Dua puluh tusuk sate sudah aku siapkan di atas meja makan beserta satu piring besar lontong yang juga sudah aku potong-potong. Badan ini terasa sangat capek sekali, karena itulah aku memilih absen memasak malam ini. Memilih membeli makanan jadi saja ketika tadi sepulang dari kedai.
"Bunda! Aku lapar," celetuk Iyan, putra keduaku yang berusia sembilan tahun. Bocah itu sudah menyeret kursinya dan duduk menungguku menyiapkan makanan. Hanya Iyan yang sangat suka makan. Tak heran jika pertumbuhannya begitu cepat besar.
"Tunggu sebentar. Bunda siapkan," jawabku mengulas senyuman padanya, lalu mengalihkan pandangan pada Rey dan Mondy yang berada di atas karpet sedang memainkan game di ponsel mereka.
"Mondy! Rey! Makan dulu!" pintaku sedikit berteriak.
"Sebentar, Bunda." Rey yang menjawab.
Kuhela napasku. Membiarkan saja sebentar mereka menyelesaikan permainannya. Ketiga putraku ini termasuk anak-anak yang penurut. Sejak kecil aku selalu membiasakan diri agar anak-anak bisa membagi waktu dengan baik. Antara sekolah, belajar juga bermain. Aku pun tak melarang mereka bermain ponsel, tapi membatasi kapan dan berapa lama mereka boleh berkutat dengan aneka game yang ada di ponsel masing-masing. Bersyukur karena aku diberikan anak-anak yang selalu mengerti seperti mereka. Meski terkadang sikap membangkang juga mereka berikan padaku. Hal yang kerap memicu emosi ketika mereka membantah atau melawan dengan apa yang sudah aku ajarkan.
Sungguh, menjadi orang tua tunggal itu bukanlah hal mudah. Selain berperan sebagai sosok Ibu yang mencurahkan kasih sayang juga mengurus mereka dengan sebaik-baiknya, aku pun juga harus dituntut menjadi sosok Ayah yang harus menjadi panutan juga mencari nafkah bagi mereka.
Kuhela napas ini ketika mulai merasakan beratnya beban yang harus aku tanggung sendirian. Segala rasa lelah ini terkadang membuat hati jadi sedih sendiri. Aku memang tidak pernah mau menuntut materi dari lelaki yang selalu mereka sebut Ayah. Meski hubungan kami berdua masih terjalin dengan baik-baik hingga kini. Demi anak-anak aku mengesampingkan ego yang merasa sakit hati karena sering dihianati. Aku lupakan semua perlakuan buruknya padaku dan mencoba berlapang dadaa untuk menjalani semua dengan hati bahagia. Alhasil, meski aku telah disakiti selama masa pernikahan kami, sekarang hubungan yang terjalin di antara aku dengan mantan suami hanya sebatas teman. Jangan lupakan statusnya tetaplah Ayah kandung anak-anakku.
"Ayah mau datang? Iya. aku tunggu ya, Ayah!"
Kudengar suara Mondy sedang menerima panggilan video call. Aku sudah menebak jika ayahnya yang telepon. Lalu, putra ketigaku itu berlari kecil mendekatiku yang ada di ruang makan. "Bunda! Ayah mau datang!" ucapnya riang.
Belum juga aku menjawab, Iyan menyela, "Ayah mau datang, dek?"
Kepala Mondy mengangguk. "Iya. Nanti kita dibelikan mainan sama Ayah ya, Kak!"
"Hore!"
Aku tak paham kenapa mereka berdua kegirangan sebab tahu ayah mereka akan datang. Bahkan hanya dibawakan mainan saja, mereka sudah sangat senang.
Aku tak pernah mempermasalahkan hal itu dan tak pernah melarang jika anak-anak dekat dengan Ayah mereka. Biarlah hubunganku dengan mantan suami tak lagi bisa bersama. Namun, ikatan darah di antara Ayah dan anak tak mungkin bisa dipatahkan begitu saja.
"Ya, sudah. Ayo kalian segera makan. Jadi nanti jika Ayah datang, perut sudah kenyang dan tinggal main."
Keduanya dengan semangat menunggu aku memberikan piring masing-masing. Namun, lain dengan Rey yang sama sekali tak berminat mendengar ayahnya akan datang.
Sejak dulu, hubungan Rey dengan ayahnya memang renggang dan tidak sedekat layaknya anak dengan ayah kebanyakan. Mungkin karena Rey sudah besar dan tahu apa yang terjadi pada hubunganku dengan ayahnya. Tahu juga bagaimana drama perselingkuhan ayahnya dengan beberapa wanita. Aku sudah mencoba memberikan pengertian yang sangat halus padanya. Rey adalah sosok remaja yang pasti sedikit tahu akan masalah orang tuanya. Jangan sampai apa yang menimpaku menjadi alasan Rey membenci ayahnya.
"Rey! Makan dulu!" Aku berteriak karena puteraku itu masih sibuk dengan ponsel.
Karena teriakanku tadi sudah naik satu oktaf, tanpa kata atau bantahan dia pun beranjak dan ikut bergabung di meja makan.
•••
"Apa kabarmu, Tari?" tanya pria berambut cepak yang entah sudah berapa minggu tidak aku temui. Bahkan aku tidak tahu di mana sekarang pria itu tinggal. Apakah sudah menikah lagi atau belum ... Aku juga tak mau peduli juga tak ada keinginan untuk bertanya.
Hanya saja, ada beberapa kali anak-anak bercerita padaku jika pernah bertemu dengan wanita yang selalu ayah mereka bawa ketika membawa pergi jalan-jalan. Inginnya aku tak peduli. Namun, entah kenapa ada rasa tidak rela membayangkan anak-anak harus dikenalkan dengan wanita yang mungkin saja akan menjadi ibu tirinya.
"Oh, aku baik. Kamu bisa melihat sendiri kan, Mas, jika aku makin subur ketika hidup di sini." Sengaja aku memamerkan betapa bahagia dan nyamannya hidupku saat ini. Dan aku bangga menunjukkan padanya bahwa aku bisa memiliki hidup yang jauh lebih baik lagi setelah berpisah darinya.
"Eum ... Aku ingin membawa anak-anak keluar jalan-jalan."
Aku mengangguk, mengijinkan dia membawa Iyan dan Mondy yang sudah sangat riang karena akan diajak pergi oleh ayahnya.
"Silahkan. Tapi jangan pulang malam-malam karena besok mereka harus sekolah."
"Baiklah. Rey mana?"
"Di dalam."
"Dia mau ikut apa tidak?"
"Sebentar aku tanyakan."
Aku masuk ke dalam kamar putra pertamaku. "Rey! Ditunggu Ayah di luar."
"Ditunggu kenapa, Bun?"
"Jalan-jalan katanya."
"Aku nggak mau ikut."
"Loh, kenapa?"
"Aku banyak tugas."
Aku menghela napas. "Yakin nggak mau ikut ayahmu?"
"Nggak, Bunda. Aku di rumah saja."
"Baiklah."
Aku kembali ke luar. Menyampaikan pada mantan suamiku jika Rey tidak mau ikut.
"Rey nggak ikut katanya?"
Pria itu terlihat kecewa, tapi juga tak berani memaksa. Lalu pamit dan membawa Iyan juga Mondy bersamanya.
Aku kembali masuk dan rupanya mendapati keberadaan Rey yang sudah pindah tempat. Tak lagi ada di dalam kamar tapi duduk di sofa depan televisi. Kudekati dia dan duduk di sebelahnya.
"Katanya banyak tugas. Kok malah main game lagi."
"Sudah selesai, Bun."
"Lah, tadi kenapa nggak mau ikut Ayah."
"Malas, Bun."
"Jangan begitu, Mas. Ayah loh kalau mengajak Mas keluar pasti dibelikan banyak makanan."
"Tanpa Ayah belikan, Bunda juga sudah sering membelikan untukku."
Lagi-lagi aku mengembuskan napas panjang. Tak mau membahas perihal ayahnya.
Namun, celetukan Rey selanjutnya tak sanggup rasanya aku menahan diri untuk tak merasakan sesak dalam dadaa.
"Palingan kalau pergi sama Ayah, ada Tante itu yang ikutan. Ayah pancaran terus. Malas aku ngelihatnya, Bun."
Hanya usapan pada kepalanya saja yang sanggup aku lakukan. Dia tidak menyukai ayahnya bukan karena aku yang menabur benih kebencian, tapi karena kelakukan lelaki itu sendiri yang telah menabur garam pada luka menganga di hati putranya.