Shocking Moment

1727 Words
Sosok itu masih tetap dengan pesonanya. Bahkan sialnya, di mata Inge tampaknya Sosok itu telah mengalami penyempurnaaan beribu kali, dibandingkan dengan saat terakhir kalinya mereka bertemu. Seolah kenyataan yang dilihatnya adalah konfirmasi tegas dari ucapan Orang-orang di luar sana, “Mantan memang terlihat lebih menawan, ketika dia tidak bersama kita lagi.” Hati Inge sungguh terusik. Inge tak sanggup mengajak berdamai hatinya yang disapa rasa kecewa. Sungguh, bukan seperti ini pertemuan yang diinginkannya dengan Sosok yang kini berada di hadapan mereka. Betapa tidak menguntungkannya situasi saat ini baginya. Sisi hatinya yang satu, masih tergoda untuk kembali memiliki hati Cowok yang tampaknya memang sedang menanti kedatangannya itu. Cowok yang telah membuatnya jatuh bangun demi mendapatkan perhatian serta cintanya, walau mendapat dukungan penuh dari Brenda, Sahabatnya yang sekaligus kakak kelasnya dulu. Namun sisi hatinya yang lain berkata, dia harus memberi pelajaran Cowok itu, membalas luka hati yang telah digoreskan begitu dalam di hatinya. Andai saja Sosok itu adalah benda mati, ingin diinjak-injaknya, dihancurkannya sampai menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak mungkin disatukan lagi. Aku ini seorang koleris yang kuat, bahkan Brenda secara bercanda kerap menyebutku si super dominan, semasa kuliah dulu. Terlebih lagi, zodiakku Scorpio, walau aku bukan Scorpio yang introvert. Kamu sudah menyakitiku, maka kamu tinggal menunggu pembalasan dariku. Dan tak mungkin akan terluput, batin Inge. “Hai, apa kabar, Inge?” Daniel menyapa terlebih dahulu. Melihat pemandangan di depannya, kelegaan merayapi perasaan Daniel begitu saja. Senyum Daniel nyaris mengembang ketika hatinya berbisik, “Melihat Inge sudah bersama Seseorang, rasanya perjalanan ini jadi berarti. Soal Fei sama Edo, aku percaya, mereka semua bisa mengerti situasi yang kuhadapi. Brenda juga bisa membantu memberi penjelasan perihal absenku di hari bahagis mereka. Ya, ini sama sekali nggak berhubungan sama perasaan yang belum tuntas. Bukan itu, melainkan situasi lebih urgent yang tengah kuhadapi.” Ya, mana mungkin Daniel tega mengecewakan Pak Victor, Papanya Inge? Kan dirinya sendiri, yang dulu, sekian lama mencari tahu tentang keberadaan Inge. Lantas, di saat Pak Victor akhirnya memberikan informasi akurat, masakan tidak dihargainya? Eh, tapi bukan itu saja, sih. Kepergiannya ini lebih karena dipengaruhi permintaan Bu Chelsea Ivanova, wanita berdarah Rusia, Inggris serta Manado yang tak lain merupakan Mamanya Inge, yang sepertinya masih menaruh harap, entah lah harapan macam apa, pada dirinya. Inge menahan napas dan melirik Jason yang menatapnya dengan pandangan seolah bertanya, “Siapa, Cowok ini, Sayang? Ada hubungan apa kamu sama dia?” Dasar Inge berkarakter kuat, dia lekas menguasai keadaan. Sebuah rencana membersit di kepalanya. Dipikirnya, Daniel sengaja datang kemari untuk meminta maaf dan memohon agar dia kembali. Walau momennya tidak sesuai yang direncanakan, Inge berpikir, ini mempermudahnya membalas perlakuan Daniel dulu. Baru membayangkan betapa Daniel mau-maunya mencari tahu keberadaannya dan bahkan menghabiskan waktu begitu lama di perjalanan demi menemuinya begini, rasanya Inge ingin menertawakannya, terlepas dari ketenangan yang diperlihatkan Daniel. “Kabarku sangat baik. Oh, ya, kenalkan, ini Jason. Dia kuliah juga di sini. Jason, ini Daniel, dia.. Kerabat dekat dari Orang tuaku,” untuk mengatasi gugupnya, Inge memperkenalkan mereka berdua. Kedua Pria itu bersalaman dan menyapa satu dua kalimat. Kemudian, Jason mengisyaratkan akan meninggalkan mereka berdua. Inge mengangguk. “Ada apa, mau jauh-jauh kemari?” tanya Inge selepas kepergian Jason. Seolah kedatangan Daniel bukanlah sesuatu yang besar buatnya. Ya, dia telah berhasil mengusir keterkejutannya dengan sempurna, bahkan mengirimkan nada mencela dalam kalimatnya. Seakan sebuah ejekan yang berbunyi, “baru sadar, ya, nggak bisa move on dari aku? Rasain deh! Bagaimana rasanya tadi, melihat aku sudah ada yang punya, Laki-laki yang jauh lebih baik memperlakukanku ketimbang kamu?” Daniel justru tengah menahan tawa gelinya. Kini dia baru mengamati, betapa penampilan Inge sungguh-sungguh berusaha meng-copy paste penampilan fisik Ferlita. Begitu sederhana, dan sejujurnya, membuat hati Daniel tergelitik hebat. Terlebih, saat ada beberapa Orang penghuni asrama melintas di depan mereka dan Inge membahas sapaan mereka dengan bahasa Mandarin yang demikian fasih. Bahkan aksennya juga sudah menyerupai Penduduk lokal. Ini sungguh membuat Daniel merasa amat ngeri. Bukti bahwa Cewek satu ini pantang dikalahkan, bukan? Diam-diam dia berpikir, seperti apa hubungannya dengan Inge jika pertunangan mereka dulu berlanjut? Cincin pertunangan yang jatuh menggelinding sewaktu mau dipasang ke jari Inge dulu, bisa jadi suatu pertanda, kami memang benar-benar nggak digariskan untuk bersama. “Nge, punya referensi tempat yang lebih proper, ketimbang ngobrol di teras dengan banyak Orang yang lalu-lalang begini? Oh, sorry, tentunya kalau Pacarmu tadi nggak keberatan,” pinta Daniel tanpa ekspresi, membuat wajah Inge memerah. Daniel tak tahu, Inge dilanda dilema, antara membiarkan harap yang membuncah, atau menyelamatkan harga diri yang telah tercabik. Bisa dipastikan, jiwa kolerisnya yang kebabalasan, memilih opsi yang kedua. “Di kantin asrama saja,” kata Inge pendek. Gesturnya mengisyaratkan agar Daniel mengikuti langkahnya. Daniel mengikuti langkah Inge ke area yang disebut kantin itu. Sepanjang jalan yang mereka lalui dari teras tempatnya menunggu Inge hingga ke kantin, Daniel memuji dalam hati, keluwesan Inge yang membalas sapaan beberapa Orang yang berpapasan dengan mereka. Berbeda dari dugaan Daniel bahwa Inge akan mengajaknya masuk ke area makan, Inge malah menyuruhnya menunggu di salah satu gazebo di depan kantin. Inge masuk dan memesan teh serta dimsum, lalu menyusul Daniel yang sedang melayangkan pandang ke sekitar. “Ada apa kemari?” ulang Inge, saat duduk di hadapan Daniel. Ditelannya pertanyaan, “Dan, kenapa baru sekarang? Ini... termasuk terlambat. Sudah ada Jason,” untuknya sendiri. Daniel tersenyum tipis. Tak disangkanya, pertemuan dengan Inge bakal berjalan semudah ini, tanpa adegan teriak-teriak histeris seperti perkiraannya. Lalu kalau sudah begini lancar, mengapa dia harus buang waktu terlalu banyak di sini, kan? Secepatnya urusan dengan Inge terselesaikan, lebih mudah baginya untuk membereskan urusan satunya lagi, bukan? Stephanie. Ya, Gadis tersayang itu. Dia merasa harus secepatnya memberikan penjelasan kepada Stephanie, sebelum segalanya telanjur porak poranda sebagaimana hubungannya dengan Ferlita dulu.  “Nge, aku mau minta maaf, soal Fei, dan apa yang terjadi di Small Paradise dulu. Lepas dari kamu merasa perlu mendengar atau tidak, aku mau menegaskan lagi, malam itu adalah pertemuan pertama antara aku sama Fei, setelah sekian tahun kami putus komunikasi. Dan karena belakangan aku tahu dia menghilang itu karena banyak masalah yang menimpanya, aku menyesal sempat berprasangka buruk padanya. Intinya, itu sudah cerita lama. Cerita yang sudah lewat. Tapi yang jelas, aku mau minta maaf, atas apa yang sudah pernah terjadi di antara kita. Aku minta maaf, kalau akhir dari hubungan kita harus seburuk itu, dan malah membuat kamu memutuskan pergi sejauh ini..,” . .. ”Aku bahagia, kok, di sini,” Inge buru-buru menyela ucapan panjang Daniel. Hanya Inge yang tahu untuk apa. Tentu saja untuk memberi kesan seolah Daniel bukanlah apa-apa baginya. Walau menangkap gengsi di dalamnya, Hati Daniel tersapa kelegaan mendengarnya. Good, ini mengikis rasa bersalahku, batinnya. “Syukurlah kalau begitu. Aku bisa melihat itu, kok. Tapi aku tetap mau minta maaf, ya, kalau sekiranya aku salah memperlakukanmu dulu. Yang penting..,” ucapan Daniel terjeda oleh kibasan tangan Inge. “I said that I’m happy, right? And I don’t want to talk about the past anymore,” tegas Inge, membuat Daniel mengembuskan napas lega. “Oh, oke. Aku senang mendengarnya. Dan yang kedua, aku mau bilang, Mamamu khawatir dan menginginkanmu segera kembali ke Jakarta,” kata Daniel kemudian. Ekspresi wajah Inge seketika berubah. Daniel berusaha menyelaminya, tetapi gagal. Saat itulah, Seorang Pelayan datang membawakan aneka dimsum serta chinese tea pesanan Inge. Inge mengangguk dan Pelayan itu berlalu setelah meletakkan pesanannya. Usai mempersilakan Daniel untuk menikmati kudapan di meja, Inge mengamati mimik muka Daniel. Benar tebakannya. Tidak ada beban, tidak ada penyesalan di wajah Daniel. Apalagi keinginan untuk merebutnya kembali dari Jason! Kemungkinannya nol koma nol nol persen. See? Kamu datang, sama sekali bukan karena keinginanmu sendiri. Pasti Mama yang memaksamu unttuk menemuiku. Kamu terlalu, Dan. Jadi, kamu itu nggak pernah merasa bersalah sedikit pun? Kamu nggak tahu bagaimana hancurnya aku waktu itu! makinya dalam hati. “Kapan rencananya, kamu balik ke Jakarta?” pertanyaan Daniel mengusik Inge. Jenis pertanyaan yang tanpa disertai rasa, apa pun itu. Entahkah rasa cemas atau berharap. Bahkan sedikit siratan permohonan saja tak ada. Gengsi Inge langsung melejit karenanya. “Aku belum tahu pasti waktunya. Harus aku diskusikan sama Jason dulu. Nanti kutelepon Mama,” sahut Inge. Lagi-lagi jawaban Inge menerbitkan rasa lega di hati Daniel. Beban yang menindih di hatinya rasanya telah terangkat. Pernyataan Inge barusan, sudah merupakan sebuah kode keras baginya, bahwa Jason adalah ‘orang di sebelah Inge’ yang dapat mengimbangi Gadis itu. Bukankah hubungan yang ideal semestinya seperti itu? Bukan seperti hubungan mereka dulu! “I see. Kudoakan yang terbaik, buat kalian berdua,” kata Daniel akhirnya. Inge memaksakan sebuah senyum. Tidak ada pembicaraan mendalam lagi yang mereka lakukan setelah itu. Inge hanya menimpali satu dua pertanyaan Daniel mengenai keasrian asrama yang ditempati Inge. Pertanyaan yang lebih mirip pernyataan. Macam mendapat pesan sponsor, Daniel mengingatkan kembali harapan Bu Chelsea, “Nge, jangan lupa telepon Mamamu. Beliau kelihatan resah banget memikirkan kamu. Anyway, thanks buat pilihan dimsum-nya tadi. Super nikmat. Aku langsung pulang, ya. Take care. Salam buat Jason.” Inge hanya mengangguk. Seolah tak peduli. Padahal sejatinya dia masih ingin berlama-lama dengan Daniel. Namun sungguh tak mungkin kalau dia sampai terang-terangan menahan Daniel, meski hanya untuk alasan kesopanan karena kedatangan ‘Tamu’ dari jauh. Tidak. Dia tak berminat untuk melakukannya. Inge menatap punggung Daniel yang kian menjauh. Hatinya rusuh. Dia menyesal tidak sempat bertanya, dimana Daniel menginap dan akan berapa lama di Kaifeng. “Sesingkat ini, pertemuan yang kutunggu-tunggu selama ini?” sesal Inge, sembari  mengingat-ingat, berapa banyak kalimat yang mereka berdua lontarkan barusan. Lantas, diam-diam, kejengkelannya timbul. Bukan begini suasana pertemuan yang dibayangkannya. Mengapa justru terbalik dan tidak memihaknya? Mengapa justru harus berakhir dengan deraan gundah, di hatinya? Sedangkan yang selama ini diharapnya, dia dapat menghukum Daniel, membiarkan Cowok itu memohon-mohon kepadanya untuk kembali memperbaiki hubungan mereka, menyatakan penyesalan yang tak bertepi. Tapi barusan itu apa coba? Daniel malah memergoki dirinya sudah bersama Jason, dan sepertinya malah tampak lega. Menyebalkan, bukan? Ini semua gara-gara Mama! Harusnya Mama bilang dulu ke aku, sebelum kasih alamatku ke Daniel. Tapi ini belum selesai. Aku nggak mau berakhir begini. Awas kamu, Dan! Pikirnya. Jauh di depan sana, Daniel melangkah ringan, seringan hatinya. Disetopnya sebuah taxy sembari berpikir, sebaiknya memang dia segera mencari tiket untuk kembali ke Jakarta. Rasanya semua beban terangkat, membuatnya mengira-ngira, seperti inikah perasaan lega yang menyelimuti perasaan Ferlita, setelah mereka menuntaskan urusan mereka dulu melalui pembicaraan empat mata dulu. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD