Obstacles

1398 Words
“Kak Ardi..,” kata Stephanie lirih. Ia sama sekali tak mengetahui apalagi curiga bahwa sebetulnya Ardi telah tahu apa yang dilakukan Daniel atas dirinya sepulang mereka makan makan pada hari Jumat lalu.             “Ya?” sahut Ardi.             “Sebetulnya, kami berdua itu..,” Stephanie menjeda kalimatnya. Segenap ragu dan gamang menyelimuti benaknya.             Ardi tampak menanti kelanjutan dari kalimat Stephanie. Hal ini membuat Gadis itu merasa agak rikuh. “Eng.., kami.. nggak ada hubungan apa pun,” kata Stephanie, nyaris bergumam. Ardi tercengang.             “Apa?” tanya Ardi dengan nada tinggi. Ya, Ardi memang sungguh-sungguh terkaget akan pernyataan Stephanie. Stephanie yang tak menyangka bahwa reaksi Kakaknya akan seperti ini, sontak mengernyitkan keningnya saking bingung.             “Eng.., kenapa, Kak?” tanya Stephanie lagi.             Ardi berusaha keras menekan rasa marahnya.             Disabar-sabarkannya hatinya sendiri.             “Kamu benar, nggak ada hubungan pribadi, sama Daniel? Jadi, hanya sebatas urusan pekerjaan, maksudmu?” korek Ardi.             Sekarang, Stephanie tampak ragu. Dia sampai menghela napas dan mengembuskannya dengan amat perlahan. Dilakukannya itu berulang-ulang. Kontan, hati Ardi jadi kebat-kebit. Dia sungguh khawatir dan terus mencermati ekspresi wajah Adiknya itu. Tepat. Ini adalah gambaran Seseorang yang sedang galau dan terombang-ambing perasaannya. Jangan-jangan, mereka sudah pacaran dan mendadak Steph tahu, bahwa kehadirannya di hidup Daniel berpotensi membahayakan dirinya sendiri? Pikir Ardi dalam resah.             “Duh, gimana nyebutnya, ya? Eng.., tepatnya belum barangkali, Kak. Tapi nggak tahu jua deh. Ya kami berteman, mungkin itu sebutannya. Daniel sendiri juga belum pernah ngomong apa-apa kok, ke aku. Dan Kak Ardi tahu aku, kan? Aku nggak mungkin ngomong duluan. Kalau ternyata dia hanya menganggap aku Teman, gimana? Bakal malu-maluin dan merendahkan diriku sendiri, kan?” merasa kepalang tanggung, Stephanie pun berterus terang.             Di telinga Ardi, itu terdengar amat impulsif.             Lagi-lagi, reaksi Ardi di luar perkiraan Stephanie. Sekarang malahan Stephanie melihat adanya kegusaran yang nyata di wajah Kakaknya.             “Kamu benar-benar sudah jatuh hati sama dia, Steph?” tanya Ardi. Stephanie merasa tersudut. Tiada pilihan selain menjawab seadanya.             “Aku.., nggak tahu, Kak,” sahut Stephanie dengan suara bergetar.             Ardi tak sabar lagi. Dirasanya, ini saat paling tepat untuk menyadarkan Adiknya itu. Pikirnya, sebelum Adiknya ini terlalu cinta dan sulit untuk melepaskan diri dari pesona yang ditebarkan Daniel.             Buat apa? Kalau hanya untuk disia-siakan? Pikir Ardi jengkel.             “Steph, sebelum kamu lebih lagi diombang-ambingkan sama perasaanmu sendiri dan juga ketidaktentuan sikap Daniel, kamu sudah membawa hal ini ke dalam doa?” tanya Ardi serius.             Stephanie tertegun beberapa saat, sebelum akhirnya Ia mengaku. “Aku.. eng, sejujurnya, nggak sungguh-sungguh, sih, mendoakan hal ini. Sifatnya selewatan begitu, Kak. Aku sendiri masih ragu sama perasaanku. Eng... aku sering merasa, Daniel tuh, perhatian banget. Tapi tadi itu..” Stephanie gagal melanjutkan ucapannya.             Ardi menatap dengan prihatin. Benar usia Adiknya ini telah berada di ujung 25 tahun. Tetapi soal pengalaman pacaran, bisa dibilang cukup minim, dibanding dengan Kawan-kawan seusianya. Seingat Ardi, Stephanie itu baru pertama kalinya pacaran ketika dia mulai kuliah, itu pun hanya sebentar. Lalu, saat duduk di semester akhir, Stephanie pernah juga dipacari oleh Sang Asisten dosen, meski hubungan itu berakhir saat Stephanie hampir lulus kuliah. Pernah juga Adiknya ini menjalin hubungan dekat dengan salah satu vendor di perusahaan Sang Mama, tapi itu pun tidak bertahan lama. Mungkin malahan tidak sampai ke tahap yang dapat dikatakan berpacaran. Kini mengingat fakta bahwa Stephanie mulai dibuat galau oleh Daniel, oh, betapa menakutkannya buat Ardi. Dia takut, Adiknya ini dibodohi dan hanya dipermainkan saja nantinya, oleh Seseorang yang dipikirnya ‘sudah master’ menyangkut perkara Wanita. Jelas saja, dia tidak rela! Sungguh tidak rela!             “Kalau boleh kusarankan, kamu bawa dalam doa lagi sebelum mulai menentukan sikapmu harus bagaimana,” kata Ardi pelan.             Stephanie mendesah.             “Atau.., sebaiknya nggak usah saja Kak? Soalnya, tadi itu.., sikapnya Daniel ke aku benar-benar bikin bingung, Kak. Tadinya  kita masih biasa, bercanda, ngobrol ini itu, terus seperti aku menangkap gelagat dia bakal menyatakan perasaan ke aku, soalnya sampai booking restaurant se-spesial itu. Intinya, seperti sudah niat banget. Sikap dia juga baik banget ke aku, dan sesekali agak gugup. Tapi begitu dia terima telepon, entah dari siapa, mendadak aku merasakan bahwa sikapnya berubah jadi dingin. Sampai dia mengantar aku pulang tadi. Dia seperti dibuat bingung, sama Orang yang menelepon dia. Makanya ya aku nggak berusaha buat bertanya. Aku cuma mengira-ngira, persoalannya pasti pelik,” ungkap Stephanie.             Sekarang ganti Ardi yang mendesah. Apa boleh buat, pikir Ardi.             “Steph, aku mau sampaikan sesuatu tentang masa lalu Daniel ke kamu. Tapi bukan untuk bikin kamu makin bingung. Aku cuma mau kamu buka mata saja, dan mungkin sekaligus melakukan crosscheck, apa yang ada di situ, dengan apa yang mungkin pernah kamu dengar dari Daniel. Tapi janji, kamu jangan kaget, ya?” tanya Ardi, yang diangguki oleh Stephanie. Maka, Ardi pun menunjukkan sejumlah link di gawainya, yang pernah didapatnya dulu. Stephanie menelusuri satu demi satu, link yang ditunjukkan oleh Ardi. Semakin dia membacanya, semakin dalam perasaan kecewa yang mengusiknya. Stephanie menggigit bibirnya. Ardi mengelus pundak Stephanie.             “Sorry, itu semua memang belum tentu benar. Tapi juga belum tentu salah. Sebaiknya kamu tanyakan langsung ke Daniel, dan mendengar sendiri apa penjelasannya. Sudah semestinya dia mengklarifikasi, kalau mau menjalin hubungan yang serius sama kamu,” kata Ardi sambil merangkulnya. Ardi memperkirakan bahwa Adiknya ini pasti terguncang. “Steph, lebih cepat kebenaran terungkap, akan lebih baik. Luka yang lebih awal diketahui, semestinya bisa lebih cepat diobati,” katanya setengah bergumam.             Stephanie, yang tak mendengar jelas gumaman Ardi, menggeleng. Ada sebuah pertentangan besar di benaknya. Di satu sisi, dia ingin sekali mempertanyakan semua itu kepada Daniel. Namun di sisi lain, dia menyangkal semua yang ada di sana. Tetapi, mengingat kembali perubahan sikap Daniel tadi? Oh, betapa itu mengusiknya! Membuatnya bertanya-tanya, Siapa gerangan yang menghungi Daniel ketika mereka sedang makan malam bersama?             “Atau harus aku, yang menanyakan ke Daniel? Aku nggak mau kamu dipermainkan sama Daniel, Steph! Apalagi.., kamu bilang sendiri hubungan kalian belum jelas, tapi dia sudah berani-berani menciummu!” kata Ardi geram, sampai kelapasan bicara.             Wajah Stephanie menegang. Perkataan Ardi terlampau jelas, dan itu sungguh membuatnya tersapa malu. Dapat dibayangkannya, wajahnya pasti sudah memerah macam kepiting rebus, saat ini. Otaknya yang cerdas langsung paham, apa arti tatapan Bi Sum tadi. Dia yakin, kemarin malam, Bi Sum memergoki Daniel mencium bibirnya, lalu mengadukannya kepada Ardi. Mendadak, dia merasa dirinya bagaikan Seorang Pelajar yang kedapatan mencontek, sewaktu ujian. Betapa memalukannya!             “Kak, kalau Kak Ardi bertanya ke Daniel, sama saja dengan mempermalukan aku. Aku kan sudah bilang tadi, kami, aku sama dia itu..! Ah, aku juga nggak tahu harus bagaimana memandang hubungan kami,” kata Stephanie sedih campur malu.             “Steph,” suara Ardi berangsur pelan. Stephanie menunduk, tak sanggup membalas tatapan Ardi.             Ardi berkata dengan super hati-hati, “Steph, kamu itu Adikku. Maaf, kalau tanpa setahumu, aku mencari tahu soal Daniel. Dan dari informasi simpang siur yang aku dapat, Daniel itu belum sepenuhnya putus hubungan, sama Tunangannya yang disebut dalam berbagai tautan tadi. Ya meskipun, nggak bisa dipastikan sih, hubungan mereka seperti apa.”             Stephanie tak tahu harus berkomentar macam apa.             Ia menggigit pipi bagian dalamnya.             Ardi mendesah. “Kamu, enggak mau kan, dijadikan Selingan, sementara Daniel mungkin saja sedang dalam masa break, sama Tunangannya? Atau, lebih parah dari itu, kamu nggak mau, kan, menjadi Orang ketiga, yang masuk dalam hubungan orang lain? No, Steph. You are better than this. Aku tahu, kamu bisa mendapatkan jawabannya. Kamu bawa terus dalam doa, supaya kebenarannya lekas terungkap. Sementara itu, kamu kan bisa mencari informasi seputar Daniel, dan menilai sendiri sikapnya.” Stephanie masih terbungkam. Ardi melanjutkan perkataannya. “Dan ingat Steph, jangan dulu melakukan apa pun, sebelum kamu mendapatkan jawaban atas doamu. Jangan dulu melangkah lebih jauh dalam hubungan kamu dengan Daniel, apa pun namanya hubungan kalian sebelum ada konfirmasi dari doamu, ya? Satu hal, Steph, biarpun kita seringkali tidak bisa mengontrol, kepada Siapa kita jatuh cinta, tetapi kita bisa memutuskan, cinta yang mana yang patut untuk dipertahankan.”             Stephanie terpaku. Betapa itu rangkaian kalimat yang terpanjang, yang pernah didengarnya dari seorang Ardi. Dan dari semua kalimat itu, sebelah mananya yang salah? Seketika, firasat Stephanie langsung mengatakan, panggilan telepon yang diterima oleh Daniel tadi, bisa saja sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya. Bukankah Daniel terlihat gugup dan tidak nyaman tadi? Pikirnya, apa salahnya untuk mencari tahu, kan? Dia toh, bisa memancing Daniel untuk mengatakan kebenaran, meski tidak secara langsung. Aku harus melakukannya. Ya, Sebelum hatiku telanjur berantakan. Sebelum hidupku juga terimbas, pikir Stephanie kemudian. * $ $   Lucy Liestiyo  $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD