Bab 4. Our Love

2213 Words
Luna tersenyum tipis sambil menggenggam tangan Arvin. Hari-hari telah berlalu dan Arvin bisa kembali seperti sedia kala. Beruntungnya, dia pun bisa hadir ke akad nikah sahabat yang masih dia ingat. Arvin tersenyum melihat Fandy, temannya itu begitu gugup bersanding dengan calon istrinya. "Dia yang playboy gitu, duluan nikah aja," kata Arvin, tenang. "Kita nyusul, kan, Kak?" Sahut Luna membungkam Arvin sesaat. Menikah? Tidur selama empat tahun dan kini, dia tak memiliki apa pun. Sekembali dari Jepang, Arvin selalu takjub dengan perkembangan kekasihnya ini. Bukan karena fisik saja yang membuatnya merasa ketinggalan jauh, tapi karir gemilangnya. "Kak! Kita nikah, ya!" bisik Luna lagi. "Iya. Segera," jawab Arvin, seadanya. Setengah hari berlalu, Arvin dan Luna kembali bersama Reyhan dan Windy yang juga menghadiri acara tersebut. Saat hendak masuk ke kamar, Reyhan menahan tangan Arvin. Ditatapnya teduh kakaknya itu, lalu berkata, "Gue mau bicara sebentar." Arvin dan Reyhan mengambil duduk santai berdua di belakang rumah. Kolam renang menjadi pilihan untuk bicara serius. Duduk di kursi itu, lalu Reyhan mulai mengatakan maksud dan keinginannya. "Gue dipanggil sebentar ke Kanada, ada project penting yang rampung dalam setahun." "Maksud ... nya? Lo mau balik ke Kanada lagi?" tanya Arvin, terkejut. "Ya. Gue titip papa sama mama, ya. Setahun aja, kok. Gue juga udah bicara sama papa, sih. Karena, kan, memang kerjaan gue belum rampung di sana. Gue balik buat merit, kan?" Setahun. Baru saja beberapa minggu mulai mengakrabkan diri, keduanya harus kembali berpisah. Arvin mengangguk tipis, menyetujui permintaan adiknya tersebut. * "Apa harus Lo pindah ke Kanada? Nggak mau berubah pikiran?" tanya Arvin lagi, meyakinkan Reyhan. Sebulan berlalu sejak Arvin sadar dari koma, hidupnya mulai kembali normal. Mulai menjalin hubungan baik dengan Reyhan, sang adik yang dulu tak mengakuinya. Dirinya pun mulai bangkit untuk menata hidup. Tapi hanya selang sebulan saja, Reyhan sudah memutuskan untuk meninggalkannya. "Cuma setahun, Vin. Lagian gantian, lah! Gue pengen nikmatin waktu berdua sama istri gue. Biar cepat ngasih Lo banyak ponakan." Reyhan tersenyum tipis. Disentuhnya bahu Arvin sebelum melepas pergi. Windy masih setia di sampingnya. Sore itu, Keluarga Pramana mengantarkan Reyhan dan Windy untuk pergi ke bandara. Kehidupan pernikahan akan Meraka mulai di sana. Tersisa Arvin seorang diri, bersama Papa Pramana dan juga ibundanya. Luna masih setia menemani. Setelah melepas belenggu Divaska Group, kini dia merasa lebih tenang. "Lalu kalian, apa ada rencana menikah juga?" tanya Papa Pramana pada Arvin dan Luna. Arvin belum menjawab. Ditatapnya Luna yang selama sebulan ini terus menjaganya. Sepulangnya dari bandara, Arvin menemui papanya dan bicara serius terkait masa depannya. Tak ada Luna, dia ingin membicarakan semuanya. "Aku kasian sama Luna, Pa. Karirnya juga lagi bagus-bagusnya di Jepang. Kenapa dia harus terjebak di sini. Apalagi aku ... juga belum jadi apa-apa. Masa mau nikah sama dia, sih? Aku punya modal apa?" Papa Pramana mengerti sisi minder putranya ini. Sempat koma empat bulan sebelum ujian nasional, kini Arvin tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya Luna tak pulang ketika meminta izin pergi tadi. Di luar, dia menatap dan mencuri pandangan percakapan kekasih dan calon menantunya tersebut. "Jadi gimana? Luna juga butuh kepastian, Vin," sahut mamanya. "Bagaimana kalau kalian menikah, trus pindah ke Jepang sana? Luna bisa kerja, trus kamu sambil kuliah di sana. Nanti setelah lulus, kamu bisa buka usaha, atau balik ke sini untuk bantu papa di perusahaan." "SETUJU!" Diskusi itu disela oleh suara Luna yang berlari untuk nimbrung dalam percakapan mereka. Arvin sangat malu saat gadis ini begitu sabar menunggu selama ini. "Om benar. Gitu pun jadi. Aku nggak mau kalau harus nunggu Kak Arvin sukses dulu. Ya Nyambi aja. Nikah dulu, trus dia kuliah dan aku kerja. Beres, kan?" seru Luna. "Ya. Bagaimana, Vin? Mau? Biar papa urus ujian paket C kamu, lalu bisa langsung kuliah di sana." "Betul! Nikah dulu, Om, Tante. Baru hidup di Jepang. Nggak perlu mewah-mewah, deh. Akad aja udah. Nyari duit itu susah, sampe aku jungkir balik. Jadi nggak perlu heboh banget. Yang penting sah aja, biar halalan toyyiban buat dipegang-pegang." Dua orangtua itu tergelak tawa melihat calon menantunya itu bicara gamblang sekali. Diskusi malam itu berakhir dengan keputusan masa depan Arvin. Setengah jam berikutnya, Arvin mengantarkan Luna pulang dengan mobil itu. Berhenti tepat di depan gerbang rumahnya, lalu Arvin memberi kecup mesra di bibir Luna. "Kamu yakin mau nikah sama aku? Aku masih belum jadi apa-apa," lirih Arvin. "Emangnya mau jadi apa? Superman? Batman? Yang penting Kak Arvin jadi suamiku, udah. Aku nggak butuh yang lain." Senyum gadis ini sangat cantik. Disentuhnya helai rambut itu sebelum pergi meninggalkan rumahnya. Luna sangat kasmaran. Dia melenggang jalan masuk ke rumahnya, lalu bertemu kedua orangtuanya yang tampak tak senang dengan Luna yang terus melanjutkan hubungannya dengan Arvin. "Tadi Pramana nelepon mama, serius itu kalian mau nikah?" seru sang mama. Luna tersenyum. Tak seperti papanya yang diam, sang mama lebih frontal. Luna pun tak ingin dirantai lagi. Cukuplah dua tahun ini dia menjalani perusahaan, rela meninggalkan Arvin dan fokus pada bisnis sang ayah yang sempat disandera oleh Divaska Group. "Itu udah untung Mirza mau sama kamu! Kenapa malah sama si Arvin itu?" geram mamanya. "Ma! Apa lagi, sih? Arvin, kan, udah sadar. Udah jelas juga kalau dia itu anaknya Pramana. Kalau soal derajat dan martabat, kita tau sendiri seberapa hebat kekuasaan Pramana, kan?" "Iya, tapi malu aku, tuh, kalau cerita sama temen-temen arisanku tentang si Arvin. Kalau kemarin soal Mirza, kan, aku bisa bangga. Dia putranya Pak Aska dan megang perusahaan cabang di Jepang. Lah, si Arvin! Boro-boro. SMU aja nggak lulus." Mamanya masih terus menghina Arvin. Walau sebulan ini dia tak banyak menentang karena biar bagaimanapun, Keluarga Arvin adalah besannya. Putrinya yang lain juga menantu di sana. "Mama ini, lah! Pak Pramana itu besan mama. Mertuanya Kak Windy. Kenapa julid banget, sih! Kak Rey aja dipuji-puji, kenapa Kak Arvin direndahkan terus?!" pekik Luna. Gadis kecil mereka ini sudah sangat marah. Dia hanya tak ingin mamanya memojokkan kekasihnya. "Ya Arvin sama Rey jauh banget, lah! Rey udah sukses, Arvin, apa? Ya kalau kamu mau sama Arvin, tunggu di jadi orang sukses dulu! Biar kita bisa bikin pesta mewah dan mama bisa banggain kamu." "Ma!" Pertengkaran itu semakin meruncing. Mamanya Luna pergi dan meninggalkan suaminya beserta putrinya ini di ruang tengah, melanjutkan diskusi mereka. Tersisa papanya yang ingin dia beri pengertian. "Pa, tolongin Luna. Selama ini Luna udah nurutin semua yang Papa mau, kan? Apa sekarang untuk kebahagiaan Luna aja, Papa nggak bisa wujudkan itu?" "Luna ...." Papanya memandang teduh, lalu meminta Luna duduk di sofa sampingnya. Dia hanya bisa mengusap kepala putrinya itu untuk memberi pengertian. "Kamu tau sendiri gimana keras kepalanya mama, kan?" "Ya tapi ... apa ini yang kudapatkan setelah pengorbananku selama ini?" Luna mulai berang. Dia pun menceritakan semua rahasia besar yang tersimpan rapat selama ini. Saat harus meninggalkan Indonesia selama dua tahun dan menetap di Jepang, dia berusaha membangun kembali bisnis ayahnya yang ditipu Divaska Group. Jatuh bangun memegang kendali perusahaan, lalu dia harus terjerat oleh Mirza, putra Aska yang semena-mena itu. Berjanji akan mengambil surat kuasa perusaahan yang dijaminkan sang ayah, dan menukarnya dengan tugas-tugas yang harus dia kerjakan. Mirza adalah seorang pewaris yang hanya tau bermain dengan wanita, lalu dia memanfaatkan kepintaran Luna untuk mengurusi tender perusahaannya padahal, Luna sendiri juga harus menjalankan bisnis sang ayah. "Apa setelah semua itu, aku harus menderita lagi?!" Papanya terkejut mendengar cerita itu. Luna menangis. Ini pertama kalinya gadis kecilnya yang selalu ceria dan tegar itu menjadi sangat lemah. Dia menggenggam tangan sang ayah, lalu berkata, "Aku capek, Pa. Aku mau nikmatin hidup sama Kak Arvin. Aku sampai dipaksa tunangan sama Mirza hanya karena dia menipuku dan menolak ngasih surat kuasa perusahaan. Apa Papa pikir, perusahaan jadi stabil gini karena siapa?! Itu semua karena pengorbananku!" Luna menangis histeris, menjerit untuk semua lelah yang ditahannya dua tahun terakhir. Papanya jadi tak tega, lalu menyetujui keinginan sang putri. "Baiklah. Papa akan bujuk mamamu dan kamu akan nikah sama Arvin." Luna berhenti menangis, lalu melepaskan diri dari pelukan papanya. "Makasih, Pa." Gadis itu pergi dan menghabiskan malam di kamar. Ponsel menjadi pelariannya. Ingin dia berbicara dengan kekasihnya itu. Tak lama, Arvin menyambutnya. "Ya, Lun." "Kak, kita nikah, ya. Papa udah setuju. Pokoknya aku mau nikah sama Kakak! Nggak ada pake acara nolak segala!" "Lun, nggak mau dipikirin lagi? Gimana kalau aku kerja dulu, sukses, baru kita nikah." "Kak Arvin mau aku digaet orang?" "...." "Kak Arvin ini jahat banget, sih?! Aku disuruh nunggu lagi? Kakak pikir gimana selama ini aku bertahan sama semua masalah ini? Aku keliatan tegar aja, tapi kalian nggak tau gimana aku jalanin waktu dua tahun ini di sana!" Suara Luna terdengar memekik. Arvin merasa bersalah. Dia hanya merasa belum pantas bersanding dengan Luna. "Kalau Kak Arvin nggak cepat lamar aku dalam sebulan ini, kita putus!" "Lun! Dengerin dulu." Klek! Luna mengakhiri panggilan. Setelah berhasil mengatasi keras kepala kedua orangtuanya, Arvin yang justru tak percaya diri untuk melamar. Kling! Suara ponsel berdering lagi. Bukan dari Arvin, melainkan dari Mirza, si playboy menyebalkan yang selalu membuatnya jengah setiap harinya selama di Jepang. "Aih, ni anak. Tapi ... aku belum cerita ke Kak Arvin soal dia. Biar gimanapun, pertunanganku itu udah jadi rahasia umum di Jepang. Kalau si Mirza ini ngadi-ngadi lagi, gimana?" rutuknya. Luna tak mengangkat panggilan itu. Dia memutuskan untuk segera menikah agar tak diganggu lagi oleh Mirza. Tak lama, dering pesan masuk terdengar. Dari Arvin. [Nikahnya Minggu ini, tapi akad dulu, mau? Nanti resepsinya kalau aku udah punya uang. Please, ngertiin ya! Aku nggak mau dipandang rendah siapa pun. Aku mau berjuang buat kamu.] Luna tersenyum bahagia, beriring bulir air mata yang mulai jatuh. Arvin akan menjadi miliknya. Jodoh itu begitu dekat sekarang. "Makasih, Kak Arvin." * "Kurang asem Lo!" Suara pekik keras Reyhan terdengar saat dia menyalakan video call pada Reyhan di ujung benua sana. Dia sudah berdandan rapi untuk menggelar akan setengah jam lagi. Diedarkannya ponsel ke arah Luna yang sedang dihias cantik dengan sanggul dan ronce di sisi rambutnya. "Gue kira bohongan, ternyata beneran nikah. Jahat banget! Tunggu gue pulang, harusnya!" sahut Reyhan. "Dih! Enak aja. Kemarin juga Lo nikah, gue nggak diundang." "Ya itu, kan, karena Lo koma, dodol! Masih ada rekaman nya, kan? Malah Lo juga pake baju seragam sama Ares dan Fandy!" "Kak Rey, cuma akad, kok. Ntar setahun lagi Kak Rey pulang, baru bikin resepsi. Aku cuma mau halalin abangmu ini dulu," kekeh Luna. "Oi! Itu dialogku, Lun," sambar Arvin. Tawa dan canda terurai sebentar terhubung layar. Di sana juga ada Windy yang menangis karena tak diberi kabar adiknya akan menikah. Kalau hanya selang seminggu saja, mungkin mereka akan menunda keberangkatan untuk menyaksikan akad itu. "Pokoknya setahun lagi kalian balik, harus kasih kami ponakan yang cantik, ya!" sahut Arvin. Akad berlangsung sederhana. Luna hanya tak ingin menunggu lagi dan mereka bisa mulai merajut mimpi yang dulunya mereka rancang semasa SMU. "Saya terima nikah dan kawinnya Luna Anindya binti Adrian Samantha dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin seberat 5 gram dibayar tunai," ujar Arvin mengurai kabul. "Sah?" "Sah!" Beriring cincin yang tersemat di jari masing-masing, kecup manis dihantarkan Arvin di dahi Luna, hari itu mereka telah sah menjadi suami istri. Tak banyak undangan yang hadir. Hanya keluarga inti dan teman-teman yang dirasa akrab untuk memberi restu pada mereka. * "Besok kita langsung terbang ke Jepang, ya!" Luna menoleh pada Arvin yang duduk terpaku di sisi kasur. Dipandangnya cincin itu, matanya sendu. Luna menatap Arvin yang tenggelam dalam lamunan. Setelah bangun dari koma, memang hubungannya dan Arvin terasa canggung. Arvin juga tak seceria dulu. Apakah ada yang berbeda? Arvin berbaring memunggungi Luna, ingin tidur setelah semua persiapan hari ini. Luna begitu memburunya, seolah tak memberinya ruang untuk mengambil keputusan sendiri. Tak lama, Luna naik ke kasur dan mendekati suaminya itu. Diciumnya sesaat bahu Arvin, mengusap pelan sisi pahanya. "Beneran mau tidur, Kak?" tanya Luna, menggoda. Arvin segera berbalik dan menatap istrinya itu di dekat wajahnya. Dia yang selalu tersenyum ceria dan penuh semangat. Arvin terkadang lelah dan selalu berpikir semua begitu gampang untuk Luna. "Kita udah nikah, kan? Jadi udah boleh ...." Arvin belum bersuara. Bukan tak cinta lagi. Dia hanya merasa semakin tak mengenal Luna. Empat tahun itu cukup lama, dan sekarang hubungannya kembali seperti tak ada yang salah. Begitu terburu, tanpa bisa berpikir lagi. "Apa kamu masih sama seperti dulu?" tanya Arvin, sendu. "Masih, Kak. Empat tahun yang lalu, dan yang sekarang, aku masih Luna yang sama. Hati juga gitu." Luna tak ingin membuang waktu lagi. Lebih mendekati sang suami hanya untuk menciumnya mesra. Awal sentuhan yang mengantarkan bingkai indah malam ini. Beda. Arvin merasa kekasihnya ini sangat berbeda, juga dari cara menyentuhnya. Bahkan lebih agresif dibanding yang dulu. Arvin hanya merasa khawatir dirinya terus disetir oleh Luna yang jauh lebih berkembang darinya. Bukan hanya karir dan gaya hidup, bahkan untuk urusan ranjang pun, dia merasa didominansi. Arvin menahan sensasi saat pelan-pelan Luna menarik hasratnya untuk membalas sentuhan serupa. Tangannya sudah menyelip masuk ke sisi pakaian pria itu. Meraba dan bermain di baliknya. Arvin merasa gelisah. Hanya sebentar hingga pijama pria itu terlepas, Luna mendominasi sentuhan malam mereka. "Kak Arvin ..." Panggilan itu menyusup masuk ke telinga Arvin. Otaknya tak bisa berpikir lagi. Walau menikmati sentuhan Luna, tapi, bukankah dia sang suami? Haruskah dirinya dikendalikan seliar itu? "Luna ..." Bahkan desah napasnya saja terasa candu. Luna ingin menyentuh Arvin-nya, sesukanya. Pria itu lebih dulu topless dibanding dirinya. Ya, ini adalah malam yang ditunggunya. Luna ingin menikmati santapan malam yang ditunggunya empat tahun terakhir ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD