Terpaksa Menerima

1222 Words
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?" Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya. Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan. Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit. Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya. "Aku belum bisa menjawab sekarang." Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemarinya. "Apa kamu mau aku bongkar semua?" bisiknya setengah memaksa. Mereka hanya tinggal berdua di kamar perawatan karena Pandu sedang keluar membeli makanan di kantin depan. "Jawab sekarang, Nisa. Katakan iya," bisiknya lagi sembari mengeratkan genggaman yang membuat wanita itu mengaduh kesakitan. Annisa menatap Bima dengan geram, lalu berkata lirih, "I-ya." "Good," ucap laki-laki itu sembari melengkungkan senyum kemenangan. "Tapi ... ada syaratnya," pinta wanita itu dengan terbata. Dia harus mengatakannya karena jika tidak, maka Bima akan banyak menuntut. "Apa?" tanya laki-laki itu penasaran. "Aku gak mau tinggal di rumah Ibu. Aku juga minta kita pisah kamar," katanya dengan yakin. "Maksud kamu?" "Kamu menikahi aku hanya demi anak itu, kan? Kalau begitu, kita hidup masing-masing," lirihnya. Bima tersentak dan langsung mengerti maksud dari ucapan Annisa barusan. Jika dia mengiyakan, itu berarti mereka tidak akan menjadi suami istri yang sesungguhnya. Laki-laki menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Oke, kalau itu mau kamu." Mau tak mau, Bima harus menyetujuinya asalkan mereka menikah terlebih dahulu. Nanti secara perlahan, dia akan mengambil hati wanita itu. "Jangan ambil anakku. Jangan pisahkan kami," ucap Annisa memohon. Kemarin, ayahnya bercerita bahwa semua biaya selama mereka berada di rumah sakit ditanggung oleh Bima. Sehingga, Annisa merasa tak mempunyai pilihan lagi. Bagaikan makan buah simalakama, dia serba salah menentukan di antara dua pilihan yang sulit. Bima kembali menatap wajah sayu itu. Annisa yang dulu terlihat begitu menawan, kini bagaikan bunga layu tak tersentuh air. Dia mencoba meraihnya ke dalam pelukan, tetapi tubuhnya malah didorong dengan kasar. "Jangan coba menyentuhku. Baik sekarang atau ... setelah kita menikah nanti." Bima menelan ludah dengan getir, lalu mengangguk. "Keluar," usir Annisa sembari berharap agar laki-laki itu tak menemuinya untuk sementara waktu. Bima melepaskan jemarinya lalu meninggalkan ruangan itu dengan berat hati. Dia berjalan menuju ruang intensif anak karena rasa rindu kepada putranya. Dokter belum bisa memastikan kapan putra mereka bisa ke luar dari ruangan itu, karena semua tergantung perkembangan berat badannya. Dia berharap agar semua segera normal seperti sedia kala, agar dapat segera menimang sang buah hati. *** Kamar perawatan Annisa penuh dengan keluarga yang membesuk. Bahkan, ada satu saudara ayahnya yang datang dari Yogyakarta untuk membesuk. Annisa merasa terharu dengan perhatian dari semua pihak terutama keluarga mendiang suaminya, yang menyempatkan waktu bergiliran untuk menyambanginya. "Kami datang ke sini selain untuk membesuk Nak Nisa, juga ingin bersilaturahmi dengan Mas Pandu," ucap salah seorang Om memulai pembicaraan. "Terima kasih atas perhatiannya," ucap Pandu dengan haru. Ada banyak buah tangan yang mereka bawakan, sehingga dia membaginya dengan perawat jaga, karena tak mampu menghabiskannya. "Begini, Mas Pandu. Ada yang ingin kami sampaikan. Kebetulan saya yang ditunjuk keluarga untuk mewakilkan," lanjutnya. "Ya, silakan saja, Mas. Jangan sungkan," kata Pandu tenang. "Keluarga kita sudah lama menjalin ikatan melalui almarhum Rahman. Alangkah baiknya jika dilanjutkan dengan Bima. Bagaimana, apa Mas Pandu setuju?" Pandu terkejut mendengar itu. Pantas saja dia merasa ada yang aneh karena keluarga besar Rahman berkumpul di rumah sakit. Laki-laki itu menatap Annisa dengan bimbang, lalu mendapati putrinya tertunduk lemas. "Saya menyerahkan semua kepada Annisa. Secara pribadi saya menyetujui asal putri saya memang menginginkannya," jawab Pandu bijak. Sepertinya Bima belum ingin menyerah, sehingga membawa banyak 'pasukan' untuk memuluskan niatnya. "Saya tidak ingin memaksa Nisa, Pakde. Hanya ingin membuka hatinya agar memikirkan putra kami ... eh, maksud saya anaknya," kata Bima gugup. Untunglah tak ada yang curiga dengan apa yang baru saja dia ucapkan. "Nisa sendiri bagaimana?" tanya Pandu kepada putrinya. Harusnya jika Bima mau bersabar, pembicaraan ini bisa ditunda hingga mereka pulang ke rumah. Dalam situasi begini, memang rasanya kurang tepat. "Saya ...." "Jawab saja, Nisa," ucap Bima dengan sedikit penekanan. Kemarin, wanita itu sudah menyetujui dengan syarat dan dia menyanggupi. Hari ini, hanyalah formalitas agar banyak orang yang menjadi saksi sehingga Annisa tidak bisa mangkir. "Kami sekeluarga sangat senang jika kamu menerimanya, Nisa. Sewaktu Rahman sakit, kamu begitu sabar mengurusnya. Sekarang, biarlah Bima yang menggantikan posisinya, agar anakmu mendapatkan kasih sayang seorang ayah," kata si Om menimpali. Dia sendiri merasa tak enak hati karena mereka seperti sedang menzolimi Annisa. Namun, karena itu permintaan dari Bima, maka dia akan menyampaikannya. "Benar, Nak. Bima berniat baik, harusnya kamu jangan meragu," bujuk Ratih. Dialah orang yang paling berbahagia jika itu terlaksana. Menantu seperti Annisa sulit dicari di zaman sekarang. Wanita itu bisa menerima putra pertamanya yang penyakitan, juga kondisi ekonomi Rahman yang terbatas. Ratih sangat berterima kasih kepada menantunya, apalagi di detik-detik terakhir Annisa yang merawat Rahman dengan sungguh-sungguh, sekalipun itu memang sudah menjadi kewajibannya. "Mengapa harus terburu-buru, Ibu?" tanya Annisa yang membuat Bima menjadi kesal. Dia tak ingin pembicaraan ini bertele-tele karena mereka sudah sepakat sebelumnya. Jika Annisa ingkar janji, maka Bima akan nekat membongkar aib mereka. Sepertinya, laki-laki itu telah dibutakan oleh ambisi. Entah mengapa dia takut jika sampai sang pujaan hati nanti memilih orang lain dan putranya direbut. "Biar anakmu merasakan kasih sayang ayahnya sejak kecil, Nisa. Kami gak terburu-buru. Mungkin nanti setelah kondisi semuanya normal kembali," lanjut Ratih. Mereka hanya ingin mendengar kata 'iya' dari bibir Annisa. Untuk persiapan pernikahan, akan diurus secara bertahap setelah titik temu disepakati. Pertemuan keluarga seperti ini jarang terjadi, sehingga inilah saatnya Bima mengambil kesempatan. "Jangan dipaksa jika Nisa memang belum mau, Bima. Lagi pula dia masih dalam proses pemulihan," ujar seorang Tante menengahi. Bukannya dia tak setuju atas rencana keponakannya, tetapi terlihat jelas sekali jika Bima tak sabar. "Mumpung keluarga berkumpul, Tante. Lagipula sekalian saja karena keluarga dari Yogya juga datang," ucap Bima beralasan. Annisa menarik napas panjang. Air matanya sudsh kering tapi sesak itu masih belum ingin pergi dari dadanya. "Saya ...." Bima melototkan mata ke arah Annisa agar wanita itu segera menjawab. Ancamannya tak main-main kali ini. "Bersedia." "Alhamdulillah." Semua orang di ruangan itu mengucap syukur dan bahagia. Pandu memeluk putrinya dan membisikkan kata-kata pengharapan. Di matanya, sosok Bima begitu baik karena telah membantu. Mereka berhutang budi akan banyak hal. "Kalau begitu kita sudah sepakat. Bagaimana nantinya, akan dibicarakan lagi menunggu kondisi Annisa dan putranya pulih," jawab Om dengan bijak. Mereka berbincang sembari bercanda. Ratih bahkan akan berencana akan mengadakan pesta besar-besaran untuk pernikahan kali ini. Annisa hanya terdiam mendengarkan itu sembari membuang wajah. Sementara itu Bima, begitu bersemangat sekali menimpali pembicaraan keluarganya sembari melirik Annisa berulang kali. Rasa syukurnya tak terkira dengan gumpalan bahagia yang memenuhi hati. Apa yang diinginkan Bima sejak dulu sedikit demi sedikit akan terlaksana. Tinggal menjelaskan kesalahan pahaman di antara mereka dulu, sehingga akhirnya Annisa tiba-tiba menikah dengan sang kakak tanpa pemberitahuan, padahal mereka belum ada kata putus. Makhluk yang bernama laki-laki kadang-kadang memang sungguh egois. Merasa benar dengan apa yang menjadi pemikirannya, tetapi lupa untuk menjaga perasaan wanita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD