Para Pekerja di Rumah Ferdi

1609 Words
Malam berganti pagi dengan cepat. Ferdi semalam terlelap begitu nyenyak setelah makan nasi goreng spesial seafood dan minum es jeruk yang padahal belum membuatnya kenyang. Sehari kemarin rasanya tulang-tulang pada tubuhnya hampir copot. Pagi ini, Ferdi sudah bangun awal karena membayangkan bubur ayam atau soto Betawi yang ada di dekat perumahan elite itu. Cukup dengan berkendara sepuluh menit sudah sampai. Lelaki itu segera ke kamar mandi untuk membilas tubuh agar lebih segar dengan air hangat. Senyum manisnya menghiasi wajah tampan yang sayang disayangkan justru memilih jalan sesat untuk segala kemudahan di hidupnya. Ferdi mengamati kembali wajahnya dari pantulan cermin kamar mandi sebelum menyelesaikan mandi pagi. “Kalau dipikir-pikir ... Gue emang ganteng. Beda sama Bapak Ibu. Kok, bisa, ya? Apa gue ini anak pungut? Anak adopsi?” gumam dirinya pada cermin dan tiba-tiba Marry Ann muncul di belakangnya. “Wajahmu seperti kakek buyutmu,” kata Marry Ann jelas mengagetkan Ferdi. “Astaga! Marry Ann, Sayang. Lain kali kalau muncul jangan mendadak napa, sih? Kalau jantungan dan tiba-tiba anfal, gimana?” Ferdi mengelus-elus d-a-d-a-nya kembali karena detak jantung tak beraturan akibat terkejut. Meski Marry menampakkan wujud cantik, tetap saja mengagetkan kalau tiba-tiba muncul di mana saja. “Kalau anfal justru bagus. Kita akan hidup di duniaku,” jawab Marry Ann makin mengejutkan Ferdi. “Duh, bercandanya jangan begitu, dong. Jadi takut, kan. Oh iya, soal janji kemarin?” Ferdi menanyakan kembali janji yang Marry Ann ucap sebelum dia melayani perempuan gaib itu. “Sudah. Nanti siang semua datang sesuai pikiranmu. Ternyata kamu cerdik dan juga berselera tinggi. Kalau begitu aku pergi dulu. Orang-orang yang akan menjadi pegawaimu sudah dalam perjalanan ke sini.” Marry Ann pun menghilang kembali. Ferdi hanya tersenyum karena semua permintaan dirinya dengan mudah dituruti oleh istri dari dunia lain yang cantik seperti bidadari. Dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Ferdi menyelesaikan mandi dan kemudian mengeringkan tubuhnya yang lumayan kekar, tidak kurus kerempeng dengan handuk dan segera mengenakan celana jeans panjang navy dengan sweater kuning karena pagi itu memang cukup dingin di kawasan perumahan elite tersebut. Ferdi bergegas keluar dan mengendarai motor sportnya menuju ke tempat penjual untuk sarapan bubur ayam atau soto Betawi kesukaannya. Lelaki itu jelas saja menarik perhatian banyak orang saat duduk di kursi panjang ala warung dadakan pinggir jalan. Meski dia sudah kaya raya, tetap saja lupa kalau makan di pinggir jalan seperti itu membuat citranya menurun. Bodo amat sial citra karena yang penting saat ini Ferdi memuaskan rasa lapar perutnya yang keroncongan. “Pak, soto betawi satu komplit sama es jeruk!” seru Ferdi sambil mengacungkan tangannya. “Ya, Mas,” jawab penjual yang bergegas membuat semangkuk soto Betawi sangat lezat untuk memulai pagi dengan semangat. Setelah siap, lelaki penjual itu segera membawa nampan berisi pesanan Ferdi dan beberapa pelengkap terpisah di piring. “Ini, Mas.” “Terima kasih, Pak!” Ferdi sangat antusias hendak memakan soto Betawi di atas meja hadapannya. Dia meraih jeruk nipis dan mengucurkan ke mangkuk soto. Kemudian menambahkan sambal biar mantap. Ferdi tidak begitu suka kecap manis karena wajahnya sudah lebih manis daripada kecap. Lelaki dengan lesung pipi itu pun segera menyantap soto Betawi dengan lahap. Banyak orang yang makan di warung itu menatap ke arah Ferdi yang memang tampan. Mereka pun berbisik-bisik membicarakan Ferdi yang sedang asyik sendiri dengan mangkuk sotonya. “Eh, lihat. Itu cowok mirip artis, ya?” “Oh, bener. Ganteng banget. Sederhana pula, mau makan di warung begini. Wah, idaman banget.” “Jangan ngehalu buat dapat cowok model begitu! Modelan anak hits begitu pasti ceweknya banyak.” Ferdi cuek saja dengan perbincangan orang di sekitarnya. Dia menyelesaikan makan tidak lebih dari lima menit. Kalau makan bisa cepat, kenapa harus lama? Toh, sembilan belas detik saja bisa viral. Mantap, kan? Lelaki itu segera berdiri dan menghampiri bapak penjual untuk membayar. “Berapa, Pak? Tambahannya sate usus satu, sate telur puyuh satu, sama tahu bacem satu,” tanya Ferdi sambil mengambil dompet dari saku celananya. “Empat puluh lima ribu, Mas,” jawab penjual itu cekatan. “Ini, Pak. Simpan saja kembaliannya.” Ferdi menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah kepada penjual itu. “Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih.” Ferdi pun segera pergi dari warung tersebut. Mengendarai kembali motor sport warna hitam dengan helm full face menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah blok Michael tersebut, Ferdi menemukan ke empat orang yang hendak menjadi pekerja di rumahnya sudah datang. “Maaf kalau menunggu lama. Aku baru saja sarapan,” ujar Ferdi yang membuka kaca helmnya dan kemudian turun dari motor untuk membuka gerbang. Ternyata sendirian itu merepotkan. “Iya, Tuan, tak apa.” Mereka berempat masuk ke dalam pekarangan rumah Ferdi setelah dipersilahkan. Ferdi pun meminta ke empat orang itu untuk memperkenalkan diri lebih dahulu dan memberikan fotocopy KTP serta nomor handphone keluarga sebagai salah satu perlindungan kerja andai kata terjadi sesuatu harus tanggung jawab dan menghubungi keluarganya. Syarat yang tergolong cukup mudah untuk melamar pekerjaan karena biasanya orang-orang lainnya pasti memilih dari pusat tenaga kerja. “Ibu namanya Jainun, usia lima puluh empat tahun, niat jadi pembantu di sini, Tuan. Siap tidur di sini, nanti libur diambil sekalian waktu gajian, Tuan." “Bapak namanya Jono, usia lima puluh delapan tahun. Pekerjaan sebelumnya sopir taksi dan jadi ojek online motor. Punya SIM C dan SIM A aktif dan tidak pernah bermasalah tilang. Siap jadi sopir pribadi, Tuan." “Saya Danar, Tuan. Usia tiga puluh delapan tahun. Niat menjadi tukang kebun yang penting halal. Terima kasih sudah diizinkan bekerja." “Saya Andre, usia dua puluh tujuh tahun dan baru saja selesai pelatihan satpam. Siap menjaga keamanan rumah ini.” Ke empat orang itu memperkenalkan diri kepada Ferdi satu per satu bergantian. Ferdi pun mengangguk paham dan tersenyum, lalu memberitahu mereka bisa mulai bekerja hari ini dengan gaji yang disesuaikan UMR tempat ini sesuai dengan job description pekerjaan mereka masing-masing. Meski kekayaan yang didapat adalah hasil singkat dari jalan yang sesat, lelaki itu sama sekali tidak ingin menjadi orang yang pelit. Bahkan dia berpikir memberi uang cuma-cuma kepada orang lain pun tak apa karena dia mendapatkan uang dan kemewahan juga secara cuma-cuma. Padahal di balik itu semua ada perjanjian darah yang membuat kehidupan orang lain menderita bahkan terenggut nyawanya. “Terima kasih banyak, Tuan,” ujar ke empat orang itu bersamaan dan segera memulai bekerja di rumah mewah dan luas itu. Ferdi menunjukkan tempat tidur para pekerja ada di belakang. Rumah itu memiliki satu gudang besar di samping dan tiga kamar kosong di belakang seperti khusus untuk pegawai. Sama sekali tidak mengurangi keindahan tempat nuansa Eropa milik Ferdi. Bertepatan dengan itu, tiga mobil pickup besar datang membawa berbagai perabotan sesuai dengan apa yang Ferdi impikan. “Maaf, atas nama Tuan Ferdi Setiaji? Ada kiriman sejumlah furniture dan perabot. Ini tanda tangan di sini untuk tanda terima. Sudah lunas semua dibayar oleh Nona Marry Ann,” jelas petugas membuat Ferdi tak percaya dengan apa yang didengarnya. Marry Ann benar-benar memberikan semua itu dengan cash. Entah uang gaib dari mana dan bagaimana perempuan yang bukan manusia itu bisa membayar dan membeli semua itu. Saat ini Ferdi tidak mau ambil pusing dan segera menandatangani surat terima. Ke empat pegawai Ferdi makin kagum dan yakin kalau tuannya adalah pengusaha sukses, muda, kaya raya turunan dari orang sukses juga. *** Siang itu, Ferdi sudah pulang dari showroom membeli mobil Civic sport hitam untuk akomodasinya dengan sopir pribadi. Selain itu, dia meminta Bu Jainun belanja semua keperluan isi dapur hingga semua perlengkapan bersih-bersih rumah bersama Pak Jono ditemani Andre. Ferdi memberikan uang cash cukup besar jumlahnya. Dia memilih di rumah dahulu karena tubuh masih lemas karena perbuatan Marry Ann kemarin. Saat bersantai di ruang tamu yang sudah tertata rapi aneka perabotnya, ponsel Ferdi pun berbunyi notifikasi pesan. Lelaki itu segera memeriksa siapa yang mengirim pesan dan segera membalas. Dimas: [ Fer, gimana kabarnya? ] Ferdi: [ Baik, Dim. Gimana kabar loe? ] Ferdi tersenyum licik. Ini saatnya dia pamer pada Dimas, sahabatnya. Dimas: [ Alhamdulillah baik juga. Sorry kalau baru hubungi. Katanya tempo lalu kena musibah? Gimana sekarang? ] Ferdi: [ Oh, soal itu. Iya, waktu itu lagi ujian naik derajat. Sekarang gue udah sukses. ] Dimas: [ Kerja di mana, Fer? Kalau ada problem jangan sungkan beri tahu aku. ] Ferdi: [ Nggak usah khawatir. Sekarang gue udah rintis bisnis. Ini juga baru aja pindahan ke rumah baru. ] Dimas justru khawatir dengan kondisi kejiwaan sahabatnya yang menulis sesuatu sepertinya melantur. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang baru saja mendapatkan musibah dibegal dan harus mengganti rugi belasan juta kemudian menjadi orang kaya raya dalam waktu belum ada satu bulan? Tentu saja hal itu membuat Dimas menjadi cemas dengan sahabatnya. Dimas: [ Kapan ada waktu? Aku mau ke sana. Gimana luka-lukamu? Udah sembuh? ] Ferdi: [ Aman semua sudah sehat walafiat. Iya, silakan kalau mau ke sini nanti kabari aja mau naik pesawat atau kereta. Nanti gue jemput, dah. ] Dimas: [ Oke. ] Dimas saat ini memang sibuk mengelola restoran milik mamanya yang sedang sakit. Namun saat mendengar rumor tentang sahabatnya yang dibegal oleh orang jahat dan harus mengganti rugi jumlah banyak uang untuk ekspedisi pengiriman tempat dia bekerja, tentu saja rasa iba ada di benak Dimas. Betapa menyedihkan Ferdi yang awalnya kerja di kantor menjadi pekerja pengiriman paket ekspedisi tertentu. Teman-teman kuliah pun mencibir dan juga menghina Ferdi itu yang membuat Dimas tidak terima. Dimas ingin mengunjungi sahabatnya itu di Jakarta. Padahal Dimas sama sekali tidak tahu kondisi Ferdi saat ini benar-benar sudah jauh berbeda dengan dua minggu yang lalu. Ferdi pun tersenyum setelah mengakhiri percakapan dengan berbalas pesan tersebut. Lelaki itu yakin kalau di masa akan datang ke Jakarta dan jadi waktu yang tepat untuk menunjukkan segala miliknya agar orang-orang yang menghina dirinya tercengang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD