Bab 3 Tanda Lahir

1189 Words
Penerangan di kamar itu masih redup dan suasananya terasa aneh. Entah mengapa, setelah Dalendra melihat wajah cantik Marsha yang berbaring tak berdaya di tempat tidurnya, dia langsung mengusir Marco keluar dari kamar. Asisten pribadinya tidak diizinkan melalukan apapun pada wanita itu, padahal tadi Dalendra sendiri yang memintanya. "Hey! Bukankah kau wanita yang tadi keluar dari aula ketika aku masih berbicara, ya? Tapi, kenapa sekarang malah ada di kamarku?" "Lalu ... temanmu itu, siapa namanya? Febi, daaan ... Fiska kalau tidak salah, tadi mereka ada di depan kamarku. Apa mereka mencarimu?" Dalendra terus berbicara pada Marsha yang masih gelisah di atas tempat tidurnya. Ia pun terus menunduk, melihat dengan seksama wajah cantik yang saat ini sudah dipenuhi dengan keringat. "Ah ... Fe-Febi??? Di ma-mana Fe-Febi dan Fr-Friska?" Marsha mendengar nama temannya disebut. Seketika perasaannya menjadi lebih baik. "Ahhh...." Dia tidak punya tenaga untuk bangun dan keluar dari kamar itu. Tubuhnya benar-benar tidak bisa dikendalikan. Rasa panas dan geli di tubuhnya pun tidak bisa dia hilangkan karena otaknya seakan menjadi kosong. "Ah ... a-aku .... Aku—" Marsha menggigil. "Ap—" Belum sempat Dalendra merespon ucapan Marsha yang tidak jelas itu, tiba-tiba leher kekar Dalendra ditarik dan dipaksa mendekat ke arah wajah Marsha. Tindakannya itu membuat Dalendra terkejut. "Eh! Apa yang kau lakukan? Singkirkan tanganmu!" tolak Dalendra dengan cepat. "Pa-panas! Be ... beri aku ..." bisik Marsha tepat di telinga Dalendra dengan suara rintihan yang terus keluar dari mulutnya. "Bagaimana ini?" Tiba-tiba Dalendra yang gagah dan tampan menjadi bingung. Dari tanda-tanda yang terlihat, Dalendra semakin yakin 100% kalau wanita di depannya ini terpengaruh oleh obat perangsang. "Haruskah ...." Setelah berpikir beberapa detik, akhirnya Dalendra menemukan solusinya. Ia akan membawa wanita itu ke kamar mandi, lalu mengguyurnya dengan air dingin untuk meredaan efek obatnya. 'Ide bagus!' pikirnya dengan puas. "Ayo, ikut denganku!" Tiba-tiba Dalendra meraih tangan kecil Marsha, lalu membawanya ke arah kamar mandi yang ada di sebelah kanan. Marsha sendiri pun tidak menolak. Ia dengan patuhnya mengikuti Dalendra, lalu dimasukannya ke dalam "bathtub" yang bersih dan kering. "Aaahh ...." Seketika Marsha kedinginan. Dalendra benar-benar mengisi bak mandinya dengan air yang sangat dingin. "Tahan sebentar! Semoga saja dengan begini efek obatnya bisa sedikit berkurang!" ucap Dalendra sambil mengarahkan showernya tepat ke kepala Marsha. Seketika tubuh Marsha basah kuyup. Rasa dingin dari air itu membuat Marsha menjerit dan tanpa sadar menarik leher Dalendra hingga pria itu terseret ke depan. Belum sempat menahan, kaki Dalendra sudah terpeleset. Ia tercebur ke dalam bak mandi dan menimpa tubuh Marsha. "Aishhh, kau!" "Di-dingin ...." Tubuh Marsha benar-benar menggigil. Ia memeluk erat leher Dalendra dengan kedua tangannya di bak mandi yang sudah terisi air. Seolah dengan begitu tubuhhnya tidak akan kedinginan lagi. Sebagai pria dewasa normal, Dalendra merasakan dadanya berdebar kencang ketika seorang wanita memeluknya di dalam air. Ia tidak bisa mengontrol diri dengan gerakan-gerakan halus dari wanita itu. "Di-dingin! Bisa bawa aku ke kamar?" pinta Marsha di telinga Dalendra. Marsha terus memeluk Dalendra dan menempelkan tubuhnya seperti gurita dengan tenaga yang cukup kuat. "Tidak mau di sini .... Bawa aku ke kamar lagi," rengek Marsha di telinga Dalendra. "Aish ...." Mendengar hal itu, Dalendra pun tidak bisa menolak lagi. Ia mematikan air kerannya, lalu mengangkat tubuh ramping Marsha dan membawanya ke dalam kamar. *** Pukul 5 pagi, Marsha terbangun karena dering alarm dari ponselnya. Ia pun segera mengulurkan tangan, mengambil tas kecil yang ada di atas nakas, lalu mematikan alarmnya. "Aishhh, sudah jam 5!" Marsha membuka mata. Ia menyibak selimut dan berniat turun dari tempat tidur. Baru saja selimut itu terbuka, tiba-tiba Marsha terkejut. Ia melihat ada seseorang di sampingnya. "Eh ...." Di samping Marsha ada seorang pria yang tidak mengenakan pakaian. Seketika otaknya dipenuhi oleh bayangan adegan-adegan semalam. "A-apa yang kulakukan?" Marsha segera menarik kembali selimutnya. Ia menutupi d**a dan tubuhnya yang polos tanpa apapun, lalu melihat pria itu lagi. "Si-siapa pria ini?" Marsha tidak bisa melihatnya. Pria itu memunggunginya, hanya terlihat punggung yang polos dan .... "Tanda lahir itu?" Seketika tangan Marsha bergetar. Ia melihat di tubuh kekar pria itu ada tanda lahir yang berbentuk api dan berwarna merah, bentuknya cukup kecil—sebesar kuku jari tangan—dan letaknya ada di pinggang sebelah kanan. Tanda lahir unik itu sama persis dengan tanda lahir yang dimiliki oleh putra angkatnya—Daniel. "Aishhh, bagaimana ini?" Perasaannya semakin tidak karuan. Marsha tidak bisa terus berada di sana dan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika pria itu sampai bangun. Akhirnya Marsha turun dari tempat tidur, lalu mencari jubah mandi untuk dikenakannya karena gaunnya sudah basah kuyup. Begitu juga dengan pakaian pria itu, sudah basah dan tidak bisa dipakai lagi. *** Pukul enam pagi, Marsha sudah ada di rumahnya setelah pulang menggunakan taksi. Ia pun sudah mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Saat ini, ia sedang membuat sarapa di dapur untuknya, Daniel dan sang ayah, karena jam 7 pagi dirinya harus pergi ke kantor. "Eh, Ica, kapan pulang? Papa kira kau menginap di tempat Febi," tanya Mazar–ayah Marsha—yang sudah berusia 50 tahun. Pasalnya, tadi jam 04.00 ketika Mazar mau ke kamar mandi, ia melihat kamar Marsha masih kosong. Anak semata wayangnya itu belum pulang dan tempat tidurnya masih rapi. Tidak terlihat aktifitas apapun di sana. "Ah, iya Pah! Tadi aku pulang jam 5!" jawab Marsha dengan pelan. Ia menunduk sambil memegang roti yang baru dipanggangnya di atas piring. Mengerti suasana hati anaknya yang kurang baik, Mazar pun tidak bertanya lagi. Ia pergi ke kamar mandi, lalu membangunkan Daniel—anak angkat Marsha—yang baru berusia 3 tahun, lalu mereka sarapan bersama. Pukul 7 pagi, ketika Marsha sedang bersiap-siap pergi ke kantor, dari depan rumahnya yang merupakan sebuah perumahan sederhana di pinggiran kota, berhenti sebuah mobil hitam. Lalu seseorang yang memakai jas dan kemeja putih keluar dari dalam mobil. Dari jendela rumah, terlihat pria itu berjalan mendekat, Daniel yang mengenali sosok pria itu pun segera berseru. "Om Jona ... Om jona! Ada Om Jona!" Daniel segera membuka pintu rumah, lalu menghampiri Jonathan yang merupakan teman baik Marsha sekaligus dokter yang dulu merawat Daniel. Ya, dulu ketika bayi prematur yang lahir hanya sebesar botol minuman—1,8kg—ditemukan oleh Marsha di sebuah toilet umum yang ada di mal ketika Marsha bekerja sebagai pelayan toko, Jonathan membantunya merawat bayi itu sampai berat badan bayi mencapi 2,5kg karena dia seorang dokter. Marsha pun keluar dari pekerjaannya dan lebih fokus merawat bayi malang itu di rumah. Namun, setelah bayi—Daniel—berusia 2 tahun, Marsha memutuskan untuk kembali bekerja. Ia melamar ke perusahaan fashion dan diterima sebagai Desainer Fashion. Ia meminta ayahnya keluar dari pekerjaannya dan membantunya merawat Daniel. "Eh, Daniel! " Jona menerima pelukan di kaki. Jona pun segera mendunduk, mengangkat anak kecil itu, lalu digendongnya. "Paman, Paman tadi malam ke mana? Kenapa tidak ke rumah? Daniel sendirian, Mama pergi, tidak pulang!" ucap manja Daniel sambil memeluk leher Jona. Anak kecil itu berpikir, ketika ibunya tidak ada di rumah, harunya paman yang baik hati itu ada dan menemaninya. "Hah? Mama pergi? Pergi ke mana?" tanya Jona sambil mengerutkan kening. Mulut bertanya pada Daniel, namun bola matanya melihat ke arah Marsha yang baru keluar. Wanita cantik itu terdiam ketika mendengar pertanyaan dari teman prianya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD