Shireen terbangun cukup pagi meskipun kemarin kelelahan, dia menyadari kini sudah menjadi seorang istri, dia harus melakukan kewajibannya sebagai istri. Ketika dia membuka mata, dia melihat Gyandra yang tertidur pulas di sampingnya sambil memeluk bantal guling dengan erat. Wajahnya terlihat tampan dengan kulitnya yang putih bersih seperti porselen. Hanya saja apa bibir itu selalu berwarna merah muda cenderung pucat setiap hari?
Tengah mengamati wajah sang suami, mata Gyandra perlahan terbuka, mereka bertatapan kemudian Shireen memutuskan tatapan itu dan duduk dengan cepat.
“Pagi,” sapa Gyandra.
“P-pagi, aku buat sarapan dulu,” ucap Shireen.
“Hmm, aku bantu ya,” tutur Gyandra. Shireen hanya mengangguk, dia tak tahu peralatan masak dan lain sebagainya, tentu dia membutuhkan Gyandra.
Dia kemudian turun dari ranjang meninggalkan Gyandra yang kini menatap smartwatchnya, dia melihat grafik tidur dan laju detak jantungnya ketika tidur, syukurlah semuanya normal. Dia membuka laci dan mengambil obat pagi miliknya. Setelah meminumnya dia pun menyusul Shireen ke dapur.
Shireen terpekur di depan lemari pendingin, hanya ada kotak-kotak makanan yang sudah dimasak dan tinggal dihangatkan, itu pun hanya sedikit. Tak ada sayuran atau bahan pokok untuk dimasak. Di tempat beras pun dia tak menemukan banyak beras, selain kemasan-kemasan beras berukuran kecil yang hanya untuk sekali makan.
“Cari apa?” tanya Gyandra.
“Enggak ada lauk sama sekali untuk di masak? Alat masaknya juga enggak lengkap?” tanya Shireen.
“Ya,” ujar Gyandra sambil menggaruk kepalanya, “aku sama seperti bujang pada umumnya, enggak bisa masak. Makanan yang di kulkas disiapin mama, dan beras itu adalah beras porang yang hanya untuk satu kali makan,” imbuhnya.
Shireen kemudian mengambil satu kotak makanan dan meletakkan di meja.
“Kita sarapan ini dulu ya,” ucapnya.
“Ya, habis sarapan kita ke minimarket ya, yang satu bangunan dengan perlengkapan rumahan nanti kita belanja barang yang kita butuhkan sekalian,” ucap Gyandra. Shireen mengangguk dan tersenyum lebar.
Sementara itu Gyandra mengambil dua sachet beras untuk diseduh dengan air panas, hanya menjadi dua porsi, cukup untuk mereka berdua.
“Kamu selalu makan beras itu? Kenapa?”
“Rendah gula, beras ini bagus untuk ... aku,” ucap Gyandra. Shireen mengernyitkan kening namun dia tak terlalu ingin bertanya lebih jauh, mungkin Gyandra juga diet seperti bu Yuna, ibunya Ayana yang sering memakan nasi dari beras seperti itu.
Shireen mengeluarkan kotak makan berisi daging itu dari microwave dan membawanya ke meja makan, Gyandra membawa dua porsi nasi tersebut yang sudah dipindahkan ke piring. Mereka makan sambil berhadapan.
“Kamu tetap kerja nanti?” tanya Gyandra sambil menyuap makanannya.
“Iya, keluarga Ayana sudah banyak bantu aku, aku mau tetap kerja, lagi pula aku sudah terbiasa,” kekeh Shireen.
“Kalau ikut kerja di perusahaan aku aja bagaimana?” tanya Gyandra.
“Jangan deh, belum siap, lagi pula kayak yang aku bilang tadi aku juga mau bantu perusahaan dia,” ucap Shireen, bukan tak mau hanya saja dia terbiasa bekerja di perusahaan itu yang antar karyawannya sudah saling mengenal dan seperti keluarga sendiri. Di saat dia tak memiliki keluarga. Kemarin saja saat dia menikah, seluruh karyawan perusahaan Enerson datang memberinya selamat.
“Ya sudah, kamu suka masak?” tanya Gyandra.
“Aku suka meskipun sejak kost aku jarang masak karena pantrynya gabung dengan penghuni kost lain, tapi saat tinggal di rumah kerabat nenek dulu itu aku selalu masak setiap hari,” kenang Shireen. Gyandra tersenyum tipis.
“Jangan diingat lagi, aku senang kamu suka masak, tapi kalau itu terlalu memberatkan kamu, kamu enggak perlu lakukan itu, kita bisa beli makan di luar,” tutur Gyandra. Shireen hanya mengangguk pelan seraya menikmati makanannya.
“Dua hari sekali ada bibi yang bersih-bersih rumah, nanti aku kenalkan ke kamu kalau dia datang, harusnya sih hari ini dia datang. Hanya untuk bersih-bersih karena baju aku laundry,” imbuh Gyandra.
“Nanti aku saja yang cuci,” tukas Shireen.
“Aku menikahi kamu untuk jadi istriku, bukan asistenku Shireen, jadi enggak perlu ya, hemat tenaga kamu,” ucap Gyandra.
“Bang Gyandra so sweet banget sih? Ngomong-ngomong abang bener belum ada pacar kan? Pernah pacaran enggak?” tanya Shireen menatap mata sang suami yang pikirannya tampak berkelana.
“Pernah pacaran saat SMA, saat kuliah juga pernah sekali tapi ya gitu, enggak ada yang buat aku ingin menikah,” kekeh Gyandra.
“Karena apa?”
‘Karena penyakitku Shireen, yang bisa tiba-tiba merenggut nyawaku,’ jawab Gyandra dalam hati, nyatanya dia hanya terdiam membiarkan Shireen menatapnya lebih lama hanya untuk mendapat jawabannya. Diamnya Gyandra membuat Shireen salah tingkah, apa dia salah bicara?
“Enggak apa-apa, aku juga pacaran lama tapi enggak nikah,” kekeh Shireen. Gyandra hanya tersenyum.
“Kamu masih mencintai dia?” tanya Gyandra.
Shireen menggeleng cepat, “benar kata orang jarak antara cinta dan benci itu tipis, dulu aku mencintainya sekarang aku membencinya, ihh bisa-bisanya aku pernah suka sama pulu-pulu kayak gitu,” ujar Shireen sambil bergidik ngeri.
“Pulu-pulu?” tanya Gyandra. Shireen menjelaskan kata pulu-pulu itu yang membuat Gyandra tergelak.
“Habiskan makanannya, aku mandi duluan ya,” ucap Gyandra kemudian. Shireen pun mengangguk dan menyelesaikan makannya, Gyandra sudah mencuci piringnya sendiri dan masuk ke kamar.
Setelah Gyandra rapih, baru lah Shireen masuk kamar untuk mandi. Dia mengambil celana jeansnya dan kaos biasa saja, dia memang tak memiliki banyak baju bagus dan baju yang menurutnya bagus sudah pernah dipakai semuanya saat bertemu Gyandra.
Dia kemudian mengambil tas pemberian Arumi ketika lamaran dan mencangklongnya, tas itu sangat indah.
Mereka menuju pusat perbelanjaan di dekat kantor walikota, ada toko minuman dengan ciri khas boba di dekatnya, Shireen membulatkan tekad untuk membelinya nanti setelah belanja. Pertama mereka menuju ke tempat penjualan kebutuhan rumah tangga. Gyandra mendorong troli sementara Shireen berjalan di sampingnya.
“Wajan enggak ada kan?” tanya Shireen, Gyandra menggeleng. Dia menimbang beberapa wajan, ada yang bagus namun harganya mahal. Shireen memilih yang lebih murah.
“Kenapa ditaruh lagi yang itu?” tanya Gyandra.
“Mahal,” kekeh Shireen, Gyandra hanya menggeleng lalu mengembuskan napas dan menukar wajan tadi.
“Jangan pikirkan harganya, yang penting kualitas,” ucap Gyandra. Shireen kemudian menepuk keningnya cukup keras.
“Oiya aku lupa nikah sama orang kaya, anak pemilik perusahaan,” kekeh Shireen membuat Gyandra mendengus lalu mereka mengambil beberapa alat masak lagi.
Shireen menuju tempat display oven, dia menatap Gyandra dengan mata besarnya. Gyandra mengangguk membuat Shireen melonjak senang seperti anak kecil. Gyandra hanya menyembunyikan senyumnya, Shireen terlalu menggemaskan.
Shireen mengambil oven lengkap dengan perintilannya, sepertinya dia akan membuat kue.
“Ada perlengkapan kamar yang kamu mau beli enggak?” tanya Gyandra. Shireen menggeleng, semuanya sudah lengkap di kamar Gyandra, dia tak keberatan dengan kamar model pria itu. Selama kasurnya empuk dan nyaman dia akan tetap bisa tidur, bahkan kasur di tempat kostnya yang tipis saja tetap membuatnya tidur pulas kok.
Setelah membayar, mereka pun menuju supermarket untuk membeli bahan makanan. Beruntungnya salah satu karyawan di toko kebutuhan rumah tangga itu membantu membawakan barang-barang yang dibeli ke mobil Gyandra jadi saat mereka masuk ke supermarket itu mereka bisa membawa troli kosong lagi.
Shireen mengambil sayuran juga bumbu-bumbu, lalu mereka menuju tempat daging segar.
“Abang ada alergi enggak?” tanya Shireen.
“Enggak, hanya saja aku enggak bisa makan dengan penyedap rasa terlalu banyak, atau yang terlalu asin,” ucap Gyandra.
“Oke, dicatat,” timpal Shireen.
“Catat di mana?”
“Otak,” kekehnya. Shireen tak pernah sebahagia ini ketika belanja kebutuhan pokok, selama ini dia selalu menahan diri untuk membeli makanan yang dia suka demi mewujudkan mimpinya memiliki rumah sendiri, namun sekarang dia tak perlu melakukan itu. Ada Gyandra yang memenuhi kebutuhannya, yang tak pernah perhitungan ketika dia mengambil apa pun itu.
Gyandra mendorong troli lagi, melewati penjual minuman kesukaan Shireen yang dibelinya nyaris tiga atau empat bulan sekali karena menurutnya cukup mahal. Shireen sempat menimbang, dia sudah menghabiskan uang Gyandra sangat banyak. Dia kemudian menghentikan langkah secara tiba-tiba.
“Bang, mau itu?” tawar Shireen. Gyandra menggeleng.
“Kamu mau?” tanya Gyandra. Shireen mengangguk dengan bibir manyun persis anak kecil.
“Ya beli aja, ayo,” ajak Gyandra. Shireen tersenyum lebar.
“Aku yang traktir, abang mau apa?” tanya Shireen. Gyandra menimbang.
“Thai tea saja, less sugar,” ucap Gyandra kemudian. Shireen memesan minuman favoritnya lalu dia membayar minuman itu dengan scan dompet digital di ponselnya. Dia cukup senang bisa membelikan suaminya sesuatu dengan uangnya. Rasa yang berbeda kini.
Mereka minum di tempat itu, Gyandra menatap Shireen yang menikmati minumannya dengan wajah senang.
“Kamu suka banget?” tanya Gyandra.
“Suka ... aku suka manis, adiktif,” kekeh Shireen.
“Jangan terlalu banyak minum manis, sewajarnya aja,” ucap Gyandra. Shireen mengangguk.
“Aku beli bahan buat kue, nanti gulanya aku kurangi kalau abang enggak terlalu suka manis juga,” ucap Shireen.
“Iya, makasih sudah perhatian,” tutur Gyandra sambil menatap Shireen.
“Apaan sih?” ujar Shireen salah tingkah.
Gyandra membuka ponselnya, lalu dia mengirim uang pada rekening Shireen yang sempat disimpannya.
“Uang bulanan aku sudah transfer ya, untuk kebutuhan kamu juga, beli makan makanan yang enak, dan ini,” ucap Gyandra mengeluarkan kartu hitam dari saku dompetnya dan menyerahkan pada Shireen.
“Kartu bank?” tanya Shireen.
“Pinnya tanggal lahir aku, pakai untuk kamu beli pakaian, make up atau apa pun yang kamu suka, untuk traktir Ayana atau teman-teman kamu lainnya juga enggak apa-apa, jangan hemat-hemat,” ucap Gyandra.
“Bang? Ini serius ... ah jadi pengen ... ,” ucap Shireen terputus.
“Pengen apa?” goda Gyandra.
“Pengen peluk,” ucap Shireen bersemu merah.
“Nih,” tukas Gyandra merentangkan tangannya.
“Jangan di sini, nanti aja di rumah,” kekeh Shireen membuat Gyandra ikut tertawa.
Setelah menghabiskan minumannya, mereka pun menuju mobil, Shireen tidak sabar untuk membuat kue yang resepnya sudah berlarian di otaknya ingin segera dieksekusi.
Jarak dari supermarket ke rumah Gyandra cukup dekat, tidak sampai sepuluh menit. Gyandra dan Shireen mengeluarkan barang-barang belanjaan mereka dan memindahkannya sekaligus.
Yang terakhir adalah oven, Gyandra meletakkan di atas meja di dapurnya. Lalu Shireen berdiri di sampingnya dengan memainkan kakinya sambil menunduk.
“Kenapa?” tanya Gyandra.
“Mau peluk,” cicit Shireen. Gyandra mengernyitkan kening lalu merentangkan tangannya, Shireen menghambur memeluknya erat sambil menggoyangkan tubuhnya.
“Makasih ya Bang, selalu bikin aku seneng,” ucap Shireen seraya mendongak. Gyandra menatap wajah itu dan mengecup kening Shireen membuat wajah keduanya memerah.
“Sama-sama,” jawab Gyandra. Jam di tangannya berbunyi membuat Gyandra melepaskan pelukan itu secara perlahan, muncul tanda hati di layarnya yang juga menjadi perhatian Shireen.
“Abang udah jatuh cinta ya sama aku?” tanya Shireen melihat logo itu. Gyandra mengacak rambut Shireen.
“Katanya mau bikin kue? Aku cobain nanti ya, aku ke kamar dulu,” ucap Gyandra mengalihkan pembicaraan. Shireen memberi tanda hormat dan tersenyum lebar pada suaminya. Gyandra meninggalkan Shireen, dia harus menenangkan diri sebelum laju jantungnya berpacu lebih cepat lagi.
***