chapter 08

2126 Words
Tok! Tok! Leo mengangkat sebelah alisnya sambil melirik jam dinding. Mami sudah pergi dari jam delapan pagi untuk arisan, Naya sekolah, sedangkan Bi Hun pergi ke pasar. Lalu, siapa yang mengetuk pintu? Tok! Tok! "Wait!" Leo melangkahkan kakinya untuk membuka pintu. Pemandangan pertama yang Leo lihat adalah; seorang perempuan berambut panjang dengan kaca mata di hidung mancungnya. Mengenakan celana ketat berwarna hitam dipadukan kaos panjang transparant yang mampu menampilkan bra yang digunakannya. Seksi! "Leo!" Perempuan itu melepaskan kacamatanya kemudian langsung memeluk Leo dengan histeris. "My little boy! I miss u!" "Tunggu...," Leo merenggangkan pelukan perempuan itu, "lo siapa?" Leo memperhatikan perempuan itu dari atas sampai ke bawah. "Gue Aisha, My little boy!" Leo mengerutkan dahinya. "Aisha?" "Green club." * Green club. Leo membaca ulang sebuah papan berkelip dengan tulisan besar yang tak kalah bersinar. Sebuah club elite yang ia yakini hanya orang-orang kaya dan sudah cukup umur yang masuk ke sana. Leo menghela napas kemudian mencoba masuk tetapi security langsung menghalangi jalannya."Boy, ini bukan warung PS," ucap security. "Gue mau masuk." Leo memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada security berbadan besar itu. Sang security menggeleng pelan. "Pulanglah, Boy. Belajar dan buat mama papa bangga. Kembali ke sini sekitar lima tahun lagi." Leo mengeluarkan uang yang lebih banyak dari dompetnya dan security itu tertawa pelan. "Maaf, Boy." "Biarin dia masuk!" teriak seorang perempuan berpakaian minim. Security itu kembali terkekeh pelan sambil menggeleng heran. "Bukannya dia terlalu muda buat lo, Aish?" Perempuan yang disapa Aish itu mengibaskan tangannya, menyuruh Leo ikut masuk. Leo mengangguk , mengikuti perempuan di depannya. "Gue Leo!" ucapnya cukup keras karena suara musik dari DJ sangat berisik. "Gue Aisha, panggil Aish aja." Leo mengerutkan dahinya karena Aish tertawa terbahak-bahak seolah-olah namanya adalah lelucon yang sangat lucu. "So, little boy, mau apa ke sini? Belajar minum?" tanya Aish. Leo menggeleng. "Gue mau seks." "Wow," Aish tertawa mengejek, tidak percaya pergaulan remaja ternyata sudah serusak ini. "Umur lo berapa tahun, ganteng?" "Mau 16." "Perjaka?" Leo mengangguk kecil. "Biasanya umur-umur segitu ngajak seks pacarnya. Pacar lo ke mana emang? Dia gadis baik-baik atau lo jomblo?" Aish ingin memastikan karena menurutnya anak berusia 16 tahun di hadapannya mempunyai wajah yang tampan—sangat aneh jika tidak ada yang mau. "Dia selingkuhin gue dan tidur sama cowok lain," jawab Leo sesuai kenyataan tanpa menambahkan bubu sakit hati dalam suaranya. "Oh, sayangku..." Aish menepuk-nepuk bahu Leo dengan iba. "Kita buktikan kalau lo bakal lebih jago dari cowok berengsek yang udah nidurin pacar jalang lo itu!" Leo melirik Aish sedikit menilai. Katanya,"Berapa tarif lo?" "Sialan...," Aish tertawa, "gue bukan kupu-kupu malam." "Oh, sorry." "Not problem, My little boy. So, mau nyoba terbang ke surga sama gue malem ini?" Leo mengangguk. "Hotel?" "Come!" Aish menarik tangan Leo menuju lantai dua club. Ia membuka pintu kamar bernomor 13 kemudian menguncinya. "Lo mau belajar apa dulu? Kissing udah bisa?" tanya Aish sambil membuka baju ketatnya. "Udah." Leo menjawab sambil memalingkah wajah—masih belum terbiasa. "Kissing yang kaya gimana? Ciuman nempel doang?" Aish menyentuh dagu Leo, mereka berpandangan. "Show me." Leo tidak bergerak. Aish tertawa lagi. "Tenang, Boy. Keluar dari kamar ini, lo bakal jadi good kisser dan juga partner hebat di ranjang buat mangsa-mangsa lo nanti. Buka celana lo!" Leo tergagap. "Huh?" * "Udah inget?" Leo terkekeh pelan kemudian kali ini ia yang memeluk Aish. "Gue kangen lo, Sista! Kenapa nggak ada kabar?" Aisha Letiffa. Perempuan berdarah Pakistan-Manado berumur 24 tahun yang mengambil keperjakan Leo untuk pertama kali ketika umurnya dulu sekitar 20 tahun dan sekaligus orang yang mengajarkan semua hal berbau 18 tahun ke atas pada Leo. Bisa dibilang, Aish adalah guru pribadi Leo sehingga sekarang cowok playboy itu begitu mahir—di jalan yang salah. "Gue balik ke Manado, My little boy yang sekarang udah nggak little lagi! Kok lo makin ganteng?" Aish mengacak-acak rambut Leo layaknya seorang kakak pada adiknya. "Masuk." Leo membukakan pintu dengan lebar. Aish langsung memeluk manja lengan Leo sedangkan cowok itu membawa masuk koper milik Aish. "Tahu dari mana rumah gue, Aish?" "Siapa sih yang nggak tahu Leo? Player sejati yang mangsanya banyak banget? Kayanya didikan gue berguna ya, Boy?" "Banget. Thank you." Dan mereka tertawa bersama setelahnya. "Lo mau minum apa, Aish?" "Gue mau makan. Tapi makan lo, my little boy! " Aish memeluk Leo dari belakang kemudian tangan nakalnya menyentuh d**a Leo dengan lembut. "Play with me?" "Ini di rumah gue." Leo menolak dengan halus. "Next time, lah?" "Jadi, harus nunggu nih? Padahal di dalem koper gue ada satu set kostum favorit lo kalau kita lagi main. Dokter-dokteran, Boy!" Aish membuka kopernya kemudian mengeluarkan jas dokter. "Suster kamu sakit, Dok. Ajak main dong biar sehat lagi. Please?" Leo menggaruk kepalanya sambil menatap Aish yang sedang mengenakan pakaian seperti suster di hadapannya tanpa rasa malu sama sekali. "Ah, sial!" Leo mengangkat tubuh Aish menuju kamarnya sehingga cewek itu terpekik senang sambil berteriak dengan suara yang begitu seksi. *** Brukk! Pintu kamarnya sengaja ditutup kencang oleh Leo yang masih kesal pada dirinya sendiri karena membiarkan Aish naik ke ranjangnya. Setia pada satu cewek? Memikirkannya saja Leo mual. Sebagai lelaki sejati, tentu saja Leo tidak suka hanya umbar omongan dan janji, tapi... setia adalah kata yang sangat berat. Leo membiarkan alat kontrasepsinya terpakai hari. Ketika suara koper yang ditarik terdengar, Leo langsung melirik pada sumber suara dan melihat Naya yang sudah berpakaian rapi dengan koper berwarna pink di sebelahnya. "Lo mau ke mana?" tanya Leo sambil berjalan menghampiri Naya. "Naya mau liat papa," jawab gadis itu. "Bawa koper? Lo nggak balik lagi ke sini?" "Naya cuma pengen ketemu papa kok, nanti ke sini lagi." "Emang rumah lo di mana?" Naya tidak menjawab alamat, dia membawa kopernya menuju pintu utama dan hanya berkata bahwa kelas 12 sedang ujian nasional sehingga dia ingin menghabiskan waktu libur dengan papanya. Leo menghadang langkah Naya dengan ekspresi bingung. "Gue bilang apa nanti sama mami?" "Nggak lama kok kak." Naya meyakinkan Leo bahwa dia tidak akan kabur. Karena kalau dia niat pergi—dia akan membawa kopernya di saat Leo tidak ada di rumah. "Oke gue anter." Leo mengambil alih koper Naya kemudian ia masukan ke dalam bagasi mobilnya. Melihat Naya hanya berdiri tanpa berniat masuk ke mobil, Leo langsung menggandeng tangan gadis itu menuju kursi penumpang lalu memakaikan sabuk pengaman. "Gue anter ke mana, nih?" tanyanya, meminta alamat. Naya menyebutkan satu alamat lengkap, Leo langsung menginjak gas dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara. Naya memilih tidur sedangkan Leo mengemudi sambil melirik-lirik wajah lelap milik seorang gadis yang duduk di sebelahnya. "Udah sampe, Dek." Leo mengusap pelan lengan Naya sehingga kedua mata yang tertutup itu mulai terbuka dengan gerakan slow motion yang menurut Leo sangat menggemaskan. "Ayo bangun, sleeping beuaty wanna be." Leo menepuk pipi tembam Naya sampai gadis itu benar-benar bangun. "U-udah sampe?" perlahan netra itu mengerjap, "makasih, Kak." Naya langsung turun tanpa menatap Leo sama sekali. Merasa ada yang aneh, Leo ikut turun kemudian menahan tangan Naya yang siap menggeret koper. "Lo nggak mau ngenalin gue ke papa lo?" tanya Leo dengan senyum manis di bibirnya. Akhirnya gadis itu mengangguk, "Ayo masuk." Leo menggenggam tangan Naya, melangkah menuju pintu berwarna putih di hadapannya. Walaupun Leo merasa jika Naya tidak kembali menggenggamnya, tapi tak apa. Menurut Leo, Naya memang pemalu dan ia yakin bahwa sekarang wajah gadis itu pasti memerah seperti tomat. Leo memperhatikan rumah sederhana yang begitu nyaman dan hangat. Naya membawanya menuju taman belakang dan tubuh seorang pria dewasa terlihat membelakangi mereka sambil menyiram beberapa bunga. "Papa!" Naya langsung berlari menghampiri papanya, memeluk tubuh yang ia rindukan itu dengan sangat erat. "I miss you, Papa." "Sayang? Kamu pulang?" "Papa sehat? Iya, Naya pulang, Pa." "Papa sehat, sayang. Kamu sama siapa?" Naya melirik pada Leo yang sudah tersenyum ke arahnya dan papanya. Leo melangkah mendekat kemudian mengulurkan tangannya untuk berjabat. "Saya Leo, Om." "Anaknya Lexi, kan? Lebih ganteng aslinya daripada di foto, ya. Saya Ari, papanya Naya." Lelaki itu tertawa ketika menyapa uluran tangan tamunya. Leo mengangguk pelan, senyumnya cerah."Senang kenalan sama Om." "Senang bisa kenal sama kamu juga, Leo." "Papa, ayo masuk, Pa." Naya memeluk lengan papanya menuju ruang tamu. Sang papa menciumi kepalanya terus menerus karena begitu merindukan sang little princess-nya. "Kamu pulang karena mau ngerayain ulang tahun mama, ya?" Naya hanya mengangguk kemudian mengeluarkan cake dari lemari es dan menaruhnya di atas meja. Dia tahu papanya pasti sudah memesan kue untuk hari penting ini. "Gue nggak tahu kalau nyokap lo ultah. Tahu gitu kita beli hadiah dulu tadi," bisik Leo tepat dit elinga Naya. Gadis itu hanya tersenyum dengan suasana yang menurut Leo berbeda. Naya memululai, "Maaf, Pa. Biasanya tradisi ini selalu kita lakuin berdua. Tapi sekarang Naya ajak kak Leo." Ari mengibaskan tangan, menurutnya tidak masalah. "Bertiga lebih ramai." Naya mengangguk kemudian memberikan topi ulang tahun pada Leo dan pemuda itu hanya menerimanya, memakai topi tanpa ba-bi-bu. "Happy birthday..." Papa Naya memejamkan matanya kemudian menyuruh Naya dan Leo agar ikut meniup lilin yang hanya ada satu buah. "Maaf, Om. Tapi tantenya ke mana, ya?" tanya Leo pelan. "Mama Naya di surga, Kak." Leo langsung melirik Naya yang tersenyum padanya sambil memberikan sepotong kue. "Sorry..." ucap Leo dengan lembut, tidak berniat menyinggung. "Nggak pa-pa, Nak Leo. Sekarang ayo makan kuenya," seru Ari dengan antusias, membuang segala canggung. Jadi, Om Ari dan Naya itu hanya hidup berdua? Tapi kenapa dia mengizinkan anak gadis satu-satunya untuk tinggal di rumah gue? Otak Leo penasaran. *** Setelah makan kue, Naya mengajak Leo untuk duduk di sebuah bangku seperti di taman-taman kota dan perhatian Leo teralihkan pada dua botol berpita yang digantung di atas pohon mangga."Itu apa, Dek?" tunjuk Leo pada salah satu botol berpita wana biru. "Promise." "Promise?" Leo mengerutkan dahinya. Naya menjawab, "Di dalam botol itu ada kertas isinya perjanjian rahasia gitu. Cuma bisa dibuka sama orang yang nulis promise itu sama-sama." "Itu punya lo?" Leo mungin terdengar sangat penasaran, tapi dia mengaku." Salah satu dari botol itu?" Naya hanya mengangguk."Di masa lalu, ada orang yang ngasih itu ke gue." "Lo belum buka botol-botol itu?" Naya menggeleng. "Kayanya botol itu nggak akan pernah gue buka sampai kapan pun. Karena mungkin orang yang ngasih botol itu udah ngelupain gue." Leo melirik Naya kemudian mengangkat sebelas alisnya—kurang paham. "Nggak bisa gitu dong!" dia jadi kesal sendiri, "siapa orang berengsek yang cuma ngegantungin janjinya di atas pohon mangga?" Naya mengangkat kedua bahunya sambil terkekeh. "Itu hak dia, Kak. Mau ngelupain gue atau bahkan mau ngelupain janjinya sendiri." "Emang lo nggak penasaran sama apa yang ditulis di dalam botol itu?" —karena Leo saja yang posisinya hanya orang asing ingin sekali membuka botol-botol itu. Kekanakan sih, tapi rasa ingin tahunya memang besar. "Penasaran, sih..." sorot wajah Naya penuh kejujuran, "tapi gue nggak akan buka sebelum yang punyanya ngasihin ke gue." "Dek," Leo menyentuh bahu Naya, "Kalau dia aja lupa sama lo, gimana mungkin dia bakal inget sama botol-botol itu? Buka aja sih, Dek!" greget. "Itu kan botol gue, Kak. Kenapa lo yang kepo?" Benar juga. Kenapa Leo mendadak penasaran? "Lo harus cari orang berengsek yang udah bikin lo nunggu lama." Naya memasang ekspresi yang membuat Leo kesulitan menerka. Katanya, "Kalau dia inget, pasti dia dateng ke sini buat buka bareng-bareng botol promise itu, Kak. Ya udahlah biarin, itu cuma permainan kecil nggak ada artinya." Leo hanya mengangkat bahunya kemudian kembali melirik botol-botol yang tergantung di atas pohon itu. "Gimana kalau lo sama gue bikin botol promise juga "Lo pasti kesel kan nunggu lama buat buka botol itu? Nah, ayo kita bikin. Gue nggak bakal lupa, jadi lo bakal buka botol promise bikinan kita bareng-bareng nanti. Gimana? Lupain aja botol-botol yang tergantung di atas pohon itu." Naya sedikit berpikir, "Boleh juga—kebetulan gue udah capek nunggu tuh orang." Leo tersenyum kecil kemudian mengajak Naya untuk mencari botol bekas sebagai media permainan yang akan mereka lakukan. Leo dan Naya menulis sesuatu dimasing-masing kertas mereka lantas memasukannya ke dalam botol. "Gue nggak mau botol-botol ini digantung, tapi botol ini kita tuker. Lo simpen botol gue, sedangkan gue simpen botol lo. Kita buka botol ini kalau—" Leo mengetukkan telunjuknya di depan dagu. "—tahun baru?" "Dua bulan dari sekarang? Oke." Naya mengangguk setuju, mereka bertukar botol dan saling melempar senyum satu sama lain. "Eh, boleh Nanya? Mama lo—" Naya tahu arah pertanyaan Leo sehingga dia memotong, "Mama meninggal pas ngelahirin gue. Papa hebat banget nggak mau nikah lagi. hehe." Huh? Bolehkan Leo iba? Leo tidak bisa membayangkan hidup tanpa seorang ibu. Dion yang ditinggal bundanya sejak kecil, dan juga Vano yang ditinggal mamanya baru-baru ini saja masih berkabung dan sedih. Apalagi Naya? Bahkan ia tidak pernah bertatap wajah dengan mamanya. "Come here..," Leo membuka tangannya sehingga Naya mendekatkan tubuhnya dengan perlahan. Leo mengelus kepala Naya dengan lembut sambil mengucapkan kata yang ia sendiri tidak sadari sudah keluar dari mulutnya. "Lo nggak sendirian, Dek. Gue bakal ada di sisi lo. Promise." [] *** Instagram; k.keeeen
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD