tangannya dilipat ke belakang punggung. Tatapannya melayang ke langit-langit. Lantas, melirikku. “Kalau gitu, gue mau tarik naskah, deh. Mau gue lempar ke penerbit lain. Banyak kok yang minta naskah itu. Malah tanpa diedit dan dibawelin.”
Aku mengusap wajah frustrasi. Mataku menyipit menatapnya. Wajahnya dibuat datar. Padahal, aku yakin benaknya sedang terbahak lantaran berhasil menggertakku.
“Lihat aja nanti. Gue lagi kerja, nih.”
“Mau makan siang bareng, nggak?”
Belum sempat melontarkan balasan, Nara datang menghampiri mejaku. “Eh, Nuansa. Makan siang bareng di luar, yuk. Gue bete, nih.”
“Yuk, yuk,” jawabku cepat, membuat Iota mendesis. Cowok itu melambaikan tangan di udara, berpamitan pada yang lain untuk pergi.
Tak lagi melihatnya di ruang redaksi, aku mendesah pendek. Tatapanku beralih menuju Nara yang mengangkat alis.
“Nggak jadi, deh,” kataku. “Masih banyak kerjaan.”
Narada tersenyum kecut.
*
Jam pulang tiba. Aku menarik badan ke atas, menggeliat meregangkan otot yang tegang selama menekuri komputer. Tiara dan Mona berpamitan pulang. Pak Hendra dan Mas Dito juga berlalu pergi. Tinggal aku, Jani, dan Mbak Desi yang masih di ruangan. Jani sibuk menelepon penulisnya lewat telepon di meja kerja, sedangkan Mbak Desi masih fokus dengan komputer. Aku mengemasi barang ke tas jinjing.
“Pulang, guys. Semangat lembur!”
Kantor sudah dalam keadaan lengang. Hanya ada beberapa karyawan yang berniat melembur. Aku menyapa karyawan-karyawan yang masih di kantor. Di lorong menuju lift, aku melihat Kania melenggang sambil menyibak rambut. Sialnya, kami harus satu lift. Terlibat perang bisu di antara kami.
“Gue lihat lo sering banget keluar sama Nara di jam makan siang,” katanya tiba-tiba.
Sebelah alisku terangkat skeptis. Tanpa memandang ke arahnya, aku mejawab, “Kenapa? Nggak suka? Lo jealous?”
“Heh, kecebong sungsang. Nara itu sahabat gue sejak kecil. Lo nggak usah sok cantik godain dia.”
Sontak, aku menoleh dengan tatapan ‘WTF’. “Heh, kakus pasar tradisional. Siapa yang sok cantik? Gue emang cantik dari lahir.”
Mulutnya yang besar seperti bebek itu menganga tak terima. “Nggak usah sok iye lo, ya. Gue tampol lo.”
“Sini, sini, tampol sini. Gue sama Nara cuma temenan!” Aku membuang muka.
Sebelum perkelahian terjadi di lift, pintu akhirnya terbuka. “Gue nggak ada waktu buat ladenin orang nggak jelas kayak lo.” Aku melayangkan ciuman jauh, makin membuatnya berang. Untung saja kami tidak satu lantai tujuan—tujuannya lantai G yang terhubung dengan tempat parkir—, sehingga tak perlu ada keributan lagi.
Berjalan keluar, aku dikejutkan dengan keberadaan Sabda yang sudah berdiri bersandar pada badan mobil, tersenyum padaku.
“Kok kamu di sini?” tanyaku.
“Jemput kamu, kan?”
Wah, kukira ia mengibarkan bendera putih sejak berkenalan dengan Angel. Aku memaksakan senyum kecil. Masih setengah bingung, kulihat ia berjalan mendekat. Tangannya terulur, seperti mengajakku gandengan. Aku memandang uluran tangannya. Ia melakukan hal sejauh ini, padahal kita kan tidak benar-benar ‘pacaran’. Malah, aku mulai kehilangan harapan bisa mendapatkannya.
Sebelum membalas gandengannya, tangan kiriku ditarik seseorang. Aku mendapati Iota menggenggam tanganku, makin membuat mataku membulat. Ia dan Sabda terlibat adu pandang selama beberapa saat.
“Anca, katanya lo mau pergi sama gue sepulang kerja?”
ANCA WHO?! Aku menatapnya tak mengerti. “Ka-kapan gue bilang mau?”
Tangan kananku ditarik Sabda, membuatku berpaling ke arahnya. Lelaki itu, sama seperti Iota, memberikan pandangan sinis.
“Dia pulang sama aku,” tutur Sabda dengan suara tenang khasnya.
“Tapi, gue udah lebih dulu ngajakin dia. Lo siapa?”
“Aku tunangan Nuansa.”
TUNANGAN DARI HONG KONG?! Mulutku ternganga kaget mendengar jawaban Sabda. Sementara mereka berdebat, aku sibuk memandangi kedua tanganku dan mencari celah untuk melepas cengkeraman mereka.
“Gue juga ada perlu sama dia. Dia editor gue. Tanggung jawabnya belum selesai,” Iota menaikkan nadanya dua oktaf.
“Helo, helo. Maap, ini tangan, guys. Bukan pentungan hansip,” kataku di sela-sela kerusuhan.
Belum selesai dengan perdebatan dua lelaki itu, Nara yang melihat aku ditarik-tarik mendekat, langsung memisahkan tanganku dari mereka.
“Kalian ngapain narik-narik Nuansa?” tanya Nara tegas.
“Lo siapa lagi?” balas Iota.
“Gue….” Nara menggaruk kepala. “Gue temennya Nuansa!”
Alih-alih terbebas dari cengkeraman Sabda dan Iota, Nara malah menggandeng tangan kiriku, yang lantas ditepis Iota. Aku memandang mereka satu per satu. Kepalaku pening mendengar suara Iota yang kekeuh ingin mengajakku pergi atau Nara yang menjelaskan kalau ia berniat mengajakku membeli piringan hitam Marilyn Monroe. Sedangkan Sabda, tanpa basa-basi, menggandeng tangan kananku lagi.
“Stop! Stop!” teriakku, membuat mereka berhenti bertikai. Aku melepas pegangan Iota dan Sabda. Hell, aku senang jadi bahan rebutan seperti di drama-drama komedi romantis, tapi aku tidak bisa membiarkan mereka ribut sampai tengah malam. “Duh, kalau kalian ribut, aku naik busway aja.”
“Nggak, lo harus ikut gue,” sahut Iota.
“Eh, kita nonton lagi yuk. Ada film bagus,” dilanjut Nara.
Sabda hanya memandangku tanpa berkata-kata. Ia menghela napas panjang.
Tak berselang lama, mobil Jeep SUV merah yang paling kuhapal berhenti di belakang mobil Sabda. Belum pernah aku segirang ini melihat wajah menyebalkan Dierja yang muncul, berjalan mendekatiku. Ia merentangkan tangan. Spontan, kutarik tanganku saat pegangan mereka mengendur.
“Nuansa!” serunya, lantas memiting leherku sampai membuat aku tersedak.
“Dierja!” pekikku. Ngapain nih anak nyasar sampe Jakarta?!
Melihat ketiga mata sedang mengawasinya tajam, Dierja melonggarkan pitingannya, namun tak menyingkirkan tangannya yang memeluk leherku. Ia memandang satu per satu ketiga lelaki itu. Menjawab pertanyaan dari tatapan mata ketiga lelaki itu, Dierja memperkenalkan diri.
“Oh, kalian pasti teman-teman bayi kingkong ini. Perkenalkan, saya Dierja Galih Reksa. Saudara kembar Nuansa.”