The Truth (1)

1411 Words
Stephanie benar-benar sudah tak tahan lagi. Perasaannya bergolak. Semua yang didengarnya ini sudah terlalu banyak dan membuatnya sesak, menurutnya. Segala rentetan peristiwa yang menimpa keluarga mereka. Satu saja yang dapat ia simpulkan. Kesemuanya itu membuat dirinya merasa malu, merasa kerdil, merasa tak berdaya, sekaligus tenggelam dalam penyesalan yang teramat dalam. ... “Sebenarnya Om diminta untuk menyampaikan hal ini paling cepat setelah Stephanie genap menginjak usia 27. Saat Mama kalian meninggal, Om telah berdiskusi sama Tante, apakah sebaiknya Om buka semuanya? Tante kalian menyarankan agar Om tetap menjaga ini semua sampai genap waktunya. Tetapi mengingat perkembangan yang terjadi malahan semakin parah, Om merasa harus berbuat sesuatu,” kalimat pembuka dari Om Danny sukses membuat jantung Stephanie bagai berhenti berdetak. Rasanya belum genap setengah hari dia tiba di suite mewah yang dipesankan untuknya, tempat bermalamnya bersama Tante Meily, istrinya Om Danny. Belum tuntas dia melepas rindu dan berbagi cerita dengan Tante Meily yang menyambut kedatangannya dengan pelukan erat hingga membuatnya sesak napas. Dia juga belum sempat bertanya secara detail, kemana saja Ryan selama menghilang kemarin-kemarin itu, sebab Ryan bergegas masuk ke suite lainnya, seolah sengaja menghindari Bobby yang tampak tengah berjalan bersama Ardi menuju ke arah mereka.  Stephanie tak dapat mencegah beranjaknya Ryan yang diiringi oleh perkataan, “Kamu ngobrol sama tante Meily dulu. Nanti baru kita ngobrol lagi.” Kening Stephanie berkerut, terlebih begitu mendapati betapa keruh wajah kedua Kakaknya. Dia kian bingung, saat Tante Meily mengurai pelukannya, Bobby langsung menghambur memeluknya. Itu seperti... bukan Bobby. Ya, bukan Bobby yang agak kasar itu. “Steph, maaf ya, aku jarang komunikasi sama kalian dan lebih banyak mengurusi bisnis peninggalan Papa di luar kota. Sampai-sampai aku nggak tahu, Hera sudah sangat keterlaluan ke kamu sama Ryan,” ucap Bobby tadi. Perasaan Stephanie trenyuh mendengar betapa tulus ucapan Sang Kakak tertuanya. “Aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma... khawatir, sama Ryan. Dan aku sangat nggak rela, keluarga kita jadi renggang begini,” cetus Stephanie sambil menunduk sedih. “Aku minta maaf atas kelakuan Hera ke kamu.” Bobby mengembuskan napas dengan berat. “Kak Bobby..., sudahlah!” Ketika pelukan Bobby terurai, Stephanie justru melihat, ada jarak yang berusaha direngkuh oleh Kakaknya itu. Jarak yang selama ini dibiarkan membentang begitu saja. Perasaan Stephanie tersentuh. Diam-diam dia merasakan ada beban berat yang ditanggung oleh Bobby. Ia sampai dapat menangkap kelelahan yang sangat, di wajah Bobby. Sayangnya, dia tidak mempunyai kata yang tepat untuk menghibur hati Kakaknya itu.   “Hei,” sapa Ardi yang datang mendekat. Stephanie tersenyum tipis. “Hei Kak. Terima kasih, ya, Kak Ardi sudah membawa Ryan kembali. Janji sama aku ya Kak. Jangan pernah biarin dia pergi lagi. Kalau perlu, dirantai saja kakinya atau dipasangi gps kepalanya itu, supaya nggak bisa seenaknya menghilang,” pinta Stephanie dengan tatap mata memohon. Ardi menggeleng dan berkata, “Kamu salah. Bukan aku yang berhasil melacak dan menemukan Ryan. Kak Bobby, yang pontang-panting mencari Ryan dan mengerahkan Orang-orangnya. Aku sekadar membantu membujuk Ryan saja ketika Ryan menolak permintaan maafnya Kak Bobby. Kak Bobby itu.., ternyata baru tahu, semua yang selama ini...” Ardi mengambil jeda dan menatap sejanak pada Bobby yang sedikit menjauh dari mereka, bagai sengaja memberi kesempatan pada Ardi untuk memeluk Stephanie. Stephanie menelengkan kepalanya, menanti kelanjutan ucapan Ardi. Ardi paham gestur Stephanie. “Intinya, Kak Bobby nggak tahu, tindakan kak Hera bisa sampai sejauh itu, apalagi sampai keluarganya ikut-ikutan datang ke rumah Kemang, mengacak-acak kamar Mama. Entah bagaimana caranya, Kak Hera menemukan dokumen yang menyatakan bahwa Ryan adalah anak adopsi, sesuatu yang selama ini ternyata disimpan rapat-rapat oleh Kak Bobby. Aku sama Kak Bobby kaget, mendengar cerita Anak-anak kost sama Para Asisten rumah tangga di sana, yang bilang bahwa Ryan diusir, di depan Anak kost,” bisik Ardi lirih pada Stephanie. Jantung Stephanie bagai berhenti berdetak. “Jadi, Kak Hera akhirnya tahu bahwa Ryan...,” cetus Stephanie dengan bibir gemetar. Stephanie membeku. Kedua tangannya mengepal. Bila saja Hera ada di depannya saat ini, mungkin sudah ditantangnya untuk mengambil saja semua yang diinginkan, selama tidak menyakiti dan menghancurkan ikatan persaudaraanya dengan Ketiga Saudaranya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping saat ini. Ardi mendesah. “Sejak itu, hubungan mereka berdua memburuk. Kak Bobby marah besar dan melarang dengan tegas. Kak Bobby nggak mengijinkan lagi Kak Hera mendatangi rumah Kemang dan kantor. Kak Hera nggak terima, malah mengancam-ancam minta cerai segala.” Stephanie terekat. “Hah? Cerai? Terus Kak Bobby bagaimana?” Lirih suara Stephanie, menyerupai sebuah bisikan saja. Jujur dia tak suka dengan tingkah laku Sang Kakak Ipar atas Ryan dan dirinya, dan bisa jadi terhadap Ardi juga demikian tanpa sepengetahuannya, sebab Ardi enggan menyebut tentang Hera. Namun kata 'cerai' adalah sebuah kata yang amat sangat tabu bagi Keluarganya. benar-benar tidak terpikirkan olehnya. Ardi mengangguk. “Ya. Mengancam cerai. Dan kamu tahu bagaimana Kak Bobby, kan? Mana mungkin mau ditantang?” bisik Ardi lagi. Mata Stephanie memejam. Digigitnya bibirnya, ditahannya tangis yang hendak pecah. God, mengapa harus begini? Dan segalanya gara-gara urusan materi, warisan, keserakahan!  Sesal Stephanie dalam hati. Ardi menepuk pundak Stephanie. Stephanie tak mengatakan apa-apa. Bobby yang melihat bahwa pembicaraan Ardi dan Stephanie sudah selesai, kembali mendekati mereka berdua. “Kamu istirahat dulu saja, Steph. Om Danny belum datang soalnya. Masih ada urusan yang harus diselesaikannya. Nanti kalau Om Danny datang kemari, kita bahas semua. Di suite Om Danny sama Ryan saja. Ayo, Di, kita tinggalkan Steph dulu,” kata Bobby kemudian. Ardi mengangguk, tetapi sebelum pergi meninggalkan suite Stephanie, tangannya iseng menarik karet yang mengikat rambut Stephanie. Persis seperti Ryan, dia juga menggeleng-gelengkan kepala melihat penampilan Stephanie yang dianggapnya serampangan. Ada decak kesal camput gemas yang terlontar dari celah bibir Ardi. “Please, Steph. Jangan seperti ini. It’s... so not you.” Dilepasnya ikatan di rambut Stephanie. Bobby mengamati Stephanie dengan ekspresi sesal yang tak terucap. Lalu, tanpa mengatakan sepatah katapun lagi, keduanya meninggalkan Stephanie berdua dengan tante Meily. Tante Meily mengisyaratkan agar Stephanie santai saja. “Steph, kabarnya perusahaan tempatmu bekerja punya kantor perwakilan di Hong Kong, kan? Kalau lagi bussiness trip kemari, sempatkan singgah, dong. Atau kamu bilang saja, menginap di mana, biar Tante yang jemput. Ya masa di antara kepadatan jadwal kerja kamu, kita nggak bisa ketemu sebentar untuk ngopi-ngopi atau sekadar ngobrol? Tante kan jug akangen sama kamu,” ucap Tante Meily saat Stephanie mengempaskan pantatnya di atas sofa. Stephanie menganggukinya. “Ya, Tante. Nanti deh kalau pas ada bussiness trip kemari ya. Kalau sekarang Steph sengaja mengambil cuti dua belas hari kerja, kok.., malah kalau ditotal jadi hampir tiga minggu karena ada dua tanggal merah. Soalnya..,” Stephanie menjeda ucapannya. Ada kisruh yang mengamuk di hatinya. Mana mungkin dia berterus terang mengenai kegalauannya, serta rasa penasarannya mengenai apa yang hendak disampaikan Om Danny nanti? Itu sungguh mustahil. “Soalnya kenapa? Kamu sambil makan, ya? Tante pesankan makanan dulu buat kamu. Kamu mau makan apa, Steph?” tanya Tante Meily sembari menyodorkan minuman dingin yang diambilnya dari kulkas. Stephanie menggoyangkan telapak tangannya. “Nggak usah. Nanti saja Tante. Terima kasih. Steph masih kenyang. Tante, sebetulnya kenapa sih, kita harus menginap di sini? Kok enggak di tempat Tante dan Om saja? Atau, di hotel sekitar sana?” tanya Stephanie sembari mengingat-ingat tempat tinggal Om Danny dan Tante Meily yang termasuk besar untuk ukuran Orang yang tinggal di Hong Kong. Apartemen yang ditempati Om Danny serta Tante Meily itu diketahuinya mempunyai tiga buah kamar tidur, dan ada dua unit apartemen pula, di Gedung yang sama. Belum lagi unit lainnya. Stephanie menerima minuman dingin yang diangsurakan Sang Tante. Duduk di sebelah Sang Keponakan,  Tante Meily menjawab, “Enggak apa-apa. Kita sengaja di sini biar lebih santai dan lebih nyaman saja.” Stephanie terdiam jadinya. Suite yang mereka tempati, dengan kamar tidur mewah dan ruang duduk yang terpisah, serta panorama ciamik berupa pemandangan pelabuhan Victoria serta latar belakang pegunungan yang tampak dari kaca ruang duduk, toh tidak serta merta sanggup meneduhkan hatinya. Hatinya tetap saja sebagaimana semula, berdebar-debar terus. Menanti kedatangan Om Danny dan menunggu saat mereka membahas, entah apa itu, seperti mencari kunci jawaban atas teka-teki yang sulit. Namun setidaknya, dia cukup bersyukur sebab kondisi kesehatan Om Danny serta Tante Meily baik-baik saja. Karenanya, satu prasangka buruknya perihal maksud mereka diminta datang ke Hong Kong, telah tereliminasi secara sempurna. ... Kini dia tahu jawabannya. Dia tahu mengapa perasaannya tak kunjung tenang. Bukan hanya sebuah kotak berwarna emas dengan ukuran 15cm x 10cm, yang membuat perasaannya terguncang, namun juga apa yang disampaikan oleh Omnya setelah itu. Apalagi ini? Ada apa lagi? jerit hati Stephanie. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD