Bima memarkir mobilnya memasuki pekarangan. Suasana tampak sepi, sehingga dia langsung mengambil kunci cadangan dan masuk ke rumah. Laki-laki itu menyimpan sepatu di rak dan meletakkan tas di meja, lalu berjalan menuju kamar.
Dengan pelan Bima membuka gagang pintu kamar dan merasa senang saat mendapati itu tidak dikunci. Lalu, dia menuju ranjang di mana Annisa sedang tertidur pulas di samping Attar.
Annisa dan Attar tertidur dengan posisi saling berpelukan, sehingga membuat Bima iri. Dia ingin merasakan hal yang sama, terutama ... memeluk istrinya lagi.
Senyum melengkung di bibir Bima saat melihat kedua wajah itu. Dikecupnya pipi Attar dengan lembut, lalu beralih menatap Annisa. Laki-laki itu menimbang-nimbang beberapa sesaat, lalu menyetuh dahi istrinya dengan penuh rasa sayang. Dalam hati berucap, semoga suatu saat dia bisa ikut berbaring di sana bersama mereka.
Bima hendak ke luar kamar ketika terdengar suara gerakan. Sehingga dia melangkah dengan pelan agar tidak ketahuan, lalu menuju dapur karena kelaparan.
Bima terpana saat melihat makanan tersaji lengkap di meja. Sekalipun Annisa bersikap abai dan menjauhinya, wanita itu tetap melaksanakan tugas sebagai seorang istri, kecuali yang satu itu. Padahal, baginya justru yang itulah yang paling penting.
Sempat terpikir di benak Bima untuk mencari kehangatan dari yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, dia sudah berjanji bahwa setelah menikah tidak akan main-main di luar lagi.
Bima mencuci tangan di wastafel, lalu duduk dan menikmati makanannya. Ada ikan bakar dengan lalapan dan sambal terasi. Menu ini sebenarnya sederhana dibanding dengan makan siangnya di kantor, tetapi dia menghargai usaha Annisa untuk memasaknya.
Selesai makan, Bima berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa gerah dan butuh kesegaran. Dia memang akan pulang malam setiap harinya untuk menghindari kemacetan.
Setelah mengeringkan rambutnya yang basah, Bima melilitkan handuk di pinggang dan keluar dengan santai. Begitu dia tiba di pintu penghubung menuju ruang depan, tiba-tiba saja ....
"Aaaaa!" Annisa berteriak karena bertabrakan dengan Bima. Wanita itu terjatuh dengan tangan yang masih menggenggam sebuah sapu. Dia pikir ada orang jahat yang diam-diam menyelinap, lupa kalau itu adalah suami sendiri.
"Kamu kenapa?" Bima mengulurkan tangan untuk membantu istrinya berdiri. Sayang, wanita itu tetap bersikap sama dengan mengabaikannya.
"Gak apa-apa," jawabnya gugup sembari mengalihkan pandangan.
Tadi, Annisa terbangun saat mendengar suara berisik. Ketika hendak keluar kamar, wanita itu terkejut ketika melihat pintu sedikit terbuka. Lalu, dia mengintip, tetapi tak ada seorang pun di sana.
Annisa bergegas mengambil sapu dan bersembunyi di balik pintu. Begitu sosok itu terlihat, dia hendak memukulnya tetapi justru terkejut saat melihat siapa yang muncul.
"Kamu ngapain bawa sapu?" tanya Bima sembari berjalan mendekati istrinya.
"Ada setan," jawabnya cepat. Annisa membalikkan badan dan hendak kembali ke kamar saat tubuhnya direngkuh dari belakang.
"Kok aneh, ya. Masa di rumah adem begini banyak setannya," bisik Bima mesra.
"Mana tau," jawab Annisa ketus. Sebenarnya dia ketakutan, karena itulah menjawab dengan asal.
Bima tersenyum senang, lalu kembali berkata, "Setannya ganteng kayak aku, gak?"
"Ngaco." Annisa mencoba melepaskan diri tetapi rengkuhan Bima semakin erat.
"Dingin," bisik laki-laki itu lagi.
"Siapa suruh mandi malam-malam," ucap Annisa.
"Baru pulang kerja ini. Harusnya disambut mesra," godanya lagi.
Sebenarnya Bima tak tahu bagaimana cara meluluhkan hati Annisa. Apakah dia perlu memanggil seorang psikiater untuk menterapi istrinya, agar rumah tangga mereka normal seperti yang lain? Entahlah, laki-laki itu belum bisa memutuskan apa-apa untuk saat ini.
"Pakai baju sana!"
"Maunya sama kamu," bisik Bima lagi sembari menyandarkan kepala di bahu sang istri. Harum aroma tubuh Annisa membuatnya terlena dan mabuk kepayang.
"Astagfirullah. Ya Allah." Annisa memejamkan mata dengan bibir gemetaran.
Melihat itu, Bima melepaskan tangannya dan membiarkan istrinya yang ketakutan berlari masuk ke kamar. Tak lama terdengar suara tangisan Attar. Laki-laki itu hendak menyusul ke kamar, tetapi memilih untuk berganti pakaian terlebih dahulu.
"Attar kenapa?" tanya Bima di depan pintu.
Tak ada jawaban dari Annisa. Hanya suara tangis Attar yang semakin kencang.
"Boleh Papa masuk, Nak?"
"Attar?"
"Nisa, Attar kenapa?" tanya Bima tak sabar. Hingga beberapa saat menunggu, akhirnya dia nekat masuk dan mendapati sang istri sedang sibuk menenangkan putra mereka.
Tangisan Attar terdengar beberbeda. Sepertinya, ada yang tak nyaman di tubuh bayi itu.
"Demam," lirih Annisa ketika Bima berjalan mendekat.
"Kok bisa?"
"Sebenarnya dari tadi siang. Aku udah kasih obat. Cuma panasnya balik lagi, " jawab wanita itu gugup.
"Jangan kasih obat sembarangan. Dia masih kecil," ucap Bima menggerutu.
"Tapi sesuai dosis, kok," jawab Annisa. Kenapa mereka malah jadi bertengkar di saat seperti ini?
"Kenapa kamu gak ngasih tau aku dulu?" tanya Bima setengah membentak karena panik.
"Aku ...."
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Kamu siapkan barang Attar," Bima meraih putranya dan berjalan menuju mobil.
Annisa mengambil tas dari dalam lemari dan memasukkan beberapa keperluan Attar dan juga dompetnya. Wanita itu bahkan lupa membawa ponsel dan langsung berlari menuju ke depan.
Bima melajukan mobil dengan hati tak tenang sembari melirik Annisa yang terdiam di sampingnya. Begitu tiba di rumah sakit, Attar langsung dibawa ke IGD untuk ditangani. Untunglah hanya demam biasa dan tidak ada infeksi apa pun. Namanya orang tua baru, wajar saja jika Bima begitu khawatir jika terjadi sesuatu dengan putranya.
"Bapak, Ibu. Adeknya boleh dibawa pulang, ya. Tidak perlu menginap karena hanya demam biasa," jelas dokter dengan tenang.
"Alhamdulillah. Syukurlah," jawab Bima sembari mencium pipi putranya. Sejak tadi dialah yang mengendong Attar hingga selesai diperiksa, karena bayi itu tak mau diletakkan di bed pasien.
"Silakan tebus obatnya di apotek depan." Dokter menyerahkan selembar kertas resep dan menyerahkannnya kepada Annisa.
"Ibu yang tenang, ya. Tadi sudah benar memberikan obatnya. Jadi tinggal dilanjutkan. Ini ada vitamin juga buat adek," lanjut dokter lagi.
"Terima kasih, Dokter," jawab Annisa lega. Tadi dia sempat menceritakan sedikit mengenai apa saja tindakan yang sudah dilakukan untuk menurunkan panas putranya.
"Sama-sama, Ibu. Saya juga dulu sewaktu anak pertama suka panik. Maklum, pasangan baru."
Bima tersenyum mendengarnya. Berbanding terbalik dengan Annisa yang sejak tadi diam dan tak banyak bicara. Wanita itu tersinggung karena dibentak suaminya dan disalahkan karena dianggap mengabaikan penyakit Attar.
Sepanjang perjalanan menuju pulang perasaan Bima tak enak karena sikap Annisa. Biasanya mereka memang saling mendiamkan, tetapi rasanya kali ini berbeda.
Tadi saat mengambil obat pun, Annisa menggunakan uangnya sendiri dan menolak pemberian suaminya. Dia masih merasa kesal akan sikap Bima tadi.
"Kamu marah?" tanya Bima saat melihat wajah istrinya yang masam.
Mereka sudah tiba di rumah dan Attar kembali terlelap setelah diberikan obat penurun panas.
"Nisa!" Bima menghadang wanita itu di depan pintu dengan merentangkan tangan, saat Annisa hendak keluar.
"Aku haus. Mau minum," jawabnya sembari menunduk.
"Maaf tadi aku marah," sesal Bima.
"Yaudah," jawab Nisa sembari menepis tangan laki-laki itu berjalan ke belakang.
Bima mengekorinya karena masih belum puas bertanya.
"Sayang," ucapnya sengaja. Biasanya hati wanita akan akan luluh dengan rayuan dan mulut manis laki-laki, tetapi istrinya ini berbeda.
"Ada apa lagi?"
"Maaf."
"Iya."
Bima mencoba meraih wanita itu dan merasakan kecewa lagi saat Annisa menolak. Akhirnya, dia kembali ke ruang keluarga dan merebahkan tubuh di sofa. Tubuhnya begitu penat, sehingga tak membutuhkan waktu yang lama untuk terlelap.
Annisa hendak masuk ke kamar, tetapi urung dan berjalan menuju ruang keluarga untuk mengintip sang suami. Melihat Bima yang tertidur pulas, entah mengapa tiba-tiba saja ada perasaan lain yang menyusup ke dalam hatinya. Wanita itu mencoba mengusir perasaannya dan kembali ke kamar. Dia berbaring di sebelah Attar, menatap wajah mungil itu dengan penuh cinta, lalu ikut terlelap.