"Muhammad Attar," ucap Annisa ketika ditanya siapa nama putranya.
"Dia suci. Ibunya yang telah berdosa," lanjutnya dengan air mata bercucuran.
Semua orang menjadi haru ketika melihat itu. Ratih memeluk menantunya dengan erat untuk menguatkan. Pandu mengusap air mata saat pertama kali menggendong Attar. Sementara Bima menahan keinginan mendekap bayi mungil itu karena larangan Annisa.
Satu bulan Attar dirawat di ruang NICU karena mengalami kendala di saluran pernapasan. Setiap hari Annisa datang ke rumah sakit untuk membesuk putranya. Beberapa kali dia bahkan diberikan kesempatan untuk mengganti popok atas seizin perawat ruangan.
Attar akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya mulai membaik, dengan syarat harus rajin kontrol ke rumah sakit untuk perkembangannya.
Bima sendiri kerap meluangkan waktu untuk setelah pulang bekerja untuk melihat putranya. Sejauh ini, laki-laki itu telah berkorban banyak hal. Salah satunya menjual motor besarnya untuk membayar biaya rumah sakit, juga sewa rumah untuk tempat Annisa dan Pandu tinggal sementara waktu.
Annisa bersikukuh tidak mau kembali ke rumah mertuanya, sehingga Bima mengalah dengan merelakan asetnya. Lagipula, sesuai dengan jabatannya di kantor, laki-laki itu mendapatkan mobil untuk operasional kerja.
Tepat dua bulan usia putranya, mereka mengadakan Aqiqah. Annisa membeli dua ekor kambing dan meminta dibacakan doa untuk putranya, lalu mengantar hidangannya ke beberapa panti asuhan. Sesuai kesepakatan dengan Bima, bahwa mereka akan merahasiakan status Attar dari keluarga.
Ratih sempat protes saat menantunya menolak mengadakan acara Aqiqah di rumahnya. Wanita itu kecewa karena keinginan agar cucunya diperkenalkan kepada khalayak ramai tidak kesampaian.
Untunglah Bima pandai merayu ibunya dengan mengatakan bahwa Annisa tak ingin mengadakan pesta karena hatinya masih berduka. Laki-laki itu bahkan meminta agar keluarga mempersiapkan pernikahan mereka. Dia tak mau menunggu lama. Hidup dengan Annisa dan putra mereka adalah impiannya.
***
Hari itu udara begitu sejuk dengan hujan yang turun membasahi bumi, lalu bersatu dengan tanah untuk menyuburkan tanaman. Pohon, rumput, dan bunga-bunga bersorak riang menyambut salah satu karunia Tuhan itu.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Pandu menarik napas panjang kemudian menggenggam erat jemari Bima berkata, lalu berkata, "Ananda Maulana Bima Afreza. Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, putriku Annisa Rahma dengan mahar sebuah cincin emas, dibayar tunai.”
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Annisa Rahma binti Pandu Wibowo dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khaiir."
Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan dengan khusyu'. Juga mengaminkan agar mereka berdua mendapat limpahan berkah, rumah tangga aman tentram, langgeng hingga kelak maut yang memisahkan, dan berkumpul kembali di surga.
Pandu memeluk Bima dengan erat sembari mengucapkan hamdalah karena akad nikah berjalan dengan lancar. Dua kali dia mengantar Annisa menikah dengan orang yang berbeda. Laki-laki paruh baya itu berharap, bahwa pernikahan putrinya kali ini akan langgeng hingga maut memisahkan.
Bima membalas pelukan Pandu dan mencium tangan ayah mertuanya karena begitu bahagia. Laki-laki itu bahkan meneteskan air mata karena begitu haru. Apa yang dia idamkan sejak dulu akhirnya tercapai.
"Alhamdulillah. Selamat, Nak," bisik Pandu.
Bima mengangguk seraya mengusap d**a karena merasa lega telah melaksanakan ijab kabul dengan lancar. Seminggu ini, dia tak tidur nyenyak membayangkan akan menghalalkan Annisa. Syukurlah, ketika saatnya tiba, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih.
Sementara itu, Annisa sejak tadi berada di dalam kamar ditemani ibu mertuanya dan beberapa sanak keluarga. Dia diminta menunggu sampai ijab kabul selesai, lalu dibawa keluar setelah resmi menjadi istri Bima.
Wajah Annisa terlihat murung dan diam sejak tadi. Wanita itu memakai kebaya putih dengan hijab berwarna senada. Ada selendang yang menutupi kepalanya, juga make-up khas pengantin yang membuatnya terlihat semakin memesona. Hanya saja, rona wajahnya tidak singkron dengan penampilan.
"Duduk di sini, Nisa," ucap juru rias saat menuntunnya ke luar.
Bima terpana dan saat melihat wajah ayu istrinya, lalu menunduk malu dan mengulum senyum. Jantungnya berdetak kencang dengan hasrat lelaki yang tiba-tiba saja muncul ingin meminta pemenuhan. Namun, dia telah berjanji tak akan menyentuh Annisa demi anak mereka.
Bima tak menyangka bahwa hari ini akan menikah dengan sang pujaan hati. Laki-laki itu memang pernah terlena dan jatuh ke pelukan beberapa wanita, hingga tiba di suatu titik, dia menyadari bahwa Annisa adalah tempatnya kembali setelah lelah berpetualang. Sayang, ketika dia hendak menyampaikan niat baik, mendiang kakaknya justru mendahului.
Kini, Bima berjanji akan memperlakukan Annisa dengan baik, sekalipun caranya mendapatkan wanita itu salah.
MC kembali bersuara, memandu apa yang harus dilakukan oleh kedua mempelai dalam prosesi ini.
"Silakan ditanda-tangani buku nikahnya." Petugas KUA menyerahkan dua buku berlambang garuda, yang telah bertuliskan nama mereka berdua.
Bima melakukannya dengan cepat. Berbanding terbalik dengan Annisa yang terlihat enggan. Begitupun saat para juru kamera sibuk memotret momen berharga itu.
Setelah selesai, Ratih mengambil kotak cincin dan menyerahkan benda itu kepada putranya. Dia sudah bisa berjalan karena kondisinya sudah pulih.
Bima meraih tangan Annisa dengan gemetaran, lalu menyematkan cincin di jari manisnya. Annisa melakukan hal yang sama, lalu mengambil punggung tangan suaminya dengan enggan, dan menyentuhkannya ke dahi.
'Maafkan aku, Mas Rahman,' ucap wanita itu dalam hati. Setetes air matanya jatuh, teringat akan kenangan saat mereka menikah dulu. Dia bahkan hanya satu kali mengunjungi makam suaminya, beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit ditemani sang ayah.
Annisa segera menghapus air matanya ketika suara MC kembali terdengar.
"Sekarang istrinya boleh dicium Mas Bima. Sudah sah," kata MC bercanda, yang disambut dengan sorakan dari beberapa tamu yang datang.
Bima tergelak mendengar itu, tetapi tak mau melakukannya. Dia hanya mengusap kepala Annisa dengan lembut dan menatapnya dengan mesra.
Setelah selesai melakukan sungkeman, Annisa kembali ke dalam karena putranya terbangun. Bima masih berbincang dengan beberapa keluarga dan tamu yang diundangnya.
Pernikahan mereka diadakan secara sederhana dan dilangsungkan di masjid dekat rumah Ratih. Hanya orang-orang terdekat yang menghadirinya. Bima juga mengundang atasan di kantor juga bawahannya di divisi IT.
Pandu berencana akan pulang besok pagi karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Tak ada yang menduga bahwa Annisa akan melahirkan di Jakarta, begitu juga dengan pernikahan ini.
"Jaga putriku," pesan Pandu yang dijawab Bima dengan anggukan kepala.
"Insyaallah, Pakde," katanya.
"Eh, panggil Bapak sekarang. Aku ini Bapakmu," tegur Pandu sembari bercanda.
Mereka tergelak lalu melanjutkan perbincangan. Bima mendatangi satu per satu kerabat dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka. Ketika semua rangkaian acara sudah selesai dan hujan mereda, mereka meninggalkan masjid dengan hati yang tenang.
Bima langsung membawa Annisa dan Attar ke rumah kontrakannya setelah mereka berganti pakaian. Sementara itu, Pandu menginap di rumah Ratih karena di tempat putrinya hanya ada satu kamar.
***
"Assalamualaikum."
Bima mengucap salam saat membuka pintu dan membawakan barang-barang mereka ke dalam rumah.
Annisa langsung masuk ke kamar dan meletakkan Attar ke ranjang kemudian mengunci pintu. Rumah itu sudah beberapa bulan dia tempati sejak kepulangan dari rumah sakit.
"Nisa," panggil Bima seraya mengetuk pintu kamar.
"Ada apa?" teriak wanita itu dari dalam kamar.
"Ini barang-barang kalian," jawab Bima serba salah. Sebenarnya dia ingin menggendong Attar sejak tadi, tetapi Annisa tak memberikan kesempatan.
"Biar saja di depan. Nanti aku ambil," ucapnya.
"Aku mau ngeliat Attar, Nis," pinta Bima.
"Attar masih tidur. Nanti saja," tolak Annisa halus. Dia lelah dan ingin istirahat, juga tak mau berdekatan dengan laki-laki itu.
Rasa trauma itu belum sepenuhnya hilang, sekalipun Annisa berusaha untuk melawannya. Bukannya dia tak tahu kewajiban sebagai seorang istri, hanya saja dia tak mampu melakukannya.
"Sebentar saja, Nisa. Aku rindu anakku," bujuk Bima.
Lama menimbang, akhirnya Annisa membukakan pintu dan membiarkan Bima masuk. Dia sendiri segera ke luar kamar dan menunggu di sofa depan.
Melihat itu, Bima tersenyum pahit dan mendekati ranjang untuk melihat putranya. Attar tertidur lelap dengan napas yang teratur. Berat badan bayi itu sudah normal karena setiap bulannya, dia diberikan s**u selain dari ASI ibunya.
Setelah puas bersama putranya, Bima kembali ke luar dan duduk di sebelah Annisa.
"Mau apa kamu?" tanya wanita itu kaget saat Bima dengan santai melingkarkan lengan di bahunya.
"Mau ngobrol sama kamu, Nisa," kata Bima tenang.
Annisa segera menepiskan tangan laki-laki itu dan menggeser duduknya.
"Bicara apa?"
"Bicara suami istri," jawab Bima tenang karena sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu setiap kali mereka berdekatan.
"Silakan."
"Aku mau minta tolong sama kamu, boleh?"
"Apa?"
"Susunkan baju-bajuku di koper ke dalam box di dekat ruang tivi. Aku tidur di sana saja," katanya seraya menatap lekat wajah Annisa yang terlihat tegang.
Tadinya Bima berharap Annisa akan melarangnya dan mengatakan bahwa mereka akan berada di kamar yang sama, tetapi harapannya sirna. Jangankan menuntut malam pertama, mereka tak sengaja bersentuhan saja, wanita itu akan ketakutan.
"Nanti. Aku mau istirahat dulu," jawab Annisa seraya berdiri. Ketika hendak meninggalkan ruangan, lengannya dicekal dengan lembut.
"Jangan pergi dulu," cegah Bima. Rasanya dia ingin menarik lengan mungil itu hingga Annisa jatuh ke pelukannya.
"Apa lagi?" tanya wanita itu ketus.
Inilah alasan mengapa Annisa tidak mau tinggal di rumah mertunya. Jadi, dia tak perlu berpura-pura bersikap selayaknya istri kepada Bima.
"Aku kangen," ucap Bima seraya berharap Annisa mau membuka hati karena status mereka kini halal.
Annisa tersentak, lalu menepiskan cekalan itu dan bergegas masuk ke dalam kamar. Dia kembali mengunci pintu dan memejamkan mata karena tubuhnya begitu penat. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, akhirnya dengkur halus wanita itu terdengar.