Your Presence

2339 Words
Stephanie menuju tempat parkir di penghujung sore yang telah lebih dekat ke malam hari itu. Dia memergoki Daniel sudah berdiri di sisi mobilnya, seakan-akan Daniel telah lama mengawasinya. Kening gadis itu langsung berkerut. Hatinya dipenuhi tanya. “Dan, kok mau datang kemari nggak bilang-bilang? Kalau aku pas nggak di kantor, kan nggak lucu? Lagian, sejak kapan kamu berdiri di sini? Nggak malu, kalau kebetulan papasan sama Rekan bisnis kamu?” protes Stephanie panjang lebar. Daniel mengedikkan bahu. “Mata-mataku kan, ada di mana-mana. Lagi pula, aku bisa memantau setiap pergerakan kamu dari kuku jempol tanganku,” sahut Daniel asal saja. “Ck ck! Horor sekali,” Stephanie berdecak, lalu berlagak memasang tampang ngeri. Daniel mengabaikan reaksi Stephanie. Sebaliknya, dia menadahkan tangan kanannya seraya bertanya, “Mana kunci mobilmu?” Daniel sudah terlalu kangen pada Stephanie. Ya, Stephanie yang menolak mentah-mentah untuk dijemput di bandara karena menurutnya dia pergi dengan Country General Manager-nya, dan diantar pula oleh Supir dari Country General Manager-nya itu. “Pak Alvin bilang, biar praktis. Lagian, dengan begitu, kami masih bisa lanjut untuk mendiskusikan soal pekerjaan di mobil,” dikenangnya alasan Stephanie tempo hari. Andai saja Daniel boleh jujur, dia cemburu plus curiga berat. Dia tahu pasti, Alvin masih cukup muda dan secara look juga oke. Tapi mau bilang apa? Hubungannya dengan Stephanie toh, belum jelas. Dia sendiri belum punya keberanian dan kemantapan untuk menyatakan isi hatinya. Entah mengapa, dia merasa perlu sangat berhati-hati kali ini. Sempat ia berpikir, barangkali karena faktor u, ya..,  atau... sebab lain? “Sini, aku yang nyetir,” kata Daniel. Stephanie menggoyangkan telapak tangannya dengan ekspresif. “Ih, jangan ngaco, deh. Memang tadi kemari nggak bawa mobil? Ngesot atau naik taxy, begitu?” Daniel tersenyum geli mendengar pertanyaan Stephanie. Stephanie melirik ke sekeliling. Agak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat Sosok seorang Pria berusia sekitar empat puluhan, tengah mengangguk santun kepadanya. Pria itu berdiri di dekat sebuah kendaraan yang tampak masih gress, kinclong, dan terkesan gagah, yaitu Land Cruiser berwarna grey metalik. Ditengarainya, Pria itu menanti komando atau minimal tanda dari Daniel, bahwa dia boleh meninggalkan tempat parkir. “Enggak. Aku di-drop sama Supir,” sahut Daniel santai, kala mendapati pandangan mata Stephanie yang tampak menyelidik. Tepat perkiraan Stephanie tadi. Land Cruiser berwarna grey metalic itu pasti milik Daniel. Tetapi untuk memutuskan  hendak pulang bersama Daniel, Stephanie tampak ragu. “Jangan takut mobil sama yang punyanya dibawa kabur. Banyak kamer cctv, Ppetugas parkir gedung ini juga sudah hafal sama kamu. Nah, kasih ke aku, kuncinya. Yang penting, mobilnya sudah diasuransi untuk tanggung jawab kepada pihak ketiga segala, kan? Aku nggak begitu pintar nyetir, soalnya. Aku biasa disupiri,” seloroh Daniel seenaknya. Stephanie masih belum bereaksi. Daniel menatap sekitar dan mendapati beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Daniel seperti mendapatkan celah. Didekatinya Stephanie, membisiki Gadis itu. “Kamu nggak mau jadi bahan gossip, kan? Rasanya, wajah kamu lumayan familiar, di gedung ini. Ya kan? Nah, ayo, kita cepetan pergi dari sini,” Daniel mengulurkan tangannya, dan menarik Gadis itu. Pada detik berikutnya, Stephanie menyaksikan Daniel memberi tanda pada Pria yang tadi dilihat Stephanie. Pria itu tampak mengangguk hormat ke arah mereka berdua. “Itu Pak Wawan, Supirku. Dari tadi sudah kusuruh bawa pulang mobil, tapi kekeuh mau nunggu sampai aku ketemu kamu. Memangnya aku Anak kecil, apa, jadi dia takut aku terlantar atau hilang dan nggak punya cukup uang untuk bayar ongkos taksi?” terang Daniel tanpa diminta. “Ha ha ha,” Stephanie terbahak. “Padahal aku mau banget lho, diculik sama kamu,” kata Daniel setengah bergumam. “Hah? Apa?” tanya Stephanie lantaran tak dapat mendengar dengan jelas gumaman Daiel. “Enggak,” tepis Daniel sambil menyeringai. “Sini, kuncinya,” pinta Daniel. Stephanie tak lagi menunda. Diberikannya kunci mobilnya ke Daniel. Pikirnya, lumayan kan, dia bisa bebas mencuri pandang ke wajah Daniel, saat Daniel menyetir nanti? Lagi pula, hari ini dia capek sekali. Tadi malam dia kurang tidur. Bagaimana mau cukup tidur sementara dia mendarat di bandara Cengkareng saja sudah malam, setelah kunjungan kerjanya selama empat hari ke Shenzhen? Sudah begitu, dia masih diajak makan malam pula, oleh Alvin, yang kemudian mengatakan hari ini Stephanie boleh mengambil libur satu hari. “Kok masuk, hari ini? Katamu, peraturan di Sheng Li membolehkan mereka yang melakukan bussiness trip yang berhari-hari, apalagi yang pulangnya juga sudah larut malam, untuk libur sehari atau ngantor sebentar setelah waktu makan siang, esok harinya, tanpa memotong jatah cuti?  Kenapa nggak di-claim haknya, Steph?” tanya Daniel begitu mereka berdua sudah berada dalam kendaraan. “Banyak kerjaan, Dan,” sahut Stephanie pendek. Daniel mengerling sesaat. “Kita makan malam dulu, ya. Aku lapar,” kata Daniel setelah mereka berdua meninggalkan tempat parkir. Stephanie langsung menggeleng. “Aduh, nggak usah, deh. Langsung pulang saja. Aku capek banget, hari ini. Ngantuk berat. Hari ini aku memaksakan diri buat masuk kerja, soalnya kerjaanku numpuk,” tolak Stephanie sembari menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Daniel mengembuskan napas. “Tapi kamu tetap harus makan malam, kan? Sudah, tidur saja, nanti kubangunkan kalau sudah sampai tempatnya. Kamu itu, sudah tahu lagi kecapean, kenapa sih, nggak work from home aja? Pakai nyetir sendiri, lagi! Bahaya tahu!” omel Daniel macam Emak tiri yang mendapati Anak tirinya pulang larut malam dan mengajak serta Anak kandungnya yang dipikirnya ‘masih hijau’ dan mudah dipengaruhi, pula! Sudah begitu, dari mulut Si Anak kandung tercium bau alkohol. Pantas dong, kalau Si Emak tiri ngomel pada Anak tirinya? “Habis gimana dong? mau minta tolong disetirin kamu kan nggak mungkin. Pertama, nggak sopan. Kedua, kamu kan nggak jago nyetir, biasa disupiri, soalnya,” ucap Stephanie asal saja. Daniel mengerling sekilas. “Paling pintar buat balikin omongan Orang deh kamu itu. Itu tuh, yang bikin aku makin kangen, sama kamu!” Daniel meletakkan tangannya di atas kepala Stephanie, mengusapnya dengan sayang. Jantung Stephanie berdetak demikian cepatnya, seiring rasa mulas di perutnya. Ah, rasa itu lagi, perasaan seolah ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayap secara serentak, di sana. Ini sudah sering dialaminya selama dirinya bersama Daniel. Kangen? Kangen saja? Dan, sebenarnya, yang kita jalani ini hubungan macam apa sih? Bolehkah aku berharap?Atau tepatnya, meminta kejelasan? Kapan kamu mau mempertegas soal ini? Tanya Stephanie dalam hati. “Steph, boleh nggak sih, kalau aku minta, kamu jangan bekerja sekeras ini?” tanya Daniel setengah bergumam. “Hah?” Stephanie terperangah. Daniel tak menyangka reasksi Stepahnie akan seperti itu. “Enggak. Aku cuma bingung..,” Daniel menggantung ucapannya. Ia keburu tersadar, ini bukanlah saat yang tepat untuk menanyakan tentang masalah seberat itu, yang juga baru saja diketahuinya kemarin lusa. Fakta yang dipikirnya harus dicek ulang olehnya, meski diam-diam dia merasa malu, mengingat kelakuan serta pemberontakkannya dulu terhadap ayahnya. Kalau mau jujur, betapa Daniel mendadak merasa ‘pertemuan’nya dengan Stephanie sungguh-sungguh telah digariskan. Terlintas di benak Daniel, bisa saja kan, semesta sengaja mempertemukan mereka, menghubungkan mereka satu sama lain, yang berlatar belakang Keluarga dengan persoalan yang punya kemiripan, agar dirinya dapat menolong Stephanie? Bukankah sudah rumusan dari sananya, dipulihkan adalah untuk memulihkan? Siapa tahu, dirinya adalah Seorang Penolong yang sepadan bagi Stephanie? Seseorang yang dapat mendampingi Stephanie melalui masa sulitnya, di kala Gadis itu sedang dalam proses untuk mencabut akar kepahitan dalam dirinya? Memikirkan hingga sejauh itu, Daniel mendadak merasa gamang. Gamang yang janggal dan sulit dimengertinya. Intuisinya mengatakan, dia harus extra berhati-hati dalam menjalani hubungan yang baru di tahap permulaan ini, agar tidak memburuk atau berakhir dengan saling menyakiti. It means, aku harus lebih banyak bersabar dan menanti saat yang tepat untuk membahas hal-hal yang dalam dan sensitif macam itu. Salah waktu dan cara, bisa berakibat Steph lari dan menutup semua aksesku buat menghubunginya, gara-gara bertanya soal itu, pikir Daniel. Daniel menatap sesaat ke arah Stephanie. Disesalinya kelelahan yang menggayut di paras Gadis itu. Ya ampun Steph. Dengan kompetensimu, sebenarnya kamu bisa saja kan, mengundurkan diri dari PT Sheng Li dan mendapatkan posisi yang jauh lebih baik, di perusahaan lainnya? batin Daniel geregetan. Daniel tersenyum kecut. Dia mengira-ngira, bila dia sampai tergoda menyinggung agar Stephanie mempertimbangkan untuk memperjuangkan haknya dengan dukungan Pengacara terbaik yang tentunya akan dicarikannya demi Stephanie, bisa jadi akibatnya justru fatal. Bukan mustahil, Stephanie salah paham, mengganggapnya mencampuri urusan Keluarganya, kemudian pergi entah ke mana? Kalau saja tidak ingat dirinya tengah menyetir saat ini, bisa jadi Daniel memejamkan mata sesaat. Sungguh, dia tak mau Stephanie menutup akses bagi dirinya untuk terus berkomunikasi dengan Gadis itu. Ya, seorang Ferlita saja bisa, melakukannya, bertahun lampau. Apalagi ini, Stephanie yang mandiri, cukup ekstrovert, dan rasanya juga tak punya masalah dengan keuangan. Dia bisa membiayai hidupnya tanpa harus bekerja di PT Sheng Li, toh? Itu, pendapatan dari tempat kostnya, pasti lebih dari cukup! Belum lagi bisnisnya yang lain, yang mungkin saja belum diketahui oleh Daniel. Daniel yakin, Stephanie bisa ghosting, kapanpun dia mau. “Bingung kenapa?” tanya Stephanie, memecah kebisuan di antara mereka. Ada sebuah perasaan curiga yang menerpanya. “Bingung mau makan apa,” sahut Daniel, seenaknya bermanuver kata. Stephanie mencebik. “Yeee..., dasar! Jangan suruh aku mikir, ya. Otakku masih rada nge-hang lho ini. Empat hari kemarin itu, jadwalnya super padat. Sudah hari pertama saja flight-nya paling pagi, datang langsung diajak ke pabrik sampai malam. Baru setelah itu diantarkan ke hotel untuk istirahat. Dua hari berikutnya, meeting ini itu dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam. Kemarin saja pagi-pagi sudah di pabrik, sampai terburu-buru ke bandaranya. Hm..., jangan-jangan cara kerja 996 alias masuk jam sembilan pagi pulang jam 9 malam selama enam hari berturut-turut ala mereka itu, sepertinya mau diberlakukan juga ke Perwakilan cabang,” urai Stephanie panjang lebar. Daniel menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya, walau Stephanie sedikit bercanda di akhir kalimatnya. “Ya ampun, kasihan banget sih kamu! Kita makan di kafe Breeze saja deh, ya. Italian Food, kesukaan kamu. Sudah dekat, dari sini,” ucap Daniel dengan nada prihatin. Tangannya bergerak lagi mengusap kepala Stephanie sembari mengerling sesaat ke paras Stephanie. Aksi yang sukses menghadirkan debar-debar konstan di hati Stephanie. Dia tak kuasa menghindari kerlingan mata Daniel. “He eh,” sahut Stephanie pendek. Semata mencegah agar suaranya yang bergetar tak terlalu kentara dan diketahui oleh Daniel. “Sheng Li bikin kamu kerja rodi, ya Steph? Keterlaluan banget. Coba kamu cek yang benar deh. Itu perusahaan miliknya orang Tiongkok atau Jepang sih, sebenarnya? Soalnya setahuku, kerja rodi macam romusha itu adanya saat pendudukan Jepang. Biarpun aku sekolah di Singapura, aku lumayan rajin kok baca Sejarah Indonesia.” Daniel mendengus kesal. “Lebay![1]” cemooh Stephanie. Daniel tak tepengaruh. Namun Tak urung, Stephanie tergelitik juga mendapati garis rahang Daniel yang tampak kian tegas dalam keadaan menahan jengkel begitu. “Hei, nggak usah lebay, Bapak Daniel Marcello Sanjaya. Namanya di-hired Orang, ya memang begitu, lah. Ya, kan, nggak semua orang, seberuntung Karyawannya Seorang Daniel Marcello Sanjaya,” goda Stephanie. Namun, tiada perubahan berarti pada air muka Daniel. Bukan lantaran dia tak mendengar apa yang diucapkan Stephanie, melainkan menyayangkan keputusan yang dibuat oleh Stephanie. “Kenapa kamu harus bekerja pada orang, Steph? Kamu kan bisa..,” ucapan Daniel terputus. Digelengkannya kepalanya. Tidak, dia merasa belum berhak, menyinggung tentang ini, betapa pun dia peduli pada Stephanie. “Apa, Dan?” dalam keterkejutannya, Stephanie berharap dia salah dengar. “Enggak,” elak Daniel cepat. Lalu kata Daniel, “Minggu sore mau kan, makan malam sama aku, please? Aku sudah pesan tempatnya, kuharap kamu suka.” Dia paham, ini bukan momen terbaik untuk mencari tahu, apa saja alasan Stephanie bekerja pada Orang lain, sementara bisnis keluarganya sendiri toh, tidak bisa dianggap remeh. Tidak. Dia tak mau gegabah. Dia berpikir, bagaimana jika Stephanie punya alasan yang sifatnya sangat pribadi? Ya, selain alasan pribadi yang berhasil dikumpulkannya dari berbagai Sumber. Daniel penasaran dan memandang ini dari segi materi semata, namun lebih ke perkara luka batin dan kepahitan. Seandainya mungkin, betapa ingin dipeluknya Stephanie saat ini, dan membisikinya, “Seseorang dengan kualitasmu, tentu bisa survive tanpa harus berbekalkan sesuatu yang bernama ‘warisan’. I feel you, Steph. Siapa Orangnya yang nggak sakit hati, kalau diperlakukan berbeda, sama Papa kandungmu sendiri?” “Kamu tuh, tanya ke aku saja belum, kok sudah pesan tempatnya?” kritik Stephanie. “Menurutku, meminta lebih baik dari pada bertanya. Aku memintamu makan malam denganku, oke?” timpal Daniel. “Iya deh,” sahut Stephanie dengan nada rendah. Mana bisa dia menolak? Jujur saja, selama di Shenzhen, sesekali toh terlintas bayangan Daniel, ketika dia akan berangkat tidur. Apalagi saat tersenyum sendirian, membaca pesan w******p dari Daniel, yang tak jauh dari mengingatkannya makan dan berpesan agar tetap menjaga kesehatannya, terutama selama kunjungan kerjanya.  “Gitu dong,” balas Daniel puas. Lalu katanya, “Nah, kita sudah sampai, Steph.” Tidak ada yang terlalu istimewa dengan makan malam mereka kali ini. Daniel malah membujuk agar Stephanie menghabiskan setidaknya dua pertiga dari spaghetti bolognaise yang terhidang. Namun kelihatannya, Stephanie memang tidak terlalu berselera makan. Tubuh penatnya sudah dilanda rindu pada peraduannya. “Ya sudah, nggak apa. Yang penting perut kamu nggak kosong sama sekali. Kamu tunggu di sini sebentar, ya,” kata Daniel. “Mau ngapain? Jangan lama-lama,” Stephanie memperingatkan. Daniel hanya membalas dengan elusan lembut di pundak Stephanie. Dengan ekor matanya, Stephanie menyaksikan Daniel menuju meja kasir. “Kok tumben? Biasanya kalau mau bayar tinggal panggil Pelayan,” gumam Stephanie pelan, dan mendorong piring spaghetti-nya agak menjauh dari padanya. Ia meneguk habis minuman di gelasnya. Dari tempatnya duduk, Stephanie melihat Daniel bergerak ke rak showcase di sisi kasir, dan menunjuk-nunjuk sejumlah kue yang ada di sana. Seorang Gadis berparas manis melayani Daniel dengan cekatan, memasukkan kue dan roti yang ditunjuk ke dalam dua wadah karton yang berbeda, sambil menyebutkannya kepada Kasir yang berdiri di dekatnya. Dengan begitu, usai dia memasukkan dua wadah karton tadi ke dalam kantung plastik super besar, Sang Kasir langsung dapat menyebutkan nominal yang harus dibayar Daniel. Stephanie mengerutkan kening. “Ampun deh. Ngapain dia? Borong roti sama kue? Buat apa?” gumam Stephanie. “Silakan, Pak. Terima kasih banyak.” Daniel mengangguk lantas berjalan menghampiri Stephanie. Sebelah tangannya menenteng dua buah tas plastik besar. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^ [1] LL : Terlalu berlebihan maksudnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD