Jason Howard mengayuh sepedanya dengan riang gembira. Sesekali erdengar suara tawanya yang berderai, bersahutan dengan tawa Inge. Seakan sengaja untuk menggoda Inge, dipercepatnya kayuhan kakinya pada pedal sepeda, membuat Inge mempererat pegangan tangannya yang melingkari pinggang Cowok itu.
“Jason, hati-hati! Jangan ngebut!” Inge menjerit kecil.
Meski sudah lumayan lama tinggal di asrama kampus, berbaur dengan Para Mahasiswi dari negara lain yang juga belajar mempelajari bahasa serta budaya dari negara tirai bambu ini, dia toh masih belum sepenuhnya enjoy mencoba hal-hal yang dilakukan oleh Para warga lokal. Bersepeda macam ini, misalnya.
Terkadang bila sedang merenung di ujung hari, dia terheran sendiri membandingkan kesehariannya yang sekarang dengan yang dulu. Disadarinya semua itu bagaikan langit dan bumi. Ada kalanya dia sendiri juga bingung, jika teringat faktor utama yang menyebabkan keberadaannya di sini. Pembuktian. Benar, Inge sungguh ingin menunjukkan pada Daniel, bahwa Daniel keliru, telah menyia-nyiakannya. Bahwa Daniel telah mengambil keputusan yang salah dengan meragukan kemampuan Seorang Inge Nastasia Wijaya!
Sesat mata Inge memejam, teringat malam pertunangannya dengan Daniel yang begitu melukai harga dirinya. Bagaimana mungkin, dia bisa melupakan malam paling kelabu dalam hidupnya itu, meski peristiwanya sendiri telah lebih dari setahun berlalu?
...
Tak perlu disangkal, betapa itu adalah titik terendah dalam hidupnya!
Mana bisa dia lupa, bagaimana terkejutnya Sang Supir yang saat mengantarkan dirinya serta Daniel ke venue, melihatnya berseri-seri, mendadak saat dia masuk kembali ke dalam mobil, sudah berderai air mata dan sendirian pula, setelah dengan susah payah berlari dari dalam restaurant dengan gaun pesta serta sepatu berhak tinggi yang menyulitkan gerakannya?
Dan sebelum Sang Supir sempat bertanya, Inge sudah menyuruhnya untuk segera membawanya pergi sejauh mungkin dari area restaurant, untuk kemudian diminta pula menurunkannya di tengah jalan, dan mengancam agar Sang Supir tidak menceritakan apa yang telah terjadi kepada Orang tuanya yang telah terlebih dahulu pulang meninggalkan tempat pesta.
Sakit hati itu berlanjut hingga keesokan harinya, saat di mana dia terbangun dengan tubuh lelah, sakit kepala hebat, hidung yang terus berair, mata memerah, serta letih yang memuncaki perasaannya.
Uh, terbangun? Tidak, dia sangat tahu, dia bahkan belum memejamkan mata barang satu menitpun, semenjak tiba di suite mewah tempatnya menginap. Rasanya, energinya terkuras habis-habisan, setelah peristiwa tak terduga di hari yang semestinya menjadi hari terindah dalam hidupnya. Hari yang telah dirancangnya dengan teramat teliti dan diharapkannya dapat sesempurna yang ia bayangkan.
Dia tak hendak menampik, keseluruhan acaranya sendiri berlangsung lumayan sempurna dan sesuai dengan harapannya, kecuali ‘sedikit’ noktah berupa terjatuhnya cincin pertunangannya dari genggaman Daniel.
Semuanya akan tetap indah.
Bila saja..., bila saja tidak ada peristiwa menyakitkan setelah perayaan itu usai dan Para tamu mulai meninggalkan tempat pesta.
Sengaja Inge mematikan telepon selulernya, demi menghindari Orang tuanya ataupun Daniel, yang mungkin saja mencarinya. Namun alangkah bodohnya dia, sebab dengan membayar hotel melalui kartu kredit, toh Papanya bisa melacak keberadaannya?
Tepat. Dia dapat mengabaikan Sang Papa. Tetapi toh, dia tak dapat menganggap sepi kedatangan Mamanya. Ya, Mamanya yang selalu berada di pihaknya, terlepas dari dirinya benar atau salah. Mamanya yang langsung emosi dan bermaksud hendak membuat perhitungan dengan Daniel dan keluarga Sanjaya, saat itu juga.
Tetapi, ucapan Papanya terdengar menyakitkan di telinganya. Ingin rasanya Inge mempertanyakan, sebenarnya yang Anaknya Victor Harison Wijaya itu apakah dirinya, atau Daniel yang b******k itu?
“Kita harus membicarakan ini secara baik-baik. Kita baru mendengar versinya Inge, Ma, kita belum mendengar dari Daniel. Kita cari waktu yang tepat, karena Papa dengar, pak Agustin sendiri juga shock dan sedang dirawat di rumah sakit, sekarang ini,” kata pak Victor.
Panas hati Inge mendengarnya. Dia kecewa dengan reaksi Sang Papa. Jauh benar dari perkiraannya! Tadi Ia sempat berpikir bahwa Sang Papa akan langsung mengamuk dan bukan saja memaki Daniel melalui telepon, namun menyeret Lelaki itu ke hadapannya untuk meminta maaf dan kalau perlu mencium kedua kakinya di hadapan Papanya dan Mamanya.
Malahan Inge sudah berharap, Sang Papa akan memukuli Daniel hingga babak belur dulu di depan matanya dan mengancam Daniel untuk tidak lagi menyakiti dirinya.
Tetapi kenyataannya? Jauh panggang dari api!
Dengan suara tinggi, dia berkata, “Nggak usah Ma, Pa, nggak ada lagi yang perlu diomongin sama dia. Kalau Daniel punya otak dan hati, mustinya sudah dari kemarin dia itu mencari tahu di mana Inge. Sekarang, semuanya sudah terlambat. Inge sudah muak sama sikapnya. Inge nggak mau ketemu dia lagi. Selamanya.”
...
“Ini asyik! Kamu saja, yang nggak pernah merasakan nikmatnya mengayuh sepeda. Nanti ya, masih banyak waktu yang bisa kita habiskan bersama di sini. Aku pasti mengajarimu menjinakkan sepeda,” sahutan Jason membuyarkan lamunan Inge.
Di belakang punggung Jason, Inge terkesiap mendengar perkataan Jason.
Mengayuh sepeda? Masakan seorang Inge Nastasia Wijaya yang bak princess, diajari mengayuh sepeda? Mana mungkin dia mau. Selain takut jatuh atau lecet, dia juga ogah menjemput kemungkinan betisnya bakal membesar dan mengeras kalau keseringan mengayuh pedal sepeda.
“Hei, kenapa diam?” Jason memperlambat laju sepedanya karena tak mendapatkan sahutan dari Inge.
Kemudian Jason melepaskan pegangan tangan kirinya pada stang sepeda, demi bisa mengelus tangan Inge yang melingkar di pinggangnya. Laju sepeda agak oleng sebentar, membuat Inge menjerit ketakutan.
“Hei, hati-hati, Jason! Nanti kita berdua jatuh, nggak lucu!” seru Inge panik.
Jason tertawa kecil.
“Tenang saja. Aman kok. Aku sudah piawai mengendarai sepeda sedari umurku belum genap empat tahun,” kata Jason penuh percaya diri, sembari memegang kembali stang sepeda dengan kedua tangannya.
“Ya iyalah, sewaktu kamu di Antwerp. Udaranya di sana kan masih bagus. Nggak seperti aku, yang tinggal di kota metropolitan dengan polusi udara yang parah,” sahut Inge.
Jason manggut-manggut.
“Hm, ya, ya, ya. Makanya, kita harus sering-sering ke tempat tadi,” balas Jason.
Yang dimaksud Jason, adalah sebuah telaga bening yang berjarak sekitar satu setengah jam perjalanan jauhnya, dari asrama mereka.
Bila dihitung-hitung, ini sudah ketiga kalinya dia Jason mengajak Inge mengunjungi tempat yang disebutnya ‘surga’ lantaran keindahannya itu. Dasar bule yang tampaknya mempunyai kecintaan terhadap alam yang asri, Jason memang kerap bersepeda mencari sejumlah tempat yang dianggapnya tenang dan memberikan keteduhan, meski harus berjam-jam mengayuh sepeda.
Dan secara tidak sengaja, dia menemukan telaga indah itu, lalu jatuh cinta. Karenanya, ketika mengenal Inge dan menjadi kian dekat di hampir lima bulan terakhir ini, diperkenalkannya pula telaga dengan hamparan rerumputan hijau serta pepohonan rimbun di tepiannya itu kepada Inge.
Sepertinya, sekadar menyaksikan berbagai festival yang ada di kota Kaifeng, mengunjungi berbagai monastry di kota tersebut, menghabiskan waktu dengan duduk di taman, menyelusuri jalanan dari asrama hingga ke pasar tradisional serta menonton banyaknya atraksi yang ada, sudah terlampau biasa bagi Jason. Terlalu touristy, katanya.
“Kamu nggak capek, boncengin aku ke sana?” tanya Inge.
“Enggak. Aku suka bersepeda begini. Oh, ya, Orang tuamu sudah mengijinkanmu untuk kuliah di sini, kan?” tanya Jason.
“Aku nggak butuh ijin mereka. Apa yang aku mau, aku tinggal melakukan saja,” sahut Inge penuh keyakinan.
Ya, memangnya Siapa yang bisa melarangnya? Apalagi, ini demi Jason, Seseorang yang dengan kelembutan sikapnya, telah mengisi hari-harinya, perlahan memudarkan rasa sepinya, sedikit mengalihkan rasa sakit hatinya kepada Ferlita dan Daniel. Dua Orang yang dianggapnya paling bertanggung jawab atas luka hati yang ia derita dan melatar belakangi keputusannya untuk pergi sampai puluhan ribu kilometer jauhnya dari tanah air ini.
“Aku senang mendengarnya,” kata Jason.
Lantas ditambahkannya, “Artinya? Kamu tetap di sini, kan?”
Inge menjawab pertanyaan Jason dengan tawa riang. “What do you think?” godanya.
Jason tak menyahut, dan melanjutkan kayuhan sepedanya.
Hati Jason berbunga. Dia sudah tahu jawabannya. Bila telah usai dengan program satu tahunnya nanti, Inge hanya perlu kembali sebentar ke Jakarta, untuk mengurus beberapa dokumen yang diperlukannya. Setelahnya, tentu akan kembali ke pelukannya lagi.
“Kita hampir tiba,” ucap Jason dan mempercepat kembali kayuhan kakinya.
Inge bereaksi dengan menjerit riang. Teras asrama memang telah terlihat.
Keduanya tetap bercanda riang, sampai Jason melambatkan sepedaanya dan berhenti sama sekali.
Mereka tidak tahu, ada sepasang mata yang mengamati gerak-gerik mereka sembari menerka-nerka dalam diam, itu kah Orang yang tengah ditunggunya?
Inge turun selagi menanti Jason yang tengah menyandarkan sepeda.
Dengan mesra, dilapnya keringat di wajah Jason, lalu mengecup bibir cowok itu.
Jason tersenyum dan memeluknya erat, tak peduli keringat yang membasahi pakaian yang ia kenakan.
Inge juga tampaknya tak berkeberatan. Buktinya, ia pasrah saja kala Jason balas men mencium bibirnya.
Lalu, keduanya tersenyum, sembari melangkah bersama menuju teras asrama sambil bergandengan tangan dan tertawa-tawa. Khas dua orang yang sedang dimabuk asmara.
Tetapi, keceriaan itu terusik ketika Inge melihat Seseorang yang duduk di teras, menatap lurus ke arahnya.
TubuhInge seketika terasa membeku. Entah karena kecewa lantaran mendapati tak ada bias kerinduan di mata Sosok itu, ataukah salah tingkah, sebab dipergoki tengah bermesraan dengan Cowok lain.
“Hei, kenapa? Kok mendadak diam?” Jason menggoyang-goyangkan tangan Inge yang berada dalam genggamannya. Dan selintas, didaratkannya kecupan di pipi Inge. Hanya sekilas, tetapi sanggup membuat Inge merasa tegang, dan bingung harus berbuat apa.
Secuil keasadaran bagai melecutnya. Demi menyelamatkan rasa gengsinya yang tinggi, Inge memutuskan segera membalas mengecup pipi Jason dengan ekspresif, malahan diberinya gerakan ‘bonus’ yakni mengelus pipi Cowok itu dan mengacak-acak rambutnya dengan sayang yang tak tersembunyikan.
*
^ * Lucy Liestiyo * ^