chapter 09

3206 Words
Leo menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ah, gagal sudah keinginannya untuk menonton film yang ia tunggu-tunggu itu. Leo bisa saja kembali lagi ke bioskop, atau bahkan membeli bioskopnya sekalian, tetapi ia sudah malas dan tidak mood lagi karena pergi nersama Naya dan Dee tiba-tiba muntah. Leo tidak menyesal sudah menolong Dee, tetapi tetap saja ia ingin keinginannya terwujud untuk menonton. Ia hanya manusia biasa dan kemejanya masih bau muntahan. Sial! Leo membuka laptop ngin mencari hiburan. Mungkin p****t semok Miyabi bisa sedikit memberikannya pencerahan hati dan pikiran. "Kak," Naya tiba-tiba duduk di sebelah Leo. "Naya udah ngetuk tapi gak ada sahutan." "Eh," "Kakak..." Naya melirik layar laptop yang sedang menyajikan pembukaan dari sebuah film dewasa. Menghela napas kemudian mematikannya dengan cepat. "Kak, bisa nggak kalau lagi bad mood jangan nonton ini?" Leo mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti. "Masih banyak yang bisa kakak lakuin selain nonton tayangan yang ngerusak sistem syaraf dan otak kakak itu." Leo menutup laptopnya kemudian menatap Naya. "Terus gue harus ngapain? Lebih baik gue nonton bokep atau meraktikinnya sama cewek lain?" Naya menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. "Argggh...." Leo mengacak-acak rambutnya. Entah seja kapan ia jadi kalah berdebat dengan seorang gadis. "Naya ada ide." "Apa?" Naya tersenyum kecil kemudian menyuruh Leo keluar kamar. Leo bingung sendiri melihat Naya yang membawa kardus kemudian mengeluarkan semua yang ada didalamnya. "Naya nemuin jas dokter digudang. Main dokter-dokteran yuk, Kak?" Leo rasanya ingin terbahak. Tentu ia tahu dokter-dokteran dalam pikiran Naya adalah benar-benar main dokter-dokteran. Seperti ada yang pura-pura sakit, diperiksa, diberi obat, atau apa pun yang berkaitan dengan kesehatan. Tetapi di dalam pikiran Leo, dokter-dokteran adalah kegiatan e****s yang dilakukan dokter hot dengan suster sexy di atas tempat tidur. Kalian mengerti, kan? "Ada kamar tamu yang kosong kan, Kak? Naya siapin jadi ruang rawat, ya." Naya langsung berlari menuju kamar yang ia maksud dengan senyum lebar. Leo mengikutinya dan makin terkejut ketika melihat kamar itu benar-benar disulap menjadi sebuah ruang rawat walau bentuknya tidak jauh seperti UKS sekolah. But, not bad. "Kak, Naya dokternya, ya?" Leo mengangguk sambil terkekeh pelan. Entah kemana perginya perasaan kesal yang tadi sempat hinggap diotaknya. Leo disuruh keluar dulu oleh Naya karena ceritanya gadis itu akan menunggunya diruangan dan Leo nanti masuk sebagai pasien yang sakit. Leo hanya tersenyum. Boleh juga lah main-main sedikit... Tok! Tok! "Silahkan masuk!" Pintu terbuka dan Leo langsung bisa menemukan Naya yang duduk dibalik meja dengan jas putih beserta kacamata yang terpasang dengan nyamannya dihidung mungil gadis itu. Leo menelan ludahnya. Ia belum pernah melihat dokter gadungan sepolos ini. Tetapi, inilah kelebihnnya! Terlalu polos sehingga... Leo langsung menggeleng karena pikiran kotornya mulai mengambil alih kekuasaan. Fokus, Yo! "Silahkan duduk. Ada keluhan apa, sodara Leo?" "Saya, saya..." Kenapa gue jadi gagap?! Leo langsung menepuk kepalanya dengan cepat. "Oh, sakit kepala?" "Eh," Naya terkekeh pelan sambil pura-pura menulis sesuatu. "Saya periksa dulu, ya?" Leo hanya mengangguk seperti kucing yang dicocok pantatnya. Sreeet! Naya membuka tirai putih sehingga terlihatlah sebuah tempat tidur ukuran king size. Leo hanya terkekeh karena jika rumah sakit sungguhan, pasti semua pasiennya betah tidur dikasur empuk seperti itu. "Silahkan berbaring, ya." Leo berjalan santai mendekati tempat tidur kemudin langsung mengambil posisi. Naya tersenyum lagi, lalu ia kembali menutup tirai putihnya. Sreeet! Leo mengerutkan dahi karena ia merasa de Javu pada apa yang sedang dilakukan Naya. Setelah menutup tirai, gadis itu memeriksa Leo seperti dokter sungguhan. Mengecek detak jantung, aliran darah, dan t***k bengek lainnya. "Lo gak sakit. Lo bohong, ya?" "Ya. Demi ketemu sama lo, dokter UKS cantik." "Jangan ngegombal. Pergi sana." "Nama lo siapa, sih?" Sreeet! Tirai putih itu ditutup kasar. "Cukup." Leo bangkit dari duduknya. Ia kembali mengerutkan dahi ketika ada sekelebat dialog yang terasa sangat familiar. Siapa yang melakukan dialog itu? "Kenapa, Kak? Apa Naya nyakitin kakak meriksanya?" "Enggak." Leo menggeleng sambil tersenyum. "Gue mau mandi udah sore. Lo juga mandi, ya." Leo turun dari tempat tidur kemudian berjalan menuju kamarnya untuk mandi. Ia kembali mengerutkan dahi karena suasan UKS dalam dialog itu seperti tidak asing dan ia merasa pernah berada disana. *** Grup Chat : Lelaki gagah perkasa idaman mama mertua ~ Dion : ke rumah. Kita karokean. Reza : oke kebetulan gue blom blik ke singapore xx Leo : pake emot dong dion ganteng klo chat tuh ! Dion : ke-emot-rumah-emot-kita-emot-karokean Leo : serah lu kucrut Reza : Ha. Ajak vano coy ada yg tau vano dimana? Leo : gue tai Leo : gue tau njir typo bangsat Dion : oh-emot-kalau-emot-tau-emot-ajak Dion : lo emang tai Leo : pusying sethaaan bacanya gk usah pake emot lah Dion : oke- gak usah pake emot-sip Leo : ngomong yeuh sama kontol Vano : Leo : astagfirullah Vano :O Reza : Vano nakal euy Vano : Vano lg nyari modal buat nikah. ini Jingga lol xxxx Leo : YEH PANTES DIBAJAK JABLAY Reza : YEH PANTES DIBAJAK j****y (2) Dion : itu angka dikuringin maksudnya apa? Leo melongok pasrah meihat chat dari Dion. Sahabatnya itu terkadang sangat-sangat menjengkelkan untuk seukuran manusia jenius. Leo menutup aplikasi chat-nya karena ia akan bersiap-siap bertemu para sahabatnya. Drtt... Dion : wajib bawa pasangan. Leo mendengus pelan. Siapa takut? Ia kan ada Naya jadi manfaatkan saja. Beres, kan? Tiba-tiba Leo ingat pada Reza. Sahabatnya yang satu itu belum berpacaran lagi semenjak putus dengan Luna. "Ah, mungkin Reza bakal nyewa cewek." Pikir Leo. Leo bersiul pelan sambil melangkah menuju kamar Naya. Masih jam tujuh malam dan Leo yakin kalau gadis itu belum tidur. "Dek, kerumah Dion, yuk. Kita mau karaokean. Anggun juga ada." Ajak Leo tanpa basa-basi. Naya hanya mengangguk kemudian mengambil jaket dan tas kecil. Sekitar lima belas menit, mereka sudah sampai diparkiran rumah mewah keluarga Prasetya alias kediaman Dion. Berderet mobil mewah begitu rapi terparkir dibagasi membuat para maling meneteskan air liurnya. Ada dua mobil familliar yang terlihat oleh Leo. Siapa lagi kalau bukan mobil Vano dan Reza. Leo langsung mengajak Naya masuk sambil menggandeng tangannya karena takut gadis itu tersesat. Rumah Dion sangat luas dan jika baru pertama berkunjung, pasti akan bingung. Pintu ruangan karaoke dibuka pelan oleh Leo, lalu terdengar lagu dangdut dengan volume tinggi beserta suara Jingga yang sedang menyanyi sambil bergoyang tidak tahu malau padahal Vano duduk disebelahnya. "Bro!! Dateng juga!" Jingga menyapa dengan menggunakan mic, sehingga Leo langsung menutup kedua telinganya. "Gue ketinggalan apa aja?" Tanya Leo berbarengan dengan ia menempelkan pantatnya diatas sofa. Tak lupa Naya juga duduk disebelahnya. "Eh," Leo mengerutkan dahinya melihat pemandangan aneh dihadapannya. Disebelah Reza duduk seorang gadis yang tidak dikenal, sedangkan diruangan ini juga ada Luna yang duduk bersebelahan dengan... "b*****t, ngapain lo disini?!" Leo melangkah mendekati Axel yang duduk tenang. "Lo, ke-kenal cowok gue?" Leo mengangkat sebelah alisnya pada Luna. "Cowok lo?" "Iya, namanya Axel. Lo kenal?" Axel terenyum pada Luna. "Kita temen SMP. Iyakan, Yo?" Leo mengepalkan tangannya karena entah mengapa ia jadi ingat apa yang dilakukan Axel pada Naya beberapa minggu lalu di club, dan hari ini Luna mengaku berpacaran dengan Axel? Leo tidak mengerti. "Kalian satu SMP? Kenapa gue gak tahu?" Luna terlihat bingung karena semuanya menjadi diam. "Itu gak penting, lebih baik kita nyanyi." Dion membagikan mic pada kawan-kawannya sehingga sekarang mereka kembali bernyanyi. Lalu Dion menepuk bahu Leo agar sahabatnya itu kembali duduk. Leo mengambil jus yang tersaji dimeja lalu meminumnya sampai habis. Ia melirik pada Reza sambil bergumam, "Cewek sewaan lo bagus. Berapa duit?" (*) Ini mungkin sudah lagu yang keberapa kalinya, dan suasana juga sudah kembali seperti semula. Leo bernyanyi tanpa memperdulikan keberadaan Axel. Karena itu yang seharusnya ia lakukan. "Bosen. Game, yuk?" Ucap Leo. "Game apa?" Tanya yang lain. "Eum, gimana kalau game : siapa ujung siapa buntung?" "Enggak." Vano langsung bersuara. "Itu game ter-i***t yang pernah gue tahu." Leo menaik turunkan alisnya. "Jangan bilang lo trauma..." Vano menggeleng dengan ekpresi datar. "Gue Cuma gak suka aja." Leo hanya terbahak mendengar jawaban Vano. Ia tentu masih ingat betul apa yang terjadi ketika mereka masih SMA dan melakukan game ini dirumah Dion. Yang penasaran apa yang terjadi, baca : kotak musik. ( Preeet... Author promosi :p ) "Boleh juga sih, Yo." Jingga berkomentar. "Apaan sih, Yang?" Vano langsung melirik Jingga. "Enggak ada main begitu-begituan." "Boring juga, sih. Boleh-lah." Kali ini Luna yang berkomentar. "Luna," Vano melirik Luna datar tetapi mengitimidasi, sehingga semua orang tertawa mengejek. "Oke, semua setuju, ya? Lo setuju kan, dek?" Tanya Leo pada Naya. Gadis itu hanya mengangguk tetapi terlebih dahulu meminta dijelaskan cara permainannya. "Gampang. Nanti bakal ada orang yang puter botol, terus, kalau ujung botolnya ngarah ke siapapun itu, maka orang itu bakal dihukum sama si pemutar botol. Kalau dulu yang dihukum satu orang, sekarang dua orang karena pemainnya banyak. Lagian ujung botol kan emang ada dua. Oke?" Jelas Leo. Vano memutar kedua bola matanya mendengar penjelasan Leo. Melihat itu, Leo langsung tertawa. "Ini cuma game, Van." Jeda. " Jadi, siapapun nanti yang dihukum bukan sama pasangannya, harus fair. Soal bentuk hukumannya, bebas ya." "Maksud lo?" Tanya Luna. "Kalau lo dihukum ciuman sama gue, harus mau. Fair and fun!" Kata Leo. Mereka akhirnya mengangguk. Lagian tidak akan ada orang yang menghukum dengan meminta ciuman, kan? Ya, kecuali itu Leo. Mereka lalu duduk melingkar dengan posisi acak alias tidak duduk disebelah pasangan mereka. Kata Leo, sih, biar tambah seru dan menegangkan. Setelah hompimpa, Leo dengan mujurnya menjadi orang pertama yang memutar botol dan juga orang yang akan menghukum. Mereka semua was-was ketika Leo menyeringan sambil memutar botol. "Vano dan... yaampun, kalian emang jodoh!" Leo mendengus ketika ujung botol itu menunjuk Jingga dan Vano. "Cepetan. Apa hukumannya?" Ucap Vano ketus. "Sabar. Udah ngebet banget, ya? Eum.. ah, kiss mark-in leher Jingga aja!" "Apa?!" Semua orang terpekik kaget kecuali Leo, tentunya. "Leo," Vano menatap Leo dengan ekpresi dinginnya.Yang ditatap hanya mengangkat bahu tidak peduli. "Aku sayang kamu, kamu tahu itu, kan?" Vano berbicara lembut pada Jingga dan gadis itu mengangguk malas. "Tahu, ih. Cepetan! Waktu berjalan, nih." Leo menyeringai ketika melihat Vano dengan canggungnya menyingkirkan rambut yang menghalangi leher putih Jingga. Semuanya berteriak heboh melihat pemandangan tak biasa yang dilakukan Vano. "Enggak, gue gak mau." Vano menjauhkan kepalanya. "Itu sama aja ngelecehin Jingga. Gue gak mau." Jingga memutar bola matanya kemudian menarik leher Vano dan mengecupnya pelan. "Done, Yo!" Ucap Jingga setelah melaksanakan aksi nekatnya dan tidak memperdulikan Vano yang menatapnya galak. Mungkin pulang dari sini mereka akan cekcok. Salahkan Leo! "Ah, harusnya Vano. Tapi, okelah sama aja." Leo mengibaskan tangannya keudara. "Ayo hompimpa lagi!" "Gue yang muter!" Jingga terpekik senang lalu botol itu berhenti pada Dion dan Leo. "Anjing!" Pekik Leo. "Lo gak akan nyuruh gue kissing sama Dion, kan?" Jingga terkekeh. "Kalian goyang poco-poco tapi shirtless, ya? Cepet!" Bagi Leo, itu mungkin gampang. Tapi, untuk Dion? Cenayang goyang poco-poco? Leo geli memikirkannya. Akhirnya mereka berdua melakukannya. Semua tertawa melihat gerakan kaku Dion yang berbanding terbalik dengan gerakan Leo yang tidak tahu malu. Mereka akhirnya kembali berhompimpa dan entah mengapa Leo kembali beruntung. Botol itu berputar lalu berhenti pada Reza dan Luna. Suasana hening seketika. "Eum," Leo berdehem. "Kissing 2 menit, ya?" "Gila!" Ucap Luna dan Reza bersamaan. "It's just game..." "Yo, ada pacarnya Luna." Dion memperingatkan. "Tahu, tapi kan kita setuju kalau gak boleh marah. Ini Cuma game." "Lun, come on." Reza melirik Luna yang duduk dihadapannya. "It's just game. Bener kata Leo." "Gue gak mau. Mungkin buat lo ini Cuma game, tapi gue gak mau!" Leo memperhatikan sorot mata Luna yang terlihat terluka. Ia yakin bahwa Luna masih punya perasaan pada Reza maka dari itu Leo menyuruh mereka berciuman agar mereka bisa menjalin hubungan lagi. Entah mengapa Leo merasa ada sesuatu yang aneh pada hubungan Luna dan Axel. "Gak papa, Lun." Ucap Axel. "Ini Cuma game, santai aja." "Cowok lo aja mau." "5 detik." Pinta Luna. "No.2 menit." Ucap Leo. "10 Detik!" "Oke, satu menit!" Jawab Leo final. Melihat Reza yang menghampiri Luna, Dion langsung berbisik pada Leo. "Lo bener-bener pengen bikin masalah baru, Yo." "Enggak, kok." Jawab Leo tak kalah berbisik. "Done, Yo." Seru Reza setelah melepas bibirnya dari bibir Luna. Suasana seketika menjadi canggung. Lagi-lagi, ini salah Leo!" "Lanjut!!" Mereka kembali berhompimpa dan kali ini Axel yang berkesempatan memutar botol. "Ceweknya Dion dan... Naya?" Leo langsung melirik kearah botol dan memang benar jika arahnya menunjuk pada Naya. "Ahh," Axel terkekeh. "Anggun, gue lepasin lo. Sedangkan Naya, ciuman sama gue." "Apaan nih?!" Leo bangkit berdiri. "Yang muter botol gak bisa nerima hukuman! Gak fair!" "It's just game, kan kata lo?" Axel menyeringai. "Yang muter botol gak bisa nerima hukuman! Gak fair!" "Cewek gue aja lo bikin kissing sama mantannya. Apa salah kalau sekarang gue bikin cewek lo kissing sama gue?" Leo langsung mengepalkan tangannya lalu Dion menepuk bahu Leo mencoba menangkan. "Sabar, Yo. Jangan emosi." "Game over," Dengan cepat Leo menarik tangan Naya keluar menuju pintu. Melihat itu, Jingga langsung menepuk tangan Vano. "Yang," Kemudian ia berbisik, "Perasaan gue doang, atau Axel emang punya dendam pribadi sama Leo?" "Kita gak usah ikut campur. Aku yakin Leo bisa nyelesain masalahnya sendiri." *** Rokok keenam yang Leo nikmati sepertinya belum cukup untuk meredakan kekesalannya. Ya, Leo kesal! Leo kesal karena bisa-bisanya Axel meminta berciuman dengan Naya. Bukan karena Leo cemburu, tetapi karena janjinya pada Dion yang harus menikahi Naya diwaktu mendatang yang membuatnya marah. Ia marah pada Axel karena ia tidak mau calon pendampingnya rusak. Katakanlah Leo egois. Walaupun ia b******k, tetapi ia tetap ingin menikahi perempuan baik-baik. Maka dari itu Leo mencoba tidak pernah menyentuh Naya secara berlebihan. Jika menepuk bahu atau sekedar mengacak-acak rambut dan memeluk Naya, Leo melakukannya tetapi yang lain tidak. Dan tadi Axel meminta bibir Naya? Jelas Leo geram setengah mati. "Kak," Leo menghisap rokok ditangannya kemudian melirik kesumber suara. "Kakak ngerokok? Gak baik, Kak." Leo tersenyum pada Naya. "I know." "Kenapa kakak ngerokok kaya gini? Gara-gara kak Axel?" "Ya," "Apa kakak cemburu waktu kak Axel minta Naya ciuman sama dia?" Leo mengangkat sebelah alisnya karena wajah Naya mendadak merah sekali. Ia geli melihatnya dan ia tidak tega jika membuyarkan wajah bllushing yang lucu itu. "Banget. Gue cemburu banget." Goda Leo. "Masa gue gak cemburu kalau calon isteri gue ciuman sama cowok lain?" "Huh?" Naya membulatkan mulutnya dengan ekpresi lucu. "Kakak, bakal nikahin Naya?" Leo memang tidak bisa menjamin, tapi saat ini ia mengangguk sehingga membuat Naya speechless. "Mau kan nikah sama gue?" Naya mengangguk cepat. "Kakak, yaampun. Kakak baru aja bikin Naya terbang tahu, gak! Naya..." Leo tidak mengira ucapan yang ia anggap gurauan bisa membuat seorang gadis berkaca-kaca. Leo merasa... "Naya sayang sama kak Leo." Naya langsung menggenggam tangan Leo membuat cowok itu terpekik kaget. "Izinin Naya ngebuktiin perasaan yang Naya punya buat kakak." Leo terpaku. Entahlah. "Lo sayang sama si cowok b******k ini?" Naya mengangguk dengan mata berbinar. "Naya tahu kakak b******k. Tapi bukannya tuhan mengirimkan seseorang untuk melengkapi hidup kita? Kalau kakak b******k, kan Naya baik. Kita cocok, kan?" Leo terkekeh mendengarnya. Belum ada lagi seorang gadis yang menatapnya seperti ini setelah sekian lama. Sorot mata Naya saat mengutarakan perasaannya terlihat sangat tulus. Tidak seperti para cewek teman tidur Leo yang selalu berkata 'i love you' ketika seks saja. "Karena lo calon isteri gue, lo harus jaga diri lo. Gak boleh ada yang nyentuh lo selain gue nanti. Oke?" Naya mengangguk. "Promise." Leo membingkai wajah Naya dengan kedua tangannya. "Gue pegang janji lo, Ray." "Naya." "Oh s**t!" Leo menggeram. Mengapa ia selalu salah sebut huruf disaat yang tidak tepat? Rasanya keromantisan yang tercipta menjadi buyar seketika. Tidak keren! "I'm yours," Naya berjinjit untuk mengecup pipi kiri Leo kemudian gadis itu langsung menundukan kepalanya malu-malu. Leo mengangguk pelan sambil tersenyum. "I know, My N." "My N?" Leo memutar kedua bola matanya. "Gue selalu salah sebut huruf, kan? Jadi gue bakal panggil lo My N. Biar gak salah mulu." "My N?" Naya terkekeh. "I love it." Leo tahu ini gila, dan ia belum pernah meminta hal ini pada seorang gadis karena menurutna tidak perlu. Tapi entah mengapa, kali ini Leo ingin mendapatkan persetujuan dari Naya. "May I?" Naya mengangguk kemudian menutup matanya sambil meremas kedua tangannya dengan gugup. Leo merasa geli. Mungkin gadis ini berpikir Leo akan menciumnya tepat dibibir? Haha. "Hei, My N? Buka mata lo." Leo terkekeh pelan sehingga Naya membuka matanya. Lalu, satu kecupan hangat mendarat didahi Naya. "Mulai sekarang, kalau gue minta lebih dari ciuman didahi, hajar gue, oke?" Naya mengangguk kemudian memeluk tubuh Leo sambil berteriak. "Aku sayang kak Leo!!" *** "My little boy, lo masih pengen ngerokok? Gue sesak nafas." Ucap Aish dengan suara manja. "Oh, Sorry, Aish." Leo memang sedang bertemu dengan Aish disebuah kafe. Ia merasa tidak enak karena seminggu yang lalu menolak permintaan Aish, walau bagaimanapun, Leo menghargai Aish layaknya kakaknya sendiri. Maka dari itu sekarang mereka bertemu. Tapi, pikiran Leo malah melayang kemana-mana. "My little boy, lagi ada masalah? Cerita dong." Leo terkekeh pelan. "Cuma lagi pengen ngerokok aja soalnya udah lama." "Bukan karena cewek jalang itu, kan? Lo udah move on, kan?" "Aish, gue males bahas itu ah." "Yaudah, tapi jangan sungkan kalau mau cerita ya, My little boy..." Leo mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu bahwa Aish memang orang yang peduli tetapi tidak suka memaksa. "Ah, cowok gue udah jemput diparkiran. Next time kita ngobrol lebih banyak ya, sweethaert?" "Santai aja, Aish." "Oke," Aish menyambar tas mahalnya kemudian mengecup pipi kiri Leo. "I love you," dan ia melangkah pergi keluar kafe sehingga lonceng diatas pintu berbunyi. Setelah kepergian Aish, Leo hanya mengaduk kopi dihadapannya tanpa berniat meminumnya. Entah mengapa jika melihat kopi, ia malah melihat wajah Naya yang akan memaksanya meminum s**u vanilla. Leo selalu terkekeh ketika wajah cemberut gadis itu mengganggu pikirannya. Leo menyimpan beberapa uang diatas meja kemudian melangkah keluar kafe. Masih jam sebelas siang dan ia bingung mau kemana. Resiko tidak lanjut kuliah, ia jadi linglung tidak punya kegiatan. Mungkin nanti Leo akan mendaftar ulang disalah satu universitas di Jakarta. "I'm home..." Lirihnya pelan sambil membuka pintu rumah. Suasana sepi menyambutnya karena sang mami sedang pergi menemui papi-nya di Jerman. Entah pulang kapan. "Bi, baju siapa itu?" Tanya Leo pada bi Hun yang melangkah menuju tangga membawa setumpuk pakaian. Terlihat sangat kerepotan. "Baju neng Naya habis disetrika sama bibi." "Biar Leo aja yang bawa kekamar." Leo mengambil alih tumpukan baju itu sambil mengedip jahil pada bi Hun. Ia melangkah menaiki tangga kemudian membuka pintu kamar yang kosong karena pemiliknya sedang menuntut ilmu di sekolah. Leo tahu jika membuka lemari seseorang itu tidak sopan, tetapi maksudnya baik yaitu menyimpan baju-baju Naya. Ia tekekeh pelan ketika melihat isi lemari Naya yang sangat rapi dan juga dipenuhi qoutes cinta disetiap sudut yang kosong. "Lucu banget." Komentar Leo ketika melihat sekilas sebuah foto dua anak kecil. Leo yakin bahwa salah satu anak kecil didalam foto adalah Naya, dan yang satunya lagi pasti Dee. Leo senang karena Naya mempunyai sahabat setia dari kecil walaupun Dee sangat berisik. Leo menutup kembali lemari itu kemudian merebahkan tubuhnya ditempat tidur. Wangi khas Naya benar-benar mendominasi sehingga Leo merasa gadis itu ada disekitarnya. Tak lama, Leo memejamkan matanya karena ia rindu terelep dikamar masa kecilnya itu... * "Nama lo siapa? 'Ya'? Ujungnya 'Ya'? Depannya apa?" "Buat apa?" "Gak boleh kenal, ya? Nama lo siapa sih? Kenapa harus pake jaket? ini dilingkungan sekolah. Gak boleh. Gak boleh pake karena gue jadi gak bisa baca name tag lo." "Bukan urusan gue." "Please, siapa nama lo? Gue kakak kelas lo, kasih tahu, elah." Gadis itu memutar kedua bola matanya kesal. "Naraya." "Panggilannya?" "Naya." "Ribet amat? Gue bakal panggil lo Raya aja. oke? Salam kenal..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD