Can’t Fight This Feeling

2030 Words
“Yuk. Kita pulang sekarang?” dengan tentengan di tangan kirinya, Daniel menghampiri Stephanie dan mengulurkan tangan kanannya yang bebas. Stephanie menyambut uluran tangan itu. “Kamu borong apaan? Mau bagi-bagi ke Satpam di Apartemen, ya? Baik hati sekali, Tenant satu ini,” ucap Stephanie seraya bangkit dari duduknya dan menunjuk kantung plastik yang ditenteng Daniel. “Buat kamu dong,” sahut Daniel ringan, dan mulai melangkah sembari menggandeng Stephanie. Stephanie terperangah. “Hah?” Stephanie menoleh ke samping, dan hampir saja melepaskan genggaman tangan Daniel. Daniel berdecak. “Ck! Nggak perlu kaget begitu. Kamu kan, baru balik dari bussiness trip. Kebaca banget, biarpun besok itu hari Sabtu, pasti bukan dipakai buat istirahat tapi malahan buat kerja, deh. Alasannya bikin trip report atau apalah. Kalau sudah begitu, pasti malas makan. Makanya, ini buat sarapan kamu, atau menemani kamu selagi asyik bekerja di depan komputer,” jelas Daniel. Stephanie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Macam cenayang aja Bos Daniel ini. But anyway, itu kebanyakan banget,” ujar Stephanie. “Kan banyak Anak kost, di tempatmu. Minta tolong mereka untuk membantu menghabiskan, lah,” sahut Daniel ringan. Stephanie tak berkomentar lagi. Dia paham tiada gunanya mendebat Daniel kalau sudah menyangkut masalah makanan, jadi sebaiknya memang mengucapkan terima kasih saja. Seingatnya, sedari awal perkenalannya dengan Cowok satu ini pun, urusan mengisi perut tampaknya tidak pernah diabaikan oleh Daniel. Seolah, Cowok itu pernah memiliki sejarah sakit lambung yang parah, sehingga tak mau orang lain mengalami kerepotan yang pernah dialaminya. Tiba di dekat mobil Stephanie, Daniel mengurai genggaman tangannya pada Stephanie, dan membukakan pintu untuk Gadis tersebut. “Thanks,” sahut Stephanie yang segera masuk dan duduk di jok penumpang. Rasa lelah campur kenyang, membuat matanya terasa berat. “Dan, kamu kan nggak bawa mobil, nanti pulangnya gimana dong?” tanya Stephanie saat Daniel mulai menstarter kendaraannya. “Lho, yang bilang aku mau pulang, Siapa?” Daniel cengengesen genit, macam abege Cowok yang sedang menggoda Teman kelas sebelah yang menjadi incarannya. “Maksudnya?” alis Stephanie mengernyit kala mengucapkannya. “Aku mau menginap di rumah kamu. Kamu pernah bilang, ada dua kamar, kan? Kamu nggak seserakah itu, dong, untuk memakai dua kamae sekaligus,” olok Daniel. Stephanie bagai tersengat lebah mendengarnya. “Hah? Menginap? Enak saja! Mendingan, sekarang kamu arahin mobilnya ke apartemen kamu,” kata Stephanie dengan nada tinggi. Daniel tersenyum geli. “Maksudnya, kamu, yang mau menginap di apartemenku malam ini? Tuh, kangen juga kan ternyata? Pasti selama di Shenzhen kemarin, kepikiran sama aku terus. Di unitku memang ada tiga kamar tidur, sih. Terserah kamu mau pilih yang mana. Mau gusur aku dari kamarku, juga boleh. Soalnya, itu kamar utama yang tentunya paling nyaman,” kata Daniel seenak udelnya. Pipi Stephanie langsung terasa panas. Tak disangkanya, Daniel mengucapkan kalimat sejahil dan semantap ini, padahal sepanjang yang diingatnya, selama ini, Daniel tak pernah bercanda yang tendensius begini. “Enggak, lah. Kamu turun di sana. Terus, aku nyetir sendiri, ke rumahku. Lagian, kangen? Mikirin kamu? Masih cukup waktu buat makan sama istirahat saja sudah bagus,” sangkal Stephanie. Daniel cengar-cengir nakal. Seorang Daniel mana bisa sih, dibohongi? Apalagi sama Cewek yang ditengarainya paling-paling cuma satu dua kali, terlibat hubungan asmara sama Cowok. Jelas beda kelas lah, sama Seorang Daniel yang jam terbangnya sudah lumayan tinggi. Dan bila sejarah kencan ataupun pacaran itu menambah nilai bagi seseorang, mungkin di daftar riwayat hidup yang dibuatnya, yang terbanyak tercantum adalah sejumlah nama ketika dirinya masih duduk di Junior College dan awal-awal kuliah. “Ah, kangen itu nggak usah diucap pakai mulut. Kebaca, kok, Steph,” Daniel mengulum senyum. Stephanie menyahut dengan kesal, “Over confidence.” Tetapi Daniel tak surut. “Steph, bilang saja, kamu mau inspect ke apartemenku, kan? Mau cari tahu, ada jejak-jejak yang patut dicurigai, nggak, di sana Atau jangan-jangan, kamu malah kepengen cari tahu, ada Cewek yang pernah menginap di apartemenku atau nggak? Kamu mau ngecek ada lipstick atau mungkin pakaian mereka, atau bahkan aroma tubuh mereka yang ketinggalan di apartemenku, kan? Nggak perlu khawatir, kamu itu..,” pancing Daniel. “Nggak lucu,” potong Stephanie gusar, lantas melipat kedua tangannya ke d**a dan memalingkan wajahnya ke jendela mobil. Ini bukanlah rencananya. Sudah badan capek, mata mulai mengantuk, malah diajak adu argumen nggak penting, pula. Beda cerita kalau dibahas saat kondisi pikiran, hati, dan badan sedang dalam kondisi rileks. Ah, aku cuma perlu sedikit bersabar. Toh, aku sudah punya rencana makan malam yang hebat, yang nggak mungkin ditolak sama Stephanie, pikir Daniel, yang tampaknya menyadari keengganan Stephanie. “Steph,” panggil Danie dengan nada membujuk. Stephanie pilih tetap membatu. “Hei.., jangan marah begitu dong. Segitu gampangnya marah? So not you. Tenang, aku nggak bakal menginap di rumahmu, kok. Aku cuma antar kamu pulang, mau mastiin kamu langsung istirahat. Supirku sudah kusuruh mengarah ke tempatmu, kok,” Daniel meraih tangan Stephanie. Stephanie menelan ludah. “Aku lagi capek banget, Dan, jadi malas bercanda. Tapi ngomong-ngomong, kasihan amat Supirmu. Dari tadi kemana dia?” sahut Stephanie dengan nada rendah, ditutup dengan kuap. “Paling dia makan, di dekat gedung kantormu. Ngomong-ngomong, kamu ngantuk? Kamu tidur saja. Nanti aku bangunkan tepat setelah mobilmu terparkir di carport,” kata Daniel. “Nggak apa?” tanya Stephanie ragu. Sekali lagi dia menguap. “Nggak apa, dong. Tapi dengan syarat, besok seharian kamu istirahat aja di rumah. Besok Sabtu, kan? Kamu kelihatan capek banget, itu,” kata Daniel. Stephanie tersenyum saja. Lalu dia memejamkan mata. Dan entah berapa lama dia terlelap, tahu-tahu dia merasakan ada embusan napas menerpa wajahnya, juga, sesuatu yang lembap, menempel di bibirnya. Antara sadar dan tidak, dirasanya sesuatu itu bergerak lembut, melumat bibirnya perlahan. Dan anehnya, dia merasa... nyaman. Tiada penolakan darinya, meski dia juga hanya bertahan, tidak membalasnya secara terang-terangan. Pelan, dibukanya matanya yang nyaris terbelalak, namun kemudian berakhir dengan terkatupnya kelopak mata itu, dalam kecanggungan yang berada di level maximal. Wajah Daniel hanya sejarak sekian mili meter dari wajahnya. Dan tentu saja, bibir Cowok itu masih di sana, melekat pada bibirnya. Perut Stephanie terasa mulas lagi, seperti ada sekoloni kupu-kupu yang bersekongkol untuk mengepakkan sayap secara berbarengan, di dalam sana. Mulas yang terasa nikmat, lama kelamaan. Dia sudah mulai hafal dan dapat akrab dengan jenis mulas satu ini. Yang terlintas di pikirannya adalah untuk memisahkan diri secara perlahan dengan cara memundurkan badannya. Tapi itu mustahil. Posisi kepalanya sekarang tepat di sandaran jok mobil. Mau mundur kemana lagi? Hanya satu cara yang tersisa untuk menyelamatkan dirinya sebelum terlarut dalam suasana ini, sebelum hatinya yang memang dalam bulan-bulan terakhir ini sukses tersandung-sandung oleh tawaran cinta, yang kerap tampak nyata, tetapi terkadang terlihat semu, dari sikap dan perhatian Daniel. Baru sikap dan perhatian, kan? Toh, Daniel belum pernah mengungkapkan perasaan secara verbal? Bagaimana kalau ternyata memang sikapnya sebaik itu ke semua gadis? Dia seorang Daniel Marcello Sanjaya, the high quality single - not jomblo, in this case, yang tanpa perlu harus usaha pun, bakal dikejar-kejar para Cewek single. Barangkali yang sudah double atau triple juga tergoda, sih, untuk masuk dalam berkompetisi. Yang ada, dia bakal kerepotan menghalau Cewek-cewek yang flirting kepadanya, namun tak sesuai dengan seleranya! Seringkali pemikiran ini hinggap di benak Stephanie. Dan kini pemikiran ini juga bagai menjajahnya. Terhimpit dalam situasi canggung, jantung Stephanie berdetak demikian kencang, seakan baru melakukan lari marathon. Aku harus bagaimana, ini? jerit hati Stephanie, dalam panik, malu, bingung, serta ragu. Ya, Stephanie belum sanggup menjatuhkan hati sejatuh-jatuhnya, atau membiarkan hatinya terhisap masuk kian jauh, lantas tersesat dan hilang arah, di dalam hati Daniel yang masih asing dan misterius baginya. Tidak, dia ogah mengambil resiko. Baru di gerbangnya saja, rasanya sudah demikian menantang dan membuatnya gentar. Ketimbang harus mempertaruhkan kesehatan jiwanya untuk sesuatu hal yang masih samar, Stephanie berpikir sebaiknya dia ambil ancang-ancang, mulai menggores sebuah garis, walau tipis saja, transparant dan putus-putus, malah. Ya, jenis garis macam itu akan lebih mudah untuk dihapusnya, setelah Daniel maju selangkah, s***h, menyatakan perasaan kepadanya. A statement is a beginning of commitment, right? Dia penganut paham konservatif, kok, bahwa yang namanya perasaan itu perlu ditegaskan secara lisan, bukan sekadar lewat signal sikap baik dan perhatian berlebih. Cara seseorang menerjemahkan perhatian orang lain, bisa saja keliru. Tetapi dia yakin, telinganya masih terlalu tajam, untuk sekadar menangkap ungkapan verbal dari bibir Daniel. Ya, apalagi yang bisa dipegang dari Seorang Laki-laki, kalau bukan ucapannya, kan? Dengan satu gerakan seolah baru terjaga, Stephanie memalingkan wajahnya ke samping. Gerakan yang mirip tindakan ‘bunuh diri’ bagi kesehatan jiwanya, sebetulnya. Pasalnya, gerakan tersebut membuat bibir Daniel bergeser, menyentuh pipi kanannya. Dan pipi itu langsung terasa panas, seolah seluruh aliran darahnya muncrat dan berkumpul di situ. Jantungnya bagai berhenti berdetak barang satu dua detik. Kalau saja dirinya lemah jantung, barangkali dia sudah pingsan, sekarang ini. “Eh.. kamu... ngapain?” jelas ada getar hebat, dan kepura-puraan dalam nada suara Stephanie yang disambung dengan dorongan tangannya ke d**a Daniel. Daniel sudah terlampau familiar dengan gimmick macam itu dari Cewek. Itu jelas merupakan bentuk kegamangan versus harapan. Tapi ini Stephanie! Mana sampai hati dia menertawakan atau menggodanya? This moment is too priceless! Dengan ketenangan super, Daniel menggeser tubuhnya, menjauh dari Stephanie. Tangannya terulur, Diletakkannya tangannya di atas kepala Stephanie, mengelusnya lembut. “Kita sudah sampai. Tadi sempat aku pikir, mau bopong kamu ke dalam karena nggak tega bangunin kamu. Tapi belum kepikir buat ngorek-ngorek tas kamu dan mencari kunci rumah. Habisnya, Bi Sum langsung masuk ke rumah utama setelah bukain pagar,” dusta Daniel lancar. Padahal jelas dia yang memberi isyarat pada Asisten rumah tangga itu agar masuk saja tadi, meninggalkan dirinya serta Stephanie. Diabaikannya tatap keraguan di mata Bi Sum. Perasaan Stephanie berkecamuk. Ada bingung, resah, ragu, serta ketakutan yang besar, mengepung asa yang merimbun begitu saja di hatinya, semenjak Daniel mewarnai hari-harinya. Mereka itu, seperti sekelompok preman jalanan, yang merundung si ‘asa’ secara kejam. Diawali peringatan lisan, dilanjutkan ke tindakan fisik berupa penyiksaan. Mana bisa si ‘asa’ tidak babak belur, karenanya? Stephanie menggeleng-gelengkan kepala, menepis bayangan-bayangan yang mengintimidasinya. Membuatnya perlu memperingatkan dirinya sendiri. Jaga hati kamu, Steph. Kamu akan kecewa, kalau tidak. “Central lock-nya, Dan,” ucap Stephanie lirih, lebih untuk menghibur dirinya sendiri yang dilanda galau. Lebih dari menekan central lock, Daniel bergegas turun, berniat membukakan pintu untuk Stephanie. Tidak seperti biasanya, kali ini dia kalah cepat. Stephanie sudah lebih dulu turun, dan tanpa melihat kepada dirinya, buru-buru membuka pintu paviliunnya. Daniel membiarkannya dan mengambil kue serta roti yang tadi dibelinya. “Sudah malam. Dan, kalau Supirmu belum datang, kamu nggak keberatan kan, kalau duduknya di teras sini saja? Nggak enak kalau ada yang ngomongin, soalnya,” cegah Stephanie, melihat gelagat Daniel akan mengikutinya masuk ke ruang tamu. Ditunjuknya kursi teras dengan tangannya. Daniel tertawa kecil. “Aku cuma mau taruh ini. Lagian, Supirku sudah dekat, tuh, paling semenit lagi sampai.” Daniel meletakkan dua kantung plastik berisi wadah kue dan roti ke sofa, lalu mengacungkan telepon selulernya. Stephanie mengangguk dalam kecanggungan. “Oh. Oke. Terima kasih atas makan malamnya. Ayo aku temani ke depan, sekalian mau mengunci pagar,” Stephanie menutup kembali pintu ruang tamunya. Daniel mengangguk. Mereka berjalan beriringan hingga ke depan pagar. Tepat seperti perkataan Daniel, sebuah Land Cruiser grey metalic, terlihat merapat ke sisi jalan, tepat di sebelah pagar, lantas berhenti sempurna. Daniel mengelus rambut Stephanie sekilas, membuat Gadis itu salah tingkah. Terlebih, Daniel juga menyempatkan mengecup puncak kepalanya sekilas. Stephanie tak terpikir untuk menghindar. Dibiarkannya hatinya menghangat, tak tercegah. Dan entah mengapa, kali ini dia ingin benar menangis, tanpa tahu alasannya. “Langsung istirahat, ya,” bisik Daniel, sebelum mereka berpisah. Langsung istirahat? Semudah itukah? Buat Stephanie, tentu saja tidak. Dia saja bingung dengan cara kerja tubuhnya. Bukannya tadi dia didera lelah dan ngantuk berat? Mengapa kini, di kala dia berendam di bath tub, justru pikirannya tak pernah terlepas dari Daniel? Lebih parah lagi, sekeluarnya dari kamar mandi dan berniat hendak membaringkan diri di atas peraduan, jari telunjuknya menelusuri bibirnya. Hati Stephanie berdesir. Dia sedikit bergeser, menatap wajahnya di cermin. Kini jari telunjuknya mengajak serta jari tengahnya, meraba bibir ranumnya, seolah masih merasakan lembutnya bibir Daniel di sana. Sekarang dia paham, seperti apa persisnya perasaan Cinta dalam AADC 2, kala menyentuh bibirnya sendiri di depan kaca wastafel, seusai Rangga menciumnya. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD