Mencoba

1394 Words
Bima terbangun saat mendengar suara berisik di dapur, disertai dengan bau harum masakan yang menguar di hampir semua ruangan. Laki-laki berjalan ke belakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan kompor. Gerakan Annisa yang sedang mengaduk sesuatu itu membuatnya menelan ludah. Seksi. "Masak apa?" tanya Bima sembari melipat tangan di d**a dan bersandar di daun pintu. Annisa membalikkan badan dan menatap laki-laki itu sesaat, lalu mengalihkan pandangan dan lanjut memasak. Mendapat perlakuan seperti itu, Bima berjalan mendekati istrinya. "Kayaknya enak," ucapnya sembari mengintip ke arah kompor dari balik tubuh Annisa. Bug! Tiba-tiba saja sendok penggorengan mendarat mulus di wajah Bima, sebagai reaksi dari Annisa yang terkejut. Wanita itu tak menyangka jika suaminya berjalan mendekat, dengan posisi seperti hendak memeluk dari belakang. "Jangan kasar sama suami, Nis," ucap Bima mengaduh seraya mengusap hidungnya yang menjadi korban. Wajahnya memerah karena pukulan itu cukup keras. "Salah kamu sendiri. Kenapa berdiri di situ?" ucapnya sembari memegang sendok dengan kuat. Jika Bima kembali berniat jahat, maka dia tak segan akan melakukannya lagi. "Masa dekat istri gak boleh?" tanya Bima sembari berjalan menuju meja makan. Dia duduk sembari mengambil air putih dan menunggu sarapan dihidangkan. "Ini sarapan kamu," kata Nisa sembari meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Belum sempat dia menarik tangan, Bima dengan cepat mencekal lengannya. "Duduk sini temani aku makan." Annisa menggeleng dan berusaha melepaskan tangan, tetapi Bima menahannya. Sehingga, dia harus berdiri di samping laki-laki itu dan melihatnya makan. Bima tersenyum senang sembari menikmati sarapan sekalipun raut di wajah Annisa terlihat kesal. Bibir wanita itu ditekuk sedemikian rupa, sehingga membuatnya menahan tawa. "Lepas, Bima. Sakit," lirih Annisa ketika makanan di piring suaminya sudah habis. Cekalan itu cukup kuat sehingga menimbulkan nyeri di pergelangan tangan Annisa. Bima mengabaikan rintihan istrinya dan dengan santai meneguk segelas air. Setelah selesai, dia menarik tubuh wanita itu sehingga kini berada di pangkuannya. "Di rumah kenapa pakai hijab?" tanya Bima dengan lembut. Kedua lengan besarnya kini merengkuh sang istri dengan erat agar tak pergi. Secara perlahan, Bima mengusap anak rambut yang terlihat muncul dari balik hijab Annisa. Rasanya dia ingin melepas kain berwarna kuning itu, hingga bisa menatap wajah istrinya secara keseluruhan. "Untuk ... menjaga diri," jawab Annisa gugup. "Dari siapa?" Kali ini Bima berbisik sehingga wajah mereka hampir bersentuhan. "Setan!" ketusnya sembari melototkan mata. Annisa bergerak mencoba untuk melepaskan diri, tetapi justeru membuat Bima menjadi berhasrat. Laki-laki meraih dagu istrinya. Ketika hendak menyentuh bibir yang ranum itu, tiba-tiba saja terdengar suara tangisan dari depan. "Attar!" Mereka berdua tersentak dan bergegas ke kamar. Annisa langsung menggendong putranya untuk menenangkan. Namun, sepertinya bayi mungil itu sudah terlanjur merajuk sehingga tak mau diam. "Sini sama papa, Nak," Bima meminta kepada Annisa agar menyerahkan putranya. Wanita itu malah menolak dan mencoba memberikan Attar s**u. Untuk sesaat Attar terdiam, tetapi ketika botolnya kosong, bayi itu kembali menangis. Tanpa menunggu persetujuan Annisa, Bima meraih sang putra dan mendekapnya dengan lembut. "Sayangnya Papa. Jangan nangis, ya," bisik Bima lembut. Ajaib, si mungil itu perlahan mulai diam dan terisak pelan. Annisa tercengang melihatnya, tak menyangka jika Bima pandai membujuk anak-anak. Mata lentiknya menatap laki-laki itu dengan lekat, saat membisikkan kata-kata untuk menenangkan Attar. "Siapkan air mandi. Ini udah siang," titah Bima. Annisa segera ke luar kamar dan melakukan permintaan suaminya. Tadi saat membuat sarapan, dia memang meninggalkan Attar karena masih tertidur. Bayi itu kerap terbangun di tengah malam dan mengajaknya bermain, sehingga akan tertidur setelahnya hingga pagi. "Udah?" tanya Bima sambil menggendong Attar dengan begitu tenang. "Udah," jawab Annisa setelah menuang air hangat ke dalam bak mandi. "Sama Mama ya, Nak. Nanti abis ini main sama Papa lagi," kata Bima seraya menyerahkan Attar kepada istrinya. Annisa meraih putranya dengan hati-hati, lalu mulai membuka pakaian Attar dan memasukkannya ke dalam bak secara perlahan. Attar tertawa senang saat kulitnya menyentuh air. Sejak boleh dibawa pulang, bayi itu belum pernah menangis saat dimandikan. Annisa ikut tertawa melihat putranya menendangkan kaki. Lengkungan bibirnya membuat Bima terpana dan mengulum senyum. Rasa bahagia perlahan menyusup ke hati laki-laki itu. Ingin rasanya dia ikut bercengkrama, tetapi urung. Akhirnya Bima kembali ke ruang tivi dan mulai membuka laptop. Ada laporan yang harus dia selesaikan, karena besok dia sudah masuk kerja. Sementara ini, Bima akan menekan ego dan mengalah, asal Annisa merasa senang. Semoga suatu saat, wanita itu akan menerima kehadirannya. Sehingga mereka bisa hidup selayaknya pasangan yang lain. *** "Pagi, Pak." Bima membalas sapaan beberapa karyawan yang ditemuinya saat tiba di kantor. Laki-laki itu ikut antrean lift bersama yang lain. Sejak tinggal bersama Annisa dan Attar, hidupnya lebih berwarna. Sehingga hari ini, dia terlambat berangkat kerja. "Pak Bima nikahan gak ngundang-ngundang, ya." "Katanya menikah dengan iparnya." "Oh, pantas diam-diam." "Itu kakaknya meninggal, jadi dia gantikan. Iparnya hamil." "Oh pantasan gak ada yang ditaksir di kantor ini." "Ih, apa yang rasanya jadi cewek itu. Udah dapat kakaknya, sekarang nikah sama adeknya juga." "Ya senanglah. Menang dua kali." "Ssttt ...." Bima menoleh ke arah dua orang yang sedang berbincang di belakangnya dengan tatapan tajam. Dalam hatinya berucap, bagaimana negara bisa cepat maju, jika masyarakatnya senang bergosip seperti itu. Apalagi saat berada di kantor dan sudah jam masuk kerja. "Divisi mana?" Dia bertanya dengan nada sedikit meninggi. Bukannya ingin mengadukan dua karyawati ini kepada atasannya, tetapi hanya untuk menakut-nakuti agar jera dan tak mengulangi. "HRD, Pak," jawab salah seorang dengan gugup. "Oh. Timnya Pak Aldo?" tanya Bima lagi. "I-ya, Pak," jawab mereka serentak karena ketakutan. Bima mengulum senyum melihat kegugupan dua orang itu, lalu masuk ke lift sembari menyapa beberapa orang yang berada di sebelahnya. Begitu tiba di lantai ruangannya dan memasuki pintu, suasana begitu sepi. Laki-laki itu melirik jam di tangan dan merasa heran mengapa belum ada yang datang, padahal ini sudah lewat jam delapan pagi. Bima melangkah memasuki ruangannya dan terkejut saat mendapati suara gemuruh tepuk tangan. "Selamat atas pernikahannya Pak Bima," ucap satu per satu bawahannya saat menyalami laki-laki itu. Padahal mereka semua datang ke acara akad nikah. Sehingga Bima tak menyangka akan mendapat kejutan. "Terima kasih, ya." Dia menggenggam erat jemari mereka karena merasa haru. "Ini kado dari kami, Pak." Salah seorang dari mereka menyerahkan sebuah box yang cukup besar. "Jadi ngerepotin," kata Bima sembari menerimanya. "Bapak ngasih taunya mendadak. Jadi kami gak sempat siapkan apa-apa," ucap yang lain. "Gak apa-apa. Saya menikah untuk ibadah. Bukan yang lain," katanya bijak. Setelah berbincang beberapa saat, mereka kembali ke meja masing-masing dan memulai pekerjaan. Bima sendiri langsung menyalakan PC dan mulai mengecek email yang masuk, hingga tiba makan siang. "Pak. Mau ke cafetaria atau saya pesankan online?" tanya salah seorang bawahannya. "Boleh pesan online. Menunya kayak biasa. Sisanya buat kamu," jawabnya sembari mengeluarkan dompet dan memberikan satu lembaran merah. "Makasih, Pak," ucapnya senang. "Sama-sama," jawab Bima. Laki-laki itu menyandarkan tubuhdi kursi sembari melipat tangan di kepala. Matanya terperjam karena sedikit mengantuk. Hingga, sebuah bisikan di telinga membuatnya terkejut. "Pengantin baru capek banget kayaknya sampai ketiduran di kantor." Bima mengusap mata dan mendapatkan Nadine sedang berdiri di dekatnya. "Eh, ada kamu." "Abis ngapain aja? Begadang sama istri?" sindir Nadine sembari duduk di sofa. "Mau tau aja," jawab Bima asal. Sebenarnya dia sedang malas menerima tamu. Laporan sedang banyak dan ingin segera diselesaikan, agar bisa cepat pulang ke rumah. "Enak, ya abis nikahan langsung momong anak." Bima menatap wanita itu tajam dan mengabaikan ucapannya. "Kamu ngapain ke sini?" "Mau ucapin selamat, karena aku gak diundang," jawab Nadine. "Makasih." "Eh iya, gimana rasanya malam pertama sama bekas--" "Stop! Silakan keluar." Bima menunjuk pintu untuk mengusir wanita itu. Sejak tadi kata-kata yang Nadine ucapkan sangat ketelaluan. Bima tak mempermasalahkan jika ada yang menyinggungnya, tetapi jangan sampai membawa nama Annisa. "Kamu nolak aku, terus nikah diam-diam sama istri mendiang kakakmu sendiri? Keterlaluan!" rutuk wanita itu kesal. Nadine begitu syok saat mengetahui sang pujaan hati menikah dan hanya mengundang beberapa karyawan di kantor mereka. Sehingga dia mencari tahu dari siapa saja yang datang, untuk menggali informasi. Wanita itu benar-benar kecewa saat mengetahui siapa istri Bima. "Baiknya kamu pergi sekarang. Saya sedang banyak pekerjaan," kata Bima berusaha mengendalikan emosi. Dia sedang tak ingin bertengkar dengan siapa pun untuk saat ini, apalagi seorang wanita. Nadine mendengkus kesal lalu keluar dari ruangan laki-laki itu dan menutup pintu dengan cukup keras. Bima menghela napas, lalu tak lama makan siangnya datang. Untunglah, ruangan sepi karena karyawan yang lain makan di cafetaria. Jika tidak, kedatangan Nadine tadi bisa menjadi gosip baru yang akan dibumbui ini dan itu. Laki-laki itu kembali berkutat dengan laporan setelah menyelesaikan makan siang, hingga jam pulang tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD