6. Pembeli Tetap

1108 Words
"Selamat siang, Cahaya!" Aku menyapa gadis itu ketika siang ini tampak masuk ke dalam kedai. Aku yang memang sedang duduk di balik meja display, memberikan senyuman termanis untuk setiap pengunjung yang datang ke kedai. Gadis kecil itu tak kalah lebar senyumnya sembari meneriakkan panggilan khusunya padaku. "Mami! Aya rindu sekali dengan Mami," ucapnya dengan penuh ceria. Lalu merengek pada papinya minta digendong agar bisa mensejajarkan diri dengan meja display di hadapanku. "Cahaya ingin memesan apa?" tanyaku menawarkan apa yang ingin anak kecil itu beli. Sementara itu Pak Surya yang merupakan papanya Cahaya, hanya menuruti saja apa yang putrinya inginkan. Tampak Cahaya sedang menunjuk ice cream rasa strawberry kesukaannya. "Aya ingin ice cream. Tapi kita makan di sini dengan Mami ya, Pi?" pintanya yang langsung ditolak oleh Pak Surya. "Mana bisa begitu. Mami sedang sibuk melayani pembeli. Aya tidak boleh merepotkan Mami." Pak Surya mendongak menatapku. "Maaf ya, Bu Tari jika Cahaya selalu merepotkan Anda." "Oh, tidak apa, Pak Surya. Namanya juga anak kecil. Jadi ... Cahaya ingin ice cream strawberry?" tanyaku tetap mempertahankan keramahan terkhusus pada anak kecil seperti Cahaya yang sudah menjadi pembeli tetap kedai milikku ini. Hampir setiap pulang sekolah, Cahaya bersama papanya akan menyempatkan diri datang ke kedai meski itu hanya untuk membeli ice cream saja. Atau jika siang hari mereka datang tapi tidak bertemu denganku, maka malam harinya pasti akan kembali datang karena biasanya setiap malam aku pasti jaga kedai. Dan ini sudah berlangsung selama satu minggu ini. Aku sendiri tidak keberatan dengan apa yang Cahaya lakukan karena bagiku mereka tidak lebih dari sosok pelanggann tetap kedai milikku. Diluar dari apa yang selalu Cahaya dengungkan bahwa aku ini adalah maminya. Kasihan anak sekecil itu harus kehilangan sosok ibu dan tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku sendiri juga tak tahu kenapa Pak Surya tidak menikah lagi saja agar Cahaya tidak kehilangan figur sosok Ibu. Ah, entahlah aku tak tahu. Mungkin menikah lagi juga memerlukan banyak pertimbangan. Seperti halnya aku. Rasanya sudah terlalu nyaman sendiri sampai tak pernah ada keinginan untuk menikah lagi. Hanya anak-anak yang ada dalam pikiranku ini. Bagaimana cara membesarkan mereka agar memiliki masa depan yang indah tentunya. Meski aku hanya seorang single parents, tapi aku tak akan berhenti berjuang demi keberhasilan ketiga anakku. Kuberikan ice cream permintaan Cahaya. Lalu, Pak Surya membayarnya dan membawa putrinya duduk di salah satu meja kosong. Dengan berat hati aku tak bisa menemani Cahaya sebab pengunjung lumayan ramai datang silih berganti. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar adanya jika Pak Surya, papanya Cahaya, sempat beberapa kali kulirik tengah memperhatikanku. Namun, aku abaikan. Menolak jika perasaan ini sedikit penasaran akan apa yang ada dalam benak pria itu. Jangan sampai kebenaran itu ada jika wajahku ini mirip dengan almarhum istrinya yang tak lain adalah maminya Cahaya. Astaga, aku ini berpikir apa. Karena banyaknya pekerjaan juga pikiran sampai aku lupa jika ada tugas menanti yaitu menjemput anak-anakku. Gegas meninggalkan tempat setelah sebelumnya aku serahkan pada salah satu karyawanku. Melalui pintu samping kedai, aku meninggalkan tempat usahaku dan tak lagi menghiraukan keberadaan Cahaya yang masih ada di dalam sana. ••• "Bunda, aku ikut ke kedai, ya? Aku nggak mau di rumah nenek," rengek Mondy ketika siang ini aku datang menjemput di sekolah. "Loh, kenapa? Enakan di rumah nenek. Mondy bisa tidur siang, bisa main, juga bisa nonton televisi." "Tapi aku bosan, Bun!" "Bosan kenapa? Temannya kan banyak. Bunda ini di kedai harus bekerja, sayang. Nanti Mondy kecapean jika harus ikut Bunda. Karena di kedai tidak ada kamar tidurnya. Nanti jika Mondy capek atau ngantuk bagaimana?" Aku berusaha memberikan pengertian padanya. Bukannya aku tidak mau diikuti oleh anakku. Lagipula sering juga aku membawa mereka mengunjungi kedai. Itupun jika pada saat aku tak ada jadwal membantu menjaga kedai. Tapi, jika aku harus berada lama di kedai, maka anak-anak pasti aku tinggal di rumah neneknya. "Ya, sudah. Tapi Bunda janji. Hari libur nanti bawa aku ke kedai, ya, Bun. Aku mau bantuin Bunda kerja. Biar Bunda banyak uangnya," celoteh anak ketigaku ini membuatku senyum-senyum sendiri. Memiliki anak kecil adalah hiburan tersendiri. Dengan sikap dan tingkah lakunya yang lucu sangat menghiburku. Di saat aku sedang capek, lalu mendengar kata demi kata yang Mondy lontarkan, hilang sudah rasa capek itu dan tergantikan dengan semangat membara bahwa aku harus giat bekerja. "Memangnya Mondy bisa bantuin Bunda?" "Bisa dong, Bun. Aku kan kuat. Aku tak hanya bisa membantu Bunda berjualan. Tapi aku juga bisa melindungi Bunda." Ingin menangis rasanya mendengar semua. Seandainya ayahnya tahu betapa besar cinta anak-anaknya padaku, pasti dia akan menyesal karena telah tega menyia-nyiakan keluarganya. Memilih menelantarkan anak dan istrinya demi kesenangan semata. Terkadang aku berpikir, apa yang membuat ayah dari anak-anakku memilih meninggalkan kami. Hidup kami selama ini juga jauh dari kata kekurangan. Rumah, kendaraan, tabungan semua ada. Bahkan jika orang lain melihat, pasti mengira bahwa kami adalah keluarga yang sangat harmonis. Namun, sayangnya mantan suamiku tidak pernah tahu arti kata bersyukur. Selalu saja merasa kurang dan tertantang dengan dunia luar. Jika suami lain akan lebih memilih bersenang-senang dan menghabiskan waktunya bersama anak istri, lain dengannya yang lebih memilih mencari hiburan di luar bersama teman-temannya. Jangan katakan jika aku ini kurang bisa mengerti dan memahami. Bahkan lebih daripada itu yang sudah aku lakukan selama ini. Memilih diam dan tetap bertahan. Itu pun masih kurang. Lantas, apa yang harus aku perjuangkan lagi jika hanya aku saja yang lelah berjuang tapi dia sendiri selalu sibuk menghancurkan. Kugeleng-gelengkan kepala ini mencoba mengenyahkan semua kenangan buruk masa lalu. "Bunda!" Panggilan Mondy menyadarkan aku akan lamunan. "Iya, sayang?" "Bunda sakit?" "Tidak. Memangnya kenapa?" "Bunda melamun, ya? Bunda rindu Ayah, ya?" Aku hanya bisa membuka mulutku tanpa ada suara yang keluar. Lalu kembali aku menutup rapat mulut ini tak mau membahas tentangnya lagi. Tapi Mondy justru kembali berucap. "Kemarin Ayah bertanya." "Tanya apa, sayang?" "Apa Bunda punya teman?" "Lalu Mondy menjawab apa?" Ah, kenapa aku jadi penasaran. Apakah setiap lelaki itu membawa pergi anak-anaknya maka akan banyak bertanya seputaran diriku pada mereka. "Aku jawab iya. Teman Bunda banyak." Dan Mondy menyebutkan satu per satu nama karyawanku. "Tapi setelah itu Ayah justru bertanya lagi." Mondy melanjutkan ceritanya. "Apa itu?" "Yang Ayah maksud, teman laki-laki Bunda apa ada yang pernah main ke rumah atau pergi sama Bunda." "Jadi Ayah tanya begitu?" Apa tujuannya coba mencari informasi tentangku. Bahkan kami sudah tak lagi pernah berkomunikasi. Apakah dia ada masalah jika aku sudah menemukan lelaki pengganti dirinya? Kepala Mondy mengangguk-angguk. Lalu aku kembali bertanya padanya. "Terus Mondy jawab apa?" "Aku bilang nggak tahu, Bunda." Aku tersenyum. Putraku ini meski masih kecil tapi dia bisa mengerti dan memahami jika berinteraksi dengan orang dewasa. Oh, Tuhan. Dia sungguh menggemaskan sekali jika sudah berbicara seperti ini. Mirip orang dewasa saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD