Bab 2. A Moment to Remember

2524 Words
Seharian berlalu, tugas menumpuk selesai dikerjakan. Luna pulang ke rumah dan mendapati kedua orangtuanya sudah berkemas untuk meninggalkan Jepang dalam waktu yang cukup lama. Mereka duduk di sofa, menunggu Luna kembali dari tugasnya. "Mama-Papa mau berangkat sekarang?" tanya Luna, melepas sepatunya dan duduk di sofa. "Iya. Lusa itu Reyhan balik dari Inggris. Dia udah kabarin Mama dulu dan mau ngelamar Windy. Jadi harus mulai urus pernikahan, kan?" sahut sang mama. Wanita cantik berambut sebahu itu masih asik memeriksa barang-barang di tasnya, takut ada yang tertinggal. Paspor dan tiket menjadi hal yang paling penting saat ini. "Kamu nggak ikut, Lun?" tanya papanya. Luna keki, hanya menggeleng singkat. Sudah dua tahun dia tak kembali ke kampung halamannya itu. Masalah perusahaanlah yang menghalanginya. 'Dih, si Papa. Nggak tau aja anaknya ini lagi berjuang nyelametin perusahaannya. Ah, tapi kalau Papa tau, bisa stress, dia. Kasian,' batinnya. Sang Papa -Adrian Samantha- itu terlihat cemas saat menatap raut berpikir putrinya itu. "Lun, ada apa? Beneran nggak ada masalah, kan?" tanya papanya, lagi. "Nggak, Pa. Lancar, aman. Proyek sama Divaska Group juga udah jalan, kan? Papa tenang aja. Aku tangani semua." Sang Papa mendekati duduk Luna, menepuk bahunya dengan senyum puas. "Ah, hebat kamu, Lun. Pokoknya Papa percaya sama kamu." "Oh iya, kayaknya makin hari, Mama liat kamu makin akrab sama Mirza. Pepet terus, Lun! Ganteng, kan, dia?" ujar mamanya, santai. Garis bibir Luna tertarik ke kiri, hanya mengangguk seadanya, 'Ganteng, tapi masih turunan kuda lumping. Jahat banget. Disiksa aja aku sama dia. Cowok gila, sekutu demit,' batin Luna, menggeram jika mengingat hal-hal apa saja yang dia lakukan demi menuruti maunya Mirza. Demi papanya. Luna adalah wanita keras dan berprinsip. Saat menyadari tak ada pertentangan dari putrinya ini, tentu saja mamanya merasa tak ada masalah terkait masa lalunya. Merasa dirinya bebas untuk kembali menyetir hak putrinya itu. "Gimana kalau Papa temuin aja itu Pak Aska untuk bahas pertunangan kalian?" usul sang Mama. Luna terkejut, tapi urung menyela. "Iya, Mirza pun tadi udah telepon Papa. Katanya, kalau dia serius sama Luna, Papa keberatan, nggak?" sahut Papa Adrian, antusias. Hela napas panjang berhembus. Luna mengeratkan jarinya di sisi sofa menatap pembicaraan kedua orangtuanya itu. 'Pantas aja tadi tuh anak ngomongin soal pertunangan ke gue. Dia udah konfirm ke bokap duluan, ternyata. Duh, Pa! Stress, aku. Gantung aja, deh, anakmu ini di Tokyo Tower. Ambyar nasibku,' batin Luna. Lagi, Luna hanya tersenyum, tak ingin membantah keduanya. "Mending si Mirza ke mana-mana, lah! Ngapain nunggu si Arvin bangun? Udah empat tahun, entah bisa bangun lagi atau enggak. Biar kakakmu aja yang jadi mantu Keluarga Pramana, kamu jadi mantu Pak Divaska Sanjaya aja," seru sang mama -Wenny Ayunda- sesukanya. "Tapi katanya, si Mirza mau ngadain pertunangan secepatnya. Takutnya nanti Mama-Papa masih sibuk ngurus pernikahan kakak kamu. Jadi bingung. Mau nolak juga nggak enak sama Mirza. Anaknya baik banget," sambung Papa Adrian. "Kalau soal pertunangan, biar Luna aja yang urus. Lagian cuma tunangan doang, kan? Nanti lanjutannya, aku serahin ke Mama-Papa." Sahut bijaksana Luna menenangkan keduanya. Hanya mengantarkan sampai pintu pagar saja, lalu taksi itu melaju ke bandara. Tersisa Luna dengan segala geram akan pelik batinnya. Secepat badai dia berlari ke kamarnya. Kamar cantik, juga punya sudut yang menarik. Ada samsak hitam dengan gambar seorang pria yang tak lain adalah Mirza. Brak! Sempat dia tendang hingga samsak itu terhuyung ke belakang. "Demit, lo! Dasar licik! Seenaknya aja lo mainin gue." Beberapa menit dia habiskan untuk meninju, lalu memusatkan tendangan berputar yang merupakan salah satu teknik andalannya dalam beladiri Taekwondo itu. "Arrgh!" Atensinya beralih ke panah dart di dinding. Dilemparnya panah itu ke arah papan dart di mana deretan foto Mirza di sana. Tepat menancap di kepalanya. "Liat aja! Gue bakal bales lo, Demit! Biar malu sekalian." Tawa sinis merajai ekspresi tengilnya. Diambilnya ponsel, berkirim pesan pada Mirza Dimitri. [Besok kita bicara soal pertunangan itu. Gue punya syarat. Lo harus bawa sertifikat itu tepat di saat lo pakein cincin ke gue. Ngerti?] Kling! Cepat sekali pesan balasan itu datang. "Beneran nganggur nih anak." Pesan singkat itu membuat mata Luna melotot. [Boleh. Tapi malamnya langsung bobok bareng.] "Ah, k*****t! Makin gila aja anak ini. Apa ubun-ubunnya bocor, ya? Ngomong, kok, nggak ngotak? Tadi pagi aja bilang udah bosan sama yang ukuran 38. Sekarang minta bobok bareng? Awas aja! Gue bikin malu, lo!" Usai menyalurkan hasrat kesalnya, Luna beranjak ke toilet untuk menyegarkan diri. Lima belas menit tersita, lalu memakai pijama dan naik ke kasur. Berbaring meluruskan sendi ototnya yang menegang karena seharian duduk bekerja di kantor. Pun kakinya yang lelah karena heels. "Harus tidur cepat, banyak istirahat. Nggak tau, deh, si gila itu bakal ngelakuin apa besok. Dasar Demit." Berbaring ke sisi kiri, Luna mengeluarkan kalung dari pijamanya. Kalung cantik berbentuk setengah hati berwarna perak. Tersenyum tipis, disentuhnya liontin usang itu. Setengahnya ada pada Arvin. "Apa Kak Arvin udah bangun? Kamu jaga dia juga di sana, kan?" Hening malam menenggelamkan Luna dalam lamunan panjang. Kilau liontin itu membawa pikirannya pada tragedi mengerikan yang terjadi empat tahun silam. * Empat tahun yang lalu ... Usai jam pelajaran sekolah berakhir, Luna mengikuti jadwal pelatihan taekwondo seperti hari Rabu biasanya. Begitu terampil dia menggunakan tendangan sesuai instruksi sabeum bersabuk hitam itu. Dua jam setelahnya, Luna melepas seragam putih itu untuk bisa berlari menembus jalanan kota. Betapa kasmarannya dia. "Apa Kak Arvin ingat, ya, kalau hari ini anniv dua bulan kami?" Tak lama, Luna tersenyum saat menghampiri sebuah toko perhiasan di sisi mall. Gadis cantik berseragam SMU dengan bibir merah khas liptin. Menunjuk salah satu kalung yang berada pada bantalan steling, Luna tersenyum tipis. "Aku beli yang ini, Mbak. Ini kalung pasangan, kan? Yang hatinya bisa dipotek gitu?" kata Luna, antusias. "Iya. Untuk pacarnya, Dek?" "Untuk suami saya." Karyawati itu mengerutkan dahi, bertanya-tanya sebab gadis yang membeli perhiasan ini masih berseragam sekolah. Mendapati reaksi wanita itu, Luna membalas dengan tawa kecil. "Becanda, Mbak! Serius amat!" Kalung indah yang akan dia berikan pada sang kekasih tepat hari jadi mereka di bulan kedua. Betapa kasmarannya dia. Menaiki taksi menuju rumah besar Keluarga Pramana, Luna tak henti menatap kalung tersebut. "Pokoknya harus kasih ini ke Kak Arvin. Dia pasti makin sayang sama aku." Hanya berjarak lima puluh meter, Luna menghentikan taksinya saat melihat gadis cantik berambut terurai legam itu sedang berjalan sambil menjinjing kantongan plastik. Luna pun membayar uang taksi, lalu turun untuk menghampiri sang kakak. "Kak Windy!" Windy terhenti dan menoleh. Adik yang berusia setahun lebih muda darinya itu mengejar hingga berdiri tepat di sampingnya. "Kak Windy, kok, jalan kaki?" "Oh, itu tadi naik ojek, tapi tiba-tiba mogok. Ya udah, aku tinggalin aja," sambut sang kakak bernama Windy tersebut. "Oh." "Kamu dari mana? Latihan taekwondo?" "Yup. Sekalian nge-mall bentar." Bercengkrama sebentar, tawa mereka terhenti kala melihat suasana pelataran yang mengerikan. Para penjaga keamanan rumah itu terbaring tak sadarkan diri dengan luka dan darah di wajahnya. "Ada apa ini, Kak?" "Apa rampok, ya? Ayo masuk, Lun!" Keduanya bergegas masuk ke rumah besar milik sebuah keluarga bernama Pramana itu. Betapa terkejutnya mereka melihat suasana kacau dengan beberapa sandera di tangan dua orang pria tinggi tegap layaknya algojo. Pun seorang pria separuh baya berpakaian formal dengan senjata api di tangannya. Kedua gadis itu shock dengan kekacauan di ruang tengah. Windy menjerit histeris saat pistol ditodongkan ke kepala seorang pemuda yang terikat di dinding. Kekasih hatinya yang bernama Reyhan. "Reyhan!!!" Seorang pria separuh baya itu gagal meledakkan kepala tawanannya ketika gerak gesit seorang pemuda tinggi jangkung itu muncul dari balik dinding. Dia menendang punggung pria itu hingga terjerembab di lantai. Bruk! "Kak Arvin!" jerit Luna, menyadari bahwa sejak tadi ternyata kekasihnya itu mengintai kekacauan. Luna yang memang memiliki keahlian beladiri asal Korea itu pun melawan sebisanya. Arvin memegang kendali pertarungan dengan pria berkuasa itu. Dia yang harus cepat mengalihkan pistol yang dipegang oleh seorang pria yang diyakini Luna bahwa orang itu adalah pesaing bisnis papanya Reyhan. "Win, buka ikatan Reyhan!" pekik Arvin. Perkelahian dengan para algojo itu menguras atensi dan tenaga Luna beserta papanya Reyhan. Tak Luna perhatikan bahaya yang mengintai Arvin, sang kekasih hati. Saat Arvin menurunkan pistol dari tangan pria itu —saat hendak menodongkan pada Reyhan, letusan senjata api itu terdengar. Duar! Pekik histeris itu terdengar. Luna hanya mematung, melihat Arvin jatuh ke lantai dengan luka tembak tepat di perut kanannya. Kaos putih itu berubah merah, darah mulai mewarnai lantai. Apakah ini mimpi? "Kak Arvin!" jerit Luna. Kejadian mengerikan itu bagai mimpi buruk di akhir Maret. Luna menenggelamkan tubuh sang kekasih dalam pelukannya, gemetar dengan urai air mata mengalir dan darah di telapak tangannya. Hari-hari berlalu sejak insiden itu. Meski Arvin bisa selamat, dia mengalami koma panjang sebab luka tembak serius di sisi perut kanannya. Tak hanya kecemasan keluarga, Luna juga menangis hingga matanya sembab. Meski begitu, gadis ceria ini selalu bisa memasang senyum untuk menepis rasa khawatir dan bersalah orangtua Arvin. "Kak Arvin kapan bangun? Kakak tau? Aku ada beli kalung pasangan buat kita," ujar Luna seraya menunjukkan kalung itu di hadapan Arvin. Sang kekasih masih terbujur kaku, dengan selang oksigen dan beberapa peralatan medis yang menyanggah hidupnya. Setidaknya tiap detik dari heart rate monitor itu sudah jalan syukur bagi Luna. Arvin masih ada, meski senyumnya pudar di hari-hari indah Luna. "Ini udah dua tahun, Kak," lanjutnya lagi, mengusap sisi rambut Arvin yang sudah mulai panjang dan belum dipangkas sejak bulan kemarin. "Kak Arvin jangan takut, ya! Aku akan tunggu Kakak bangun. Tapi aku nggak janji, loh, nggak akan ada yang naksir aku. Aku cantik dan seksi gini." Krik! Atensinya teralih pada pintu masuk rumah sakit. Kedua orangtuanya muncul dengan raut sinis. Hari-hari yang dilalui terasa mengerikan saat putri mereka ini tak henti menunggu kekasihnya yang belum bangun juga setelah insiden tragis dua tahun lalu itu. "Kamu nggak kuliah, Lun?" tanya sang papa seraya mengusap kepala Luna. Pria itu duduk tak jauh di sofa ruang rawat. "Nggak, Pa. Males. Hari ini aku bolos, deh. Pengen jaga Kak Arvin aja." Sejak tadi Luna merasa tak nyaman dengan tatapan mamanya. Beliau duduk di samping Papa Adrian, hanya menjadikan ponsel sebagai alih perhatiannya. "Hebat banget, ya, si Pramana ini, Pa? Liat, deh! Dua putri kita ini udah kayak orang bodoh aja nungguin anaknya. Kena pelet apa, sih?" omel mamanya, berulah. Luna tak menanggapi, bosan sekali mendengar ujar sinis beliau. Biarkan saja mamanya itu bicara sesuka hati. "Ma, kok, gitu ngomongnya? Reyhan pergi ke Inggris, kan, karena dapat beasiswa kuliah di sana. Dia juga janji bakal nikahin Windy kalau pulang nanti, kan? Windy aja nggak masalah harus nunggu, kok," tegur sang papa, menyentil sikap tak dewasa istrinya ini. "Iya, Ma. Jangan direcokin gitu, lah!" timpal Luna, jengkel. "Ya, seenggaknya Windy nggak bodoh kayak kamu. Walaupun dia nunggu Reyhan, suatu saat Reyhan pasti pulang dan bakal nikahin dia. Trus kamu, apa? Mau sampai kapan kamu nunggu si Arvin? Apa kamu yakin kakaknya Reyhan ini bisa bangun dalam waktu dekat?" Tak ada sanggahan lagi. Bukan hanya menghapus air matanya, tangan Luna justru menghapus sudut mata Arvin yang basah. 'Apa Kak Arvin dengar itu? Please, bangun, Kak!' lirih batin Luna. Sang Mama, Wenny Ayunda itu bangkit dari duduknya, mendekati kasur untuk bicara serius dan bertatap muka dengan putri bungsunya itu. "Dengar, ya, Luna! Mama itu temenan baik sama Om Pramana dan Tante Raya. Walaupun kami setuju dengan perjodohan Reyhan dan Windy, tapi kami nggak mau putri kami ini justru menunggu putra mereka yang lain yang nggak jelas masa depannya. Jangan sampai kemarahan Mama ini terseret-seret ke hubungan kakak kamu, ya! Kamu mau hubungan Reyhan dan Windy nggak Mama setujui?" kecam beliau. Luna terkejut mendengar ultimatum beliau. Meski tak sepenuhnya setuju dengan sang istri, papanya tak banyak membantah. Hanya menatap searah Luna dengan teduh. "Sayang, kamu mau pindah ke Jepang, nggak? Kuliah di sana, sekalian bantu Papa di perusahaan. Kita tetap berdoa supaya Arvin bangun. Tapi tentu aja, kamu nggak boleh stuck gini aja, kan? Arvin juga pasti lega kalau kamu mulai perhatikan hidup kamu," ujar beliau. Luna merenung, meresapi perkataan beliau. Ditatapnya sang ayah dan Arvin bergantian. Bayang ancaman berantakan hubungan sang kakak juga jadi taruhan. "Nggak usah pakai mikir, lah! Kamu nggak punya pilihan. Memangnya kamu tega nyakitin kakak kamu? Dengar, Luna! Selama ini Mama dan Papa selalu nurut apa kemauan kamu. Kali ini aja, tolong ngertiin perasaan kami," lanjut Mama Wenny. Hari itu menjadi hari terakhir sebelum Luna meninggalkan Bandung, menyisakan Arvin yang masih terbaring koma. Satu jam sebelum keberangkatan, Luna mengunjungi Arvin di rumah sakit. Senyum tipis beriring air mata saat dia memakaikan kalung setengah hati itu ke leher Arvin, pun juga pada lehernya. "Luna pergi, Kak. Luna-mu pasti kembali. Cepat bangun, ya!" Luna mendekat untuk mengecup bibir plum hangat milik Arvin. Menanti dan menunggu hingga hari bahagia akan terajut kembali. Tak ada lagi pertentangan. Luna juga tak ingin menyakiti orangtuanya. Di sinilah akhirnya dia berdiri. Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Memegang paspor dan tiket di tangannya, dia menanti seseorang yang belum muncul untuk memberinya izin pergi. Tak lama, Windy muncul dengan langkah tergesa. Untung saja dia tak terlambat hingga Luna dan kedua orangtuanya itu sudah menaiki pesawat. "Kak Windy ...." Windy belum bicara, masih tak percaya denan keputusan Luna yang pergi begitu saja tanpa diskusi dengannya. "Cuma sebentar, Kak. Aku pasti balik. Kirim salam sama Om Pram dan Tante Raya, ya! Jangan lupa bilang juga ke Kak Rey! Tau, sih, dia pasti ngamuk karena mikir aku capek nunggu abangnya bangun. Tapi serius, deh, aku pasti pulang, Kak." Windy memberi peluk hangat pada Luna beriring isak tangis. Dirinya tahu Luna selama ini juga mengalami hal sulit walau selalu tersenyum ceria. Meski bernama bulan, sinar hidupnya seterang sinar mentari. "Kamu yang kuat, ya! Aku pasti bantu jaga Arvin buat kamu," lirih Windy. Hanya tersenyum dan lambai tangan mengakhiri pertemuan mereka. Perjalanan panjang menuju negeri sakura, Jepang. Luna duduk di dekat jendela seraya menatap jajar gumpalan awan yang indah beriring air mata yang jatuh. "Tunggu aku, Kak Arvin." Diraihnya liontin setengah hati dari kalung untuk digenggamnya. Menciumnya sesaat, memandanginya seraya tersenyum. "Tolong jaga Kak Arvin di sana. Aku pasti kembali dan membuat kamu jadi utuh." Setengah dari liontin ada pada Arvin. Berharap benda itu tetap menggantung di leher Arvin sebagai pengganti diri Luna agar tetap dekat di hatinya. * Ingatan lampau itu akhirnya menjatuhkan air mata Luna. Tepat hari ini adalah dua tahun setelah kepergiannya dari Bandung. Luna masih berbaring di kamar sembari memandang liontin itu. Begitu cepat dia menghapus air mata itu, tak ingin terlihat cengeng karena bukan dirinya. "Maaf, Kak. Tahun ini Luna pasti pulang. Luna akan selesaikan urusan sama si Mirza itu. Kakak tenang aja, Luna bisa atasi semuanya. Luna milik Kak Arvin, kan?" Liontin itu adalah penguat dirinya. Kelopak matanya tertutup, memejamkan mata untuk menyambut hari esok dengan senyum tegar meski masalah selalu datang menyerangnya bertubi. Srek! Luna segera duduk setelah menyibak selimut, mengacak-acak tatanan rambutnya hingga ingin rasanya mencabuti hingga ke akar. "Astaga! Gimana ini? Masa aku harus tunangan sama si Demit itu? Gimana kalau dia nipu aku? Ck, hapal banget aku gimana liciknya dia!" Merasa hampir meledak, akhirnya Luna duduk bersila untuk melakukan teknik pernapasan yoga. Tarik, embus pelan. Berulang kali hingga merasa nyaman. "Ah, takut apa, sih? Luna gitu, loh! Kalau si Mirza itu macem-macem, bakal kusunat dia. Biar nggak bisa jajan lagi dia sama cewek-cewek itu. Haha." Malam diakhiri dengan sinar optimis. Diraupnya wajahnya dengan hela napas panjang seraya berkata, "Ganbatte (semangat)!" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD