Meira Sudah Meninggal

1635 Words
Siang hari menjadi saat yang santai bagi Ferdi karena sudah ada empat pekerja yang membantu aktivitasnya. Saat ini dia sedang browsing beberapa kali untuk mencari tahu gaji yang sesuai untuk pekerjanya. Tentu saja lelaki itu akan merencanakan keuangan dengan baik. “Gaji buat Bu Jainun sebulan dua juta delapan ratus ribu ... Gaji Pak Jono sebulan tiga juta tujuh ratus ribu ... Gaji Danar sebulan dua juta lima ratus ribu ... Gaji Andre empat juta ... Total semuanya tiga belas juta rupiah setiap bulan ... Terus untuk bahan makanan harian untuk makan berlima berarti, ya ... Oke oke ... Siap ....” gumam Ferdi berbicara dengan dirinya sendiri karena memikirkan berapa uang yang dia keluarkan kira-kira tiap bulannya. Ferdi masih bersantai dengan berbaring di sofa baru yang empuk berwarna merah maroon. Dia pun teringat soal Dimas yang tadi menghubunginya lewat pesan. Untuk meyakinkan Dimas bahwa saat ini dirinya adalah orang yang terpandang dan mempunyai penghasilan besar tentu saja Ferdi harus merencanakan suatu bisnis. Ya, rencana bisnis untuk menjadi alibi dari semua penghasilan yang dia miliki. Ferdi pun mencoba menghubungi salah satu teman kantornya dahulu. Dia menelepon Meira. ‘Nomor yang Anda tuju sedang sibuk silakan tinggalkan pesan setelah bunyi bip ... bip ... bip ....’ “Loh, kok, nggak aktif? Eh iya, Meira apa masih marah sama gue, ya? Hmm ... Nomornya nggak aktif, apa ganti nomor?” Ferdi mengernyitkan dahi karena bingung nomor perempuan yang pernah sangat menyukai dirinya tiba-tiba tidak aktif. Sampai saat ini Ferdi tidak tahu kalau Meira sudah meninggal. Dia bahkan tidak mengetahui kalau perempuan itu terakhir kali mengunjungi ke tempat tinggalnya dahulu. bahkan berita soal kecelakaan maut itu pun tidak terdengar sama sekali di telinga Ferdi. Jelas hal itu semua adalah tipu daya dari Marry Ann. Lelaki itu pun berinisiatif untuk menghubungi teman kerja lainnya yang mengenal Meira. Niat Ferdi ingin membalas kebaikan Meira sangat besar. Saat menelepon via kantor, hal mengejutkan pun terjadi. Ferdi: “Hallo selamat siang, bisa bicara dengan Dendy bagian akuntansi?” Front office: “Oh, baik. Ini dari siapa? Akan segera saya sambungkan.” Ferdi: “Saya Ferdi.” Front office: “Baik. Tunggu sebentar, ya.” Dendy: “Ngapain loe nelpon ke kantor, ha?!” Ferdi terkejut karena Dendy tiba-tiba menjawab dengan nada tinggi seperti memarahi dirinya. Bahkan lelaki itu pun tidak mengerti mengapa orang yang ditelepon justru sangat galak seperti itu padahal niatnya baik untuk menanyakan keadaan Meira. Ferdi tetap melanjutkan niatnya bertanya soal Meira. Ferdi: “Tenang dulu, bro. Gue mau tanya nomor Meira yang baru. Gue coba telepon tapi nggak aktif. Mungkin loe tahu.” Dendy: “Coba telpon di makamnya aja sono! Dasar cowok gila! Meira suka sama loe sampai segitunya tapi saat dia meninggal, loe ga nampak batang hidungnya and sekarang dengan mudah loe pura-pura cari Meira? Loe kira Meira ATM berjalan loe?! Gue tahu siapa loe sebenarnya dasar parasit!” Ucapan dari Dendy jelas membuat Ferdi merasa terkejut. Apa maksud penuturan lelaki itu tentang makam dan Meira yang meninggal? Ferdi sama sekali tidak mengerti dan tangannya gemetaran mendengar kabar itu. Apakah benar Miera sudah meninggal? Padahal Ferdi belum sempat membalas kebaikannya. Ferdi: “Ja-jangan bercanda, Bro. Meira di mana sekarang? Tolong kasih nomornya yang baru. Gue mau ngomong ama dia.” Dendy: “Gila loe! Gue dah bilang kalau Meira meninggal. Dia kecelakaan. Kalau nggak percaya ke rumahnya aja sana!” Ferdi pun terdiam dan tidak berani lagi untuk bertanya. Dendy segera menutup pembicaraan itu dan membuat Ferdi masih bingung atas informasi yang dibutuhkan oleh mantan teman sekantornya. “A-apakah benar Meira sudah meninggal? Arrgh ... Gue harus ke rumahnya!” Tanpa basa-basi Ferdi langsung mengambil jaket dan juga kunci motornya. Lelaki itu bergegas keluar dari rumah dan menggunakan motor sportnya untuk melaju ke rumah Meira. Dia ingin tahu kebenaran yang ada tanpa menerka-nerka dan bingung. “Mau ke mana, Tuan?” tanya Danar yang masih membersihkan kebun. “Pergi bentar. Ntar kalau Bu Jainun dan yang lain sudah selesai belanja, suruh masak aja buat makan siang kalian. Pergi dulu, ya!” “Ya, Tuan.” Ferdi segera menuju ke rumah Meira yang menempuh perjalanan cukup jauh memakan waktu sekitar setengah jam. Rasa cemas dan gelisah menyeruak dalam benak Ferdi. Dia merasa tidak mungkin perempuan yang selama ini membantu dan menyemangati hidupnya meninggal begitu cepat. Namun memang manusia tidak ada yang mengetahui maut dan kematian adalah rahasia ilahi meski kasus saat ini Meira diambil oleh Marry Ann yang berarti seharusnya dia belum waktunya meninggal. *Wusshh .... Wusshh .... Angin berembus cukup kencang siang itu. Ferdi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Meira. Padatnya jalanan ibukota tidak menyurutkan niat Ferdi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada perempuan yang selama ini telah membantu kehidupannya saat di Jakarta. Dia pun merasa bersalah mengapa tidak dari beberapa waktu yang lalu menghubungi Meira justru baru saat ini terpikirkan untuk menghubungi perempuan tersebut. Awalnya Ferdi mengira-ngira masih marah kepadanya perihal Cha-cha dan juga alasan yang dia perbuat waktu meminta sejumlah uang. Namun hari berganti Hari tetap saja Meira tidak menghubungi Ferdi. Baru saat ini Ferdi memikirkan tentang perempuan itu karena hendak membuat sebuah bisnis baru dan ingin mentraktir perempuan yang selama ini sudah berjasa terhadap kehidupannya. Sesampainya di depan rumah dengan pagar berwarna hitam, Ferdi segera menghentikan laju motornya dan memarkirkan kendaraannya itu dengan aman. Dia bergegas menuju ke rumah Meira dan menekan bel. Beberapa saat kemudian seorang perempuan setengah baya keluar dari rumah itu. Wajahnya teduh dan mirip sekali dengan Meira. “Permisi, Bu ... Saya Ferdi. Meiranya, ada?” tanya Ferdi dengan sopan. “Silakan masuk dulu,” jawab ibu itu dengan raut wajah yang langsung berubah sedih. “Terima kasih, Bu.” Ferdi pun mengikuti Ibu tersebut masuk ke dalam rumah. Dia mengira kalau merah ada di dalam rumah dan Dendy hanya bohong belaka untuk menakut-nakuti atau tidak ingin memberitahu nomor ponsel yang baru. “Duduk dulu, Mas.” “Iya, Bu. Terima kasih. Lah, Meiranya mana, Bu? Apa dia sakit? Nomornya juga nggak aktif,” ujar Ferdi sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencoba menemukan perempuan yang menjadi teman sekantornya dahulu. “Maaf, Mas. Mas teman apa, ya? Kok, bisa baru ke sini?” tanya ibu itu membuat Ferdi bingung. “Saya teman kantornya dahulu sebelum resign.” “Oh, begitu ... Jadi, Meira sudah meninggal, Mas. Dia kecelakaan. Saat itu Ibu juga sedang tidak di sini. Dia tinggal di rumah dengan bibi asisten rumah tangga dan Oma. Nomornya memang sudah tidak aktif karena ponselnya pun rusak saat terjadi kecelakaan itu. Putri saya sangat malang nasibnya selama ini dia tidak mempunyai teman dekat atau pacar, meninggal di usia muda dan dalam kondisi mengenaskan karena kecelakaan taksi itu sungguh mengerikan. Mas dari mana, kok, tidak tahu kabar ini? Putri saya kecelakaan saat naik taksi dan bertabrakan dengan truk hingga warga gempar karena semua meninggal di lokasi kejadian,” jelas ibu Meira bagaikan petir di siang bolong bagi Ferdi yang tak tahu sama sekali perihal ini. “Be-benarkah itu, Bu? Meira ... Meira ....” Ferdi tak sanggup lagi berkata-kata. Dia menangis karena belum sempat membalas semua kebaikan Meira pada dirinya selama ini. "Sabar, Mas. Sudah takdir seperti ini. Meski sampai saat ini untuk merelakan kepergian putri saya memang sangat berat. Dia anak yang rajin, pintar, dan baik. Sayang sekali takdirnya cukup sampai di sini. Meira sangat malang ... Bahkan kekasih pun dia belum punya," tutur ibu Meira membuat Ferdi makin merasa bersalah atas apa yang dia perbuat pada Meira saat ini. *** Malam harinya .... Ferdi sudah berada di dalam kamarnya. Dia masih terdiam tidak banyak bicara. Sedangkan para pegawainya sudah diberitahu untuk menginap di sana dan ada beberapa kamar khusus untuk para pegawai di belakang bangunan rumah yang berarti terpisah, sedangkan untuk Andre ada kamar di pos satpam depan rumah dekat gerbang. Ferdi tidak banyak berbicara setelah pulang dari rumah Meira. Dia syok dengan kejadian mengerikan yang menimpa perempuan muda itu. Beri tahu persis kalau Meira jadi siang baik hati dan tidak pernah berperilaku buruk. Bahkan Meira polos dan lugu hingga mudah Ferdi manfaatkan. ‘Halah, ngapain mikir begituan. Kalau waktunya mati ya mati.’ ‘Kasihan dia, Fer. Besok kamu ke makamnya untuk terima kasih dan minta maaf.’ ‘Halah, emangnya pahlawan negara sampai harus berterima kasih? Minta maaf buat apa? Nggak ada salah pun. Udah, fokus aja mau bikin usaha.’ ‘Fer, jangan lupa sisi kemanusiaan kamu.’ ‘Per-s-e-t-a-n dengan kemanusiaan. Cuek aja!’ Kalimat demi kalimat bergantian bergema di pikiran Ferdi. Sekolah ada dua orang yang sedang berbicara dengan tujuan dan perkataan yang berbeda. Satu orang berusaha untuk mengajak Ferdi berbuat baik dan satu orang yang lain berusaha untuk membuat Ferry menjadi orang yang cuek, masa bodoh, dan tidak peduli dengan hal tentang kemanusiaan. “Arggh! Sudah diam! Jangan bicara lagi!” teriak Ferdi dari dalam kamar membuat Bu Jainun mengurungkan niat untuk menawarkan makan malam. Bu Jainun bingung kenapa bosnya seperti orang stress bicara dan marah sendiri di dalam kamar. Dia pun kembali ke lantai bawah dan mengajak Pak Jono, Danar, dan Andre untuk makan malam. “Ayo makan dulu. Tuan sedang tidak ingin makan sepertinya,” ajak Bu Jainun pada yang lain. “Canggung banget, ya. Tuan masih muda juga. Jadi satpam malah canggung begini,” ujar Andre yang baru saja lulus sekolah satpam. “Udah, kita makan aja. Toh, Tuan siang tadi juga pergi dan bilang suruh kita makan. Iya, kan, Danar?” Pak Jono yang lapar memikirkan hal yang lebih realistis. “Iya, bener,” sahut Danar sambil mengangguk. Mereka berempat pun makan di teras belakang sambil berbincang santai. Mereka tak tahu kalau hari ini adalah awal dari teror dan mimpi buruk karena semua orang yang menikmati uang dari Ferdi akan mengalami gangguan dari Marry Ann. Tanpa kecuali. Termasuk Bapak dan Ibu Eka di desa. Ferdi pun belum menyadari apa yang Marry Ann perbuat pada Meira biasa berlanjut pada gadis-gadis lain di sekitarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD