Falling?

1305 Words
Ternyata bukan Daniel seorang yang pintar membuat kejutan atau membuat perasaan Stephanie serasa bak roller coaster, naik turun dan meliuk lantaran sikapnya yang mendadak dingin dan irit bicara, dalam perjalanan pulang selepas makan malam mereka, yang semestinya bernuansa super romantis. Masih ada Satu Sosok lagi. Ardi. Betul, Kakaknya Stephanie yang satu itu! Ya, setibanya mereka berdua di teras paviliun Stephanie, mereka berdua mendapati Ardi sedang mengobrol dengan Bi Sum. Entah apa yang telah mereka obrolkan sebelum Stephanie dan Daniel tiba, sebab wajah Ardi yang biasanya paling juara dalam menyimpan perasaan, saat itu terlihat kurang sedap dipandang. Seperti ada sesuatu yang mengusik dirinya, mengusik ketentraman hatinya. “Bi Sum, kalau ada apa-apa soal Non Steph, kasih tahu saya,” sayup-sayup Stephanie mendengar Suara Kakaknya itu. Dan anehnya, dia melihat Bi Sum tampak rikuh dan memasang wajah merasa bersalah, padanya. Ekspresi wajah Bi Sum menyiratkan adanya penyesalan, seolah telah mengkhianatinya dan bahkan telah menusuk dirinya dari belakang.             “Saya permisi dulu. Mau saya buatkan minuman apa, Non?” tawar Bi Sum, melihat kedatangannya beserta Daniel. Terkesan bahwa Bi Sum hendak secepatnya berlalu dari hadapannya. Hati Stephanie tergelitik. Namun sekarang ini jelas bukan waktu yang pas, untuk menanyakan hal itu, apalagi di depan Daniel begini. Ia memilih untuk menyimpan rasa penasaran itu sesaat dan mencoba bersabar.             “Nggak usah, Bi Sum. Bi  Sum istirahat saja. Eh, Kak Ardi sudah lama datang?” Stephanie berkata pada dua Orang sekaligus.             “Baru sebentar, Steph. Cleo minta ke aku untuk mengantarkan sedikit oleh-oleh dari Saudara Sepupunya, yang datang ke rumah tadi pagi. Sudah disimpanin sama Bi Sum, tuh,” jelas Ardi, dan melihat sekilas pada Daniel, tanpa senyum. Penuturan Bi Sum mengenai apa yang disaksikannya secara tak sengaja, rupanya cukup membuat Ardi khawatir. Ya, siapa sangka, Bi Sum yang secara khusus diminta Bu Gabby untuk mengurusi keperluan Stephanie kala memutuskan menempati rumah ini, tidak begitu saja menuruti saran Daniel untuk segera masuk rumah induk? Entah apa yang ada di pikiran Bi Sum kala itu sehingga merasa perlu untuk mengawasi tindak-tanduk Seorang Laki-laki yang tengah dekat dengan Nona majikannya. Kemungkinan paling masuk akal, adalah karena rasa sayangnya yang demikian besar, pada Stephanie.             Daniel tersenyum dan menyapa, “Apa kabar, Kak Ardi?”             “Baik,” sahut Ardi singkat, dan... diiringi dengan pandangan menyelidik. Pandangan menyelidik yang sungguh kentara. Entahkah Ardi lupa menyembunyikannya, ataukah memang sengaja mempertegasnya, untuk mengintimidasi Daniel.             “Saya permisi ke dalam dulu, Non,” ucapan Asisten rumah tangganya sedikit mengalihkan suasana yang mendadak terasa kurang nyaman dan cenderung canggung. Bi Sum mengangguk juga pada Daniel dan Ardi.             “Steph, aku langsung saja, ya,” ucap Daniel dan menatap pada Ardi, “saya pulang dulu, Kak Ardi.”             Ardi mengangguk saja. Tidak ada satu katapun terucap dari bibir Ardi untuk menyahuti ucapan Daniel. Ini sungguh reaksi yang membuat Stephanie terheran, dan bertanya-tanya dalam hati. Lagi-lagi, ia menunda untuk bertanya. Stephanie mengisyaratkan ke Ardi bahwa ia akan menemani Daniel sesaat sembari menanti Supirnya Daniel tiba. Ardi hanya mengangguk pendek. Sebuah mobil merapat. Mobil baru Daniel. Pak Wawan bergegas membukakan pintu. Daniel mohon diri pada Stephanie dan Ardi sekali lagi.             Begitu mobil Daniel lenyap dari pandangan mata, Ardi mengajak Stephanie masuk ke paviliun. Stephanie menurut tanpa banyak komentar.             “Aku ganti pakaian sebentar ya, Kak. Kak Ardi duduk saja dulu,” kata Stephanie. Tak menanti jawaban Ardi, ditinggalkannya Kakaknya itu di ruang tamu. Stephanie mempercepat gerakannya mengganti pakaian dan membasuh wajahnya, membersihkan make up yang melekat di parasnya. Setelah itu, dia melangkah menuju ruang tamu, membawakan secangkir teh untuk Ardi. Tak lupa, dibawanya juga bingkisan untuk Kakak iparnya yang telah dimasukkan ke dalam tas karton.             “Terima kasih buat oleh-olehnya, Kak. Aku tadi sudah kirim voice note ke Kak Cleo. Tapi mungkin belum sempat didengar. Aku titip ini ya Kak Ardi, buat kak Cleo. Maaf nggak sempat beli apa-apa, ya cuma ini aja, beli di bandara setelah check in. Terus, belum sempat kuantar ke rumah juga. Semoga kak Cleo suka.” Stephanie menyerahkan souvenir yang sengaja dibelinya untuk Cleo.             “Sama-sama. Kamu tuh, ngapaian pakai repot-repot segala beliin souvenir buat Cleo. Kan jadi berat-beratin kamu bawanya,” Ardi mengintip sebentar tas karton, tetapi tidak mendapatkan clue, apa isinya. Dia juga tidak berusaha lebih jauh. Ardi meletakkan tas karton itu di atas sofa.             “Nggak repot, kok. Dan juga sama sekali nggak berat. Nah, diminum tehnya, Kak,” kata Stephanie yang langsung diangguki oleh Ardi.             “Gimana bussiness trip-nya, Steph?” tanya Ardi setelah meminum tehnya.             “Hm. Super duper padat agendanya Kak. Tapi cukup menyenangkan. Pabriknya itu ternyata besar banget. Karyawannya luar biasa buanyaaak! Dan ternyata, jenis barang yang dipasarkan di sini, nggak ada apa-apanya, dibandingkan ragam yang ada di sana. Artinya, masa depan perusahaan ini, masih sangat panjang. Begitu juga subsidiary Indonesia. Masih banyak, yang kelihatannya cocok dan bisa masuk kemari di kemudian hari nanti,” urai Stephanie penuh semangat.             Ardi memandang adiknya tanpa kedip.             “Kok gitu, ngelihatnya?” tanya Stephanie.             “Steph,” ucap Ardi seraya meraih tangan Stephanie dan menepuk-nepuk punggung tangan itu.             “Apa, Kak?” tanya Stephanie.             “Kalau Mama dan Papa masih ada, mereka pasti sangat bangga sama kamu. Kamu, Anak perempuan satu-satunya, justru yang langkahnya paling panjang, dan berhasil, pula,” kata Ardi, jujur. Stephanie membeku mendengarnya. Kata-kata yang hendak ia ucapkan, mendadak menguap begitu saja. Mama mungkin bangga. Tapi Papa? Entah lah! Jangan-jangan aku malah dianggap Pengkhianat, karena malah memberikan waktu, tenaga, dan kemampuanku, ke perusahaan lain bukannya berkontribusi di grup perusahaan keluarga sendiri! Pikir Stephanie skeptis. Akan tetapi sesaat kemudian, dia tersadar apa yang dipikirkannya itu sungguh keliru, membiarkan perasaan terluka kepada Sang Papa yang bahkan telah berada di alam lain, tetap membebani langkahnya.             “Sorry, nggak ada maksud bikin kamu jadi mellow yellow. Intinya, kamu itu membanggakan. Mandiri dan independen. Proud of you, my beloved Sister,” kata Ardi kemudian.             “Itu sangat berlebihan, Kak,” bantah Stephanie. Dilihatnya Ardi menggeleng, pertanda tak setuju dengan ucapannya. “Nggak berlebihan. Faktanya, kamu luar biasa.” Baru saja Stephanie hendak memberikan respons, Ardi sudah beralih ke hal lainnya.             “Kalau... soal hubungan kamu dengan Daniel, bagaimana? All good?” seperti enggan membuang kesempatan dan momen yang dirasanya tepat, Ardi segera menyinggung tentang Daniel. Stephanie yang tak memperkirakan akan mendapatkan pertanyaan tersebut, langsung tergeragap.             “Hei..., kenapa? Kok kamu gelagepan begitu?” selidik Ardi.             Stephanie mengembuskan napas. Ia terdiam. Dipikirnya, barangkali ini saat yang tepat untuk berbagi. Dia tidak mempunyai Teman Wanita yang terbilang cukup dekat dan dapat dipercaya, untuk menampung curahan hatinya. Apalagi, kalau yang dibahas adalah seorang Daniel Marcello Sanjaya yang populer itu. Dia khawatir, bukannya mendapatkan opini yang berguna, malahan akan berujung namanya disebut-sebut di tabloid gosip! Bisa saja toh, ada orang yang hendak menjual curhatannya, sebab menyangkut Seseorang dari clan Sanjaya. Kalau sudah begitu, bukan hanya dirinya yang merasa tak nyaman, Daniel pun akan terimbas. Bisa jadi, hubungan pribadi serta hubungan kerja di antara mereka juga bisa bubar jalan. Bisa-bisa Daniel menganggapnya sebagai Seorang Cewek yang suka ngember. Atau lebih parah dari itu, Daniel akan menyebutnya sebagai Cewek halu, yang kegeeran menerjemahkan sikap baik dan perhatian Daniel? Dan kalau sudah separah itu, apa susahnya sih, bagi Daniel untuk meminta agar perusahaan tempatnya bekerja mengganti Person in charge yang mengurusi perusahaan Daniel? Itu juga kalau Daniel masih merasa perlu jasa PT Sheng Li sebagai vendor mereka.             Nah, bukannya Ardi adalah Sosok yang tepat untuk menumpahkan isi kepalanya, dan dapat diharapkannya pula untuk memberikan saran yang berguna sebagai pertimbangan untuk menentukan sikap dan bahkan mengambil keputusan ke depannya nanti? Ardi ini toh, Orangnya sangat logis. Dan yang pasti, Ardi tentu mau yang terbaik untuknya. Sejumlah harapan ini serta merta memenuhi kepala Stephanie.             Usai berpikir demikian Stephanie menelan ludah, seolah membasahi kerongkokannya yang terasa kering.             Ia mempersiapkan hati untuk membuka mengenai apa yang ia rasakan sehubugan dengan kisahnya bersama Daniel. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD