Luna berdandan cantik di depan cermin. Dress cantik merah muda dihiasi heels berwarna senada di ujung kaki jenjangnya. Tampilan memesona dengan warna rambut blonde yang baru dicatnya kemarin. Untaian senyum optimis terpantul dari bayangannya di depan cermin sambil mengoles lipstik di bibir penuhnya.
"Oke. Semoga semuanya lancar."
Suara klakson mobil terdengar di luar. Gadis itu pun beranjak keluar dan menemui seorang pria tampan di sisi mobilnya. Tampilan yang sangat rapi. Rambut hitam pekat dengan sisi undercut yang menambah kesempurnaan tampilannya. Sempat Luna terhenti sebentar untuk menatap bias pria itu. Dia yang sibuk memantau layar ponselnya.
"Ah, sialan! Kenapa dia makin ganteng setelah pangkas rambut?" gerutu Luna. "Alhamdulilllah. Untungnya dia jelmaan demit. Kalau dia baik, bisa oleng gue dari Kak Arvin."
Gadis itu melangkah pasti. Sempat menunduk sesaat untuk menyelipkan surai blondenya ke balik telinga. Pria yang sedang menantinya itu adalah Mirza, rekan mutual dalam berbagai kesepakatan.
"Ayo!"
"With my pleasure, Calon Istriku."
Mirza membukakan pintu, lalu mobil itu mengambil kendali jalan untuk menyusuri rute menuju rumah kediaman Aska Nugraha, ayah dari Mirza Dimitri. Luna masih asik menatap serius pria di sisinya ini. Dia tampak santai, menghindari pantulan sinar mentari dengan kacamata hitam itu.
"Pokoknya nanti jangan banyak omong. Cukup bilang aja kalau kita bakal tunangan akhir bulan ini," kata Mirza.
"Gimana kalau bokap lo bohong? Dia nggak ngasih surat kuasa perusahaan setelah kita tunangan? Apa lo juga bakal ingkar janji?"
"Kalau bokap gue ingkar janji ...." Mirza menggantung ucapannya, membuka kacamata hitam itu dan menyelipkannya di sela saku kemejanya. Tatapan beralih pada raut cemas Luna. "Kita gila bareng-bareng. Kita hancurin pesta pertunangan."
Tak ada sahutan lagi hingga mobil itu berhenti tepat di rumah mewah Keluarga Aska Sanjaya. Luna disambut oleh kedua orangtua tersebut, dengan sajian hidangan yang menandakan mereka menyambut baik rencana pertunangan putranya.
"Jadi serius akhir bulan ini?" sahut wanita cantik berparaskan Eropa itu. Beliau adalah ibunya Mirza.
"Iya, Ma," sambut Mirza. "Pokoknya Mama terima beres aja. Dan Papa ..." Pandangannya beralih pada sang ayah. "Jangan lupa janjinya. Oke?"
Pria gagah bernama Aska itu hanya mengangguk, meski matanya terlihat tajam dan mengurai senyum sinis tanpa kata. Sementara itu, Luna tak menyahut, membiarkan Mirza menyelesaikan rencananya terkait kegilaannya yang ingin menguasai perusahaan ayahnya sendiri dengan cepat.
"Baiklah. Nanti Papa siapkan surat kuasanya. Untuk sisanya ... Papa akan kasih sebagai hadiah pernikahan dan kalau kamu bisa kasih cucu laki-laki penerus Divaska Group."
Keputusan beliau menjadi senjata bagi Luna. Sebenarnya Mirza-lah yang bergantung padanya. Usai pertemuan itu, Mirza mengantar Luna kembali ke rumahnya. Pria itu belum bicara tepat setelah rem menghentikan mobil metalic itu.
"Gue penasaran kenapa lo segitu terburu-burunya ngejar harta bokap lo, Mir. Lo itu anak tunggal. Nggak usah lo minta pun, cuma lo pewarisnya," seru Luna.
Mirza menyandarkan kepalanya pada jok, lalu beralih menatap Luna. "Nggak ada siapa pun yang bisa gue percayai di dunia ini, Lun."
Luna tertegun. Baru kali ini melihat tatapan serius Mirza. Pria itu melepas seatbelt-nya untuk menyamankan diri.
"Gue ngerasa ... sebenarnya diri gue nggak segitu berharga buat mereka. Kesuksesan bokap gue, kekayaan keluarga Nugraha, gue ngerasa suatu saat bakal ada ancaman besar terkait diri gue dan keberadaan Keluarga Nugraha. Karena itu, gue mempersiapkan semuanya untuk diri gue sendiri."
"Maksud ... lo?"
Mirza belum menanggapi, menatap serius Luna yang sepertinya mulai terpengaruh akan situasi serius yang diurainya.
"Gimana kalau kita nikah beneran aja, Lun?"
Tuk! Mirza mengernyit saat Luna mengetuk kepalanya dengan ujung buku jarinya. Gadis itu segera melepas seatbelt, bersiap turun.
"Nggak usah ngaco. Siapkan semuanya akhir bulan ini. Gue ada rencana balik ke Bandung setelah itu. Untuk masalah lo, kayaknya udah cukup, deh, gue jadi temen main-main lo. Gue nggak mau ikut campur lagi."
Luna segera turun dari mobil, menyisakan Mirza yang menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu yang menutup. Helaan napasnya terasa berat setelah kancing teratas kemejanya dibuka.
"Saat semuanya pergi nanti, apa aku bisa temukan seseorang yang bisa terima diriku apa adanya, Lun? Cuma seorang Mirza, tanpa bayang-bayang keluarga Sanjaya?" lirihnya.
Mirza menyalakan mobil dan pergi meninggalkan rumah Luna. Pesta pertunangan yang akan digelar akhir bulan ini, akankah berjalan dengan lancar? Luna yang berharap mendapatkan sertifikat perusahaan papanya dan Mirza yang ingin mendapatkan kuasa jatuhnya Divaska Group cabang Jepang, akankah semuanya berjalan dengan semestinya?
*
Sejak tadi ponsel berdering nyaring, tak disambut. Luna menghela napas panjang, nama Reyhan muncul di layarnya. Gadis itu terjebak akan masalah bertubi, sementara dirinya tak bisa cerita pada siapa pun.
"Ck, ini kenapa Kak Rey nggak ngerti juga? Ada yang harus kulakukan di sini."
Panggilan berakhir. Luna menonaktifkan mode data agar tak ada panggilan lagi via w******p dari kakak iparnya itu.
"Besok mereka mau nikah. Apa aku beneran nggak pulang, ya?" keluhnya.
Luna tak ingin sang ayah tahu apa yang dihadapinya saat ini. Dia bahkan tak menghadiri pernikahan sang kakak. Hanya bisa tersenyum saat keesokan harinya, akad digelar dan beberapa foto dikirimkan ke ponselnya. Luna hanya bisa tersenyum dan merestui keputusan sang kakak yang menikah setelah menanti kekasihnya selama 4 tahun itu. Kini, tiba gilirannya untuk berjuang demi seseorang yang dirindukan. Menanti dengan sabar akan keputusan yang telah dia ambil.
"Tunggu aku pulang, Kak Arvin."
*
Satu bulan kemudian ...
Sebuah ballroom hotel dihias cantik untuk acara pertunangan mewah pewaris Divaska Group. Mirza terlihat sangat tampan dengan setelan jas berwarna krem, di sisinya ada Luna yang tampil anggun dengan gaun merah muda menjuntai, sedikit menyapu lantai. Pesta pertunangan yang dihadiri banyak rekan bisnis dan tamu undangan. Hanya tinggal beberapa jam lagi acara digelar, ponsel Luna sangat berisik sejak tadi. Pesan dari sang kakak, Windy.
[Besok gue resepsi! Sialan, Lo! Durhaka banget jadi adek. Akad nggak datang, besok juga nggak datang? Gaje banget hidup, Lo!]
Luna menghela napas gusar. Windy tak tahu saja apa yang harus dijalani sang adik sampai detik ini demi dirinya.
'Ah, Kak Win. Kalau bukan karena gue yang ngalah, mungkin sekarang lo nggak bisa tidur seranjang dan ena-ena sama Kak Rey. Tega, Lo! Udah hidup gue ribet, malah direcokin lagi,' batin Luna.
Kling! Pesan masuk lagi, kali ini dari sang ayah. Sejak tadi beliau menelepon, tapi tak diangkat oleh Luna. Dia hanya tak ingin sang ayah ikut campur akan rencana usil Mirza ini.
[Lun, apa kamu beneran tunangan sama Mirza? Ini beneran Papa nggak perlu ke sana? Kenapa dadakan, sih? Nggak tunggu sampai resepsi Windy aja?]
Luna tersenyum. Sejak tadi Mirza sudah memanggil, tapi tak diindahkannya. Dibalasnya pesan itu segera.
[Papa jangan cemas. Semua akan selesai. Luna bakal pulang, Pa.]
Luna tersenyum tipis. Diberikannya ponsel pada sang asisten yang sejak tadi sedia di sampingnya.
"Nit, yang saya pesan tadi, apa sudah beres?" tanya Luna, kembali meyakinkan bahwa rencananya berjalan lancar.
"Sudah, Bu. Itu Leo udah di bandara. Koper, paspor, tiket, semua sudah beres. Tapi ... ini beneran Ibu mau langsung kabur ke Bandung abis pertunangan ini?" tanya wanita berambut pendek tersebut.
Luna hanya tersenyum. Ada banyak rencana yang bersarang di kepalanya. Cukup rasanya perjuangannya selama dua tahun ini, ada seseorang yang menunggunya kembali. Menjadi seorang putri yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan perusahaan. Bahkan ikut andil dalam permainan kekanakan Mirza, semua sudah dilakukan.
Hanya untai senyum saat pertunangan itu terikrar. Cincin bertahta berlian itu melingkar di jari ketika Mirza memegang tangannya. Para keluarga dan tamu pesta menikmati pasangan sempurna secara fisik itu. Cantik dan tampan. Giliran Luna yang akan melingkari cincin di jari pria tampan itu.
"Perlu ciuman juga, nggak?" bisik Mirza tepat di telinga Luna.
Buk! Mirza berjinjit keki saat heels runcing sedalam tujuh centimeter itu tepat menancap di atas pantofelnya.
"Aish! Dasar, Mak Lampir!" dumelnya.
Saat para keluarga menikmati pesta, Luna menarik tangan Mirza untuk mengungsi perihal janji yang tersemat sebelumnya. Dilemparnya pria itu hingga punggungnya menghantam dinding. Mirza mengurai smirk sambil menggigit lower lip-nya, mengangkat sedikit dagunya untuk melonggarkan ikatan dasi.
"Mupeng banget, mau langsung smack down gue, ya!" ujarnya.
Dugh! Wajah Mirza merah saat harus meringkuk kesakitan. Gadis centil itu hanya berkacak pinggang karena sejak tadi, Mirza mulai bermain-main dengannya. Tak dia lihat Mirza membawa sertifikat itu sesuai perjanjian mereka.
"Mabok aja dari tadi! Lo nggak mikir buat nipu gue, kan?" serang Luna.
Tak ada jawaban. Mirza hanya merapatkan kaki, bersandar pada dinding dengan wajah yang merah karena tadi Luna melakukan kekerasan nakal dengan menendang aset tempurnya di balik celana. "Shhh, biji gue pecah."
Gadis cantik itu tertawa kecil, berjalan mendekat sambil mengusap-usap punggung sang tunangan. "Santai, Vroh, biji Lo juga nggak guna, kan? Lo juga nggak niat beneran serius sama cewek, cuma buat main doang. Semoga Lo mandul, ya!"
Gemas melihat Luna tertawa, Mirza segera berbalik dan menarik punggung itu. Bibirnya bak vacuum cleaner yang secara rakus mencium Luna hingga gadis itu berulang kali menarik rambut Mirza untuk menghentikannya.
Gesit, Luna beraksi dengan cubitan nakalnya. Pria itu sampai menjengkit kesakitan saat gadis itu memelintir dadanya.
"Nenen gue!"
Wajah Mirza merah padam sambil mengusap dadanya yang terasa perih. Betapa tajamnya cubitan tunangannya itu meski jas yang dikenakannya cukup tebal. Luna selalu saja menjahili dengan tingkah yang membuat Mirza gemas.
"Choco chips gue bisa copot, Jubaedah!" gerutu Mirza.
"Lo, sih! Nyebelin banget! Gue buru-buru, nih! Mana sertifikatnya!"
Luna mengulurkan tangannya ke arah Mirza. Tak ada pilihan selain menurut daripada gadis ini menggila. Dari balik jasnya, pria itu mengeluarkan sebuah berkas yang dijanjikan. Dengan begini, penantian dan kesabaran Luna selama dua tahun terakhir akan membuahkan hasil. Dirinya lepas dari cengkraman Mirza Dimitri atau ayahnya.
"Eits."
Luna menggeram. Pria itu mengangkat tangannya ke udara agar Luna tak bisa menjangkaunya. "Gue temuin bokap gue dulu untuk surat kuasa itu."
"Eh, Monyong! Kalau soal itu, bukan urusan gue. Mau bokap lo ngasih atau nggak, itu bukan urusan gue."
"Ya kalau rencana gue gagal, ya enak di elo yang bisa bebas dari gue."
Lagi, pria itu bertindak sesukanya. Luna memencak sebal, terpaksa menuruti langkah Mirza untuk kembali ke kerumunan pesta. Harusnya Luna tak terlalu cepat puas karena pasti, pria itu akan berulah jika keinginannya tak terpenuhi. Para keluarga bingung melihat tingkah grasak-grsuk sepasang tunangan ini.
"Pa, mana surat kuasanya?" tanya Mirza pada Aska, sang ayah.
Aska dan istrinya menatap tak enak pada pengunjung pesta. Mirza tahu bahwa sang ayah pasti takkan semudah itu melepas surat kuasa perusahaan padanya. Pertunangan ini hanyalah tindakan preventif agar beliau tak bisa mengelak di depan orang banyak.
"Kamu ini ... apa nggak bisa di rumah aja ngomongnya? Nggak sabaran sekali," keluh ibunya Mirza.
Menyadari ekspresi kesal Mirza, Luna membaca situasi. Dia harus berpikir jernih agar tak jadi tumbal selanjutnya. Dia yakin Aska juga takkan membiarkan surat kuasa itu meski Mirza adalah putra satu-satunya. Tak ada yang bisa dipercaya jika sudah menggila pada harta dan kekuasaan.
'Bodo amat. Pokoknya gue harus cepat kabur dari sini,' batin Luna.
Mirza mendengkus pelan, menatap sang ayah yang sejak tadi menginterogasi serius. Malah lebih peduli pada penilaian rekannya daripada mengindahkan permintaannya.
"Pa, please! Apa lagi yang Papa mau? Aku udah tunangan, kan?! Jangan bohong!" kesal Mirza.
Aska tersenyum sinis, mengangguk sungkan pada para rekan seraya mendekati Mirza. "Jangan buru-buru, Mir! Nikmati aja hubungan kalian. Nanti pasti Divaska Group bakal jadi millik kamu kalau kalian bisa ngasih cucu laki-laki untuk penerus keluarga kita," katanya.
Deg! Benar. Ada-ada saja lagi masalah. Mirza hanya menggaruk kepala, kesal. Kenapa dia terbodohi akan ulah papanya ini? Saat beralih menatap Luna, nyali Mirza menciut menatap wajah kesal sang tunangan.
'Anjiir! Mukanya kek Nyi Blorong. Serem amat,' batinnya.
Dugh! Mirza kembali membungkuk saat Luna kembali menendang aset berharganya dengan lutut. Alhasil, pria itu jauh ke lantai dan membuat pesta berantakan. Jerit mengerang kesakitan mengiringi musik pertunangan itu.
"Apa-apaan ini?" keluh Aska dan istrinya, serempak saat Luna bertindak kasar pada Mirza.
"Adoowww, beneran mandul nanti gue, Lun!" teriak Mirza.
Luna menyingsingkan gaunnya agar mudah berjongkok dan mengambil berkas yang sebelumnya disembunyikan Mirza di balik jasnya. Dirogoh hingga berhasil ditemukan. Misinya selesai.
"Sorry! Gue nggak mau ikut campur. Urusan kita selesai!" ujar Luna, tersenyum.
Mirza masih menggeliat sakit, sempat menarik ujung gaun Luna yang berniat pergi meninggalkan pesta.
Bugh! Pertunangan itu berantakan dan membuat malu Keluarga Sanjaya. Mirza tertawa keras saat Luna tersungkur jatuh. Wajahnya terjerembab ke lantai ketika Mirza menariknya tadi.
"Demit!" geram Luna, beranjak duduk dengan hidung merah karena terbentur.
"Mampus!" gelak Mirza.
Dua manusia ini membuat kekacauan beriring gelak tawa yang membuat malu Aska sebagai orang ternama.
Kraaakkk! Luna merobek gaun yang masih dalam cengkraman Mirza tadi, lalu berlari dengan kaki telanjang meninggalkan kerumunan pesta. Saat Aska dan istrinya masih sibuk memberi penjelasan pada rekan dan awak media, Mirza masih mengaduh pelan dan berjalan pincang sambil menahan nyeri pada 'adik kecilnya' itu.
"Oiii! Kejar dia!" perintah Mirza pada para bodyguard di sekitar yang nge-freeze padahal Luna sudah ngacir sejak tadi.
Hari menyebalkan telah berlalu. Luna berteriak kegirangan di antara jalan panjang menuju luar di mana mobilnya terparkir. Sertifikat itu sudah di tangan. Lepas sudah belenggu Divaska Group atas tindak sewenang-wenang mereka selama ini. Terutama Mirza, pria tampan durjana nan tengil itu.
"Ayo ke bandara!" perintah Luna pada supir pribadinya.
Tancap gas dengan kecepatan penuh saat para pengawal Mirza masih menguntit dari belakang. Bak adegan kejar-kejaran mobil dalam film Hollywood, mobil itu miring kanan-kiri dengan kendali profesional.
Tak lama, mobil terparkir di depan bandara. Membiarkan Luna masuk untuk penerbangan sekitar lima belas menit lagi. Mereka berjaga di luar agar Luna tak tertangkap lagi.
"Yuhuu! Kak Arvin, I'm coming!" teriaknya di dalam pesawat.
Mendapati raut keki penumpang lain, Luna tak peduli. Ditatapnya foto Arvin yang dia keluarkan dari saku, tersenyum mengusap raut tampan itu.
"Nggak sabar mau ketemu Kak Arvin lagi."
Pesawat lepas landas meninggalkan kota Jepang di musim semi itu. Menjemput sang kekasih yang telah ditinggalkan dua tahun terakhir.
*
Beberapa jam berlalu hingga akhirnya pesawat mendarat sempurna di bandara. Luna turun, menanti di lounge setelah mengambil kopernya. Sudah lama tak menghirup udara Bandung, meninggalkan Arvin demi menyelamatkan perusahaan papanya dan hubungan cinta sang kakak.
Diraihnya ponsel, kontak Papa Pramana, ayah dari kekasih yang dicintainya itu menjadi tujuan untuk berkirim pesan chat.
[Luna udah di bandara, otw Bandung. Maaf, nanti Luna jelaskan semuanya. Apa Luna boleh minta Kak Arvin jadi milik Luna lagi?]
Luna menanti balasan. Mungkin seluruh keluarga Pramana sedang sibuk dengan resepsi pernikahan sang kakak.
Waktu tersita beberapa jam karena harus mengurus beberapa hal tersisa. Dia pergi saja meninggalkan pesta pertunangan. Pergi ke sebuah mall dan membeli dress cantik, juga pergi ke salon untuk memperbaiki dandanannya. Hingga senja menepi, Luna memutuskan pergi ke rumah sakit di mana Arvin dirawat empat tahun terakhir.
Langkahnya terhenti sesaat di lorong, menahan degup jantung yang luar biasa. Arvin, kekasih yang masih dicintai walau dia belum tahu kapan pemuda itu bangun.
Krek! Luna menghentak knop pintu ruang VIP di sudut itu. Atensi orang-orang di dalam teralihkan padanya. Semua orang berada di sana, termasuk sepasang pengantin baru. Kedua orangtua Arvin dan juga teman lamanya, dan yang paling dinanti, Arvin. Mereka yang takjub melihat perubahan gadis ini lebih dewasa setelah dua tahun tak bertemu. Luna hanya memusatkan atensi pada Arvin. Dia tak bisa menahan jatuhnya air mata karena Arvin sudah membuka mata. Gadis itu mendekati kasur. Mereka menyadari Luna dan Arvin butuh privasi, mereka pun satu persatu meninggalkan ruangan.
"Om Pram," panggilan Luna menghentikan papanya Arvin tersebut.
"Ya, Lun?"
"Kak Arvin masih milikku, kan? Dia udah bangun. Dia harus tepati janji untuk nikahin aku. Kenapa tidurnya lama banget? Aku mau mati karena kangen."
Mereka hanya tersenyum, membiarkan ruangan kosong itu hanya terisi oleh Luna dan Arvin. Sejak tadi Arvin menatap tak percaya, seakan dirinya masih tenggelam dalam tidur panjang.
Gadis itu mendekat, menyapa sang kekasih yang belum bicara. Dia yang terus menatap kekasihnya yang biasnya terlihat berbeda dari yang dulu. Mana gadis belia nan centil itu? Kini dia terlihat lebih seksi dan glamor dengan bibir merah dan rambut blonde curly-nya. Dia tertidur sangat lama hingga dunia berubah begitu banyak.
"Kupikir Kak Arvin itu sleeping beauty, yang aku cium baru bisa bangun. Tapi aku udah cium setiap hari, nggak bangun juga."
"Luna ...."
"I Love You, Arvin. Will you marry me?"
Senyum kotak yang sangat cantik. Meski tak dibalas intens, Luna sangat merindukan ciuman manis Arvin. Aroma parfum Luna yang sangat dirindukan Arvin. Waktu berlalu dan Luna siap merajut kembali masa depan mereka.